Pendahuluan
Aksiologi
merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempersoalkan penilaian bagaimana
manusia mengaplikasikan ilmu yang didapatkannya. Dalam hal ini aksiologi
dinamakan sebagai the theory of value (Fuad Ihsan,
2010 : 231). Teori tentang nilai untuk apa ilmu itu digunakan merupakan
landasan dari aksiologi (Inu Kencana Syafii, 2010 : 11).
Manusia
di dalam menjalankan kehidupan mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar
kehidupannya. Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan untuk kemajuan ilmu
pengetahuan sehingga mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka
bumi (Soetriono, 2010 : 39).
Dalam
abad ke-20 ini, di satu pihak orang mengamati kemajuan teknologi dan ilmu
pengetahuan yang sangat pesat dan mendalam, namun bersamaan dengan itu di pihak
lain orang mengamati dekadensi kehidupan beragama di kalangan umat manusia.
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tampak jelas memberikan buah
yang sangat menyenangkan bagi kehidupan lahiriah umat manusia secara luas. Dan
manusia merasa telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan dunia secara
besar-besaran (Sahirul Alim, 1996 : 57).
Merupakan
kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang
kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan
kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping
penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan,
pengangkutan, permukiman, pendidikan, dan komunikasi. Namun dalam kenayataannya
apakah ilmu pengetahuan selalu merupakan berkah, terbebas dari kutuk, yang
membawa malapetaka dan sengsara (Jujun S. Suriasumantri, 2010 : 229).
Dalam
ilmu kedokteran, revolusi genetika, seperti kemajuan reproduksi dan rekayasa
manusia oleh manusia adalah sebuah contoh dari pengaruh pesatnya ilmu
pengetahuan. Konsekwensinya, ilmu bukan saja menimbulkan dehumanisasi, namun
kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri (Fuad Ihsan, 2010 :
273). Dengan kata lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, melainkan juga menciptakan tujuan hidup itu
sendiri.
Dalam
melihat persoalan tersebut, dimensi aksiologi dalam ilmu sangat penting untuk
digaris bawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu, karena agama sangat
menekankan dimensi aksiologi keilmuan (whyness) (Amin Abdullah, 2006
: 103). Landasan atau dimensi aksiologi ini menurut Jujun S. Suriasumantri adalah
segenap wujud pengetahuan ini secara moral ditujukan untuk kebaikan hidup
manusia (Jujun S. Suriasumatri, 2010 : 294). Makalah ini fokus kajiannya tentang aksiologi terhadap hubungan
ilmu pengetahuan dan agama.
Pembahasan
Definisi Aksiologi
Aksiologi
berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti
nilai, dan logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi aksiologi adalah “teori
tentang nilai” (Sabarti Akhadiah, 2011 : 15). Aksiologi menurut Inu
Kencana Syafeii, adalah membicarakan penerapan nilai ilmu pengetahuan dimulai
dari klasifikasi ilmu, dilanjutkan dengan melihat tujuan ilmu itu, dan akhirnya
dilihat perkembangannya (Inu Kencana Syafeii, 2010 : 25).
Jujun S. Suriasumantri dalam Jalaluddin, memberikan
pengertian bahwa aksiologi adalah teori tentang nilai, manfaat atau fungsi
sesuatu yang diketahui tersebut dalam hubungan dengan seluruh yang diketahui
tersebut, berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh (Jalaluddin, 2011 :
132). Lebih lanjut dijelaskan Jujun S. Suriasumantri dalam Qodir, axiology
adalah mempertanyakan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan atau nilai
kegunaan apa yang dipunyai olehnya (Qodir, 1983 : viii).
Menurut Susanto, aksiologi adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut
pandang kefilsafatan, menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan
di dalam menerapkan ilmu ke dalam aplikasi ataupun praktek (Susanto, 2011 :
116). Selanjutnya Fuad Ihsan, aksiologi sebagai teori tentang nilai
membahas tentang hakikat nilai sehingga disebut filsafat nilai (Fuad Ihsan,
2010 : 231). Dan menurut Wibisono dalam Surajiyo, aksiologi adalah
nilai-nilai sebagai tolok ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar
nilai-nilai normatif penelitian dan penggalian serta penerapan ilmu (Surajio,
2010 : 152).
Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu kepada permasalahan
etika dan estetika (Susanto, 2011 : 116).
Aksiologi merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh (Burhanuddin Salam, 1997 : 169).
Aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di
dalam menerapkan ilmu itu sendiri.
Sedangkan
dalam Encyclopedia of Philosophy Amsal Bahtiar,
dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value and valuation, yaitu:
a.
Nilai digunakan sebagai kata benda
abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus.
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala
bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
b. Nilai
sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai,
seperti nilainya atau nilai dia.
c. Nilai
juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau
dinilai (Amsal Bahtiar, 2011 : 164).
