Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim, jadikan anak-anakku “Afifah Thahirah As Sundus, Muhammad Sayyid Al-Fattah, Muhammad Ayyasy Al Ghaniy, dan Aisyah Ghufairah Az Zahra” anak-anak yang bersifat Siddiq, Amanah, Fathonah, dan Tabligh. Ya Allah Ya Zaljalaliwal Ikroom, jadikan keempat amanah yang Engkau titipkan kepadaku ini para putra-putri yang sukses dan pemimpin pada masanya nanti amiin

KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN MUTU TERPADU (TQM) DALAM PENDIDIKAN

Indra Gunawan, M.Pd.I

A. Latar Belakang.

Kepemimpinan merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat penting untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam semua kelompok masyarakat, baik itu keluarga, perkumpulan olah raga, unit kerja, maupun organisasi lainnya, mesti terdapat seseorang yang paling berpengaruh diantara anggota kelompok yang lainnya dan ia dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin. Organisasi akan sangat tidak efektif dan efisien manakala tidak mempunyai seorang pemimpin, bahkan sangat dimungkinkan tidak akan mampu mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan dalam organisasi menghadapi berbagai macam hal diantaranya adalah struktur, koalisi, kekuasaan dan termasuk juga kondisi lingkungan.  Disamping itu kepemimpinan juga berfungsi sebagai tempat pemecahan masalah dan persoalan dalam organisasi. Mengingat arti penting kepemimpinan inilah maka para ahli memberikan perhatian tersendiri dalam hal kepemimpinan ini (Nusariyanto 2012, Makalah Kepemimpinan dalam TQM).
Kepemimpinan yang efektif dalam suatu organisasi adalah kepemimpinan Administratif, yang berkenaan dengan upaya menggerakkan orang lain supaya melaksanakan tugasnya secara terkoordinasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan administratif berdasarkan perencanaan yang rasional, bukan berdasarkan intuisi, bertindak berdasarkan pemahaman terhadap masalah-masalah internal dan eksternal organisasi. Kepemimpinan berdasarkan pada kesadaran diri dan menyadarkan individu-individu lainnya terhadap tujuan organisasi (Oemar Hamalik 1993, hlm.32).
Islam sangat menekankan arti pentingnya sebuah kepemimpinan sehingga andaikan berkumpul 3 orang atau lebih akan mengadakan suatu perjalanan dianjurkan untuk mengangkat salah satu diantaranya untuk menjadi pemimpin. Di sisi lain islam juga memerintahkan untuk mentaati pemimpin selama pemimpinnya mentaati Allah dan Rasul-Nya (QS. An-Nisa’:59). Begitu pentingnya kepemimpinan dalam islam, hal ini menunjukkan bahwa efektifitas dan normalitas kegiatan atau bahkan kehidupan manusia dalam berorganisasi baik dalam sekup kecil maupun besar itu sangat bergantung pada kepemimpinan.
Kepemimpinan diharapkan mampu membawa semua individu yang tergabung dalam organisasi tersebut mampu mencapai tujuan yang semestinya sehingga harapan-harapan dari para individu terpenuhi secara maksimal. Namun kenyataan yang terjadi saat ini, banyak pemimpin yang tidak menjalankan tanggung jawabnya secara maksimal, ada juga yang menjalankan kepemimpinannya namun konsep yang diterapkan tidak tepat sehingga tujuan-tujuan organisasi tidak tercapai sebagaimana mestinya. Yang lebih celaka lagi ada pemimpin yang tidak memahami tugas dan fungsinya sebagai pemimpin sehingga yang terjadi adalah kekacauan organisasi. Masing-masing elemen berjalan tidak pada fungsi yang semestinya.
Sehingga penting sekali untuk memhami konsep kepemimpinan  yang ideal, terkait siapa yang mempunyai hak untuk memimpin, bagaimana memimpin, apa hak dan kewajiban seorang pemimpin agar harapan yang tertumpu pada kepemimpinan ini bisa terwujud dengan ideal.
Namun konsep kepemimpinan masih menjadi suatu misteri dan belum ada kesepakatan diantara para ahli tentang apa sebenarnya kepemimpinan dan bagaimana cara menganalisa kepemimpinan. Kepemimpinan perlu memadukan beberapa konsep agar kepemimpinan yang ideal dapat dicapai. Perilaku pemimpin yang positif dan cukup ideal dapat mendorong kelompok dalam mengarahkan dan memotifasi individu untuk bekerjasama dalam kelompok dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi.
Konsep kepemimpinan dalam Manajemen Mutu Terpadu atau Total Quality Managemen adalah salah satu konsep yang bisa ditawarakan dan akan dibahas dalam makalah ini. Dengan harapan menjadi solusi dan alternatif kepemimpinan yang ideal. Sehingga menjadi acuan bagi siapapun yang berperan sebagai pemimpin dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya untuk menjadikan organisasi yang dipimpinya bisa berjalan efektif dan efisien hinga akhirmya bisa menjapai tujuan-tujuan organisasi dengan sebaik-baiknya.

B. Pengertian.
1. Kepemimpinan.
a. Definisi.
Para ahli umumnya mengakui kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan, kepercayaan, hormat dan kerja sama yang bersemangat dalam mencapai tujuan bersama. Para pemraktik biasanya mendefinisikan pemimpin sebagai orang yang menerapkan prinsip dan tekhnik yang memastikan motifasi, disiplin dan produktifitas dalam bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi (Dale Timpe, 2002 hlm.181-182).
Robbins (1991) dalam Fandy Tciptono & Anastasia Diana (2001; hlm.152) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi sekelompok anggota agar bekerja mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan.
D.E. McFarlan (1978) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses dimana pimpinan dilukiskan akan memberi perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sudarman Danim, Prof., Dr., 2007 hlm. 204).
Sutisna (1993) dalam Mulyasa (2004:107) merumuskan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha kearah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Mulyasa juga menyebutkan bahwa menurut Supardi (1998) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan bahkan menghukum bila perlu, serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif dan efisien.
Dari beberapa definisi dapat kita simpulkan bahwa inti dari kepemimpinan adalah kemampuan untuk menggerakkan bawahannya untuk melakukan sesuatu agar tujuan dari organisasi tercapai dengan maksimal. Dengan memanfaatkan manajemen yang disesuaikan dalam setiap situasi dan kondisi real lapangan.

b. Mengembangkan Kepemimpinan.
Kemampuan kepemimpinan penting untuk senantiasa di upgread agar up to date dengan kondisi dan persoalan yang dihadapi. Banyak cara dan langkah untuk mengembangkan potensi kepemimpinan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Keterbukaan dan interaksi.
2) Merawat.
3) Kualitas melawan kuantitas.
4). Pendelegasian.

c. Gaya Kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan amat sangat beragam, menyerupai sidik jari. Artinya bahwa antara satu dengan yang lainnya tidak sama. Masing-masing mempunyai ke-khas-an dan keunikannya sendiri. Seseorang yang mempelajari gaya kepemimpinan harus bisa memilah dan memilih mana yang pas dan yang cocok dengan kondisi dirinya untuk diterapkan.
Gaya kepemimpinan adalah langkah dan cara yang digunakan oleh pemimpin dalam rangka berinteraksi dengan bawahannya. Diantara gaya kepemimpinan tersebut adalah:
a] Kepemimpinan Otokratis. Yaitu pemimpin mengambil keputusan tanpa tanpa melibatkan bawahan yang akan melaksanakannya. Kepemimpinan ini disebut juga dengan kepemimpinan diktator.
b] Kepemimpinan Demokratis. Penganut gaya ini, seorang pemimpin melibatkan karyawan yang akan melaksanakan dalam membuat kebijakan atau keputusan. Namun gaya kepemimpinan ini sering kali menghasilkan keputusan populer (disenangi banyak orang), terkadang keputusan seperti ini tidak tepat sasaran, karena pertimbangan takut tidak disukai.
c] Kepemimpinan Partisipatif. Dalam gaya ini pemimpin pemimpin amat sedikit sekali memegang kendali dalam proses pengambilan keputusan. Ia hanya menyajikan informasi mengenai suatu permasalahan dan memberikan kesempatan kepada anggota tim untuk mengembangkan strategi dan pemecahannya. Tugas pemimpin adalah mengarahkan tim kepada tercapainya konsensus. Dengan asumsi bahwa mereka akan lebih siap menerima tanggung jawab karena mereka diberdayakan untuk mengembangkannya.
d] Kepemimpinan Berorientasi pada Tujuan. Gaya kepemimpinan ini, pemimpin akan meminta anggota tim untuk memusatkan perhatiannya hanya pada tujuan yang ada. Hanya strategi yang menghasilkan kontribusi nyata dan dapat diukur dalam mencapai tujuan organisasilah yang dibahas. Pengaruh kepribadian dan faktor lainnya yang tidak berhubungan dengan tujuan organisasi tertentu diminimumkan.
e] Kepemimpinan Situasional. Gaya kepemimpinan ini sering juga disebut dengan kepemimpinan tidak tetap (fluid) atau kontingensi. Asumsi yang digunakan dalam gaya ini adalah bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap manajer dalam segala kondisi. Oleh katena itu gaya kepemimpinan ini akan menerapkan gaya tertentu dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut: pemimpin, pengikut dan situasi. Ketiga faktor ini adalah variabel yang saling berhubungan yang dikenal dengan istilah hukum situasi (law of the situation) ( Fandy Tciptono & Anastasia Diana, 2001; hlm.161-163).
Ada ungkapan bahwa apapun makanannya minumnya teh botol, begitu juga dengan kepemimpinan, apapun gaya kepemimpinan yang akan di aplikasikan tentunya harus berdasarkan pada pendekatan ilmu prilaku dan efektifitas kepemimpinan yang sudah teruji. Menurut Richard I. Lester[1] dalam Dale Timpe (2002, hlm. 184-185), ciri-ciri pemimpin perusahaan yang baik adalah sebagai berikut :
1) Rasa tanggung jawab
2) Kompetensi teknis dan profesional.
3) Kegairahan.
4) Ketrampilan komunikasi
5) Standar etika yang tinggi
6) Keluwesan
7) Pandangan kedepan
Sehingga bagi siapapun pemimpin yang akan mengadopsi gaya kepemimpinan mesti memperhatikan 7 hal yang disebutkan oleh Richard I. Lester diatas, agar kepemimpinannya bisa berjalan dengan baik. Mengingat bahwa kondisi dan situasi berbeda maka membutuhkan gaya dan teori kepemimpinan yang berbeda pula. Tentu tidak bisa dilakukan seragamisasi, artinya gaya kepemimpinan demokrasi yang terbaik, maka harus diterapkan dalam organisasi apapun, atau semua organisasi harus menerapkan gaya kepemimpinan partisipatif misalnya, karena di organisasi A telah diterapkan dan berhasil.

