Pendahuluan
Al-Quran merupakan kitab Allah yang diperuntukan bagi
penentu jalannya kehidupan dan alam semesta, didalamnya terkandung makna dan
petunjuk kehidupan yang menembus dimensi ruang dan waktu, atau dengan kata lain
Al-Quran merupakan ensiklopedi kehidupan dalam rangka mewjudkan kebahagian dan
kesejahteraan sejati, saidun fidunya wa saidun fil akhiroh (kesejahteraan
didunia dan akhirat) karena Al-Quran lintas dimensi ruang dan waktu maka wajar
jika Al-Qurhan memuat pesan-pesan ilahi dalam bentuk global, oleh karena itu
diperlukan penjelasan yang lebih rinci mengenai maksud yang terkandung didalam
pesan ilahiyah tersebut, yang kemudian disebut dengan tafsir.
Muhammad Arkoun, seorang
pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: “Al-Quran memberikan
kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh
ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah
mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak
pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal” (Abuddin Nata, 2012:213),
Al-Qur’an adalah masdar al-awwal dari sumber utama ajaran Islam, Al-Qur’an
berfungsi sebagai hudan li al-nasi (petunjuk bagi ummat manusia), sebagaimana
Firman Allah”Alif, Laam, Raa
(Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia
dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka,
(yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”
Pemahanan terhadap Al-Qur’an disini mencakup penafsiran terhadap Al-Qur’an.
Penafsiran pada masa Rasul bersumber dari rasul sendiri melalui wahyu Allah
atau melalui para sahabat yang berkompeten pada penafsiran (ijtihad al-sohabi).
Secara garis besar babakan penafsiran dibagi menjadi dua periode yakni
periode pertama dimulai oleh Rosullah SAW sebagai penafsir awal (al-mufasirul
awal) yang kemudian dilanjutkan oleh para shohabat, serta tabiin, kemudian
dilanjutkan periode kedua yang dimulai semenjak tahun 150 H dengan demikian ada
tiga sumber yang dijadikan rujukan oleh para mufasirin dalam menfsirkan
ayat-ayat Allah tersebut pertama Al-Qur’an, kedua Rasulullah SAW melalui
sabda-sabda beliau yang termaktub dalam Al-hadits. Ketiga Ijtihad yang telah
dilakuan oleh shohabat dan ulama’-ulama’ yang mendalam ilmunya (Arrosikhun fil
ilmi).
Sebagaimana difirmankan Allah bahwa alqur’an terdiri dari ayat-ayat yang
muhkam dan mutasabih. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat di ketahui secara
langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih memerlukkan
penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain. Biarpun ayat tersebut adalah
ayat yang muhkam, tapi bagaimanapun juga yang namanya tafsir sangat tergantung
kepada kemampuan personal yang menjelaskannya. Kemampuan itu bertingkat-tingkat
sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seseorang penafsir dari Al-Qur’an
bertingkat-tingkat pula. Kecenderungan manusia juga berbeda-beda, sehingga apa
yang dihidangkan dari pesan –pesan Ilahi dapat berbeda antara yang satu dengan
yang lain. Selain itu juga keberadaan seseorang pada lingkungan budaya atau
kondisi sosial, dan perkembangan ilmu, juga mempunyai pengaruh yang tidak kecil
dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an. Selain itu pengaruh perbedaan penafsiran
juga bisa disebabkan perbedaan dalam methode, pendekatan, juga tekhnik
interpretasi dalam menafsirkan Al-Quran, sehingga hal itu bisa melahirkan
produk yang berbeda dari pemikiran mufassirun.
Sehubungan dengan itu maka
makalah ini tidak membahs tentang hal-hal yang berhubungan dengan Asbabunnuzul
(sebab-sebab turunnya Al-Quran), pengumpulan dan penertiban Al-Quran,
pengetahuan surah-surah Mekkah dan Madinah, Nasikh dan Wal Mansukh, Muhkam dan
Mutasyabih dan lain-lain yang berhubungan dengan ilmu Ulumul Quran secara
murni, tetapi akan dibahas dalam bidang Eksegesi (Tafsir Al-Quran) yang
berorientasi pada pendekatan-pendekatan yang dipakai oleh mufassir dalam menafsirkan
Al-Quran itu sendiri.
B. PEMBAHASAN
- Pengertian Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “ taf’il”, berasal dari akar
kata al-fasr (f,s,r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan
menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Sedangkan tafsir secara
istilah ialah ilmu yang membahas cara mengucapkan lafaz-lafaz qur’an, tentang
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika
tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya hal-hal lain yang
melengkapinya (al-Qattan, 2010:455-456).
Makna lain tafsir dari segi bahasa menjelaskan, menyingkap, dan menerangkan
makna-makna rasional. Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti
menjelaskan dan menyingkap. dalam lisanul Arab dinyatakan: Kata “al-fasr”
berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir”
berarti menyingkap lafadz suatu yang musykil atau pelik (Fauzah, 1987:1).