Dari definisi aksiologi di atas, terlihat
dengan jelas bahwa permasalahan utama yang dibahas oleh aksilogi adalah
mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai
yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
Defenisi Ilmu Pengetahuan
Saat ini
terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan ilmu, maka harus didefnisikan
terlebih dahulu pengertian istilah-istilah yang dipakai. Dalam Bahasa Indonesia
lazim dikenal istilah ilmu dan ilmu pengetahuan. Belakangan muncul sitilah
sains sebagai kata serapan dari Bahasa Inggris science (Budi
Handrianto, 2010 : 42).
Endang
Syaifuddin Anshari dalam bukunya Ilmu, Filsafat dan Agama mengatakan:
Salah satu
corak pengetahuan ialah pengetahuan yang ilmiah, yang lazim disebut ilmu
pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang ekwivalen artinya dengan science
dalam bahasa Inggris dan Prancis, Wissenschaft (Jerman) dan wetenschap
(Belanda). Sebagaimana juga science berasal dari kata scio, scire
(bahasa Latin) yang berarti tahu, begitupun ilmu berasal dari kata ‘alima
(bahasa Arab) yang berarti tahu. Jadi baik ilmu maupun science secara
etimologi berarti pengetahuan, namun secara terminologis ilmu dan science
itu semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda dan
syarat-sayarat yang khas (Endang Syaifuddin Anshari, 1987 : 48).
Beberapa
pandangan ilmuwan tentang defenisi ilmu
(science):
Ralfh
Ross dan Ernest Van Den Haag dalam Endang Syaifuddin Anshari, memberikan
pengertian ilmu “science is empirical, rational, general and cumulative; and
it is all four at once” (ilmu ialah yang empiris, yang rasional, yang umum
dan bertimbun-susun; dan keempat-empatnya serentak) (Endang Syaifuddi
Anshari, 1987 : 48).
Menurut
Mohammad Hatta, ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum
kausal dalam satu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut
kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam (Mohammad
Hatta, 1980 : 3). Karl Pearson dalam Endang Syaifuddin Ansyari, merumuskan, “science is the complete and
consistent description of the facts of experience in the simple possible terms” (Ilmu pengetahuan adalah lukisan
atau keterangan yang lengkap dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan
istilah yang sesederhana mungkin) (Endang Syaifuddin Anshari, 1987 : 47).
Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem pengetahuan dari
berbagai pengetahuan, mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun
sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan atau sistem
dari berbagai pengetahuan. James B. Conant dalam Qadir, menjelaskan, ilmu
pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling
berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan. Ilmu
pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyeledikan
yang berkesinambungan (Qodir, 1983 : 37).
Menurut
Prof. Harsojo dalam Endang Syaifuddin Ansyari bahwa ilmu adalah:
a.
Akumulasi pengetahuan yang disistematiskan.
b.
Suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan terhadap dunia
empiris, yaitu dunia yang terkait oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada
prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia.
c.
Suatu cara menganalisa yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk
menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “Jika…; maka… (Endang Syaifuddin
Anshari, 1987 : 49).
Sementara ensiklopedia Indonesia
dalam Budi Handrianto, didapati keterangan sebagai berikut:
Ilmu
pengetahuan, suatu system dari pelbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai
suatu lapangan pengalaman tertentu yang disusun demikian rupa menurut asas-asas
tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu system dari pelbagai pengetahuan yang
masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan
secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi, deduksi) (Budi
Handianto, 2010 : 45).
Dari
keterangan-keterangan para ahli tentang ilmu, jelaslah bahwa ilmu adalah
semacam pengengetahuan yang mempunyai ciri, tanda dan syarat tertentu, yaitu:
sistematik, rasional, empiris, umum dan komulatif, bahwa ilmu pengetahuan itu
merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal
yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan pemikiran dan
penginderaan manusia.
Dari pengertian
yang dikutipnya, Endang Syaifuddin Ansyari menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan
itu adalah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai
kenyataan, struktu-struktur, hal-ihwal yang diselidiki sejauh yang dapat
dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan manusia itu, yang
kebenarannya dapat diuji secara empiris, riset dan eksperimental (Endang
Syaifuddin Ansyari, 1987 : 50).
Menurut Bertrand Russel,
ilmu pengetahuan memiliki dua fungsi, yaitu, pertama, memungkinkan kita
mengetahui berbagai hal. Kedua, memungkinkan kita melakukan berbagai hal
(Bertrand Russel, 1992 : 19).
Ilmu
pengetahuan juga bisa merupakan upaya menyingkap realitas secara tepat dengan
merumuskan objek material dan objek formal. Upaya penyingkapan realitas dengan
memakai dua perumusan tersebut adakalanya menggunakan rasio dan empiris atau
mensintesikan keduanya sebagai ukuran sebuah kebenaran (kebenaran ilmiah).
Penyingkapan ilmu pengetahuan ini telah banyak mengungkap rahasia alam semesta
dan mengeksploitasinya untuk kepentingan manusia.