2. Total Quality Management (TQM)/Manajemen Mutu Terpadu (MMT).
Total Quality Management (TQM) adalah merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya. Juga merupakan suatu pendekatan pengendalian mutu melalui penemuan partisipasi karyawan yang bertujuan memecahkan memecahkan persoalan dengan menekankan  pada partisipasi dan kreatifitas antar karyawan dalam sebuah organisasi atau perusahaan (Heri Aryanto, 2013, hlm.1).
Evolusi gerakan Total Quality Management (TQM) semula berasal dari Amerika Serikat, kemudian lebih banyak dikembangkan di Jepang dan kemudian berkembang ke Amerika Utara dan Eropa. Jadi TQM mengintegrasikan ketrampilan tekhnikal dan analisis dari Amerika, keahlian dan pengorganisasian Jepang, serta tradisi keahlian dan integritas dari Eropa dan Asia.
Landasan TQM adalah stastical process control (SPC) yang merupakan model manajemen manufactur, yang pertama-tama dikenalkan oleh Edward Deming dan Joseph Juran dinamakan TQM oleh US Navy pada tahun 1985. Kita ketahui bahwa TQM terus sesudah perang dunia II guna membantu bangsa Jepang membangun kembali infrastruktur negaranya. ”Ajaran” Deming dan Juran itu berkembang terus hingga kemudian mengalami evolusi menjadi semakin matang dan mengalami diversifikasi untuk aplikasi di bidang manufaktur, industri jasa, kesehatan, dan dewasa ini di bidang pendidikan. Zainal Berlian (2013) dalam pemaparannya menyatakan bahwa ”dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia TQM di adopsi dengan istilah ”MBS” Manajemen Berbasis Sekolah” [2].
Penerapan TQM dalam institusi pendidikan merupakan hal yang baik. Secara filosofis konsep TQM menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan berkelanjutan. Namun demikian mengingat bahwa TQM awalnya adalah manajemen yang berbasis pada dunia perusahaan maka dalam implementasinya di dunia pendidikan memerlukan penyesuaian-penyesuaian dan penjelasa, terutama dalam hal istilah.

C. Kepemimpinan Dalam Perspektif MMT/TQM Pendidikan.
1. Kepemimpinan Pendidikan Mutu.
Kepemimpinan merupakan sebuah fenomena universal. Ia merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat penting untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan menurut Tannenbaum, Wesler dan Massarik dalam Wahjosumidjo (2002:17) adalah kemampuan seseorang dalam mempengaruhi orang lain dengan sengaja dalam suatu situasi melalui proses komunikasi, untuk mencapai tujuan atau tujuan-tujuan tertentu. Dan masih banyak lagi konsep kepemimpinan menurut para tokoh, sebagaimana telah diuraikan diatas.
Namun dalam perspektif TQM, definisi kepemimpinan yang diberikan oleh Goetsch dan Davis (1994) adalah kepemimpinan merupakan kemampuan untuk membangkitkan semangat orang lain agar bersedia dan memiliki tanggung jawab total terhadap usaha mencapai atau melampaui tujuan organisasi ( Fandy Tciptono & Anastasia Diana, 2001; hlm.152).
Sehingga kepemimpinan didasarkan pada filosofi bahwa perbaikan metode dan proses kerja secara berkesinambungan akan dapat memperbaiki kulitas, biaya, produktifitas, dan pada gilirannya juga meningkatkan daya saing. Filosofi ini pertama kali dikemukakan oleh Deming yang menyatakan bahwa setiap perbaikan metode dan proses kerja akan memberikan rangkaian hasil sebagai berikut: [a] perbaikan kualitas, [b] penurunan biaya, [c] peningkatan produktifitas, [d] penurunan harga, [e] peningkatan pangsa pasar, [f] lapangan kerja yang lebih luas ( Fandy Tciptono & Anastasia Diana, 2001; hlm.157).
Kepemimpinan adalah bentuk dari persuasi seni (art) pembinaan kelompok-kelompok orang-orang tertentu biasanya melalui human relation dan motivasi yang tepat. Implementasi teori kepemimpinan biasanya amat sangat tergantung pada karakter seorang pemimpin. Meskipun teori yang digunakan sama, dalam implementasinya bisa dipastikan terdapat hal-hal yang membedakan dan itulah bagian dari seni kepemimpinan (Fattah, 2004 hlm.25).
Penentu mutu dalam sebuah institusi adalah kepemimpinan. Gaya kepemimpinan tertentu dapat mengantarkan institusi atau  organisasi pada revolusi mutu, yaitu dengan gaya mangement by walking about atau manajemen dengan melaksanakan yang menekankan pentingnya kehadiran pemimpin dan pemahaman atau pandangan mereka terhadap karyawan dan proses institusi. Gaya kepemimpinan ini mementingkan komunikasi visi dan nilai-nilai institusi kepada pihak-pihak lain serta berbaur dengan para staf dan pelanggan (Sallis, 2008 hlm.170).
Seorang pemimpin mutu didefinisikan sebagai orang yang mengukur keberhasilannya dengan keberhasilan individu-individu di dalam organisasi. Keterlibatan semua unsur manajemen dalam organisasi dalam mencapai tujuan secara bersama-sama, merupakan upaya yang dilakukan, sehingga tidak ada seorang pun anggota dalam organisasi yang tidak sukses salam menjalankan fungsi dan tugasnya. Pemberdayaan yang maksimal, bukan eksploitasi bawahan, sehingga masing-masing menjalankan fungsi dan tugasnya secara suka rela dan kesadaran yang tinggi akan tanggung jawabnya (Arcaro, 2005 hlm.18).
Kepemimpinan yang efektif dalam suatu organisasi adalah kepemimpinan Administratif, yang berkenaan dengan upaya menggerakkan orang lain supaya melaksanakan tugasnya secara terkoordinasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan administratif berdasarkan perencanaan yang rasional, bukan berdasarkan intuisi, bertindak berdasarkan pemahaman terhadap masalah-masalah internal dan eksternal organisasi. Kepemimpinan berdasarkan pada kesadaran diri dan menyadarkan individu-individu lainnya terhadap tujuan organisasi (Oemar Hamalik 1993, hlm.32).
Kepemimpinan mutu di dalam dunia pendidikan otoritas dan kekuasaan sudah tidak lagi digunakan. Komite sekolah, administrator dan pemimpin harus memberikan sumber daya yang diperlukan para staf dan guru untuk menunjang keberhasilan. Kendati otoritas dan kekuasaan sudah tidak di pakai lagi, namun komite sekolah, pemimpin dan administrator tetap memiliki kewenangan membuat keputusan yang mencerminkan kepedulian, pendapat dan sikap seluruh staf dan customer.
Dalam kepemimpinan mutu pendidikan, setiap orang merupakan pemimpin. Untuk mencapai visi pendidikan, pemimpin sekolah harus dapat memberdayakan para guru dan memberi mereka wewenang seluas-luasnya untuk meningkatkan pembelajaran. Mereka diberi keleluasaan dan otonomi dalam bertindak (Sallis, 2008 hlm.174). Guru harus mengajak siswanya untuk memandang dirinya sebagai pemilik visi, mendengarkan dan bertindak berdasarkan gagasan, inofasi dan kreatifitas siswa guna mencapai visi tersebut. Sebagai pemimpin mutu, semua orang bertanggung jawab menghilangkan kendala pencapaian kinerja tinggi. Visi sebagai pemberi arah bagi setiap orang untuk diikuti, dan setelah arahan diketahui, selanjutnya adalah menghilangkan rintangan yang menghalangi dirinya untuk menjadi seseorang yang berkinerja tinggi (Arcaro, 2005 hlm.20).
Joseph M. Juran dalam Fandy Tciptono & Anastasia Diana, (2001; hlm.160) menyatakan bahwa kepemimpinan yang mengarah kepada kualitas meliputi tiga fungsi manajerial, yaitu :
[1] Perencanaan kualitas; fungsi ini meliputi langkah-langkah: identifikasi pelanggan, identifikasi kebutuhan pelanggan, mengembangkan produk berdasarkan kebutuhan pelanggan, mengembangkan metode dan proses kerja untuk menghasilakan produk yang memenuhi atau melampaui harapan pelanggan, dan mengubah hasil perencanaan ke dalam tindakan nyata.
[2] Pengendalian kualitas; langkah-langkah dalam fungsi ini adalah: evaluasi kinerja aktual, membandingkan kinerja aktual dengan tujuan, dan melakukan tindakan perbaikan untuk mengatasi perbedaan kinerja yang ada.
[3] Perbaikan kualitas; langkah-langkahnya: membenruk infrastruktur untuk perbaikan kualitas secara berkesinambungan, identifikasi proses atau metode yang membutuhkan perbaikan, membentuk tim yang bertanggung jawab atas proyek perbaikan tertentu, dan menyediakan sumber daya dan pelatihan yang dibutuhkan tim perbaikan tersebut agar dapat mendiagnosis masalah dan mengidentifikasi penyebabnya, menemukan pemecahannya, dan melakukan perbaikan terhadap masalah tersebut.
Kepemimpinan pendidikan mutu dalam memiliki peran yang sangat penting dalam kaitannya dengan pemberdayaan guru dan para staff untuk bekerja sama dalam satu tim yang solid. Dengan demikian seorang pemimpin pendidikan mutu harus memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Melibatkan para guru dan seluruh staff dalam aktivitas penyelesaian masalah, dengan menggunakan metode ilmiah, prinsip-prinsip mutu dan kontrol proses.
2. Meminta pendapat mereka tentang berbagai hal dan tentang bagaimana menjalankan tugas dan tidak sekedar menyampaikan bagaimana seharusnya bersikap.
3. Menyampaikan sebanyak mungkin informasi manajemen untuk membantu pengembangan dan meningkatkan komitmen mereka.
4. Menanyakan pendapat Staff tentang sistem dan prosedur mana saja yang menghalangi mereka dalam menyampaikan mutu kepada pelanggan (pelajar, orang tua maupun partner kerja).
5. Memahami bahwa keinginan untuk meningkatkan mutu tidak sesuai dengan manajemen dari atas ke bawah (top-down).
6. Memindahkan tanggung jawab dan kontrol pengembangan tenaga profesional langsung pada guru dan pekerja teknis.
7. mengimplementasikan komunikasi yang sistematis dan kontinyu diantara setiap orang yang terlibat dalam sekolah.
8. Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah serta negoisasi dalam rangka menyelesaikan konflik.
9. Memiliki sikap membantu tanpa harus mengetahui semua jawaban bagi setiap masalah dan tanpa merasa rendah diri.
10. Menyediakan materi pembelajaran konsep mutu. Seperti membangun tim, manajemen proses, layanan pelanggan, komunikasi serta kepemimpinan.
11. Memberikan teladan yang baik.
12. Belajar berperan sebagai pelatih, bukan sebagai BOS.
13. Memberikan otonomi dan berani mengambil resiko.
14. Memberikan perhatian yang berimbang dalam menyediakan mutu bagi pelanggan internal dan eksternal.

2. Peran Pemimpin Pendidikan Mutu.
Komitmen terhadap mutu harus menjadi peran utama bagi pemimpin pendidikan mutu. Menurut peters dan Austin sebagaimana dikutip Sallis (2008 hlm. 170), pemimpin pendidikan mutu harus memiliki perspektif dibawah ini:
1.      Kepala sekolah harus mengkomunikasikan nilai-nilai institusi kepada para staf, pelajar dan komunitas yang lebih luas. Manajer harus memberi arahan, visi dan inspirasi. Mentalitas yang menganggap dirinya bos harus dirubah menjadi pendukung dan pemimpin staf.
2.      Dekat dan untuk pelanggan pendidikan, yakni pelajar. Hal ini mencerminkan bahwa institusi memiliki focus yang jelas terhada pelanggan utamanya.
3.      Pemimpin harus melakukan inovasi diantara stafnya dan bersiap mengantisipasi kegagalan yang merintangi inovasi tersebut.
4.      Menciptakan rasa kekeluargaan
5.      Memiliki sifat-sifat personal yang dibutuhkan, yaitu ketulusan, kesabaran, semangat, intensitas, dan antusiasme.