Muhammad Hin al-Dhabi dalam “tafsir wa al-mufassirun” menerangkan arti
etimologi tafsir dengan al-idhah (penjelasan) dan al-bayan (keterangan), makna
tersebut digambarkan dalam Al-Quran (QS. Al-Furqan ayat 33), sedangkan dalam
kamus yang berlaku, tafsir berarti al-ibahah wa kusyf mugtha (menjelaskan atau
membuka yang tertutuf (Husain, 1976: 106).
Sedangkan tafsir menurut Al-Kilby adalah mensyarahkan al-Qur’an,
menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya
atau dengan isyaratnya, ataupun dengan tujuannya. Begitu juga menurut Al-Jurjani
tafsir adalah membuka atau melahirkan, menjelaskan makna ayat, urusannya,
kisahnya dan sebab yang karenanya diturunkan ayat, dengan lafaz yang menunjuk
kepadanya secara terang (Ash-Shiddieqy, 1980:192).
Adapun pengertian tafsir secara terminologi ditemukan bahwa para
ulama berbeda-beda secara redaksionalnya dalam mengemukakan definisinya
meskipun esensinya sama. Imam Al-Zarqani misalnya mengemukakan bahwa tafsir
adalah ilmu yang membahas kandungan Al-Qur’an dari segi kandungan makna atau
arti sesuai yang dikehendaki Allah menurut kadar yang kemampuan manusia.
Selanjutnya, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu untuk mengetahui
dan memahami kandungan Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung
didalamnya (Abuddin Nata, 1999:165).
Dari semua definisi diatas menggambarkan bahwa cakupan Ilmu Tafsir sangat
banyak, seperti definisi menurut Al-Qattan dari segi bahasa mengandung makna
menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak,
Sedangkan secara istilah ialah ilmu yang membahas cara mengucapkan lafaz-lafaz
qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya. Al-Jurjani dan Al-Kilby
juga mendefinisikan bahwa tafsir adalah melahirkan makna ayat, urusannya,
kisahnya dan sebab yang karenanya diturunkan ayat, dengan lafaz yang menunjuk
kepadanya secara terang, sedangkan menurut Fauzah mengandung makna menyingkap
lafadz suatu yang musykil atau pelik, dan menurut Imam Al-Zarqani misalnya
mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Al-Qur’an
dari segi kandungan makna atau arti sesuai yang dikehendaki Allah menurut kadar
yang kemampuan manusia. Selanjutnya, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah
ilmu untuk mengetahui dan memahami kandungan Al-Qur’an yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah
yang terkandung didalamnya.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa Tafsir adalah sebuah ilmu yang
melingkupi berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran, misalnya Ilmu Qira’ah, Ilmu Tashrif, Ilmu I’rob, Ilmu
Bayan, Ilmu Badi’, Ilmu Ma’ani, Ilmu Ushul, Ilmu Nahwu dan Sharaf dan
masih banyak lagi ilmu-ilmu lain yang harus dikuasai oleh mufassir dalam
menafsirkan al-Quranulkarim. Hal ini menunjukkan bahwa menafsirkan Al-Quran
bukanlah suatu hal yang muda dilakukan dan bukan pula suatu hal yang sulit
ketika seorang mufasir menguasai semua ilmu yang disyaratkan.
- PENDEKATAN DALAM KAJIAN TAFSIR
Al-Qur’an sebagai the way of life tidaklah cukup di pahami hanya dengan
penguasaan bahasa Arab dan mengetahui terjemahannya. Untuk memperoleh
penafsiran yang tepat dan meraih ruh dari maksud Al-Qur’an memerlukan
rambu-rambu dalam bingkai ilmu tafsir.
Pendekatan di sini adalah menyangkut pendekatan di dalam memahami ajaran
agama atau lebih popular dikenal dengan Pendekatan dalam Studi Islam.
Pendekatan dimaksud adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam
suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Jalaludin
Rahmad mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai
paradigma. Realitas yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan
kerangka paradigmanya, Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama
itu adalah penelitian ilmu sosial, penelitian legalistic, atau penelitian
filosofis (Karim, 1990:92). Dengan demikian maka segala unsur ajaran agama
dalam bidang apapun dapat digunakan melalui berbagai pendekatan, termasuklah
dalam bidang kajian tafsir.
Al-qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, menurut uslubnya, seluruh lafadz
al-qur’an adalah bahasa arab. Rasulullah SAW setiap menerima ayat al-qur’an
lansung menyampaikan kepada para sahabat serta menafsirkan makna yang perlu
ditafsirkan, Karena mengetahui tafsir adalah hal yang sangat penting, para
sahabatpun bersungguh-sungguh mempelajari al-qur’an, yakni memahami dan
mentadab-buri maknanya. Apabila para sahabat tidak mengetahui makna suatu
lafadz dari al-qur’an atau maksud suatu ayat, segeralah para sahabat menanyakan
langsung kepada rasulullah. Para sahabat dalam menafsirkan al-qur’an selalu
berpegang kepada al-qur’an, Nabi dan pemahaman serta ijtihad (Hasbi Ash
Shiddiqy, 1980:220).