Bentuk Ilmu Pengetahuan
Menurut beberapa pakar, ilmu
pengetahuan didefinisikan sebagai rangkaian aktifitas berfikir dan memahami
dengan mengikuti prosedur sistematika metode dan memenuhi langkah-langkahnya (The
Liang Gie, 2004 : 39). Dengan pola tersebut maka akan dihasilkan sebuah
pengetahuan yang sistematis mengenai fenomena tertentu, dan mencapai kebenaran,
pemahaman serta bisa memberikan penjelasan serta melakukan penerapan.
Secara garis besar, ilmu pengetahuan
dibagi menjadi dua bentuk, yakni ilmu eksakta dan ilmu humaniora. Ilmu eksakta
adalah spesifikasi keilmuan yang menitikberatkan pada hukum sebab akibat.
Penilaian terhadap ilmu-ilmu eksakta cenderung memakai metode observasi yang
digunakan sebagai cara penelitiannya dan mengukur tingkat validitasnya. Dengan
model tersebut, penelitian terhadap ilmu-ilmu eksakta sering mendapatkan hasil
yang objektif. Sedangkan ilmu humaniora merupakan spesifikasi keilmuan yang
membahas sisi kemanusian selain yang bersangkutan dengan biologis maupun
fisiologisnya. Hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan ini lebih tertitik
tekan dalam masalah sosiologis dan psikologisnya.
Menurut Jujun S. Sumantri, cabang
atau bentuk ilmu pada dasarnya berkembang dari cabang utama, yakni filsafat
alam yang kemudian berafiliasi di dalamnya ilmu-ilmu alam (the natural
sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang menjadi menjadi
cabang ilmu-ilmu social (the social sciences) (Jujun S.
Suriasumantri, 2009 : 93). Dari kedua cabang tersebut, klasifikasi keilmuan
menjadi kian tak terbatas. Diperkirakan sampai sekarang ini, terdapat sekitar
650 cabang keilmuan yang masih belum banyak dikenal (Jujun S. Suriasumantri,
2009 : 96). Kepesatan kemajuan perkembangan ilmu ini demikian cepat, hingga
tidak menutup kemungkinan sepuluh tahun ke depan, klasifikasi keilmuan bisa
mencapai ribuan jumlahnya.
Sekian banyak jumlah cabang keilmuan
tersebut, bermula dari ilmu alam yang membagi diri menjadi dua kelompok, yakni
ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hidup (hayat/the
biological sciences) (Jujun S. Suriasumantri, 2009 : 98). Ilmu alam
ini bertujuan untuk mempelajari zat yang membentuk alam semesta. Ilmu ini
kemudian membentuk rumpun keilmuan yang lebih spesifik, misalnya sebagai ilmu
fisika yang mempelajari tentang massa dan energi, ilmu kimia yang membahas
tentang substansi zat, ilmu astronomi yang berusaha memahami kondisi
benda-benda langit dan ilmu-ilmu lainnya. Dari rumpun keilmuan ini kemudian
membentuk ranting-ranting baru, seperti kalau dalam fisika ada yang namanya
mekanik, hidrodinamika, bunyi dan seterusnya yang masih banyak lagi
ranting-ranting kecil.
Disiplin keilmuan tersebut di atas
terlahir dari beberapa sumber. Ilmu pengetahuan yang terlahir dari sumber yang
berdampak pada perbedaan dari masing-masing jenis keilmuan. Meskipun demikian
tidak semua orang mempercayai dan mengakui keilmuan seseorang yang kebetulan
muncul dari sumber yang tidak diyakini oleh kebanyakan masyarakat. Misalnya
ilmu ladunniy yang diyakini adanya di kawasan Timur namun tidak
dipercaya di daerah Barat.
Dalam buku Filsafat Ilmu karya Amsal
Bakhtiar dikatakan bahwa ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa sumber
ilmu pengetahuan keluar dari empat hal (Amsal Bahtiar, 2004 : 98-110). Pertama,
adalah empirisme, menurut aliran ini seseorang bisa memperoleh
pengetahuan dengan pengalaman inderawinya. Dengan indera manusia bisa
menghubungkan hal-hal yang bersifat fisik ke medan intensional, atau
menghubungkan manusia dengan sesuatu yang kongkret-material. Kedua, adalah
rasionalisme, aliran ini menyatakan bahwa akal merupakan satu-satunya
sumber kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang diakui benar semata-mata hanya
diukur dengan rasio. Ketiga, adalah intuisi. Menurut Henry
Bergson yang dikutip oleh Amsal Bakhtiar, intuisi adalah hasil evolusi dari
pemahaman yang tertinggi. Intuisi ini bisa dikatakan hampir sama dengan
insting, namun berbeda dalam tingkat kesadaran dan kebebasannya. Untuk
menumbuhkan kemampuan ini, diperlukan usaha dan kontinuitas latihan-latihan. Ia
juga menambahkan bahwa intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis
yang meliputi harus adanya analisis, menyeluruh, mutlak dan lain sebagainya.
Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Bagi Kuntowijoyo, intuisi adalah pengetahuan langsung, paham. Maka
kita berdo’a, “Rabbi zidni ‘ilman warzuqni fahman” (“Tuhanku, tambahlah
aku ilmu dan beri aku kepahaman [intuisi]”) (Kuntowijoyo, 2006 : 30). Keempat, adalah wahyu, sumber
ini hanya khusus diperoleh melalui para Nabi yang menerima pengetahuan langsung
dari Tuhan semesta alam. Para Nabi memperoleh pengetahuan tanpa upaya dan tanpa
memerlukan waktu tertentu. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan.
Menurut Ahmad
Charris Zubair (2002 : 17), jika sumber pengetahuan tersebut dihubungkan
dengan struktur realitas (objek) dan struktur keilmuan, maka
pengklasifikasiaanya sebagaimana dalam tabel berikut:
Tabel Sumber
Ilmu pengetahuan
Sumber Ilmu
|
Struktur Realitas (objek)
|
Struktur Keilmuan
|
Intuisi, rasio, indera, wahyu
|
Transenden
|
Ilmu Agama (kitab suci)
|
Rasio, indera, intuisi
|
Manusia
|
Ilmu filsafat
|
Rasio, indera, intuisi
|
Masyarakat
|
Ilmu sosial, budaya, ekonomi, politik dsb
|
Rasio, indera, intuisi
|
Sebab-akibat, proses
|
Ilmu fisika, kimia dsb
|
Intuisi
|
Pertahanan hidup
|
Ilmu kelangsungan hidup
|
Indera
|
Fisiko-kemis
|
Pengetahuan sederhana
|
Jika melihat klasifikasi yang terdapat dalam
tabel di atas, maka untuk sementara bisa diambil kesimpulan sementara bahwa
kebenaran bisa bersifat multidimensional. Artinya ada beberapa bidang keilmuan
bisa lahir dari semua sumber pengetahuan.
Pengertian
Agama
Agama adalah satu kata yang sangat
mudah di ucapkan dan mudah juga untuk menjelaskan maksudnya, tapi sangat sulit
memberikan batasan (defenisi) yang tepat lebih-lebih bagi para pakar.
Menurut Sayyed
Hossein Nasr, kata agama dalam bahasa inggris disebut “Religion”,
dalam bahasa belanda disebut “Religie”. Kedua kata tersebut terambil
dari bahasa induk yaitu bahasa latin yang memiliki arti “Religare”, to
treat carefully (Ciicero), Relegere, to bind together (Lactantius),
atau Religare, to recover (Agustinus) (Sayyed Hossein Nasr, 2003 :
335).
Menurut
Fachroeddin Al-Kahiri dalam buku Endang Syaifuddin Anshari yang berjudul: Ilmu,
Filsafat dan Agama, pengertian Agama itu adalah:
Kata majmu’
bahasa Sangsekerta, yang terdiri dari dua perkataan, yang pertama (a) dan kedua
(gama). A, artinya dalam bahasa Sangsekerta: tidak; Gama, artinya
kocar-kacir, berantakan, yang sama artinya dengan perkataan Griek: chaos.
Jadi arti kata “agama” ialah tidak kocar-kacir, atau tidak berantakan. Lebih
jelas lagi kata agama itu ialah teratur, beres. Jadi yang dimaksud disini ialah
suatu peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai suatu yang
ghaib, ataupun yang mengenai budi pekerti, pergaulan hidup bersama dan lainnya (Endang
Syaifuddin Anshari, 1987 : 122).
Dalam bahasa
Inggris agama disebut Religion, tidak ada satu defenisi tentang religion yang
dapat diterima secara umum. Para failasuf, para sosiolog, para psikolog, dan
para teolog dan lain-lainnya telah merumuskan defenisi tentang religion menurut
caranya masing-masing.
Sebagian
failasuf beranggapan bahwa religion itu adalah “superstitious
structure of inchorent metaphysical nations”: sebagian ahli sosiolog lebih
senang menyebut religion sebagai “collective expression of
human values”: para pengikut Karl Marx mendefenisikan religion
dengan “the opiate of
the people”; sedangkan sebagian ahli psikolog menyimpulkan bahwa
religion adalah “mystical complex surrounding a project super-ego”. Dari
data empiris termaktub diatas, jelaslah bahwa tidak ada batasan tegas mengenai religion,
yang mencacup berbagai fenomena religion itu (Endang Syaifuddin Anshari,
1987 : 119).
Walaupun betapa
mustahilnya memberikan sebuah defenisi yang sempurna tentang religion, namun
ada bentuk-bentuk yang mempunyai ciri-ciri khas dari pada kepercayaan dan
aktivitas manusia yang biasanya dikenal sebagai kepercayaan dan aktivitas
religion, yaitu: kebaktian, pemisahan antara yang sacral dengan yang profane,
kepercayaan terhadap jiwa, kepercayaan kepada dewa-dewa atau Tuhan, penerimaan
wahyu yang supra-natural dan pencarian keselamatan.
Dalam
bahasa Arab, menurut Munawar Khalil dalam Endang Syaifuddin Anshari, kata Din
itu masdhar dari kata kerja “daana” / “yadienu”. Menurut lughot,
kata din mempunyai arti bermacam, antara lain berarti: 1.) cara atau
adat kebiasaan. 2). Peraturan. 3). Undang-undang. 4). Taat atau patuh. 5).