Pemimpin pendidikan mutu memiliki fungsi utama dalam manajemen mutu di sekolah, diantara fungsi utama tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Penjaga visi mutu terpadu bagi institusi.
2.      Motivator bagi seluruh struktur organisasi disekolah untuk berkomitmen terhadap proses peningkatan mutu. Komitmen memerlukan antusiasme dan tak henti terhadap pemberdayaan mutu, selalu menghendaki kemajuan dengan metode dan cara yang baru (Spanbauer dalam Sallis, 2008:175).
3.      Mengkomunikasikan pesan mutu.
4.      Memastikan kebutuhan pelanggan menjadi pusat kebijakan dan praktek intitusi.
5.      Mengarahkan perkembangan karyawan.
6.      Memimpin inovasi dalam institusi.
7.      Mampu memastikan bahwa struktur organisasi secara jelas telah mendefinisikan tanggung jawab dan mampu memersiapkan delegasi yang tepat.
8.      Memiliki komitmen untuk menghilangkan rintangan, baik organisasional maupun Kultural.
10. Membangun tim yang efektif.
11. Mengembangkan mekanisme yang tepat untuk mengawali dan mengevaluasi kesuksesan (Sallis, 2008:173-174).


D. Kesimpulan
Kepemimpinan merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat penting untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam semua kelompok masyarakat, baik itu keluarga, perkumpulan olah raga, unit kerja, maupun organisasi lainnya, mesti terdapat seseorang yang paling berpengaruh diantara anggota kelompok yang lainnya dan ia dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin. Organisasi akan sangat tidak efektif dan efisien manakala tidak mempunyai seorang pemimpin, bahkan sangat dimungkinkan tidak akan mampu mencapai tujuan organisasi.
Kepemimpinan yang efektif dalam suatu organisasi adalah kepemimpinan Administratif, yang berkenaan dengan upaya menggerakkan orang lain supaya melaksanakan tugasnya secara terkoordinasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan administratif berdasarkan perencanaan yang rasional, bukan berdasarkan intuisi, bertindak berdasarkan pemahaman terhadap masalah-masalah internal dan eksternal organisasi. Kepemimpinan berdasarkan pada kesadaran diri dan menyadarkan individu-individu lainnya terhadap tujuan organisasi.
Kepemimpinan yang mengarah kepada kualitas meliputi tiga fungsi manajerial, yaitu :
[1] Perencanaan kualitas; fungsi ini meliputi langkah-langkah: identifikasi pelanggan, identifikasi kebutuhan pelanggan, mengembangkan produk berdasarkan kebutuhan pelanggan, mengembangkan metode dan proses kerja untuk menghasilakan produk yang memenuhi atau melampaui harapan pelanggan, dan mengubah hasil perencanaan ke dalam tindakan nyata.
[2] Pengendalian kualitas; langkah-langkah dalam fungsi ini adalah: evaluasi kinerja aktual, membandingkan kinerja aktual dengan tujuan, dan melakukan tindakan perbaikan untuk mengatasi perbedaan kinerja yang ada.
[3] Perbaikan kualitas; langkah-langkahnya: membenruk infrastruktur untuk perbaikan kualitas secara berkesinambungan, identifikasi proses atau metode yang membutuhkan perbaikan, membentuk tim yang bertanggung jawab atas proyek perbaikan tertentu, dan menyediakan sumber daya dan pelatihan yang dibutuhkan tim perbaikan tersebut agar dapat mendiagnosis masalah dan mengidentifikasi penyebabnya, menemukan pemecahannya, dan melakukan perbaikan terhadap masalah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Arcaro, Jerome S., 2005. Pendidikan Berbasis Mutu, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.

Bill Creech, 1996. Lima Pilar (Manajemen Mutu Terpadu) TQM, Alih Bahasa oleh: Drs. Alexander Sindoro, Binarupa Aksara, Jakarta.

Dale Timpe, A., 2002. Kepemimpinan (Leadership), Seri Manajemen Sumber Daya Manusia, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Danim, Sudarwan, 2008. Visi Baru Manajemen Sekolah dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Fandy Tjipto & Anastasya Diana, 2001. Total Quality Management, Edisi Revisi, Andi Offset, Jogjakarta.

Fattah, Nanang, 2004. Landasan Manajemen Pendidikan, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung.

Ivanchevich, John. M, et.all, 1995. Organisasi Jilid I, Erlangga, Jakarta.

Heri Aryanto, 2013. Makalah Latar Belakang Perkembangan Mutu, disampaikan pada seminar kelas Maret 2013.

Oemar Hamalik, 1993. Psikologi Manajemen, Trigenda Karya, Bandung.

Purwanto, Ngalim, 2004. Administrasi dan Supervisi Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Salis, Edward, 2008. Total Quality Management in Education, Alih Bahasa oleh Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi, Ircisod, Yogyakarta.

Sudarman Danim, Prof., Dr., 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah, PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Tunggal, Amin Widjaya, 1993. Manajemen, Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta.

Wahjosumidjo, 2002. Kepemimpinan Kepala Sekolah, Tinjauan Teoritik dan Permasalahan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.


[1] Ia adalah Direktur Educational Plans anf Programs, Leadership and Management, Development Center, Air University, Maxwell AFB, Alabama.
[2] Dr. Zainal Berlian, DBA pernyataan “dalam dunia pendidikan…” disampaikan dalam pemaparan kelas pada bulan Maret 2013.

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI DAN AL-RAZI


INDRA GUNAWAN, M.Pd.I
PENDAHULUAN

Filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran. Filsosof Muslim, sebagai mana filosof Yunani, percaya bahwa kebenaran jauh berada di atas pengalaman; bahwa pengalaman itu abadi di alam adialami. Filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat tentang segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam berteori ialah mencapai kebenaran, dan dalam berpraktek, ialah menyesuaikan dengan kebenaran (M.M. Syarif (edt), 1996 : 15).
Melalui kontak yang terjadi di pusat-pusat peradaban Yunani yang terdapat di Aleksanderia (Mesir), Antokia ( Suriah), Jusdisyapur (Irak) dan Baktra (Persia), yang jatuh kedalam kekuasaan Islam pada permulaan abad ketujuh Masehi, filsafat masuk ke dalam pemikiran Islam. Timbullah filosof-filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibn Maskawaih dan filosof lainnya.
Berlainan dengan Yunani, pemikiran filsafat dalam Islam, telah terkait pada ajaran-ajaran dalam Al-Qur’an dan Hadits. Disini pemikiran filsafat bukan lagi sebebas-bebasnya, tapi telah dibatasi oleh wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Maka filosof-filosof Islam tidak lagi menjadi dasar segala dari segala dasar, karena wahyu telah menentukan bahwa dasar dari segala dasar itu adalah Allah Swt (Harun Nasution, 1994 : 356).
Makalah sederhana ini akan berusaha menguraikan secara singkat tentang Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Filsafat Serta Pengaruhnya Dalam Islam, filsafat Al-Kindi yang dikenal sebagai pencetus pertama pemikiran filsafat dalam Islam dan juga membahas bagaimana pemikiran filsafat Al-Razi yang merupakan filosuf Islam kedua setelah Al-Kindi, serta perbandingan pemikiran Al-Kindi dan Al-Razi.