Pada periode ini tafsir belum tertulis dan secara umum, periwayatannya
masih secara lisan (musyafahah), Rasulullah SAW menjadi mubayyin Al-Quran, baik
secara global maupun secara terperinci, pada masa Rasululullah SAW tidak
terdapat perbedaan dalam upaya memahami kandungan al-Quran, karena refrensi
utamanya sebagai mubayyin masih ada, sehingga para sahabat dapat bertanya
langsung kepada Rasulullah SAW dalam segala persoalan. “Keadaan ini berlangsung
sampai Rasulullah SAW wafat, meskipun penjelasan tersebut tidak semua diketahui
akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasulullah
sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran” (Shihab, 1992:71).
Dalam kajian tafsir, pola pikir (al-ittijah al-fikr) sangat dominan
digunakan oleh para mufasir. Untuk itu pendekatan dalam penafsiran Al-Qur’an
banyak terjadi perbedaan metode seiring dengan perubahan zaman. Pada zaman
rasul pendekatan itu belum dipergunakan, sebab yang menguasai
tasyri’(konstruksi Syari’at) adalah Rasulullah SAW sendiri. Terhadap Al-Qur’an
Rasulullah SAW merupakan orang pertama yang berhak untuk menafsirkan AL-Qur’an,
karena pada masa Nabi Muhammad SAW segala persoalan yang berkaitan dengan
persoalan umat bisa langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Setelah itu Pada masa
sahabat barulah tercermin beberapa pendekatan yang digunakan oleh para mufasir
yang antara lain sebagai berikut:
- Dengan pendekatan Al-Qur’an itu sendiri
Sebab apa yang dikemukakan secara global di satu
tempat, dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah
ayat datang dalam bentuk mutlaq (umum) namun kemudian disusul oleh ayat lain
yang membatasi dan mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan Tafsir Quran dengan
Quran.
Contoh Firman Allah:
4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJÍku5
ÉO»yè÷RF{$#
wÎ) $tB
4n=÷Fã öNä3øn=tæ ß
ÇÊÈ
Artinya: …dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu (al-Maidah [5]:1) ditafsirkan oleh ayat:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ÇÌÈ
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai (al-Maidah [5]:3).
- Pendekatan kepada Nabi
Contoh: Suatu ketika turun
ayat Al-Quran berbunyi:
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=t OßguZ»yJÎ)
AOù=ÝàÎ
ÇÑËÈ
Artinya: Orang-orang yang beriman tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (al-An’am [6]:82) ayat ini sempat meresahkan hati para
sahabat, karena para sahabat merasakan tidak ada yang tidak berbuat zalim
kepada diri mereka, sekecil apapus pasti ada kezaliman itu pada diri mereka.
Lalu sahabat pergi dan bertanya kepada Rasulullah SAW. Dan beliau menjawab
dengan ayat lain berbunyi:
(
cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã
ÇÊÌÈ
Artinya: Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar". (Lukman [31]:13), Nabi menjelaskan dengan ayat ini
bahwa arti kezaliman yang dimaksud adalah seperti perbuatan syirik yang
dijelaskan dalam ayat Lukman tersebut, mendengarkan penjelasan Nabi itu barulah
para sahabat merasa tenang.
- Pendekatan Ijtihad Sahabat Nabi
Hal ini di perlukan jika mereka tidak menemukan
tafsiran suatu ayat dalam kitabAllah dan juga tidak menemukannya dari
penjelasan Nabi. Diantara para sahabat Nabi yang mempunyai keistimewaan dalam
menjelaskan nash adalah Khulafa’al-rosyidun, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab,
Abdullah bin Umar, A’isyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin
Malik, Abu Musa al- Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubadah bin Shomad dan Abdullah
bin Amru bin Ash .
Pengkajian Tafsiran Al-Quran, pendekatannya dapat di
bedakan menjadi beberapa cabang. Sebagaimana dijelaskan oleh M. Alfatih
Suryadilaga dkk, dalam bukunya yang berjudul Metodologi Ilmu Tafsir.
Pendekatan yang dipakai adalah:
1)
Pendekatan Objektif dan Pendekatan Subjektif
a) Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif adalah pendekatan empiris yang bertumpu pada
kepentingan ilmiah semata. Dalam pendekatan ini dibicarakan kaitan antara
ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan ilmu
pengetahuan-pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang. Sejauh mana
paradigma ilmiah dapat memberi dukungan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan
penggalian jenis ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan hal-hal yang ditemukan
lewat masa turunnya Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat lebih dari
delapan ratus ayat-ayat kauniyah.
b) Pendekatan Subjektif
Pendekatan subjektif adalah pendekatan yang terkait dengan kepentingan
pribadi atau kelompok. Pendekatan tersebut tergantung pada warna budaya dan
aqidah ahli tafsirnya; apakah dia politikus ataukah praktisi sebuah madzhab
yang banyak mempengaruhinya. Seperti pendekatan yang di lakukan oleh sufi di
mana Al-Qur’an dikaji dengan sudut pandang yang sesuai dengan teori-teori
tasawuf dan mengabaikan aspek-aspek lain.