Menunggalkan ketuhanan. 6). Pembalasan. 7). Pehitungan. 8). Hari kiamat. 9).
Nasehat. 10). Agama (Endang Syaifuddin Anshari, 1987 : 120).
Adapun
dalam pandangan Ibnu Rushd dalam Aksin Wijaya, menjelaskan bahwa istilah al-Di>n
dan al-Millah terkandung substansi yang sama, yakni syari’at atau agama
yang diturunkan Tuhan kepada Rasul-Nya (Aksin Wijaya, 2009 : 72).
Menurut
Husain Ismail, agama adalah jalan atau metode yang bersumber dari Sang Pencipta
untuk mengetahui sifat, perbuatan dan tujuan diri-Nya menciptakan makhluk
secara umum dimana manusia termasuk di dalamnya (Husain Ismail, 2006 : 72).
Syaik Abdullah
Badran seorang Guru Besar Al-Azhar dalam Qurais Shihab, menggambarkan bahwa
agama adalah hubungan antara dua pihak yang mana yang pertama mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dari pada yang kedua, adanya interaksi antara
keduanya (Quraish Shihab, 1995 : 209).
Poedjawijatna
memberikan defenisi agama, segala pendapat tentangTuhan, dunia, hidup dan mati,
dunia akhirat serta tingkah laku manusia untuk mencapai tujuan hidup yang
kesemuanya itu berdasarkan atas wahyu (Poedjawijatna, 1984 : 174).
Selanjutnya Amin Abdullah menerangkan, bahwa agama dalam arti luas merupakan
wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri-sendiri, dan
lingkungan hidup baik fisik, social maupun budaya secara global (Amin Abdullah,
2006 : 101-102).
Menurut Irwan
Abdullah, agama secara mendasar dan umum didefinisikan sebagai seperangkat
aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia
lainnya, dan manusia dengan lingkungan disekitarnya (Irwan Abdullah, 2008 :
0). Sedangkan menurut Bertrand Russel, agama adalah suatu fenomena yang
rumit yang memiliki asfek individual maupun asfek sosial (Bertrand Russel,
1993 : 79).
Dari berbagai defenisi
di atas, baik itu agama, religion, dan din tidak mudah
untuk diberikan defenisi atau dilukiskan, karena agama, religion, dan din
mengambil beberapa bentuk dan bermacam-macam di antara suku-suku dan
bangsa-bangsa di dunia. Agama berbeda dengan filsafat dan sains karena agama
menekankan keterlibatan pribadi. Walaupun kita dapat sepakat bahwa tidak ada
defenisi agama yang dapat diterima secara universal, namun semua orang mengira
bahwa sepanjang sejarah, manusia telah menunjukkan rasa “suci” dan agama
adalah termasuk dalam kategori “hal yang suci” tersebut. Kemajuan
spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tak terbatas yang ia
berikan kepada objek yang ia sembah. Seorang yang religious merasakan adanya
kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai sumber yang
tertinggi bagi depribadian dan kebaikan.
Hubungan
Ilmu Pengetahuan dan Agama
Menurut
Muhammad Abduh, agama merupakan sebuah produk Tuhan. Tuhan juga mengajarkannya
kepada umat manusia, dan membimbing manusia untuk menjalankanya. Agama
merupakan alat untuk akal dan logika, bagi orang-orang yang ingin kabar gembira
dan sedih. agama menurut sebagian orang merupakan sesuatu hal yang menyangkut
hati; suatu hal yang sangat berarti; suatu hal yang menuntun jiwa untuk
menemukan keyakinan. Agama dengan eksistensinya telah membuatnya berbeda dengan
segala apa yang pernah ada, membuatnya berbeda dengan dengan segala yang pernah
dimiliki manusia. Agama membuat orang melakukan aktifitas yang harus
bersesuaian dengan apa yang diajarkannya, baik tuntunan itu berat ataupun ringan.
Agama menjadikan kehidupan manusia lebih teratur dalam kehidupannya, karena
segala dorongan dan keinginannya menjadi lebih terarah. Agama menjadi pemimpin
roh jiwa manusia. Ia juga berperan aktif membimbing manusia untuk memahami
ajaran-ajaranya. Diibaratkan seorang manusia layaknya seorang yang berada
diujung pedang, jika salah maka orang tersebut mati olehnya, tetapi agama
datang sebagai penyelamat. Apapun yang terjadi pada manusia, ia tidak akan bisa
terlepas dari agama. Sangat mustahil memisahkan kehidupan manusia dari agama.
Seperti halnya menghilangkan luka bekas operasi dari kulit manusia (Muhammad
Abduh, 2004 : 4).
Bagi kalangan Barat,
agama adalah penghalang kemajuan. Oleh karena itu, mereka beranggapan, jika
ingin maju maka agama tidak boleh lagi mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
dunia. Seorang Karl marx mengatakan bahwa agama adalah keluhan makhluk yang
tertekan. Agama adalah candu masyarakat, candu merupakan zat yang dapat
menimbulkan halusianasi yang membius (Budi Handrianto, 2010 : 82).