PEMBAHASAN
Asal Usul dan Perkembangan Filsafat Serta Pengaruhnya Dalam Dunia Islam
Yunani berhak menyandang gelar kehormatan sebagai pencipta filsafat dalam arti yang sesungguhnya. Pekembangan pemikiran Yunani telah mencapai puncaknya pada sekitar tahun 500-300 SM, yakni sejak munculnya Socrates yang lahir di Athena pada tahun 470 SM, dan meninggal pada usia 71 tahun di tahun 399 SM. Diteruskan oleh Plato, yang hidup pada tahun 427-347 SM, salah seorang murid dari Socrates adalah sekaligus murid dari Aristoteles lahir di Stangira Macedon tahun 384 SM, meninggal tahun 322 SM, pada usia 17 tahun pergi belajar ke Athena menjadi murid Plato di Akademi Athena, ketika ia berusia 40 tahun, Plato meninggal dunia, dan ia mendirikan lembaga pendidikan yang baru di Lycium (Muhaimin (edt), 2005 :188). Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya ternyata filsafat Yunani semakin meredup. Akhirnya pada tahun 529 M. atas titah Raja Justinianus, karena terdorong oleh kefanatikannya terhadap Kristen, menutup semua akademi-akademi filsafat dan  mengusir seluruh filsof dari bumi Yunani (K.Bertens, 1976 : 17).
Mereka terpaksa evakuasi ke Timur, yang sebelumnya sudah ada pusat-pusat kebudayaan Yunani atas jasa Raja Alexander Yang Agung pada tahun 331 SM, seperti Jundisyafur di Irak, Bachtra di Persia, Antokia di Syiria dan Alexandria di Mesir (Harun Nasution 1983, hal. 54). Peristiwa ini dapat diartikan bahwa peranan Yunani di bidang filsafat sudah berakhir. Sejarah menuturkan bahwa daerah-daerah pusat kebudayaan Yunani ini dapat ditaklukkan umat Islam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Bani Umaiyah (Sirajuddin Zar, 2006 : 21).
Pada masa Umawiyah penaklukan-penaklukan militer terus berlangsung dan daerah kekuasaan Islam bertambah luas hingga membentang dari perbatasan Cina hingga perbatasan Marokko di sebelah barat dan Spanyol serta sebelah selatan negeri Ghalia (Prancis) (Louis Gardet, 1997 : 71).
Penaklukan-penaklukan berlanjut pada masa Abasiyyah yang menerima kekuasaan di Timur. Kekuasaan mereka berlangsung sejak tahun 750 M hingga 1258 M. selama kekuasaan mereka, terdapat hal-hal yang baik maupun yang buruk. Periode antara tahun 750 M hingga akhir abad 11 M, dan barangkali hingga abad ke-12, telah dipandang sebagai periode klasik yang menonjol dalam peradaban Islam (Louis Gardet, 1997 : 73). Lewat daerah-daerah inilah terjadi kontak antara umat Islam dengan filsafat Yunani yang memberikan kedudukan yang tinggi pada akal.
W. Montgomery Watt menjelaskan, ketika Irak, Syria dan Mesir diduduki oleh orang Islam pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian di pindahkan pertama sekali ke Syiria, dan kemudian pada sekitar tahun 900 – Baghdad. Di sana, murid-murid sekolah itu, meskipun beragama Kristen, sepenuhnya melibatkan diri dalam pembahasan bertema filsafat. Di Harran, sebelah utara Mesopotamia, terdapat sebuah sekolah milik suatu sekte semi-filosofis yang dikenal dengan sebutan kaum Sabi’an. Murid-murid sekolah tersebut juga berorientasi ke Baghdad. Walaupun demikian, pusat belajar yang paling penting adalah kolese Kristen Nestorian di Gondeshapur. Kolese ini terutama terkenal karena pengajarannya dalam bidang kedoktoran. Inilah kolese-kolese yang menelurkan doktor-doktor di istana Harun al-Rasyid dan penggantinya sepanjang sekitar seratus tahun. Akibat kontak semacam ini, para khalifah dan pemimpin kaum Muslim lainnya menyadari apa yang harus dipelajari dari ilmu pengetahuan Yunani. Mereka juga mengatur agenda kerja, agar sejumlah buku penting dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dari bahasa Syiria (bahasa yang digunakan dalam proses belajar mengajar di Gondheshfur dan pusat belajar lainnya saati itu). Beberapa terjemahan sudah mulai dikerjakan pada abad kedelapan. Tetapi kerja penerjemah secara serius dimulai pada masa pemerintahan al-Ma’mun (831-833). Kalifah ini mendirikan sebuah lembaga khusus untuk kerja penerjemahan tersebut, yang dikenal dengan sebutan “Rumah Kebijaksanaan” (Bayt al-Hikam) (W. Montgomery Watt, 1995 : 44-45)
Gelombang Hellenisme kalau kita memakai isltilah dari Nurcholis Madjid dalam buku Khazanah Intelektual Islam,  merupakan suatu pengalaman yang tercampur antar manfaat dan mudlarat bagi kaum Muslimin, dan membuat mereka terbagi anatara yang menyambut dan yang menolak. Respons mereka kepadanya bisa menjadi ukuran kreativitas orang-orang Islam dalam menghadapi suatu bentuk tantangan zaman. Sebagian besar umat, khususnya mereka yang berada di bawah naungan ideoleogi Jama’ah dan Sunnah, semula cukup enggan, kalau tidak memusuhi, Hellenisme itu. Tapi secara umum terdapat banyak kaum Muslimin yang mempelajari pemikiran-pemikiran asing itu dengan tekun, disertai kemantapan beragama dan kepercayaan kepada diri sendiri secukupnya. Mereka ini, dengan kebebasan berfikir yang besar, mengembangkan filsafat itu dan memberikan watak keislaman kepadanya. Maka lahirlah suatu disiplin ilmu dalam khazanah intelektual Islam yang secara tekhnis disebut al-Falasafah. Dari kalangan mereka ini tumbuh kelompok baru kaum terpelajar muslim, yaitu al-Falasifah (kaum Failisuf), suatu penamaan khusus kepada kaum intelektual Muslim yang sangat terpengaruh oleh filsafat Yunani (Nurcholis Madjid, 1994 : 25). Hal tersebut diatas, selaras dengan yang di gambarkan Muhammad Iqbal,   bahwa falsafah Yunani merupakan satu kekuatan budaya yang besar dalam sejarah Islam (Muhammad Iqbal, 1983 : 34).
Harun Nasution menjelaskan, bahwa di dalam Islam, Al-Qur’an dan Hadits yang menjunjung tinggi kedudukan akal dan kebebasan berpikir memungkinkan umat, khususnya para ulama pada zaman klasik, mempelajari kebudayaan Yunani yang rasional itu. Maka muncullah pemikiran filosofis dalam Islam. Pandangan yang luas serta terbuka dan pemikiran rasio nal yang terikat hanya pada sedikit ajaran absolute membuat filosof-filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Razi, Ibn Tufail, Al-Farabi dan lain-lain, dapat menerima filsafat pytagoras, Plato, Aristoteles, dan lain-lain, sungguhpun filosof-filosof Yunani itu bukan orang-orang beragama. Filsafat mereka dengan mudah dapat disesuaikan filosof-filosof Islam itu dengan ajaran dasar dalam al-Qur’an. Konsep ide tertinggi Plato, penggerak pertama Aristoteles dan Yang Maha Satu Plotinus mereka indentikan dengan Allah swt (Harun Nasution, 1994 : 93).
Pengahargaan tinggi pada akal itu menibulkan teologi atau filsafat hidup bercorak liberal dalam Islam. Akal di anugrahkan Tuhan kepada manusia itu, dapat mengetahui empat masalah pokok dalam agama. Masalah dasar dan pokok bagi agama ialah adanya Tuhan Pencipta alam semesta dan asal kebaikan serta kejahatan. Dalam falsafah hidup ini, akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan Penciptan dan pemberi rezeki dan untuk membedakan antara perbuatan baik dan perbuatan jahat. Serta dapat mengetahui Tuhan pencipta dan Pemberi Rezeki, akal dapat pula mengetahui kewajiban manusia untuk berterima kasih kepada-Nya. Dan setelah dapat mengetahui mana perbuatan baik dan mana perbuatan jahat, akal dapat pula mengetahui bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan jahat dan melakukan perbuatan baik. Wahyu turun untuk memperkuat pendapat akal manusia ini dan untuk membuat norma-norma yang ditentukan akal manusia ini bersifat absolut sehingga dapat ditentang lagi oleh manusia yang suka membantah. Disamping itu wahyu turun untuk menolong akal manusia dalam mengetahui hal-hal yang memang terletak diluar jangkauan akal, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan hidup manusia di akhirat sesudah selesainya hidup duniawi sekarang (Harun Nasution, 1994 : 142).
Diantara para Failisuf itu yang mula pertama secara sistematis, mempopulerkan filsafat Yunani di kalangan umat ialah Abu Ya’qub ibn Is’haq al-Kindi (wafaf sekitar 257 H/870 M.) Al-Kindi secara khusus dikenal sebagai failasuf bangsa arab, tidak saja dalam pengertian etnis (ia berasal dari selatan Jazirah Arabia, suku Kindah, maka disebut Al-Kindi), tapi juga dalam pengertian kultural. Ia menghidangkan filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah fikiran-fikiran asing dari arah Barat itu “diislamkan”, jika tidak boleh disebut “diarabkan” (Nurcholis Madjid (edt), 1994 : 25-26).
Jadi, Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abas. Kelahiran filsafat Islam sebagai satu disiplin ilmu dalam khazanah intelektua Islam berawal dari gerakan penterjemahan khususnya karya-karya filsafat Yunani kedalam bahasa Arab yang secara resmi dipelopori oleh Khalifah Al-Makmun (813-833 M) kaum intelektual Islam yang mempelajari dan mengembangkan kebebasan berpikir dari Yunani tersebut dinamakan filsof Islam.

Al-Kindi dan pemikiran filsafatnya
Biografi Al-Kindi
Al-Kindi mempunyai nama lengkap Abu Yusuf Ya’kub bin Ishak al-Kindi. Orang-orang barat menyebutnya Al-Kindus. Ia berasal dari Arab Selatan dan lahir sekitar 809 M di Kufah. Ia terlahir dari keluarga kaya dan terhormat (Wahyu Murtiningsih, 2012 : 238-239). Ayahnya, Ishaq, adalah gubernur Kufah di masa pemerintahan al-Mahdi (775-785) dan al-Rasyid (786-809), dan nenek-neneknya adalah raja di daerah Kindah dan sekitarnya (Arabia Selatan) (Ahmad Hanafi, 1991 : 73).
Al-Kindi adalah filosof Arab pertama yang memelopori penerjemahan sekaligus mengenalkan tulisan atau karya-karya para filosof Yunani di dunia Islam, terutama pada abad pertengahan di masa pemerintahan khalifah al-Ma`mun (813-833) yang mengundangnya untuk mengajar di Baitul Hikmah. Al-Kindi hidup di masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mulai dari khalifah al-Amin (809-813), al-Ma`mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842), al-Watsiq (842-847), dan al-Mutawakkil (847-861). Al-Kindi hidup dalam atmosfer intelektualisme yang dinamis saat itu, khususnya di Baghdad dan Kufah, yang berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan: filsafat, geometri, astronomi, kedokteran, matematika, dan sebagainya. Ahmad Hanafi, menjelaskan bahwa Al-kindi mengalami kemajuan pikiran Islam dan penerjemahan buku-buku asing kedalam bahasa Arab, bahkan ia termasuk pelopornya. Bermacam-macam ilmu telah dikajinya, terutama filsafat, dalam suasana yang penuh pertentangan agama dan mazhab, dan yang dibanjiri oleh paham golongan Mu’tazilah serta ajaran-ajaran Syiah. Al-Kindi tidak hanya dikenal sebagai penerjemah, tetapi juga menguasai beragam disiplin ilmu lainnya, seperti kedokteran, matematika, dan astronomi (Ahmad Hanafi, 1991 : 73).
Menurut Sirajuddin Zar (2009 : 43) beberapa karya tulis Al-Kindi adalah:
1)   Fi al-falsafah al-Ula
2)   Kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafat
3)   Risalah ila al-Ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lul
4)   Risalah fi Ta’lif al-A’dad
5)   Kitab al-Falsafat al-dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyat wa al Mu’tashah wa ma Fauqa al-Thabiyyat
6)   Kammiyat kutub Aristoteles
7)   Fi al-Nafs

Dari urain karya tulis di atas dapat dijadikan bukti tentang luasnya wawasan Al-Kindi. Bahkan, beberapa karya tulisnya telah diterjemahkan oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa Latin., yang sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada abad pertengahan.
Pervez Hoodbhoy, menggambarkan bahwa Al-Kindi di istana Al-Ma’mun bagaikan bintang yang bersinar terang di pusat kebudayaan dunia yang terpenting. Aktivitas intelektualnya mempertahankan semangat mereka dalam kekuasaan selanjutnya yang dipegang oleh Khalifah Al-Mu’tashim yang bermazhab pemikiran rasional, dan lalu pada zaman kekuasaan Al-Watsiq. Tetapi kemudian al-Mutawakkil yang Sunni Ortodoks naik ke tampuk kekuasaan, dan bersamaan dengan itu berakhirlah masa liberalisme yang berlangsung lama. Tidak sulit bagi ulama untuk menyakinkan penguasa bahwa para filsofof mempunyai keyakinan yang berbahaya. Al-Mutawakkil segera memerintahkan penyitaan perpustakaan pribadi sang pakar, yang dikenal oleh seluruh warga Baghdad sebagai Al-Kindiyah. Tetapi tidak hanya itu, filosof Muslim yang berusia enam puluh tahun ini juga menerima 50 cambukan di hadapan kerumunan orang banyak. Para peneliti yang merekam peristiwa tersebut mengatakan bahwa kerumunan tersebut menyoraki setiap cambukan (Pervez Hoodbhoy, 1997 : 142).
Lebih lanjut Pervez Hoodbhoy menjelaskan, jauh sebelum kematiannya pada tahun 873 M. pada usia tujuh puluh dua tahun, Al-Kindi mengalami keterasingan dalam waktu yang lama. Meskipun salah seorang sahabatnya berhasil mendapatkan kembali perpustakaannya melalui semacam pemerasan terselubung, dia tak pernah benar-benar sembuh dari trauma pencambukan atas dirinya di depan khalayak. Al-Kindi adalah tokoh utama pertama yang menjadi kurban reaksi kaum ortodoks terhadap rasionalisme (Pervez Hoodbhoy, 1997 : 142).
Umat Muslim pada zaman dahulu sangat menentang untuk mempelajari filsafat, karena dikhawatirkan akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat kepada Tuhan. Meskipun demikian, jasa Al-Kindilah yang membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan yang telah membangun fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang sebagian diantaranya kemudian dikembangkan dan diteruskan oleh filsof-filsof selanjutnya.