2) Pendekatan Langsung dan Tidak Langsung
a) Pendekatan Langsung
Pendekatan langsung adalah pendekatan yang menggunakan data primer. Data
primer dalam kajian tafsir adalah Al-Qur’an itu sendiri, hadist-hadist yang
diriwayatkan dari Rasulullah saw, dan pendapat-pendapat sahabat serta pendapat
tabi’in. Seperti ayat Al-Qur’an yang mutlaq di tafsirkan dengan ayat muqayyad
dan ayat yang mujmal di tafsirkan oleh ayat lain yang mufassol.
b) Pendekatan Tidak Langsung
Pendekatan ini adalah menggunakan data skunder, yaitu upaya yang di tempuh
setelah melalui pendekatan primer. Dengan kata lain ia merupakan pengembangan
dari pendekatan pertama, seperti pendapat-pendapat ulama, riwayat kenyataan
sejarah di masa turunnya Al-Qur’an, pengertian bahsa dan lafadl Al-Qur’an,
kaedah lafadl bahsa, kaedah-kaedah intinabat serta teori-teori ilmu pngetahuan.
Oleh karena data yang dikemukakan terdapat data historis seperti hadist,
riwayat sahabat, serta kenyataan sejarah di masa turunnya Al-Qur’an, maka
sebelum digunakan perlu proses pemeriksaan dengan kritik sejarah.
3) Pendekatan Komprehensif dan Pendekatan Sektoral
a) Pendekatan Komprehensif
Pendekatan komprehensif adalah pendekatan yang membahas objek penelitian
tidak dari satu aspek tertentu saja, tetapi secara menyeluruh. Dalam hal ini,
kandungan ayat Al-Qur’an berusaha dijelaskan dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat AL-Qur’an sebagai yang tercantum di dalam
mushaf. Segala segi yang di anggap perlu di uraikan bermula dari arti kosakata,
asbab an-nuzul, munasabah al-ayat, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan
teks atau kandungan ayat.
b) Pendekatan Sektoral
Pendekatan sektoral adalah pendekatan yang membahas objek dengan
memandangnya terlepas dari objek lainnya. Pendekatan ini berusaha mengkaji
Al-Qur’an secara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar. Arti dan maksud
ayat dijelaskan dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan artinya tanpa
menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutan
dalam mushaf setelah di kemukakan arti-arti itu dalam kerangka uraian yang
mudah dengan bahasa dan cara yang dapat dipahami oleh orang yang berilmu dan
awam.
4) Pendekatan Disipliner, Pendekatan Multi disipliner,
dan Pendekatan Interdisipliner
a. Pendekatan Disipliner (Monodisipliner).
Pada awal perkembangannya ilmu pengetahuan memiliki ciri monodisipliner,
artinya suatu disiplin ilmu tertentu dengan menggunakan metode tertentu
disamping ilmu-ilmu lainnya, misalnya; pada bidang ilmu ekonomi berkembang
menjadi ilmu ekonomi akuntansi, ekonomi perusahaan, ekonomi pembangunan, dan
bidang-bidang lainnya (Kaelan, 2010:18). Begitipula dalam bidang tafsir
berkembang banyak ilmu yang berhubungan dengannya seperti ilmu balgah (berisi
teori-teori dan materi-materi yang berkaitan dengan cara-cara penyampaian
ungkapan), Ma’ani (pokok-pokok dan dasar-dasar untuk mengetahui tata cara
menyesuaikan kalimat kepada kontekstualnya (muqtadhal halnya) sehingga cocok
dengan tujuan yang dikehendaki, al-Bayan (Dasar-dasar dan kaidah-kaidah untuk
mengetahui cara menyampaikan satu makna dengan beberapa cara yang sebagiannya
berbeda dengan sebagian yang lain dalam menjelaskan segi penunjukan terhadap
keadaan makna tersebu) dan masi banyak lagi ilmu-ilmu lainnya.
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang mengkaji objek dari sebuah
disiplin ilmu atau berdasarkan ilmu yang terpisa dengan ilmu lainnya serta
berdasarkan metode dan corak dalam kajian ilmu tersebut. Macam-macam pendekatan
disipliner antara lain:
a) Pendekatan Syar’i
Pendekatan ini berusaha mengkaji Al-Qur’an dengan mengeluarkan hukum-hukum
Islam produk istinbat yang diyakininya. Dalam dimensi sejarah, hukum-hukum
tersebut secara bertahap digali, hingga sampailah era perhatian terhadap
produk-produk istinbat. Dari sini timbullah mazhab yang satu sama lain saling
berbeda. Katika madzhab-madzhab telah ada di kalangan umat Islam terjadi banyak
kasus hukum. Pada akhirnya hal itu diselesaiakan berdasarkan AL-Qur’an, sunah,
qiyas, istihsan, dan lain-lain, maka keluarlah hukum-hukum Islam produk
istinbat yang diyakini benar. Hal yang demikian terlihat dalam corak penafsiran
ayat-ayat yang berbeda-beda, kerna pendekatan kajian yang digunakan juga
berbeda.
b) Pendekatan Sosio-Historis
Pendekatan ini menekankan pentignya memahami
kondisi-kondisi aktual ketika Al-Qur’an diturunkan,. Atau dengan kata lain,
memahami Al-Qur’an dalam konteks kesejarahan dan harfiyah, lalu
memproyeksikannya kepada situasi masa kini kemudian membawa fenomena-fenomena
sosial ke dalam naungan-naungan tujuan.
Pendekatan Historis yang dimaksud adalah meninjau
suatu permasalahan dari sudut tinjauan sejarah, dan menjawab permasalahan serta
menganalisisnya dengan menggunakan metode analisis sejarah. Sejarah atau
histori adalah studi yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa atau
kejadian-kejadian masa lalu yang menyangkut kejadian atau keadaan yang
sebenarnya (Muhaimin, 2013:12-13).
Pendekatan kesejarahan ini menekankan pentingya
perbedaan antar tujuan atau”ideal moral” Al-Qur’an dengan ketentuan legal
spesifiknya. Ideal moral yang dituju Al-Qur’an lebih pantas diterapkan
ketimbang ketentuan legal spesifiknya. Jadi dalam kasus seperti perbudakan yang
di tuju Al-Qur’an adalah emansipasi budak. Sementara penerimaan Al-Qur’an
terhadap pranata tersebut secara legal dikarenakan kemustahiilan untuk dihapus seketika.
c) Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis adalah upaya pemahaman Al-qur’an
dengan cara menggabungkan antara filsafat dan agama atas dasar penafsiran dan
penakwilan teks –teks agama kepada makna-makna yang sesuai dengan filsafat.
Pendekatan filosofis yang dimaksudkan adalah melihat permasalahan dari sudut
tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu
dengan menggunakan metode analisis sfekulatif. Disamping itu filsafat mempunyai
bidang (objek yang difikirkan) sendiri, yaitu bidang atau permasalahan yang
bersifat filosofis, yakni bidang yang terletak diantara dunia ketuhanan yang
gaib dengan dunia ilmu pengetaguan yang nyata (Muhaimin, 20120.
d) Pendekatan Linguistik (riwayat dan Bahasa)
Pendekatan linguistik atau riwayat dan bahasa ini
adalah suatu pendekatan yang cenderung mengandalkan periwayatan dan kebahasaan.
Dalam pendekatan ini, ditekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an,
memaparkan ketelitian redaksi ayat, ketika menyampaikan pesan-pesannya, mengikat
penafsirannya dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasi terjerumus dalam
subjektifitas berlebihan. Pendekatan ini berupaya menguraikan sebuah susunan
kalimat dalam suatu ayat, dengan memakai kalimat-kalimat dan huruf-huruf yang
ada didalam ayat tersebut tanpa memakai kalimat dan huruf lain.
b. Pendekatan Multi disipliner
Pendekatan ini berupaya membahas dan mengkaji objek dari beberapa disiplin
ilmu, artinya ada upaya untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an atau suatu objek
dengan mengkaitkan disiplin-disiplin ilmu yang berbeda. Seperti dalam hal
penafsiran Al-Quran ini, seorang mufasir akan menggunakan ilmu-ilmu lain
seperti ilmu nahu, sharaf, ilmu balghah, ilmu bayan dan lain-lain, namun dalam
prakteknya tetap memperhatikan dan mengutamakan metode masing-masing dari
berbagai disiplin ilmu tersebut.
c. Pendekatan Interdisipliner
Pendekatan interdisipliner adalah sutu pendekatan yang membahas dan
meneliti objek harus (tidak boleh tidak) menggunakan beberapa disiplin ilmu,
dan metode atau serta corak pengkajian dari beberapa ilmu dirangkum menjadi
satu dan nantinya lahirlah sebuah keterangan atau ilmu baru.
Berdasarkan pembahasan sebagaimana tersebut di atas, maka terdapat
perbedaan yang spesifik antara ilmu-ilmu mono disiliner, monodisipliner dan interdisipliner.
Ilmu monodisipliner merupakan bidang satu ilmu tersendiri dengan objek formal
dan material tertentu serta metode ilmiah tersendiri misalnya; ilmu biologi,
kimia, fisika, kedokteran, giografi, ilmu budaya, ilmu filsafat, ilmu social
ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu lainnya. Kemusian ilmu multidisipliner merupakan
suatu interkoneksi antara ilmu satu atau dengan ilmu lainnya namun
masing-masing bekerja berdasarkan disiplin dan metodenya masing-masing.
Selanjutnya ilmu interdisipliner adalah kerjasama antara ilmu satu dengan
lainnya sehingga merupakan satu kesatuan dengan suatu metode tersendiri.
5) Pendekatan Tekstual dan Pendekatan Konstektual
Pada dasarnya pendekatan tekstual dan kontekstual
adalah sama dengan beberapa pendekatan di atas. Hanya saja istilah ini muncul
dari sumber yang berbeda
a. Pendekatan Tekstual
Secara sederhana tekhnik ini dapat diasosiasikan dengan tafsir bi
al-ma’tsur. Nash yang dihadapi ditafsirkan sendiri dengan nash baik AL-Qur’an
ataupun hadist .
b. Pendekatan Konstektual
Al-Qur’an adalah Kitab suci yang salih li kulli zaman wa makan. Selama
empat belas abad Al-Qur’an tetap bertahan sebagai penerang dalam memecahkan
berbagai masalah. Prof. Dr. Amin Abdullah memaparkan ada dua ranah keprihatinan
umat islam dewasa ini dalam memahami Al-Qur’an. Pertama, bagaimana dapat
memahami ajaran Al-Qur’an yang bersifat universal (rahmatan li al-alamin)
secara tepat, setelah terjadi proses modernisasi, globalisasi, dan informasi
yang membawa perubahan sosial yang begitu cepat. Kedua, bagaimana
sebenarnya konsepsi dasar AL-Qur’an dalam menaggulangi ekses-ekses negatif dari
deru roda perubahan sosial pada era modernisitas seperti saat ini. Untuk itulah
Al-Qur’an berusaha di dialogkan dengan realita zaman sekarang, melalui studi
kontekstualitas Al-Qur’an (studi tentang peradaban). Jadi pada dasarnya sama
juga dengan Pendekatan Sosio-Historis. Pendekatan sejarah tersebut tidak bisa
lepas dari asbab al-nuzul ayat Al-Qur’an yang biasanya-walau tidak seluruhnya-
bersumber dari sunah, atsar ataupun dari tabi’in. Jadi, secara metodologis
tekhnik ini termasuk kedalam metode tafsir bi al-ma’tsur. Hubungan teks dan
konteks bersifat dialektis, teks menciptakan konteks, persis sebagaimana
konteks menciptakan teks, sedangkan makna timbul dari keduanya.
Contoh:
1. Dalam masalah wanita solat di rumah atau di masjid
2. Dalam masalah laki-laki pemimpin wanita
3. Dalam masalah Perusahaan yang semuanya laki-laki dihadapkan pada kewajiban
shalat jum’at. dll
Dari berbagai pendekatan di atas maka gambaran bahwa
masing-masing pendekatan memiliki karakteristik sendiri, sehingga untuk
menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur’an tergantung pada latar belakang mufassir,
kepentingan penafsiran, corak atau warna, aliran, orientasi dan disesuaikan
dengan perkembangan zaman.
Seperti yang telah diuraikan, Pendekatan subjektif
adalah pendekatan yang terkait dengan kepentingan pribadi atau kelompok.
Pendekatan objektif adalah pendekatan empiris yang bertumpu pada kepentingan
ilmiah semata, pendekatan langsung (pendekatan menggunakan al-Quran, hadits dan
ijtihad para sahabat), pendekatan tidak langsung (penggunaan pendapat-pendapat
ulama, riwayat kenyataan sejarah di masa turunnya Al-Qur’an, pengertian bahasa
dan lafadl Al-Qur’an, kaedah lafadl bahsa, kaedah-kaedah intinabat serta
teori-teori ilmu pngetahuan), Pendekatan Komprehensif (dalam hal ini, kandungan
ayat Al-Qur’an berusaha dijelaskan dari berbagai seginya dengan memperhatikan
runtutan ayat-ayat AL-Qur’an sebagai yang tercantum di dalam mushaf, segala
segi yang di anggap perlu di uraikan bermula dari arti kosakata, asbab
an-nuzul, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat,
Pendekatan sektoral adalah pendekatan yang membahas objek dengan memandangnya
terlepas dari objek lainnya, Pendekatan Monodisipliner, Pendekatan Multi
disipliner, dan Pendekatan Interdisipliner (ketiga pendekatan yang orientasi
pengkajian Al-Quran sama-sama merujuk pada bidang ilmu pengetahuan, hanya
saja berbeda dalam prakteknya) kemudian Pendekatan Tekstual dan Pendekatan
Konstektual (Pendekatan yang mengutamakan makna-makna yang sebenarnya di dalam
al-quran yang kemudian akan dikolaborasi dengan kejadian-kejadian atau
fenomena-fenomena kekinian dan yang akan datang dari fakta yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat.
Dari beberapa pendekatan di atas sangat mungkin
dipergunakan oleh para mufasir dalam menggali makna-makna Al-Quran yang
terkandung dalam ayat-ayatnya, dan tidak menutup kemungkinan dimasa-masa
sekarang dan akan datang para mufasir akan menemukan pendekatan-pendekatan baru
dalam studi Islam khususnya dalam menafsirkan Al-Quran yang bersifat universal.
C. Bentuk Tafsir
1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan
ayat, penafsiran dengan hadist Nabi SAW, yang menjelaskan makna sebagian ayat
yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat atau penafsiran ayat dengan hasil
ijtihad para sahabat, atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in.
semakin jauh rentang zaman dari masa nabi dan sahabatnya, maka pemahaman umat
tentang makna-makna ayat al-Qur’an semakin bervariasi dan berkembang
(al-Farmawi. 1994:13)
Kitab-kitab tafsir yang memuat Tafsir bi al-Ma’tsur
yaitu, Jami’al Bayan fi Tafsiri Al-Qur’an: Ibn Jarir Ath-Thabari (w. 310 H),
al-Kasyfu wa al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an: Ahmad Ibn Ibrahim (427 H), Ma’alimu
al-Tanzil : Imam al-Husain Ibn Mas’ud Al-Baghawi (516 H), al-Jami’ li Ahkam
al-Qur’an : Al-Qurthubi (671 H), Tafsir al-Qur’an al-Adhim: Imam Abul Fida’
Ismail Ibn Katsir (774 H), Ad-Durru al-Mantsur fi tafsir bi al-Ma’tsur:
Jalaluddin as-Suyuti (911 H) (Nasir, 2003:15).
2. Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an dengan
ijtihad, terutama setelah seorang penafsir itu betul-betul mengetahui perihal
bahasa arab, asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dan hal-hal lain yang diperlukan
oleh lazimnya seorang penafsir seperti mengenai syarat-syarat penafsir (Arsyad,
1996:60).
Tatkala ilmu-ilmu keislaman berkembang pesat, disaat
para ulama telah menguasai berbagai disiplin ilmu, dan berbagai karya ilmu,
maka karya tafsir juga ikut bermunculan dengan pesatnya dan diwarnai oleh latar
belakang pendidikan masing-masing pengarangnya. Masing-masing pengarang
mempunyai kecendrungan dan arah pembahasan tersendiri berbeda dengan yang lain.
Bermula dari gejala demikian, lahirlah bermacam-macam tafsir (al-Farmawi,
1994:15)
Banyak dalil-dalil al-Qur’an yang di jadikan landasan
dalam menafsiri al-Qur’an secara ra’yi seperti: Artinya “Ini adalah sebuah
Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran. (QS.Al-Shaad: 69).
Corak tafsir bi Al-Ra’yi ini ada yang diterima dan ada
pula yang ditolak. Tafsir bi al-Ra’yi ini dapat diterima sepanjang
penafsirannya memenuhi syarat-syarat tafsir. Yang harus diperhatikan adalah:
(1)Menjauhi sikap terlalu berani menduga-duga kehendak allah di dalamnya, tanpa
memiliki persyaratan sebagai penafsir (2) Memaksa diri memahami sesuatu yang
hanya wewenang allah untuk mengetahuinya (3)Menghindari dorongan dan
kepentingan hawa nafsu (4)Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan
madhab semata, dimana ajaran madzhab dijadikan dasar utama sementara tafsir itu
sendiri di nomorduakan, sehingga terjadilah berbagai kekeliruan (5)Menghindari
penafsiran pasti (qath’i), dimana seorang mufassir tanpa alas an mengkalim
bahwa itulah satu-satunya maksud Allah SWT (al-Farmawi, 1994:16).
Diantara kitab-kitab tafsir bi al-Ra’yi adalah:
Mafatihu al-Ghaib: Fahruddin ar-Razi (w. 606 H ), Anwaru al-Tanzil wa israrut
Ta’wil: Imam al-Baidhawi (692 H), Madariku al-Tanzil wa Haqaiqut ta’wil: Abul
Barakat an Nasafi (w. 710 H), Lubabu al-Ta’wil fi ma’ani al-Tanzil: Imam
al-Khazin (w.741H) (Nasir, 2003:15).
3. Tafsir bi al-Isyari
Diantara kelompok sufi ada yang mendakwakan bahwa
riyadah rohani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan menyampaikan pada
suatu tingkatan dimana ia dapat menyingkap isyarat-isyarat kudus yang terdapat
di balik ungkapan-ungkapan qur’an, dan akan tercurah pula ke dalam hatinya dari
limpahan ghaib.
Setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna yang
bathin. Yang zahir ialah apa yang segera mudah dipahami akal pikiran
sebelum yang lain, sedangkan yang bathin ialah isyarat-isyarat tersembunyi
dibalik itu yang hanya Nampak bagi ahli suluk. Contok tafsir isyari apa yang
diriwayatkan dari Ibn Abbas persoalan maksud ayat;
#sÎ) uä!$y_ ãóÁtR «!$# ßx÷Gxÿø9$#ur ÇÊÈ
Artinya:”Apabila Telah datang pertolongan Allah dan
kemenangan,(Q.S. 110.1)
Para sahabat mengatakan maksud dari ayat ini adalah”
kami diperintahkan agar memuji kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya,
ketika kita memperoleh pertolongan dan kemenengan”. Sedangkan sebagain sahabat
yang lain bungkam, tidak berkata apa-apa. Kemudian sahabat umar bertanya
kepadaku, begitukah pendapatmu wahai Ibn Abbas? Kemudian Ibn Abbas
menjawab” ayat itu menunjukkan tentang ajal rasullah yang diberitahukan Allah
kepadanya. Ia berfirman: apabila telah dating pertolongan allah dan
kemenangan. Dan itu adalah tanda-tanda ajalmu (Muhamad), maka bertasbilah
dengan memuji tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Ia
maha penerima taubat. Kemudian sahabat Umar berkata:” Aku tidak mengetahui
maksud ayat itu kecuali apa yang kamu katakana itu” (Al-Qattan, 1996:496).
A. Kesimpulan
Dari pendekatan-pendekatan yang digunakan mufasir dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Quran, seperti pendekatan Objektif dan Subjektif, Pendekatan
Langsung dan Tidak Langsung, Pendekatan Komprehensif dan Sektoral, Pendekatan
Disipliner, Multi disipliner, dan Interdisipliner serta Pendekatan Tekstual dan
Konstektual adalah sekian pendekatan yang orientasi, cara dan metode yang
berbeda namun tujuannya adalah satu yaitu untuk mengetahui makna sesungguhnya
yang dikehendaki oleh ayat-ayat yang ditafsir untuk kesejahteraan dan
kemaslahatan ummat.
Pendekatan kajian tafsir dalam dataran sejarah ilmu tafsir bukan merupakan
barang baru. Hal yang demikian dapat ditelusuri dalam khazanah intelektual yang
diwariskan pada mufasir. Keberadaan pendekatan kajian tafsir sangat di perlukan
guna memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang ajaran Islam, di samping
sebagai upaya menuju kearah pengembangan dan pemecahan problematika tafsir
al-Qur’an dalam era golabalisasi yang penuh dengan tantangan.
DAFTAR PUSTAKA
Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), 1990. Metodologi Penelitian
Agama adalah sebuah pengantar. Yokyakarta: Tiara Wacana.
Abuddin Nata, 2013. Metodologi
Studi Islam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Manna Khalil Al-Qattan,
2010. Studi Ilmu-ilmu Quran,
(diterjemahkan oleh Muzakkir AS). Jakarta, Litera Antar Nusa dan Pustaka
Islamiah
Mahmud Basuni Fauzah, 1987.
al-Tafsir wa Munahijuh, (diterjemahkan oleh H.M. Moctar Zoerni dan abdul
Qadir Hamid), Tafsir-Tafsir al-Qur’an Perkenalan dengan metodologi
Tafsir. Bandung, Pustaka.
Abuddin Nata, 1999. Metodologi
Studi Islam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Hasbi Ash-Shiddieqy, 1980. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir. Bulan Bintang, Jakarta.
Hasbi Ash-Shiddieqy, 1980. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir. Bulan Bintang, Jakarta.
M. Quraish Shihab, 1992. Membumikan Al-Quran. Mizan, Bandung.
Muhaimin (et.al). 2013. Studi
Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, Jakarta: Kencana Pranada Media
Group
Kaelan, 2010. Metode
Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, Yokyakarta: Paradigma.
Abdul wahab Khalaf, Tarikh al-Tasri’ al-Islami, Maktabah Salim bin
Nabhan, Surabaya, tnp.thn
Abd. Al hay Al-farmawi, 1977. Al bidayah Fi Al-tafsir Al-Maudhu’i, Mesir:
Al Hadharat al arabiyah,
Abu Yahya
Zakaria Al-Anshori .Ghoyatul Wusul. Al-Hidayah, Surabaya,tnp thn. hlm.
71.
Jalal al-Din As-Suyuti, Al’itqan fi Ulum al-Qur’an, Maktabah Dar
al-Turots, Kairo, tanpa.tahun.juz 1.
Jalal al-Din As-Suyuti , lmu al-Tafsir Manqul Min Kitab Itmam al-Diroyah.
Karya Toha Putra, Semarang, tnp. thn.
M. Fatih Suryadilaga (et.al), 2005. Metodologi Ilmu
Tafsir,Teras, Yogyakarta,
Quraisyi.Syihab, 2005.Tafsir al-Misbah. Lentera Hati, Tangerang
Rachmat Syafe’i, 2006. Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, Sahiron Syamsudin, dkk, 2003.Hermeneurika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Islamika. Yogya.
Quraisyi.Syihab, 2005.Tafsir al-Misbah. Lentera Hati, Tangerang
Rachmat Syafe’i, 2006. Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, Sahiron Syamsudin, dkk, 2003.Hermeneurika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Islamika. Yogya.
Nashruddin Baidan. 1998. Metodologi Penafsiran
al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Pelajar.