Bahwa setiap
pemikiran tentang agama dan Tuhan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. sebagai
seorang materialisme, Marx sama sekali tidak percaya adanya Tuhan dan secara
tegas ia ingin memerangi semua agama. Dalam pernyataan Marx, sebenarnya yang
dimaksud dengan candu masyarakat merupakan kritik terhadap realitas yang tidak
berpihak pada kaum lemah. Misalnya orang yang sedang kelaparan hanya
membutuhkan nasi atau sepotong roti untuk mengisi perutnya, bukan membutuhkan
siraman rohani ataupun khutbah yang berisikan tentang kesabaran, namun tidak
memperdulikan tentang realitas sosial. Bagi Marx dalam Budi Handrianto, agama
adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi (Budi
Handianto, 2010 : 82).
Dalam pandangan
saintis, agama dan ilmu pengetahuan mempunyai perbedaan. Bidang kajian agama
adalah metafisik, sedangkan bidang kajian sains / ilmu pengetahuan adalah alam
empiris. Sumber agama dari Tuhan, sedangkan ilmu pengetahuan dari alam.
Dari segi tujuan,
agama berfungsi sebagai pembimbing umat manusia agar hidup tenang dan bahagia
didunia dan di akhirat. Adapun sains / ilmu pengetahuan berfungsi sebagai
sarana mempermudah aktifitas manusia di dunia. Kebahagiaan di dunia, menurut
agama adalah persyaratan untuk mencapai kebahagaian di akhirat. Hal ini selaras
dengan yang disampaikan Sahirul Alim, jika manusia hidup tanpa agama, manusia
akan kehilangan arah dalam hidupnya sehingga ia tidak mampu membadakan yang
mana yang hak dan mana yang bathil (Sahirul Alim, 1996 : 63).
Menurut Amstal,
bahwa agama cenderung mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah
mapan, eksklusif dan subjektif. Sementara ilmu pengetahuan selalu mencari yang
baru, tidak terikat dengan etika, progesif, bersifat inklusif, dan objektif.
Meskipun keduanya memiliki perbedaan, juga memiliki kesamaan, yaitu bertujuan
memberi ketenangan. Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada
janji kehidupan setelah mati, Sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus
kemudahan bagi kehidupan di dunia (Amtsal Bakhtiar, 2004 :230-231). Misalnya,
Tsunami dalam Konteks agama adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangan-Nya
tentang alam secara keseluruhan. Oleh karena itu, manusia harus bersabar atas
cobaan tersebut dan mencari hikmah yang terkandung dibalik Tsunami. Adapun
menurut ilmu pengetahuan, Tsunami terjadi akibat pergeseran lempengan bumi,
oleh karena itu para ilmuwan harus mencari ilmu pengetahuan untuk mendeteksi
kapan tsunami akan terjadi dan bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.
Karekteristik
agama dan ilmu pengetahuan tidak selau harus dilihat dalam Konteks yang
berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam
membantu kehidupan manusia yang lebih layak. Osman Bakar mengatakan bahwa epistemology,
metafisika, teologi dan psikologi memiliki peran penting dalam mengembangkan
intelektual untuk merumuskan berbagai hubungan konseptual agama dan ilmu
pengetahuan
(Osman Bakar,
2008 : 60). Peran utamanya adalah memberikan
rumusan-rumusan konseptual kepada para ilmuan secara rasional yang bisa
dibenarkan dengan ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan untuk digunakan
sebagai premis-premis dari berbagai jenis sains. Misalnya kosmologi, dengan
adanya kosmologi dapat membantu meringankan dan mengkonseptualkan dasar-dasar
ilmu pengetahuan seperti fisika dan biologi.
Ilmu
pengetahuan yang dipahami dalam arti pendek sebagai pengetahuan objektif,
tersusun, dan teratur. Ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari agama.
Sebut saja Al-Quran, Al-Quran merupakan sumber intelektualitas dan
spiritualitas. Ia merupakan sumber rujukan bagi agama dan segala pengembangan
ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber utama inspirasi pandangan orang islam
tentang keterpaduan ilmu pengetahuan dan agama. Manusia memperoleh pengetahuan
dari berbagai sumber dan melalui banyak cara dan jalan, tetapi semua
pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan. Dalam pandangan Al-Quran,
pengetahuan tentang benda-benda menjadi mungkin karena Tuhan memberikan
fasilitas yang dibutuhkan untuk mengetahui. Para ahli filsafat dan ilmuan
muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia
mendapatkan pencerahan dari Tuhan Yang Maha Mengetahui sesuatu yang belum
diketahui dan akan diketahui dengan lantaran model dan metode bagaimana
memperolehnya (Osman Bakar, 2008 : 150).