Pemikiran filsafat Al-Kindi
Perpaduan Filsafat dan Agama
M.M. Syarif, dalam buku Para Filosof Muslim (1996 : 14) menjelaskan bahwa di kalangan kaum Muslimin, orang yang pertama-tama memberikan pengertian filsafat dan lapangannya ialah Al-Kindi. Dia adalah satu-satunya orang yang berdarah Arab murni yang terkenal dalam bidang filsafat.
Menurut Al-Kindi, filsafat hendaknya diterima sebagai bagian dari tradisi dan  kebudayaan Islam. Berdasarkan ini, para sejarawan Arab awal menyebut Al-Kindi sebagai “Filsof Arab”. Memang, gagasan-gagasannya itu berasal dari Aristoteliansime Neo-Platonis, namun juga benar bahwa ia meletakkan gagasan-gagasan itu dalam konteks baru. Dengan mendamaikan warisan-warisan Hellenistis dengan Islam, dia melatakkan asas-asas sebuah filsafat baru. Sungguh, perdamaian ini, untuk jangka lama, menjadi ciri utama filsafat ini.  Al-Kindi juga mengkhususkan diri dalam semua ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya saat itu, dengan tulisan-tulisannya memberikan cukup bukti dan menjadikan filsafat sebagai suatu kajian  menyeluruh yang mencakup seluruh ilmu (M.M. Syarif (edt)., 1996 : 14).
Al-Kindi sebagai filosof pertama dalam Islam, diantara filsafat yang ia majukan ialah rekonsiliasi antara filsafat dan agama. Filsafat, menurutnya, membahas tentang yang benar (al-haqq). Filsafat dalam membahas yang benar, terutama al-haqq al-awwal (Tuhan) memakai akal, sedang agama dalam menjelaskan hal yang sama, disamping wahyu, juga akal. Dengan demikian akal tidak hanya dipakai oleh fisafat saja tetapi juga oleh agama. Atas dasar inilah antara keduanya tidak bertentangan (Sirajuddin Zar, 2006 : 26).
Pada asas pokok filsafatnya ini, Al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti, bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya adalah ilmu dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar keduanya dapat dilihat dari penjelasan al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan agama memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal;
a)   ilmu agama merupakan bagian dari filsafat.
b)   wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian.
c)    menurut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama,
d)   teologi adalah bagian dari filsafat dan umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat (M.M. Syarif (edt), 1996 : 17).
Para Nabi memperoleh pengetahuan yang berasal dari wahyu tanpa upaya yang keras dan tanpa memerlukan wahyu untuk memperolehnya. Pengetahuan yang demikian ini adalah pengetahuan yang paling benar dan paling haqiqi. Pengetahuan tersebut terjadi atas kehendak Allah. Nabi dapat menjawab suatu pertanyaan dengan tepat dan cepat yang tidak bisa dilakukan oleh para filosof. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa kemungkinan terdapat orang yang selain Nabi yang memperoleh pengetahuan isyraqi, namun derajatnya di bawah Nabi dan hal itu terjadi pada orang-orang yang suci jiwanya. Uraian tersebut memberikan kesan bahwa pengetahuan para Nabi yang diperoleh dengan wahyu lebih meyakinkan kebenarannya daripada pengetahuan filosof yang tidak berasal dari wahyu. Al-Kindi menyadari keadaan dan kemampuan dirinya, dan menyatakan bahwa kebenaran wahyu tetaplah kebenaran yang paling mutlak dan berada diatas akal dan lainnya.
Bagi Al-KindÄ«, filsafat Islam didasarkan kepada al-Qur’ān. Al-Qur’ān memberikan pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki, misalnya tentang teori penciptaan, hari kebangkitan, kiamat dsb. Hal tersebut menurut Al-KindÄ« sangat meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga al-Qur’ān telah mengungguli dalih-dalih para filsuf (Dedi Supriyadi, 2009 : 63).
Al-Kindi adalah sebagai perintis filasafat murni dalam dunia Islam. Al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia, yaitu ilmu pengetahuan mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama dan merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Ia melukiskan filsafat sebagai ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat kedudukan agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam (Ensiklopedi Islam, 1994 : 70).
Dalam risalahnya yang ditujukan kepada al-Mu’tasim ia menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berfikir. Kata-katanya ini ditujukan kepada mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai ilmu-kafir dan menyiapkan jalan menuju kekafiran. Sikap mereka inilah yang selalu menjadi rintangan bagi filosof-filosof Islam, terutama pada masa Ibn Rusyd (Ahmad Hanafi, 1990 : 74).
Menurut Al-Kindi, kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada suatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremehkan dan merendahkan orang yang menerimanya (Abdus Salam, 1983 : 11).
Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaanNya,  dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermamfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudharat. Hal ini juga dibawa oleh para rasul Allah, dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya (Sirajuddin Zar, 2009 :  44).
Al-Kindi juga menghadapkan argumennya kepada orang-orang agama yang tidak senang dengan filsafar dan filosof, jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat tidak perlu, mereka harus memberikan argument dan menjelaskannya. Usaha pemberian argument tersebut merupakan bagian dari pencarian pengetahuan tentang hakikat, untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika mereka harus memiliki pengetahuan filsafat. Kesimpulannya bahwa filsafat harus dimiliki dan dipelajari (Sirajuddin Zar, 2009 : 48).
Sesuai dengan pendirian Al-Kindi, bahwa filsafat harus memilih, maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang yang sebelumnya dan menguraikan sebaik-baiknya (Poerwantana dkk,  1987 : 103-104)
 Dari paparan di atas dapat disimpulkan hahwa Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat dengan agama atau antara akal dan wahyu. Dalam hal ini dapat dikatan bahwa al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting di pentas filsafat Islam, sehinga ia melapangkan jalan bagi para filosof Islam yang datang kemudian. Kalau ada perbedaan antara filsafat dengan agama, maka perbedaan itu hanya dalam cara, sumber, dan ciri-cirinya, sebab ilmu nabi-nabi (agama) diterima oleh mereka sesudah jiwanya dibersihkan oleh Tuhan dan disiapkan untuk menerima pengetahuan (ilmu) dengan cara luar biasa diluar hukum alam.

Filsafat Ketuhanan Al-Kindi
Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama filasfatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat Al-KindÄ« adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan (Sayyed Hossein Nasr,  2003 : 210).
Menurut Ahmad Hanafi, persoalan metafisika (ketuhanan) dibicarakan oleh Al-Kindi dalam beberapa risalahnya, antara lain risalah yang berjudul “Tentang Filsafat Pertama” dan “Tentang Keesaan Tuhan dan Berakhirnya Benda-benda Alam”. Pembicaraan dalam soal ini meliputi hakikat Tuhan, wujud Tuhan dan sifat-sifat Tuhan (Ahmad Hanafi, 1991 : 77).
Argumentasi kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran Al-KindÄ« dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi al-KindÄ«, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat al-KindÄ« memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini (Sayyed Hosein Nasr (edt)., 2006 :  210).
Oleh karena itu menurut Sayyed Hosein Nasr, sebagaimana yang dinyatakan Al-Kindi, sebab pertama dapat diekspolarsi, dan akal pertamalah yang mentransmisikan ”pengetahuan yang paling pasti“ tentangnya, hal tersebut merupakan “bukti tentang Ketuhanan-Nya dan penjelasan tentang Keesaan-Nya”. Meskipun kepastian intelektual tentang Tuhan dan Ketuhanan dapat dicapai, Al-Kindi mengakui pada akhir risalahnya bahwa intelek hanya mampu menggambarkan Tuhan dalam terma-terma negatif (Sayyed Hosein Nasr (edt)., 2006 :  213).
Terma-terma negatif tentang Tuhan bagi Al-Kindi, gagasan Islam tentang Tuhan adalah keesaan-Nya, penciptaan oleh-Nya dari ketakadaan, dan ketergantungan semua ciptaan-Nya, ketunggalan-Nya, ketakterlihatan-Nya, ketakterbagian-Nya. Sifat-sifat ini, dalam Al-Qur’an, dinyatakan tak filosofis atau dialektis. Al-Kindi menyifati Tuhan dengan istilah-istilah baru. Tuhan adalah yang benar. Ia tinggi, Ia bukan materi, tak berbentuk, tak berjumlah, Ia tak berjenis, tak terbagi, tak berkejadian, dan Ia abadi, oleh karena itu, Ia Maha Esa (wahdah). Selain-Nya berlipat (M. M. Syarif (edt,) 1996 : 21). Al-Kindi dalam mengesakan Allah amat menekankan ketidak samaan-Nya dengan ciptaan-Nya.
Al-Kindi membahas hakikat dasar itu. Ia melihat bahwa di alam ini banyak yang benar, maka pemikirannya sampai kepada kesimpulan bahwa kalau ada yang benar mesti ada Yang Benar Pertama (Al-Haqq Al-Awwal), mesti ada Yang Maha Benar. Yang Benar Pertama inilah yang disebut Allah. Dan Ia Satu-satunya Yang Benar (Al-Haqq Al-Awwal). Ia esa, Ia Unik, dan selain-Nya mengandung banyak arti (Harun Nasution, 1994 : 356).
Menurut Al-Kindi Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada, Ia mustahil tidak ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului oleh wujud lain. Wujudnya tidak berakhir sedang wujud yang lain disebabkan wujud-Nya. Ia adalah maha esa yang tidak ada dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek, Ia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan (Sirajuddin Zar,  2009 :  48).
Filsafatnya tentang keesaan Tuhan  selain didasarkan pada wahyu juga pada proposisi filosofis. Menurut Al-Kindi, Tuhan itu tidak mempunyai hakikat, baik hakikat secara “juziyyah” atau “aniyah” (sebagian) maupun hakikat secara “kulliyah” atau “mahiyah” (keseluruhan). Tuhan bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di alam ini. Tuhan tidak tersusun dari materi (al-hayÅ«la) dan bentuk (al-shÅ«rat) tidak merupakan genus atau spesies. Tuhan adalah Pencipta (Khaliq). Tuhan adalah Yang Maha Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Maha Tunggal (al-Haqq al-Wahid) (Ensiklopedi Islam, 1994 :  70).
Al-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera. Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dari Zat-Nya (Ensiklopedi, 1994 :  70).
Al-Kindi dalam membuktikan adanya Tuhan, ia memajukan tiga argument yaitu:
1)   Baharunya alam. Dalam hal ini al-Kindi mengemukkan pertanyaan secara filosofis; apakah mungkin sesuatu menjadi penyebab bagi wujud dirinya? Dengan tegas al-Kindi menjawab; tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan waktu, setiap yang mempunyai permulaan akan ada sesudahnya, justru itu setiap benda atau alam pasti ada yang mewujudkannya, mustahil benda itu sendiri yang menjadi penyebabnya. Maka yang mewujudkannya itulah Tuhan.
2)   Keaneka ragaman dalam wujud. Menurut al-Kindi dalam alam empiris ini tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa ada keseragaman atau sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman dan keragaman ini bukan sekedar kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan dan yang merancangnya. Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri.kalau penyebabnya alam itu sendiri, maka akan terjadi rangkaian yang tidak akan habis-habisnya. Sementara sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Karena harus ada ‘illat atau syarat yang berada di luar alam itu sendiri. Itulah Tuhan Allah SWT.
3)   Kerapian alam. menurut al-Kindi bahwa alam empiris ini tidak mungkin terkendali dan teratur tanpa ada yang mengatur. Pengendali dan pengatur tentu berada di luar alam. Zat itu tidak terlihat pada ala mini. Itulah adanya Tuhan (Sirajuddin Zar,  2009 :  53-54).
Pertama-tama Al-Kindi  menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz’iyyāt (particular). Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal). Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan hakikat kulli yang disebut māhiyah yakni hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies (Dedi Supriyadi, 2009 :  56).
Bagi Al-Kindi Pencipta itu tidaklah banyak, melainkan Maha Esa, tidak berbilang. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi sejauh-jauhnya dari gambaran para penyeleweng agama (al-mulhidun). Dia tidak menyerupai alam ciptaan; karena sifat banyak itu ada secara nyata pada setiap ciptaan (al-khalaq), dan sifat itu samasekali tidak ada pada-Nya. Juga karena Dia itu Pengada, sedangkan semua ciptaan itu diadakan. Dan karena Dia adalah yang langgeng, sedang yang lain itu tidak langgeng; sebab yang mengalami perubahan adalah berarti berubah berbagai keadaannya, dan yang berubah itu tidak langgeng (Nurcholis Madjid (edt)., 1994 :  94).

Filsafat Jiwa (Al-Nafs) dan Akal
Didalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah bukan urusan manusia (Lihat Al-Isra (17): 18). Oleh karena itu kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan oleh filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam (Sirajuddin Zar,  2009 :  59).
Jiwa atau roh adalah salah satu pokok pembahasan Al-Kindi, bahkan Al-Kindi adalah filsuf Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci.  Al-Kindi berpendapat bahwa roh mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dengan tubuh dan tidak tergantung satu sama lainnya (Ensiklopedi Islam, 1994 : 70). Jiwa bersifat rohani dan Ilahy. Sementara itu jisim mempunyai hawa nafsu dan marah. Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith ( tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi (jauhar)-nya berasal sari sustansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari (Sirajuddin Zar,  2009 :  59).
Argument tentang beda jiwa dengan badan, menurut Al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong menusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa yang menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang (Sirajuddin zar, 2009 : 59).
Dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih dekat dengan pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accident, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa, namun ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea (Sirajuddin Zar,  2009 :  60).
Al-Kindi membagi jiwa atau roh ke dalam tiga daya, yaitu daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwaniyah) yang terdapat di perut, daya pemarah (al-quwwah al-gadabiyah) yang terdapat di dada, dan daya berfikir (al-quwwah al-natiqah) yang berpusat di kepala (Harun Nasution, 1985 : 9). Daya yang terpenting adalah daya berfikir, karena daya itulah yang mengangkat eksistensi manusia kederajat yang lebih tinggi (Ensiklopedi Islam, 1994 :  70).
Al-Kindi membandingkan daya bernafsu pada manusia dengan babi, daya marah dengan anjing, dan daya pikir dengan malaikat. Jadi, orang yang dikuasai oleh daya bernafsu, tujuan hidupnya seperti yang dimiliki oleh babi, siapa yang dikuasai oleh nafsu marah, ia bersifat seperti anjing, dan siapa yang dikuasai oleh daya pikir, ia akan mengetahui hakikat-hakikat dan menjadi manusia utama yang hampir menyerupai sifat Allah, seperti bijaksana, adil, pemurah, baik, mengutamakan kebenaran dan keindahan (Sirajuddin Zar,  2009 :  61).
Menurut Al-Kindi, tidak semua roh yang lanjut pergi ke alam kebenaran, hanya roh yang telah suci saja yang bisa mencapainya. Al-Kindi tanpaknya tidak percaya dengan kekekalan hukuman terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke alam akal yang berada di lingkungan cahaya Tuhan. Roh yang telah memasuk wilayah tersebut telah dapat melihat Tuhan. Karena itu senantiasa roh mendambakan penyatuan kembali dengan sumbernya. Roh yang bersihlah dapat menyatu dengan sumbernya. Menurutnya roh yang kotor harus dibersihkan dulu ke bulan, kemudian lanjut ke Mercurius dan seterusnya hingga sampai ke alam akal yang berada dilingkuangan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan (Ensiklopedi Islam, 1994 :  71).
Selanjutnya Al-Kindi membagi akal pada empat macam. Ia membagi akal terbiasa menjadi dua: akal yang memiliki pengetahuan tanpa memprakteknya, dan akal yang mempraktekkan pengetahuan. Yang pertama, seperti penulis yang telah belajar menulis, dan karenanya ia memiliki senin menulis ini: sedang yang kedua, seperti orang yang mempraktekkan seni menulis itu. Pembagian akal itu adalah;
1)   Akal yang selalu bertindak dalam aktualitas (al-‘aql al-lazi bi al-fi’il Abadan).
2)   Akal yang secara potensial berada di dalam ruh (al-aql bi al-quwwah).
3)   Akal yang telah berubah, di dalam ruh, dari daya menjadi aktual (acquired intellect).
4)   Akal yang kita sebut akal yang kedua. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas, sebagaimana dipaparkan di atas dalam membedakan antara yang Cuma memiliki pengetahuan dan yang mempraktekkannya. Ia dapat diibaratkan dengan proses penulisan kalau seseorang sunguh-sungguh melakukan penulisan. (M.M. Syarif (edt)., 1996 :  27).


Al-Razi dan Pemikiran Filsafatnya
Biografi Al-Razi
Abu Bakar Muhummad bin Zakariya Al-Razi dikenal di Barat dengan nama Rhazes. Ia adalah seorang ilmuwan Iran yang hidup sekitar tahun 864-930 M. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang dulu bernama Rhoge, dekat Teheran, Republik Islam iran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Pada awal kehidupannya, ia sangat tertarik dengan seni musik. Namun demikian, ia juga tertarik dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, sehingga kebanyakan masa hidupnya dihabiskan untuk mengkaji ilmu kimia, filsafat, logika, matematika, dan fisika. Meskipun di Barat ia lebih dikenal sebagai ahli kedokteran, akan tetapi karya filsafatnya sangat mengagumkan (Wahyu Murtiningsih, 2012 :  318).
Perlu pula diingatkan bahwa lingkungan Al-Razi tempat ia berdomisili, telah dimaklumi bahwa Iran, yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Persia, sejak lama sudah dikenal dengan sejarah peradaban manusia. Kota ini merupakan tempat pertemuan berbagai peradaban, terutama peradaban Yunani dan Persia. Dalam bidang penyatuan kebudayaan Persia dan Yunani inilah terletaknya salah satu jasa dari Alexander Yang Agung pada tahun 331 SM (Harun Nasution, 1993 : 8). Suasana lingkungan ini termasuk yang mendorong Al-Razi tampil sebagai intelektual.
Al-Razi dikenal sebagai dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma  kepada orang-orang miskin. Karena reputasinya dibidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit di Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian ia pindah ke Baghdad dan memimpin rumah sakit disana pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota lahirnya dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 M dalam usia 60 tahun (Sirajuddin Zar, 2009 : 115).
Al-Razi dalam autobiografinya pernah ia katakana, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari dua ratus buah karya tulis dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karya tulisnya dalam bidang kimia yang terkenal ialah kitab Al-Asrar yang diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang medis karyanya yang terbesar ialah Al-Hawi yang merupakan ensiklopedia ilmu kedokteran, diterjemahkan kedalam bahasa latin dengan judul Continens yang tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama di kalangan kedokteran Eropa sampai abad ke-17 M (Sirajuddin Zar, 2009 : 116).
Bukunya dalam bidang kedokteran juga ialah Al-Mansuri Liber Al-Mansoris 10 jilid disalin ke dalam berbagai bahasa barat sampai abad ke-15 M. Kitab Al-Judar wa Al-Hasbah ditulisnya yang berisikan analisis tentang penyakit cacar dan campak beserta pencegahannya, diterjemahkan orang ke dalam berbagai bahasa barat dan terakhir ke dalam bahasa Inggris tahun 1847 M, dan dianggap buku bacaan wajib ilmu kedokteran barat. Kemudian, buku yang lainnya ialah Al-Thabib Al-Ruhani, Al-Sirah Al-Falsafah, dan lainnya. Sebagian karya tulisnya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama Al-Rasa’il Falsafiyyat (Sirajuddin Zar,  2009 : 116).
Lenn E. Goodman (2006 : 243) menjelaskan bahwa Al-Razi seorang yang kaya raya. Pengarang kurang-lebih dua ratus karya ini diriwayatkan telah mengajar filosof/penerjemah Kristen Yacobit, Yahya ibn ‘Adi (839-973 M) dan disebut sebagai “dokter Islam yang tak tertandingi”. Akan tetapi, para filosof terkemudian umumnya menolak dengan penuh kejijikan gagasan-gagasan filsafatnya, walaupun mereka dipengaruhi olehnya dalam bentuk mengeluarkan bantahan.
Pandangan-pandangan Al-Razi yang tidak konvensional benar-benar menjadikan dirinya tidak disenangi oleh seluruh kaum Muslimin. Meskipun mengagumi pengetahuan Al-Razi, penulis-penulis sesudahnya mengecamnya karena dia berbicara secara terang-terangan tentang keunggulan akal atas wahyu, bahkan Al-Biruni terang-terangan mengecam Al-Razi dan menyatakan kebutaannya sebagai hukuman Tuhan. Dilaporkan bahwa kebutaan tersebut berasal dari hukuman yang diberikan kepadanya oleh seorang emir yang adalah salah seorang anggota keluarga Al-Mansyur yang bermukim di Bukhara. Emir yang marah ini memerintahkan supaya kepala Al-Razi digampar dengan buku. Setelah kehilangan penglihatannya, Al-Razi juga kehilangan semangat unutk hidup. Tidak lama sesudah itu dia meninggal dunia (Pervez Hoodbhoy, 1997 : 143).

Pemikiran Filsafat Al-Razi
Lima Kekal (Lima Kadim)
Al-Razi, di antara filsafat yang ia kemukakan ialah filsafat lima Kadim, yakni Allah, Jiwa Universal, Materi Pertama, Ruang Absolut dan Zaman Absolut. Kendatipun ada lima yang kadim, namun kadim Tuhan berbeda dengan kadim yang lain. Tuhan kadim tidak berasal dari sesuatu dan tidak diciptakan. Ia ada sendiri dan Maha Pencipta. Sedang kadim yang lain diciptakan oleh Tuhan. Materi kadim dalam arti diciptakan sejak zaman tidak bermula, bukan dari tiada, tapi dari sesuatu yang sudah ada (Sirajuddin Zar, 2006 : 27).
Harun Nasution menjelaskan, filsafat Al-Razi terkenal dengan ajaran filsafat Lima Kekal (Kadim), yakni Al-Bary Ta’ala (Allah Ta’ala), al-Nafs al-Kulliyyat (Jiwa Universal), al-Hayula al-Ula (Materi Pertama), al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut), dan al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut) (Harun Nasution, 1993 : 8).


Sistematika filsafat lima kekal Ar-Razi dapat djelaskan sebagai berikut:
Al-Bary Ta’ala
Menurut Al-Razi, Allah Maha Pencipta dan Pengatur Seluruh alam diciptakan Allah bukan dari tidak ada (creation ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun materi asalnya kadim, sebab penciptaanya disini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada (Sirajuddin Zar, 2009 : 117).
Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu ia terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataannya, penciptaan seperti itu suatu hal yang tidak mungkin (Sirajuddin Zar,  2009 : 118).
Timbulnya doktrin adanya yang kekal selain Allah, dalam filsafat Al-Razi ini, agaknya disebabkan filsafat adanya Allah yang merupakan sumber Yang Esa yang tetap. Namun demikian, kekalnya yang lain tidak sama dengan kekalnya Allah.

Al-Nafs Al-Kulliyyat (Jiwa Universal)
Jiwa Universal merupakan al-Mabda al-Qadim al-Sany (sumber kekal yang kedua). Pada benda-benda alam tersebut terdapat daya hidup dan gerak, sulit diketahui karena tanpa bentuk, yang berasal dari jiwa universal yang juga bersifat kekal. Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, sulit diketahui karena ia tanpa rupa, tetapi karena ia di kuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-Ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat diterima fisik. Sementara itu, materi pertama tanpa fisik. Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia yang ditempati roh (Sirajuddin Zar, 2009 : 118).
Begitu pula Allah menciptakan akal. Ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan filsafat. Jiwa yang tidak dapat menyucikan dirinya dengan filsafat, ia akan tetap tinggal atau berkelana di alam materi. Akan tetapi, apabila ia sudah bersih, ia dapat kembali ke alam asalnya, saat itu alam hancur dan jiwa serta materi kembali kepada keadaannya semula (Sirajuddin Zar, 2009 : 118).

Al-Hayula al-Ula (Materi Pertama)
Kemutlakan materi pertama terdiri atas atom-atom. Setiap atom mempunyai volume (a’zham); kalau tidak, maka dengan pengumpulan atom-atom itu, tidak dapat dibentuk. Bila dunia dihancurkan, maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Dengan demikian, materi berasal dari kekekalan, karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasal dari ketiadaan. Apa yang lebih padat menjadi unsur bumi, apa yang lebih renggang dari pada unsur bumi menjadi unsur air, apa yang lebih renggang lagi menjadi unsure udara, dan yang lebih jarang lagi menjadi unsur api (M.M. Syarif (edt)., 1996 : 44).
Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi pertama, Al-Razi memajukan dua argument. Pertama, adanya penciptaan mengharuskan adanya pencipta. Materi yang diciptakan oleh pencipta yang kekal tentu kekal pula. Kedua, ketidakmungkinan penciptaan dari creation ex nihilo. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa alam diciptakan Allah dari bahan-bahan yang sudah ada (Sirajuddin Zar, 2009 : 119).

Al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut)
Ruang dipahami oleh Al-Razi sebagai konsep yang abstrak, yang berbeda dengan Aristoteles yang mengatakan “tempat” (Totos) tidak bisa dipisahkan secara logis dari tubuh yang menempati (Sirajuddin Zar, 2009 : 120). Oleh sebab itu, ruang, menurut Al-Razi, dapat dibedakan menjadi dua macam ruang ; pertama, Ruang Particular (Al-Makan Al-Kully). Ruang yang pertama terbatas dan terikat dengan suatu wujud yang menempatinya. Ruang tersebut tidak akan ada tanpa adanya maujud sehingga ia tidak bisa dipahami secara terpisah dengan maujud. Ruang particular ini akan terbatas dengan terbatasnya maujud, berubah dan lenyap sesuai dengan keadaan maujud yang ada didalamnya. Sementara yang kedua tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas. Ruang bagi Al-Razi, bisa saja berisi wujud atau yang bukan wujud karena adanya kehampaan bisa saja terjadi. Sebagai bukti ketidak terbatasan ruang, Al-Razi mengatakan bahwa wujud (tubuh) memerlukan ruang dan ia tidak mungkin ada tanpa adanya ruang, tetapi ruang bisa ada tanpa adanya wujud tersebut. Kedua, Ruang Universal atau sering juga disebut al-Khala (kosong) dan ruang inilah yang dikatakan Al-Razi ruang yang kekal (Sirajuddin Zar, 2009 : 157).

Al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut)
Menurut Al-Razi, waktu itu kekal. Ia merupakan substansi yang mengalir (jauhar yajri). Al-Razi menentang mereka (Aristoteles dan pengikut-pengikutnya) yang berpendapat bahwa waktu adalah jumlah gerak benda, karena jika demikian, maka tidak mungkin bagi dua benda yang bergerak untuk bergerak dalam waktu yang sama dengan dua jumlah yang berbeda (M.M. Syarif (Edt)., 1996 : 46).
Sebagaimana ruang, waktu atau zaman juga dibedakan Al-Razi antara waktu mutlak (tak terbatas) dan waktu mahshur (terbatas). Untuk yang pertama ia sebut dengan al-Dhar, bersifat kadim dan substansi yang bergerak atau mengalir (jauhar yajri). Sementara itu, waktu mahshur adalah waktu yang bertandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu terbatas itu tidak kekal, yang ia sebut dengan al-Waqiy. Dengan demikian, waktu mutlak atau absolut, menurut Al-Razi, sudah ada sebelum adanya waktu yang terbatas ini yang terikat dengan gerakan bola bumi (Sirajuddin Zar, 2009 : 158).
Ada pertentang dalam Islam terhadap konsep lima kekal (Kadim) Al-Razi. Dalam Islam konsep kekal atau konsep tauhid hanya satu yaitu Allah, sedangkan Al-Razi menambahkan kekal dengan empat yang lainnya yaitu: jiwa universal, materi pertama, ruanga absolute, dan masa absolute.
Dijelaskan oleh Prof. Dr. Ris’an Rusli, M.A., pada perkuliahan tanggal 6 Februari 2013, bahwa kadim yang kadim ada dua, kadimuzzaman (kadim zaman) dan kadimuzzati (kadim dalam zat/kekal dalam esensi). Allah swt., masuk dalam kadimuzzaman dan kadimuzzati, yang kekal hanya Allah. Sedangkan empat kadim yang lain hanya masuk dalam kadimuzzaman, dan ini tidak bertentangan dengan konsep tauhid dalam Islam karena yang yang benar-benar kadim hanya Allah swt.
Filsafat lima yang kekal Al-Razi tersebut mengisyaratkan bahwa di balik dunia fana terdapat jiwa tak terbatas yaitu Tuhan sebagai Pencipta kosmos, Jiwa Yang Mutlak yakni ruh  tersebut menjelma pada alam, di mana ruh mempunyai inti yang disebut ide atau berpikir, berupa kekuatan akal yang dipandang sebagai pancaran Jiwa Universal (an-Nafs al-Kulliyah) Ilahi. Karena itu kekuatan akal memungkinkan manusia mencapai kebenaran Ilahiyah.
Doktrin lima hal yang kekal yang menyajikan beberapa kajian tentang waktu, ruang kehampaan, serta perpindahan jiwa memiliki implikasi luas guna dikembangkan sebagai dasar pemahaman masalah kosmologi. Filsafat Al-Razi membantu memahami konsep penciptaan berdasarkan pemahaman atas hakekat Tuhan, alam semesta dan manusia. Ini menjadikan pandangan-pandangannya mencerminkan sebuah pandangan teologis tersendiri. Dalam pandangan Al-Razi ruang semesta membentang sangat luas dan tak terbatas, di mana Tuhan merupakan sentralnya. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Mutlak yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Kekuasaan Tuhan tidak terbatasi oleh ruang waktu.
Kehendak (iradah) Tuhan menyemarakkan kehampaan semesta dengan menciptakan alam dari substansi sederhana menjadi substansi yang terbentuk, kemudian dengan pancaran kehendak-Nya pula Tuhan membangkitkan gerak dinamika alam. Kehendak Tuhan untuk mencipta telah memecah kegelapan dan kesunyian semesta dengan dinamika gerak dan keteraturan hukum alam (sunnatullah).

Akal, Kenabian, dan Wahyu
Bagi al-Razi, akal menjadi kompas utama dalam kehidupan setiap manusia. Akal diberikan oleh Tuhan kepada setiap insan dalam kekuatan yang sama. Perbedaan timbul karena pengaruh pendidikan, lingkungan dan suasana. Manusia bebas untuk menerima ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya. Sebab, ilmu itulah yang akan menyucikan jiwanya, untuk dapat kembali kepada Tuhannya.
Al-Razi dikenal sebagai seorang rasionalis murni. Akal, menurutnya adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus memberikan kebebasan padanya dan harus merujuknya dalam segala hal.
Al-Razi adalah seorang yang bertuhan, tetapi ia tidak mempercayai wahyu dan kenabian. Al-Razi membantah kenabian dengan alasan-alasan sebagai berikut.
a)    Akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Dengan akal semata kita dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan sebaik-baiknya. Lalu kenapa dibutuhkan Nabi?
b)   Tiada pembenaran bagi pengistimewahan beberapa orang yang membimbing semua orang, sebab semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama; perbedaannya bukanlah karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan.
c)    Para  nabi saling bertentangan. Bila mereka berbicara atas nama satu Tuhan yang sama, mengapa terdapat pertentangan? (M.M. Syarif, 1996 : 47).

Sang Pencipta memberikan dan menganugrahkan akal agar dengan demikian  bisa beroleh manfaat sebanyak-banyaknya yang ada di alam untuk kita raih dan capai, di dunia ini dan di akhirat nanti. Akal adalah anugrah yang terbesar dari tuhan kepada manusia, dan tidak ada sesuatupun yang melamlauinya dalam memberi manfaat dan faedah bagi manusia. Dengan akal manusia dilebihkan dari hewan-hewan yang tak berakal, agar bisa menguasai dan mengurus mereka. Dengan akal, manusia bisa mencapai segala sesuatu yang meninggikan dan membuat manis dan indah hidup ini, dan dengannya manusia dapat beroleh tujuan serta keinginannya.
Dengan akal manusia memahami pembuatan dan penggunaan kapal, sehingga manusia dapat mencapai negeri-negeri terjauh yang dipisahkan samudra dan lautan yang luas. Dengan akal manusia memanfaatkan memanfaatkan ilmu kedokteran dengan berbagai faedah bagi tubuh manusia dan segenap bentuk seni lainnya yang member manfaat bagi manusia (Muhammad Bin Zakaria Al-Razi, 199 : 31).
Dengan akal, manusia memahami hal-hal yang samar dan kabur, hal yang tersembunyi dan rahasia darinya. Dengan akal, mausia memahami bentuk bumi dan langit, ukuran matahari, bintang-bintang, dan bulan. Dengan akal, manusia bisa meraih bahkan pengetahuan tentang Tuhan Maha Agung.
Bagi Al-Razi, akal adalah sesuatu yang tanpanya keadaan manusia seperti binatang buas, keadaan anak-anak dan orang gila. Akal adalah dengannya manusia menggambarkan bebagai laku intelektual sebelum tampak dan tercerap oleh panca indera sehingga manusia melihat persis seolah-olah ia mencerapnya (Muhammad Bin Zakaria Al-Razi, 1994 : 32).
Meskipun Al-Razi seorang rasionalis murni ia tetap bertuhan hanya ia tidak mengakui adanya wahyu dan kenabian. Al-Razi tidak percaya kepada nabi-nabi, sebab nabi itu hanyalah pembawa kehancuran bagi manusia, ajaran nabi-nabi itu saling bertentangan, pertentangan itu akan membawa kehancuran manusia. Menurutnya para nabi tidak berhak mengklaim bahwa dirinya mempunyai keistimewaan khusus, baik pikiran maupun rohani, karena semua orang itu sama dan keadilan Tuhan serta hikmahnya mengharuskannya untuk tidak membedakan antara seorang dengan yang lainnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwasanya tidaklah masuk akal bahwa Tuhan mengutus para nabi padahal mereka tidak luput dari pada kesalahan dan kekeliruan. Setiap bangsa hanya percaya kepada nabinya dan tidak percaya kepada nabi bangsa lain dan akibat dari  inilah banyak terjadi konflik, peperangan dan kebencian antara bangsa karena kefanatikan kepada agama yang dianutnya.
Al-Razi menyanggah anggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan, manusia memerlukan nabi. Adapun semua mukjizat kenabian adalah bagian dari mitos keagamaan atau rayuan dan keahlian yang dimaksudkan untuk menipu dan menyesatkan. Ajaran agama saling kontradiksi karena satu sama lain saling menghancurkan dan tidak sesuai dengan pernyataan yang mengatakan bahwa realitas permanen. Itu dikarenakan setiap nabi membatalkan risalah pendahuluannya tetapi menyerukan bahwa apa yang dibawanya adalah kebenaran dan tidak ada kebenaran yang lain, dan manusia menjadi bingung tentang pimpinan dan yang dipimpin, panutan dan yang patut.
Kemudian  Al-Razi juga mengkritik agama secara umum. Ia juga menjelaskan kontradiksi Yahudi, Kristen, Mani, dan Majusi secara rinci. Bahkan lebih lanjut ia katakana tidaklah masuk akal Allah mengutus para nabi sebab mereka menimbulkan kemudharatan. Setiap bangsa percaya hanya kepada para nabinya, dan menolak keras yang lain, yang mengakibatkan terjadinya banyak peperangan keagamaan dan kebencian antar bangsa yang memeluk berbagai agama yang berbeda (M.M. Syarif (edt)., 1996 : 48).
Ia juga mengkritik secara sistematik kitab-kitab wahyu Al-Qur’an dan Injil. Ia menolak kemukjizatan Al-Qur’an, baik gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik. Ia lebih suka membaca buku-buku ilmiah daripada Alqur’an (Sirajuddin Zar, 2009 : 122).
Al-Razi juga mempertanyakan wahyu yang didakwahkan oleh para nabi, yang menganggap kebenarannya tidaklah benar adanya. Al-Qur’an dengan gaya bahasanya bukanlah mukjizat bagi Nabi Muhammad, ia hanya sebagai buku biasa.
Pertama ia menolak mukjizatnya Al-Quran baik karena gayanya maupun isinya dan menegaskan adanya kemungkinan menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik.
Nikmat akal lebihlah konkrit dari wahyu oleh sebab itu membaca buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya lebih berarti dari pada membaca buku-buku agama. keberlangsungan agama hanyalah berasal dari tradisi, dari kepentingan para ulama yang diperalat oleh negara, dan dari upacara-upacara yang  bagi kehidupan manusia dari pada kitab-kitab suci. Buku-buku kedokteran, geometri, astronomi dan logika lebih berguna dari pada Injil dan Al-Qur’an.
Oleh karena itulah tidak masuk akal apabila Tuhan mengutus para nabi, karena banyak melakukan kemadharatan. Adanya peperangan yang terjadi diantara berbagai bangsa adalah sebagai akibat percaya kepada mereka tanpa reserve dengan mempercayai ajaran-ajaran yang dibawa mereka, kemudian saling bertentangan akhirnya timbul peperangan yang bersifat keagamaan di dunia.
Bagi Al-Razi, penulis-penulis buku ilmiah ini telah menemukan kenyataan dan kebenaran melalui kecerdasan mereka sendiri tanpa bantuan para nabi. Ilmu pengetahuan berasal dari tiga sumber: pemikiran, yang didasarkan pada logika, tradisi dari pendahulu kepada para pengganti yang didasarkan pada bukti menyakinkan dan akurat seperti dalam sejarah dan naluri yang menuntun manusia tanpa memerlukan banyak pemikiran (M.M. Syarif (edt)., 1996 : 47-48).
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa Al-Razi terlalu berani dalam mengembangkan pendapat-pendapatnya, bahkan Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Razi adalah filosof muslim  yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun ia bertentangan dengan faham yang dianut umat Islam (Harun Nasution, 1993 : 20-21).
Sirajudin Zar (2009 : 123) menyatakan, Perlu ditegaskan bahwa tuduhan-tuduhan ini berasal dari lawan debatnya Abu Hatim Al-Razi, tokoh Syi’ah Ismailyah. Oleh karena itu, beralasan dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd, bahwa tuduhan-tuduhan tersebut ganjil, bahkan ia nilai mengandung sentiment. Hal ini lumrah terjadi bahkan orang yang kalah berusaha untuk memojokkan lawannya agar benci pula pada orang  lain.
Dalam buku al-Thibb al-RÅ«hani tidak ditemukan keterangan bahwa Al-Razi mengingkari kenabian atau agama, bahkan sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang teguh kepadanya agar mendapatkan kenikmatan  di akhirat  berupa surga dan mendapatkan keuntungan berupa ridha Allah. Lebih jelasnya ia katakan sebagai berikut: Manusia yang utama dan yang melaksanakan syariah secara sempurna tidak perlu takut terhadap kematian.  Hal ini disebabkan syariah telah menjanjikan kemenangan dan kelapangan serta (menjanjikan) bisa mencapai kenikmatan abadi (Sirajuddin Zar, 2009 : 123).
Berdasarkan uraian di atas sulit diterima bahwa orang yang menghargai agama di cap penyeleweng agama (al-mulhidun). Bahkan ia dalam buku-bukunya sering menulis shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai penghormatannya kepada beliau, dan ia juga mewajibkan untuk memuliakan para nabi sebab  mereka adalah manusia pilihan yang memiliki pribadi mulia (Sirajuddin Zar, 2009 : 124).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Al-Razi adalah rasionalis-religius, bukan rasionalis-liberal karena Al-Razi masih mengakui dan mendasarkan logika kepada agama dan kewahyuan.

KESIMPULAN
Dalam bagian akhir ini, ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Bahwa filsafat Islam adalah hasil dari asimilasi dari filsafat Yunani, materi atau bahan yang terdapat dalam sistem filsafat (Islam) ini diambil dari pemikiran Yunani atau deduksi dari pemikiran tersebut. Oleh karena itu, dalam hal isu dan muatannya, bisa dikatakan semuanya bersumber dari Yunani, tetapi dalam hal bentuk, sistem ini jelas mendapat cap Islam. Di dalamnya terkandung orisinalitas yang brilian pada satu pihak, dan nasibnya yang tragis dalam sejarah Islam pada pihak lain, karena, gagal memenuhi keinginan kalangan ortodoks maka keberadaannya tidak dijamin. Akan tetapi tetap merujuk dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi dalam berpikir, dengan kata lain bahwa Filsafat Islam adalah hasil dialektika antara wahyu dan akal untuk memahami realitas.
Sebagaimana telah diketahui, Al-Kindi banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak kelihatan unsur-unsur filsafat Yunani itu. Oleh karena pemikiran Al-Kindi banyak mendapat pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa Al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat Yunani. Al-Kindi adalah seorang filosof Islam yang pertama. Namun yang jelas Al-Kindi telah berusaha mempertemukan filsafat dan agama, atau akal dan wahyu, serta lebih jauh lagi telah berupaya untuk mengislamkan ide-ide yang terdapat dapat dalam filsafat Yunani. Ia telah merintis dan melapangkan jalan para filosof sesudahnya.
Tetapi bila pemikirannya dipelajari dengan seksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi mendapat pengaruh pikiran filsafat Yunani, tetapi akhirnya ia mempunyai posisi sendiri. Filsafat Ketuhanan Al-Kindi berasas metafisika, sedangan filsafat Aristoteles di bangun di atas teori fisika belaka. Ini berarti, konsep Tuhan Al-Kindi berdasarkan wahyu sedangan pandangan Aristoteles yang anti-metafisik menelurkan sekularisme.
Al-Razi adalah seorang dari enam tokoh filsafat di dunia Islam bagian Timur. Rentang kehidupannya berada di posisi kedua, karakter yang mendasar dari pemikiran Al-Razi adalah rasionalitas. Ia mesti dipandang sebagai pemikir yang tegar dan liberal dalam Islam. Al-Razi termasuk filosof yang sangat berani mengemukakan gagasan-gagasannya tanpa tending aling-aling dalam bidang filsafat baik mengenai lima kadim yang kekal maupun tentang kenabian dan peranan akal dalam mencari kebenaran.

Daftar Pustaka

Al-Razi, Muhammad ibn Zakaria 1994, Pengobatan Ruhani, Mizan, Jakarta
Arkoun, Muhammad dan Garded, Louis 1997. Islam Kemarin dan Hari Esok. Pustaka, Jakarta.
Hanafi, Ahmad 1991. Pengantar Filsafat Islam. Bulan Bintang, Jakarta.
Hossein Nasr, Sayyed dan Leaman, Oliver (ed) 2003. Ensiklopedi Filsafat Islam. Mizan, Jakarta.
Iqbal, Muhammad 1983. “The Recontruction of Religious Thought in Islam” Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam. Bulan Bintang, Jakarta.
K. Bertens 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisius, Yogyakarta.
Madjid, Nurcholis (edt) 1994. Khazanah Intelektual Islam. Bulan Bintang, Jakarta.
Murtinngsih, Wahyu 2012, Para Filsof dari Plato sampai Ibnu Bajjah, Ircisod, Jogjakarta
Nasution, Harun 1983. Akal dan Wahyu dalam Islam. Universitas Indonesia, Jakarta.
_____________ 1993. Falsafah dan Misticisme dalam Islam. Universitas Indonesia, Jakarta.
_____________  1994. Islam Rasional, Gerakan dan Pemikiran. Mizan, Bandung.
Poerwantana dkk. 1987, Seluk-Beluk Filsafat Islam, 1987. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Salam Abdus 1983, Sains dan dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni, Salman ITP, Bandung.
Supriyadi, Dedi 2009, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filsuf dan Ajarannya. Pustaka Setia, Bandung.
Syarif, M. M. 1996. Para Filosof Muslim. Mizan, Bandung
Van Hoeve 1994. Ensiklopedi Islam 1994 , Ichtiar Baru, Jakarta
Watt, W. montgotmery 1995. Islam dan Peradaban Dunia: pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan. Gramedia, Jakarta.
Zar, Sirajuddin 2006. “Filsafat Islam dalam Perspektif Era Moderen” dalam Jurnal Keislaman dan Peradaban. IAIN Imam Bonjol, Padang.
Zar, Sirajuddin 2009. “Filsafat Islam:Filsof dan filsafatnya. Rajawali Pers, Jakarta.