Al-Quran
bukanlah kitab ilmu pengetahuan, tetapi ia memberikan pengetahuan tentang
prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang selalu dihubungkan dengan pengetahuan
metafisik dan spiritual. Panggilan Al-Quran untuk “membaca dengan Nama Tuhanmu”
telah dipahami dengan pengertian bahwa pencarian pengetahuan, termasuk
didalamnya pengetahuan ilmiah yang didasarkan pada pengetahuan tentang realitas
Tuhan. Hal ini dipertegas oleh Ibnu Sina yang menyatakan, Ilmu pengetahuan
disebut ilmu pengetahuan yang sejati jika menghubungkan pengetahuan tentang
dunia dengan pengetahuan Prinsip Tuhan (Osman Bakar, 2008 : 150).
Dewasa ini, ilmu pengetahuan yang
bercorak empiristik dengan metode kuantitatif (matematis) lebih dominan menduduki
dialektika kehidupan masyarakat. Hal ini besar kemungkinan karena banyak
dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran positivistiknya Auguste Comte yang
mengajukan tiga tahapan pembebasan ilmu pengetahuan (The Liang Gie, 2004 :
39). Pertama, menurut Auguste Comte ilmu pengetahuan harus terlepas
dari lingkungan teologik yang bersifat mistis. Kedua, ilmu pengetahuan
harus bebas dari lingkungan metafisik yang bersifat abstrak. Ketiga,
ilmu pengetahuan harus menemukan otonominya sendiri dalam lingkungan positifistik.
Perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi
manusia. Dengan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan berkah dan
penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan
kesengsaraan. Bagi Bertrand Russel, setelah mempelajari teknologi pembuatan bom
atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan
dan kebutuhan manusia, tetapi dipihak lain bisa juga bersifat sebaliknya, yakni
membawa manusia kepada malapetaka sehingga membangkitkan keraguan baru mengenai
dampak ilmu pengetahuan pada kehidupan manusia (Bertrand Russel, 1992 : 80).
Menghadapi hal yang
demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana
adanya, mulai mempertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan?
Jawabannya, bahwa ilmu itu berkaitan erat dengan persoalan nilai-nilai agama.
Perkembangan ilmu di
bidang kedokteran menurut Mukti Ali, juga akan menimbulkan beberapa masalah antara
ilmu kedokteran dan agama, di antara masalah-masalah tersebut:
a. Pengguguran (aborsi). Dalam masalah pengguguran
ini terdapat masalah hidup atau belum hidupnya janin.
b. Pelaksanaan keluarga berencana. Dalam penggunaan
cara-cara yang tidak alami, dengan berbagai alat kontrasepsi, juga masalah
vasektomi dan tubektomi.
c. Pencangkokan organ tubuh. Akan timbul masalah
bagaimana kalau perncangkokan terhadap organ itu dilakukan terhadap orang dari
bukan manusia.
d. Inseminasi buatan yang telah masuk ke dalam
dunia kedokteran, sebagian orang percaya ada ras “super” dan ras “tidak super”,
maka pikiran orang akan cenderung untuk melakukan inseminasi buatan dengan
mengambil bibit ras yang super untuk menciptakan masyarakat super (Mukti Ali
: 375).
Mengenai wacana di atas, menurut Amin Abdullah, agama menyediakan
tolok ukur kebenaran ilmu (dhururiyah; benar,salah), bagaimana ilmu
diproduksi (hajiyah; baik, buruk), tujuan-tujuan ilmu (tahsiniyah;
manfaat, merugikan). Dimensi aksiologi dalam ilmu sangat penting dan krusial,
sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Selain ontologi (whatness)
keilmuan, epistemologi (howness), agama sangat menekankan dimensi
aksiologi keilmuan (whyness) (Amin Abdullah, 2006 : 103).
Lebih lanjut dijelaskan Amin Abdullah, ilmu-ilmu sekular yang
mengkalim sebagai value free (bebas dari nilai dan kepentingan)
ternyata penuh inilai kepentingan. Kepentingan itu di antaranya ialah dominasi
kepentingan ekonomi (seperti sejarah ekspansi negara-negara kuat era
globalisasi). Kepentingan militer dan perang (sepeti ilmu-ilmu nuklir).
Dominasi kepentingan kebudayaan Barat (Orientalisme). Ilmu yang lahir bersama
etika agama tidak boleh memihak atau partisan seperti itu. Produk keilmuan hatus
bermanfaat untuk seluruh umat manusia (Amin Abdullah, 2006 : 104).
Agama dan ilmu
pengetahuan memang berbeda metode yang digunakan, karena masing-masing berbeda
fungsinya. Dalam ilmu pengetahuan kita berusaha menemukan makna pengalaman
secara lahiriyah, sedangkan dalam agama lebih menekankan pengalaman yang
bersifat ruhaniah sehingga menumbuhkan kesadaran dan pengertian keagamaan yang
mendalam. Dalam beberapa hal, ini mungkin dapat dideskripsikan oleh ilmu
pengetahuan kita, tetapi tidak dapat diukur dan dinyatakan dengan rumus-rumus
ilmu pasti (Soedewo, 2007 : 59).
Sekalipun
demikian, ada satu hal yang sudah jelas, bahwa kehidupan jasmani dan rohani
tetap dikuasai oleh satu tata aturan hukum yang universal. Ini berarti, baik
agama maupun ilmu pengetahuan, yaitu Allah. Keduanya saling melengkapi dan
membantu manusia dalam bidangnya masing-masing dengan caranya sendiri (Soedewo,
2007 : 60).
Fungsi agama
dan ilmu pengetahuan dapat dikiaskan seperti hubungan mata dan mikroskop.
Mikroskop telah membantu indera mata kita yang terbatas, sehingga dapat melihat
bakteri-bakteri yang terlalu kecil untuk dilihat oleh mata telanjang. Demikian
pula benda langit yang sangat kecil dilihat dengan mata telanjang, ini bisa
dibantu dengan teleskop karena terlalu jauh. Demikian halnya dengan wahyu
Ilahi, telah membantu akal untuk memecahkan masalah-masalah rumit yang diamati
oleh indera (Soedewo, 2007 : 59).
Penerapan ilmu
pengetahuan yang sudah dihasilkan oleh para ilmuan, baik berupa teknologi
maupun teori-teori emansipasi masyarakat mesti memperhatikan nilai-nilai
kemanusian, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu
pengetahuan tersebut tidak bebas dari nilai-nilai agama. Ada kalanya penerapan
teknologi berdampak negatif, misalnya masyarakat menolak atau mengklaim suatu
teknologi yang bertentangan atau tidak sejalan dengan keinginan dan pandangan-pandangan
yang telah ada sebelumnya, seperti rekayasa genetik (kloning manusia).
Kesimpulan
Aksiologi
adalah teori mengenai nilai guna atau manfaat ilmu. Nilai yang dimaksud adalah segenap wujud pengetahuan ini secara moral ditujukan untuk kebaikan
hidup manusia.
Agama merupakan wahyu Tuhan, yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri-sendiri, dan lingkungan hidup baik
fisik, sosial maupun budaya secara global. Agama memberikan petunjuk dan aturan
yang mengatur bagaimana moral dan nilai-nilai itu dijalankan.
Dimensi aksiologi dalam ilmu sangat
penting dan krusial, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Agama sangat
menekankan dimensi aksiologi keilmuan karena ilmu itu berkaitan erat dengan persoalan nilai-nilai
agama. Agama berfungsi
sebagai pembimbing umat manusia agar hidup tenang dan bahagia di dunia dan di
akhirat. Adapun sains atau ilmu pengetahuan berfungsi sebagai sarana
mempermudah aktifitas manusia di dunia. Jika manusia hidup tanpa agama, manusia
akan kehilangan arah dalam hidupnya sehingga ia tidak mampu membadakan yang
mana yang hak dan mana yang bathil.
Daftar Pustaka
Abduh,
Muhammad, Islam; Ilmu Pengetahuan dan Msyarakat Madani, terj olehHaris
Fadillah. Jakarta: Raja Grafindo, 2004.
Abdullah, Amin,
Islamic Studies, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Abdullah, Irwan, Dialektika Teks Suci Agama,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Akhadiah, Subarti, Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta:
Kencana, 2011
Ali, Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa
Ini, Jakarta: Rajawali Pers, 1987
Alim, Sahirul, Sains,
Teknologi, dan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996
Anshari, Endang
Saifuddin, Ilmu, Filsafat dan Agama,.Surabaya: Bina Imu, Cet.7, 1987.
Bakar, Osman, Tauhid
dan Sains; Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, Bandung: Pustaka
Hidayah, 2008.
Bakhtiar, Amsal, Filsasat Ilmu,. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu,. Yogyakarta:
Liberty, 2004.
Handrianto, Budi, Islamisasi Sains, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2010
Hatta, Mohammad, Ilmu dan Agama, Jakarta:
Yayasan Idayu, 1980
Iksan, Fuad, Filsafat Umum, Jakarta:
Rineka Cipta, 2010
Isma’il, Muhammad al-Husain, Kebenaran
Mutlak,. Jakarta: SAHARA, 2006
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta: Kalam Mulia, 2011
Kencana Syafeii, Inu, Pengantar Filsafat, Bandung:
Refika Aditama, 2010
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006
Nasr, Seyyed Hossein, The Heart of Islam,.
Bandung: Mizan, 2003.
Poedjawijatna, Etika, Jakarta : Bina
Aksara, 1984
Qadir, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya,.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1983
Russel, Bertrand, Dampak Ilmu pengetahuan
atas Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1992
______________, Pendidikan dan Tatanan
Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an,
Bandung: Mizan, 1995
Soedewo, Ilmu pengetahuan dan Agama,.
Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2007
Soetriono, dan
Hanafie, Rita, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi, 2010
Surajiyo, Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2010
Suriasumantri,
Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer ,.Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2003.
Susanto, Filsafat
Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
Wijaya, Aksin, Teori Interpretasi al-Qur’an
Ibnu Rusyd, . Yogyakarta: LkiS, 2009.
Zubair, Achmad
Charris, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia,. Yogyakarta:
LESFI, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar