PENYEBARAN HADITS PADA MASA RASUL
DAN SAHABAT (STUDI HADITS)
A. Pendahuluan
Al-Hadits merupakan refrensi kedua sebagai
rujukan dalam segala amal-amal yang dilakukan oleh kaum muslimin setelah
al-Qur’an, al-Hadits juga bisa dijadikan sebuah penjelasan dan nalar dari kitab
al-Qur’an, al-Hadits diibaratkan sebuah tonggak penggerak dari pondasi yang
bernama al-Qur’an, al-Qur’an berjalan beriringan dengan al-hadits dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain (Aziz, 1984:16) oleh
karena itu, Nabi Muhammad saw sebagai orang yang dipercaya memegang amanah itu,
mempunyai kewajiban untuk menyampaikan kepada ummatnya, untuk dipedomani dalam
kehidupan manusia.
Dalam hal penyampaian,
Rasulullah Muhammad SAW, tidak memberatkan para murid atau Sahabat dalam
memperoleh hadits, Nabi memberikan dedikasi yang sangat tinggi kepada sahabatnya
bahwa Nabi tidaklah meninggalkan harta, ataupun barang-barang yang berharga
lainya, melainkan beliau meninggalkan sebuah pusaka yang ampuh untuk dijadikan petunjuk
dalam kehidupan yang lebih bermakna yaitu al-Qur’an dan al-hadits.
Dalam sejarah telah
dijelaskan bahwa pada masa sahabat belum ada pembukuan hadits secara resmi,
baik oleh sahabat maupun yang diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk
membukukan hadits sangat terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan
hadits, beliau meminta pendapat para sahabat dan menyarankan untuk membukukannya,
namun hal itu tidak berjalan karena dalam Istikharahnya Umar bin Khattab tidak
mendapat petunjuk.
Kemudian pada masa tabi’in wilayah
islam bertambah luas, perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran ulama
untuk menyampaikan ajaran ilsam di daerah-daerah, termasuklah ulama-ulama al-Hadits,
penyebaran hadits disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu
sendiri, sehingga hadits yang dimiliki oleh ulama hadits tidak merata, maka
kondisi tersebut menjadi sebab peristiwa kodifikasi hadits.
Kodifikasi ini disamakan
dengan tadwin al-Hadits, tentunya berbeda dengan penulisan Hadits dengan Kitabah
al-Hadits, Tadwin al-hadits mempunyai makna “penulisan hadits Nabi ke dalam
suatu buku (himpunan, dan susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas
yang berlaku umum dari lembaga kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan
Kitabah al-Hadits itu sendiri asal mulanya merupakan hasil kesaksian sahabat
Nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa yang
disaksikan oleh sahabat itu lalu disampaikannya kepada orang lain, dan
seterusnya, baik secara lisan maupun tulisan, jadi belum merupakan kodifikasi, tetapi
baru merupakan tulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi.
Sehubungan dengan hal di atas untuk
mendapatkan penjelasan yang cukup, maka di dalam makalah ini akan dibahas
berbagai bidang sehubungan dengan penyebaran al-Hadits pada masa Rasulullah dan
Sahabat.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Hadits.
Para Muhadditsin (Ulama Ahli Hadits) berbeda-beda
pendapatnya dalam mena’rifkan Al-Hadits. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan
karena terpengaruh oleh luas dan sempitnya dalam pemahaman mereka
masing-masing. Dari perbedaan sifat peninjauan mereka itu melahirkan dua macam
ta’rif Al-Hadits, yakni: ta’rif yang terbatas dan ta’rif yang luas.
a.
Ta’rif Hadits yang sifatnya terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh Jumhuru
‘l-Muhadditsin, ialah:
ما أضيف للنبي صلى الله عليه وسلم قولا أوفعلا أوتقريرا
أونحوها
“Ialah
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammadsaw baik berupa perkataan,
perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya”.
Ta’rif ini mengandung 4
macam unsur yakni perkataan, perbuatan, pernyataan sifat-sifat atau keadaan-keadaan
Nabi Muhammad saw yang lain, yang semuanya hanya disandarkan kepada beliau
saja, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada sahabat dan tidak pula
kepada Tabi’iy.
b. Ta’rif
Al-Hadits yang luas, sebagaimana yang diungkapkan oleh sebahagian Muhadditsin,
tidak hanya mencakup sesuatu yang dimarfu’kan kepada Nabi Muhammad saw saja,
tetapi juga perkataan, perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada sahabat dan
Tabi’iy pun disebut Al-Hadits. Sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad
Mahfudh:
إ ن الحديث لا يحتص بالمرفوع إليه صلى الله عليه وسلم
بل جاء
بإطلا فيه أيضا للموقوف [وهو مااأضيف إلى الصحابي
من قول
ونحوه] والمقطوع [وهو مااأضيف للتابعي كذلك]
“Sesungguhnya Hadits itu bukan hanya yang dimarfu’kan
kepaada Nabi saw saja, melainkan dapat pula disebutkan pada apa yang ‘mauquf’
(dihubungkan dengan perkataan dan sebagainya dari sahabat), dan pada apa yang
‘maqtu’ (dihubungkan dengan perkataan dan sebagainya dari tab’iy) Rahman,
1970:28).
2.
Pengertian sahabat
Secara etimologis, kata “sahabat” berasal dari shahiba, bentuk pluralnya ashhab dan ashahib, yang mempunyai arti, menemani atau menyertai, kata shahiba seringkali digunakan untuk
setiap orang yang menyertai orang lain dalam pergaulan hidup, baik penyertaan
itu hanya sebentar saja maupun dalam waktu yang relative lama. Setahun,
sebulan, sehari atau hanya sesaat, maka hal itu dapat dikatakan sebagai sahabat
(Manzhur, Tth: 7).
Pendapat demikian ini juga dikatakan oleh Ajjaj al-Khatib
yang menjelaskan bahwa setiap orang yang menyertai atau menemani orang lain,
baik lama atau sebentar, bisa dikatakan sebagai sahabat, kata shahabi itu berasal kata al-suhbah, yang sinonim dengan kata shahiba, yaitu menyertai, penggunaan
kata itu berlaku pula untuk orang yang menyertai Nabi SAW kendatipun hanya satu
hari atau satu jam, sesuai dengan asal katanya sahabat. (Ushul al-Hadits, Ttp-Tth: 385.).
Dalam ilmu hadits, sebutan sahabat digunakan untuk
orang-orang yang menyertai Nabi Muhammad SAW selama menyebarkan risalah Allah
SWT definisi yang diberikan para ulama mengenai sahabat ini berbeda-beda ada
yang secara ringkas dan ada pula yang menjelaskan dengan cara terperinci, perbedaan
itu tampaknya disebabkan tidak adanya dalil yang secara langsung menjelaskan
apa yang dimaksud dengan sahabat, meskipun banyak ayat atau sabda Nabi SAW yang
menyatakan peranan sahabat di hadapan Rasul, dari dalil-dalil inilah lahir
definisi sahabat, sangatlah lumrah, apabila terjadi ketidaksamaan pandangan,
terutama dalam pemaparannya.
Secara umum para ulama hadits mengatakan bahwa yang dikatakan
sahabat adalah umat Islam yang pernah melihat Rasulullah SAW, para ulama (Al-Jawi,
Tth: 04 dan al-Bukhari, Tth: 287) mendefinisikan
sahabat sebagai berikut:
a.
Muhammad Nawawi al-Jawi berpendapat bahwa orang yang dinyatakan sahabat
Nabi itu adalah setiap mukmin yang berkumpul dengan Nabi setelah beliau
diangkat menjadi Rasul, meskipun belum ada perintah untuk berda’wah. Yakni,
dengan pertemuan yang saling mengenal walaupun dalam keadaan gelap, buta, belum
baliqh, bahkan hanya sekedar bertemu atau melihat atau dilihat Nabi kendatipun
dengan jarak jauh, hal ini dinyatakan tetap sebagai sahabat Nabi.
b.
Al-Bukhari menyatakan yang disebut sahabat itu adalah orang yang menyertai
Nabi atau melihatnya sedangkan dia dari kalangan orang-orang islam, maka ia
adalah sahabat
c.
Menurut Ibnu Hazm bahwa yang dinamakan sahabat Rasul itu adalah setiap
orang yang pernah bersama-sama dengan nabi dalam suatu majlis, walaupun sesaat
dan dapat mendengarkan pembicaraan Nabi walaupun sekalimat atau dapat melihat
sesuatu yang ia memahaminya dari Nabi itu.
d.
Ibnu al-Shalah dalam muqaddimah bukunya mengatakan bahwa menurut kalangan
ulama ahli hadits, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu al-Mudhaffar al-sam’ani,
bahwa yang dinamakan sahabat nabi itu adalah orang-orang yang meriwayatkan hadits
secara langsung dari Nabi walaupun hanya satu buah saja. Bahkan
menurut para ulama, orang yang hanya melihat Nabi bias disebut sebagai sahabat.
Selanjutnya pengertian Sahabt menurut
Dr. Muhajirin, MA dalam penjelasan beliau pada materi kuliah pada tanggal
08-01-2012 di ruang belajar PPs IAIN Raden Fatah Palembang, beliau mengatakan
sahabat adalah orang yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad SAW yang beriman
kepada Allah dan mati dalam keadan beriman kepada Allah SWT pula. Pendapat beliau
selaras dengan pengertian sahabat adalah:
من لاقي رسولالله صلى الله عليه وسلم ملا قاةعرفية في حال الحياة
حال كونه مسلما ومؤمنابه
Artinya: “Orang yang bertemu dengan
Rasulullah SAW dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah saw masih hidup,
dalam keadaan Islam lagi Iman” (Rahman, 1970:281).
Jadi dari
pengertian di atas yang dimaksud sahabat menurut Jumhur Ta’rif di atas adalah
orang-orang yang pernah bergaul dan hidup semasa dengan Rasulullah saw,
kendatipun mereka tidak pernah meriwayatkan sepotong hadits dari Rasulullah
atau pertemuan dengan Rasul dalam waktu yang pendek, namun dititik beratkan pada posisi keimanan
mereka, dimana semasa kehidupannya itu dalam keadaan Islam dan Iman sebaliknya
ketika ia wafatpun dalam keadaan Islam dan Iman pula. Inilah yang dimaksud sahabat
dalam pembahasan makalah ini.
3.
Cara Rasul Menyampaikan Hadits Kepada Sahabat
Syeikh Muhammad at-Thahhan menjelaskan, dalam mengajar hadits, Nabi
menggunakan tiga metode, yaitu lisan, tulisan dan peragaan praktis (Tahhan, 2007:27)
a.
Metode Ucapan (Lisan)
Sebagai seorang guru
seluruh umat manusia, tentu Nabi berupaya keras agar ajaran yang beliau
sampaikan dapat dipahami, dihayati dan diamalkan, dengan demikian ajaran yang
telah disampaikan itu tetap otentik dan tidak mudah terlupakan, oleh karena itu
Nabi biasa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali, setelah beliau yakin
pelajaran yang disampaikan mampu dipahami dan dihafal oleh para Sahabat, maka
beliau berkenan untuk memerintahkan para Sahabat untuk menirukan ucapannya,
sekaligus mendengarkan dan mengoreksinya.
Dr. Safar ‘Azimillah
menjelaskan dalam bukunya bahwa pada waktu itu para Sahabat tidak mendengar
dengan keseluruhan hadits yang disampaikan Nabi dalam satu pertemuan
dikarenakan masing-masing dari mereka mempunyai kesibukan dan kegiatan yang
tidak bisa ditinggalkan (Azmillah, 1984:11), para Sahabat yang datang dari
daerah-daerah terpencil, menjadi tanggung jawab penduduk Madinah, tidak hanya
soal akomodasi dan konsumsi, tapi juga pendidikan mereka dalam ilmu al-Qur’an
dan al-sunah, Nabi biasa melemparkan pertanyaan untuk mengetahui, sejauh mana
pengetahuan mereka, hal ini dilakukan oleh Nabi dalam rangka memudahkan para sahabat
belajar dan memperoleh hadits.
Fakta tersebut menunjukkan
bahwa pengajaran al-Qur’an dan Hadits dilakukan terjadi dalam dua kategori, Pertama,
Nabi mengajar Sahabat yang dekat dan sering bertemu dengan beliaui, Kedua para
Sahabat dan penduduk Madinah yang sering bertemu Nabi tersebut mengajarkan ilmu
yang telah mereka peroleh kepada Sahabat yang tidak sering bertemu Nabi. Kemudian dalam kesempatan lain Nabi
berusaha mengevaluasi dan menilai kemampuan ilmu mereka yang diperoleh dari sabahat
yang sering bertemu beliau, kegiatan ilmiah ini berjalan terus menerus sampai
beliau wafat pada 11 H / 632 M.
b.
Metode Tulisan
Gerak diplomasi Rasul untuk mengirim delegasi khusus
untuk menyampaikan surat kepada raja dan penguasa dikawasan Timur Tengah pada
waktu itu, dan surat beliau kepada para kepala suku dan gubernur muslim dapat
dikategorikan sebagai metode penyebaran hadits melalui media tulis. Beberapa surat tersebut sangat
panjang dan mengandung berbagai masalah hukum, seperti zakat, jizyah, dan
cara-cara ibadah lainya.
Menurut data yang saya ketahui,
untuk melakukan kegiatan “diplomasi dan managemen pemerintahan” tersebut, Nabi
mengangkat 42 juru tulis yang siap bekerja pada saat diperlukan. Masuk dalam
kategori ini yaitu kegiatan imla’ Nabi, para Sahabat seperti Ali bin Abi
Thalib dan Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash (Tahan, 2007:26), Rasul juga
pernah memerintah agar transkrip khutbahnya dikirim kepada seorang warga Yaman
bernama abu Syadi.
Salanjutnya, Tahhan
(2007:27) dari
data-data tersebut dapat ditegaskan bahwa penyebaran hadits melalui media
tulisan dilakukan oleh Rasul secara terencana dan terarah. Oleh karena itu,
saya memahami larangan Rasul untuk menulis hadits seperti laporan Abu Said
al-Khudri, yang menyatakan Rasul bersabda: “janganlah anda menulis
(sesuatu) dari saya. Barang siapa yang telah terlanjur menulis, maka
hapuslah. Ceritakanlah (segala sesuatu) dari saya; demikian tidak apa-apa”, sebagai
larangan penulisan hadits yang tidak professional, sebab saat itu dikhawatirkan
akan bercampur dengan al-Qur’an.
Ada beberapa keuntungan dari metode
ini, yaitu:
a)
Lebih terjaga dan terpeliharanya hadits – hadits Rasulullah S.A.W baik dengan hafalan maupun tulisan. Hadits menjadi terpelihara dari kemusnahan dan
pemalsuan. Pada saat itu mulai banyak penghafal hadits yang wafat, umat Islam
terpecah belah dalam sekte dan golongan, banyak para pemalsu hadits,
sehingga untuk menjaga kemurnian dan keutuhan hadits maka perlulah dibukukan.
b)
Hadits – hadits yang tersebar dalam hafalan para rawi
dan dalam lembaran-lembaran menjadi terkumpul dan tersusun dalam buku-buku,
sehingga semakin memudahkan dalam menjaga dan mempelajarinya, baik mempelajari matan,
sanad, dan hal – hal lain yang berkaitan dengan hadits.
c)
Mendorong dan memotifasi lahirnya karya – karya
dalam bidang hadits. Dari sini banyak ulama yang menulis buku – buku dalam
bidang hadits, baik berbentuk buku-buku matan, sharah, tahqiq, takhrij, tarikh,
dan lain-lain yang membawa manfaat cukup besar bagi umat.
c.
Metode Peragaan praktis
Sepanjang hidup Rasul saw
terhitung sejak belaiu menerima wahyu segala perilaku, ucapan, persetujuan dan
peragaan praktisnya dianggap sebagai Hadits, seperti Rasul memperagakan cara berwudhu,
shalat, haji, dan lain-lain.
Dalam setiap segi
kehidupan, Rasul memberi pelajaran praktis disertai perintah yang jelas untuk
mengikutinya. Misalnya beliau bersabda: “Shalatlah anda seperti saya
mempraktekkan shalat” dan juga beliau bersabda: “Ambillah
cara-cara haji anda (manasik) dari cara aku melaksanakan haji.
Dalam menjawab pertanyaan,
disamping Rasul menjawab langsung secara lisan (sunnah qawliyah), beliau
selau minta kepada si penanya untuk tinggal bersama beliau dan belajar melalui
pengamatan terhadap perilaku dan praktik ibadah beliau sehari.
Cara inilah dalam metodologi penelitian modern tergolong ke dalam kategori pendekatan interdisipliner atau
pendekatan campuran
antara penelitian kuantitatif dan kualitatif, suatu model penelitian yang jika dilakukan
secara sungguh-sungguh validitasnya sangat meyakinkah dan komprehensif.
4. Cara Sahabat Menerima Hadits
Pada Masa Nabi
Banyak
hadits yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadits Yang kita lihat sekarang ini adalah berkat
kegigihan dan kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara hadits
pada masa dahulu. Cara para sahabat menerima hadits pada masa Rasulullah Saw berbeda
dengan cara yang dilakukan oleh
generasi setelah itu. Cara para sahabat menerima hadits
dimasa Nabi Muhammad Saw yaitu dilakukan oleh sahabat yang dekat dengan beliau,
dengan kesungguhan dan minat
yang besar untuk memperoleh hadits
dari pada Nabi Muhammad Saw, oleh karena itu mereka
berusaha keras mengikuti Nabi Muhammad Saw agar perkataan, perbuatan atau
taqrir beliau dapat mereka terima atau mereka lihat secara langsung (Yuslem,
2001:88).
Jika
diantara para sahabat ada yang berhalangan maka dicari sahabat yang lain untuk dapat
mendengar dan melihat yang disampaikan, Nabi Muhammad Saw dalam setiap perkataan,
perbuatan, baik yang bersangkutan dengan aqidah, ibadah, muamalah akhlak dan
masalah-masalah lainnya, beliau selalu berusaha agar semuanya dapat dilihat, di
dengar, dihafal dan diingat oleh para sahabat, dan kemudian untuk disampaikan
kepada sahabat yang lain yang pada waktu itu tidak sempat hadir, seperti,
tindakan yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dan sahabat-sahabat lainnya serta
tetangganya, diantara mereka saling bergiliran dalam menerima dan
menginformasikan hadits yang diterima langsung dari Rasulullah saw, sesuai
dengan kedudukan dan posisi diantara mereka siapa yang lebih dulu telah
menerima hadits dari Nabi Muhammad saw (Al-kharib, 1981:20).
Berikut ada empat cara yang ditempuh
oleh para sahabat untuk mendapatkan hadits dari Nabi Muhammad Saw:
a.
Sahabat
mendatangi pengajian yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Rasulullah selalu
menyediakan waktu bagi para sahabat untuk menyampaikan berbagai persoalan
mereka yang terkait dengan ajaran agama Islam. Para sahabatpun selalu dan
secara bergantian mengikuti berbagai majelis yang mengkaji berbagai pesan-pesan
keagamaan, kemudian menyampaikan pesan-pesan (hadits) yang diterima kepada
sahabat-sahabat lain yang tidak sempat hadir pada waktu pengajian (Yuslem, 2001:15), dalam arti
sahabat yang mendatangi Nabi Muhammad saw. Dan terkadang permasalahan datang
dari para sahabat untuk ditanyakan kepada Nabi Muhammad saw.
b.
Rasulullah sendiri yang mengalami berbagai persoalan dan Rasul sendiri yang
menyampaikan persoalan tersebut kepada para sahabat, jika sahabat yang hadir
jumlahnya banyak maka apa yang disampaikan oleh Nabi dapat tersebar luas, tetapi
apabila sahabat-sahabat yang jumlahnya sedikit maka
Nabi Muhammad Saw memerintahkan kepada
sahabat-sahabat yang hadir untuk segera menyampaikan berita tersebut kepada
sahabat-sahabat yang tidak hadir.
Contoh
sebagaimana peristiwa yang dialami oleh Nabi sendiri dengan seorang pedagang,
Seperti: yang termaktub didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad sebagai
berikut:
“Dari Abu Hurairah, r.a bahwa Rasulullah saw melewati
seorang penjual makanan, lantas beliau bertanya bagaimana caranya engkau
berjualan? pedagang menjelaskannya pada Rasulullah, selanjutnya beliau menyuruh
pedagang itu memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut, ketika
tangannya ditarik keluar terlihat tangannya basah, maka ketika itu Rasulullah
bersabda, tidaklah termasuk golongan kami orang yang menipu (Al-Khatib, 1981:60).
Dari
pengertian hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa, Rasulullah jika melihat
para sahabat melakukan kesalahan segera Rasul memperbaikinya, sebagaimana
diriwayatkan oleh Umar Ibnu Khattab bahwa ia menyaksikan seseorang sedang
berwudhu untuk melakukan shalat, namun orang tersebut tidak membasahi bagian
atas kuku kaki, lantas hal tersebut dilihat oleh Rasulullah Saw, dan beliau
segera memerintahkan kepada orang tersebut untuk mengulangi kembali wudhuknya
itu, dan orang tersebut juga segera mengulangi wudhuknya itu dengan sempurna, ini
salah satu contoh beliau jika mengalami satu-satu persoalan segera diperbaiki,
walaupun persoalan tersebut dianggap kecil. (Khudri, 1967:110).
Diantara
para sahabat ketika mengalami berbagai persoalan kemudian mereka menanyakan langsung
kepada Rasulullah Saw tentang bagaimana hukumnya terhadap persoalan tersebut, kemudian
Rasulullah Muhammad Saw segera memberikan fatwa atau penjelasan hukum tentang
peristiwa tersebut, kasus yang dialami sahabat apakah kasus yang terjadi pada
diri sahabat itu sendiri maupun terjadi pada sahabat yang lain (Al-Khatib, 1981:42).
c.
Sahabat bertanya melalui perentara, contohnya, yakni; sahabat
mengalami satu-satu masalah, tapi sahabat merasa malu bertanya langsung pada
Rasulullah maka sahabat mengutus sahabat yang lain yang berani menanyakan
secara langsung tentang peristiwa apa yang dialami sahabat pada waktu itu,
sehingga tidak ada persoalan yang tidak jelas hukumnya. (Al-Khatib, 1981:18).
d.
Kadang-kadang ada juga sahabat yang melihat secara
langsung Rasulullah Saw melakukan suatu
perbuatan, hal ini berkaitan dengan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan
ibadah haji serta ibadah-ibadah lainnya. Para sahabat yang menyaksikan hal
tersebut segera menyampaikan untuk sahabat yang lain atau generasi sesudahnya,
diantaranya yaitu peristiwa yang terjadi antara Rasulullah dengan malaikat
Jibril mengenai pelajaran tentang Iman, Islam, Ikhsan dan tanda-tanda hari
kiamat. (Yuslem,
2001:93).
Setelah para sahabat menerima hadits dengan cara-cara diatas, para
sahabat terus menghafal dan menguasai hadits tersebut sehingga sahabat hafal dan
ingat sebagaimana halnya ketika sahabat menerima dari
Rasulullah Nabi Muhammad saw. Setelah para sahabat menghafal hadits itu dengan
baik maka hafalan sahabat itu disampaikan lagi kepada sahabat-sahabat yang lain
yang belum menerima hadits dan pelajaran tersebut. Begitulah cara penerimaan
dan penyebaran hadits pada masa Rasul dan masa sahabat.
5. Strategi
Rasul untuk menyebarkan Hadits
1.
Mendirikan Sekolah
Sekolah dalam arti
tradisional didirikan begitu Rasul tiba di Madinah, dengan fokus kebijakan pada
pengiriman guru dan khatib ke berbagai wilayah di luar madinah, misalnya ke
Adzal Qara pada tahun ke-3 H dan Bir Ma’unah pada tahun ke-4 H, ke Najran,
Yaman dan Hadramaut pada tahun ke-9 H.
2. Penyebaran Informasi
Perhatikan sabda Rasul: “Sampaikan
ilmu dariku walaupun satu ayat” (Bukhari’ 1991:9) fokus kebijakan senada dapat
ditemukan pada khutbah Rasul pada haji wada’: “Hendaknya yang hadir
menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir” (Ghazali, 2005: 100) Ini menjadi bukti bahwa tradisi
penyebaran informasi tentang perbuatan dan ucapan Nabi merupakan praktek umum
sejak awal Islam.
Delegasi yang datang ke Madinah
diperintah mengajarkan anggota masyarakatnya, seperti yang terjadi pada diri
Malik bin Huwayrith, yang diperintahkan untuk mengemban tugas tersebut oleh
Rasul. Ia konsisten melaksanakan tugas ini bahkan selama lama Rasul
3. Memberi Motivasi bagi pengajar dan Penuntut Ilmu
Rasululla saw tidak hanya memerintahkan untuk
mendidik masyarakat, tetapi juga disertai penyebutan pahala yang
berlipat ganda bagi para pengajar dan penuntut ilmu, kebijakan ini juga diperkuat dengan ancaman bagi orang yang enggan
menyebarkan ilmu.
Perhatikan lima hadits Nabi ini: Pertama,”Belajar dan menuntut ilmu adalah wajib bagi
tiap muslim” Kedua, “orang yang menyembunyikan ilmu dapat
dimasukkan ke neraka”. Ketiga, “ Barang siapa menempuh jalan
menuju pencapaian ilmu, maka Allah akan memasukkan ke dalam surga, dan para
malaikat mengembangkan sayapya, karena senang kepada para penuntut ilmu, serta
seluruh penghuni surga dan bumi, bahkan
ikan di kedalaman lautan memohonkan ampun untuknya” (Hambal,
1313:196). Keempat, Nabi bersabda:” Jika anak cucu Adam meninggal,
amalnya terputus, kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan
doa anak saleh untuknya” (Muslim,
200:14). Kelima, Nabi bersabda: “Mereka menolak
terlibat dalam proses pendidikan akan mendapatkan hukuman yang akan menimpa
mereka” (Haitami, 1956:164).
Para sahabat setelah Rasulullah saw wafat memiliki
tugas besar dalam menggantikan Rasulullah saw, Pertama; sebagai pemegang
amanat menyampaikan dan mengajarkan al-Quran dan Sunnah Nabi, dalam penyebaran dan menyampaikan Hadits-hadits. Hal ini seperti yang dilakukan
oleh Abu Hurayrah, Umar Ibnu Khottob, Abu Musa al-Asy’ari, Ibnu Abbas, Zayd bin Arqam, Ibn Buraydah, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan Abu Said
al-Khudri sangat berjasa dalam memotivasi tabiin untuk menghafal al-Sunnah. Kedua, dengan dukungan khalifah Umar bin Khattab, menginstruksikan para gubernurnya untuk
mengajarkan al-Qur’an dan sunnah Nabi (Azamai, 1991:184). Beliau sering mengirim sekian guru ke
daerah-daerah untuk mengajar al-Qur’an dan sunnah Nabi (Sa’ad III, 1940: 48).
Ketiga jasa khalifah dalam
menggerakkan para sahabat, hampir seluruh Sahabat yang memiliki pengetahuan
tentang hadits Nabi ikut berjasa dan berperan dalam menyebarkannya, kapan dan
dimanapun mereka berada, asal kesempatan memungkinkan dan perlu, pasti mereka
menyampaikan pengetahuan haditsnya tersebut, baik mereka yang termotivasi
ancaman menyembunyikan ilmu, maupun mereka yang bekerja professional di bidang
pengajaran hadits.
Berkisar lebih kurang 35
tahun umur wafatnya Rasulullah sawt, Islam mulai menyebar ke Afganistan, Iran,
India, Irak, Syiria, Azerbijan, Mesir, Sudan, Ethiopia, Libiya dan negara-negara
lainya, tentu penyebaran Islam ini tidak lepas dari jasa besar para Sahabat
Nabi yang tersebar diseluruh tempat, Akibatnya hadits Nabi pun menyebar seiring
dengan menyebarnya Sahabat ke seluruh penjuru dunia tersebut.
Pada umumnya, sebelum para
Sahabat itu wafat, mereka menyiapkan para kader “penjaga” hadits sebagai
generasi yang harus menerima amanat memikul tanggung jawab mencatat, menghafal
dan menyebarkan sekaligus generasi tabiin inilah yang mengajarkan hadits.
Proses ini terjadi secara alami dan terencana menetapkan syarat-syarat belajar hadits,
demi menjaga kesucian sunnah Rasul itu dari pemalsuan, dan kontaminasi
pemikiran yang sebetulnya tidak otentik berasal dari Rasul SAW.
6. Strategi Sahabat
dalam menyebarkan Hadits
Pada masa Sahabat
penyebarluasan hadits sangat cepat, ini tampak pada masa Utsman bin Affan,
mereka memberikan kemudahan dan kelonggaran kepada para Sahabat untuk
menyebarluaskan periwayatan hadits kemana pun mereka mempunyai keinginan, sesuai dengan keadaan
tersebut, dan sangat pentingnya anjuran mengajarkan ilmu kepada kaum muslimin
yang baru masuk Islam, para Sahabat termotivasi untuk mengemban amanah
tersebut.
Diantara kota-kota yang dkunjungi Sahabat antara lain, yaitu:
a. Madinah
Di kota ini banyak terdapat Sahabat
yang mempunyai keahlian dibidang keagamaan, misalkan Abdullah bin Tsabit.
b. Mekah
Tidak kalah hebatnya dengan kota
Madinah, kota Makkah mempunyai kemajuan sama halnya dengan Madinah. Disana
dtunjuk Muadz bin Jabal yang ditunjuk sebagai guru untuk mengajarkan penduduk setempat tentang halal dan haram.
c. Kufah dan
Basrah
Setelah Irak ditaklukkan
pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, para Sahabat seperti Ali bin Abi
Thalib dan Sa’ad bin Yazid, Anas bin Malik, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah
Ibn Abbas juga termotivasi untuk menyebarkan hadits Nabi.
Gerakan
Penulisan Hadits dengan
motivasi mengemban amanah Nabi, yaitu menyampaikan seluruh ajarannya, jauh
setelah wafat Nabi saw timbul gerakan menulis hadits didorong oleh semangat dan
kemauan pribadi, seperti Sa’id bin Jubair (w.95 h) rajin membuat catatan hadits-hadits
yang berasal dari Abdullah Ibnu Abbas, Ibnu Syihab membuat notula hadits dari
Abd Rahman bin Dzamekhwan, jauh sebelum mereka Sahabat Zubair bin ‘Awwan
diketahui menyimpan naskah catatan hadits Nabawi yang ikut musnah saat membumi
hanguskan rumah-rumah di kota Makkah bertepatan perlawanan pada Yazid bin
Mu’awiyah (Abbas, 2003:18).
Peran aktif pihak
pemerintahan dalam merintis pencatatan hadits yang dipelopori oleh Khalifah
Umar Ibnu Khatab yang bermula memusyawarahkan rencana itu dengan Sahabat dan
berakhir dengan menarik gagasan untuk segera membukukan hadits. Pemerintahan lainnya, seperti Umar
bin Abdul Aziz (memerintah 99-101 h) mulai bertindak sebagai sponsor pencatatan
dan pembukuan hadits dengan menugaskan Abu Bakr Ibnu Hazm selaku
koordinator pelaksana. Pesan tertulis khalifah mengamanatkan agar koleksi
hafalan hadits yang dimiliki oleh ‘Amrah binti Abdul Rahman Al-Anshari dan
Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar diprioritaskan. (Abbas,
2003 : 18).
Himbauan Umar bin Abdul
Aziz yang diamanatkan ke seluruh pelosok negeri Islam baru terpenuhi antara
lain oleh Muhammad bin Abdul Aziz mencerminkan konsensus umat mengenai
pentingnya upaya kembali mencatat dalam mengkodifikasikan hadits, demikian
analisis pengamatan Al-Hafisz Ibnu Hajar al-Asqalani sebagaimana yang dikutip
oleh Hasjim Abbas.
Hipotesa kerja yang melandasi
program pencatatan dan pembukuan hadits, sebagai berikut:
1)
Wilayah territorial Islam dan keadaan umat
Islam semakin luas telah mengundang tanggung jawab meneruskan informasi ajaran
Nabi ke segenap penjuru dunia
2)
Sahabat Nabi berangsur-angsur meninggal, ulama
generasi berikutnya telah menyebar ke berbagai wilayah dan pengikut mereka
bertebaran. Kondisi kecermatan hafalan mereka tidak setangguh generasi Sahabat,
sebab mereka berasal dari bermacam-macam suku bangsa.
3)
Umat Islam telah dilanda penyebaran ajaran
bid’ah, gerakan penentang ajaran, fanatik politik dan ambisi kedudukan telah
menimbulkan perilaku buruk terhadap hadits (muncul hadits palsu/mawdu’ dalam
skala besar).
Gelombang penulisan dan
pembukuan hadits periode berikutnya dilakukan atas prakarsa individu ulama
muhadditsin, antara lain: Ibnu al-Auza’I, Sufyan al-Thauri, Imam Malik,
Muhammad Ibnu Ishaq, Abdullah bin Mubarak dan laits bin Sa’ad. Memperhatikan kecenderungan umum
ulama hadits dalam menghimpun koleksi hadits, mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
1) Memudahkan
usaha menghafal hadits dan menyimpulkan hukum. Tujuan tersebut tampak pada
penyusunan kitab koleksi hadits dengan sistematika musnad, yakni urutan letak hadits
atas dasar nama Sahabat yang meriwayatkannya.
2) Memperkenalkan
pokok ajaran Islam yang menjadi topik bahasan suatu hadits. Tujuan tersebut
melatarbelakangi koleksi hadits dalam bentuk kitab sunan. Hal tersebut terbukti
dengan tata letak hadits mencontoh tata bab-bab dalam kitab fiqih dan setiap
unit hadits selalau dilengkapi dengan judul bertumpu pada aspek kandungan pokok
ajaran hadits yang bersangkutan.
3) Menyajikan
ulasan terhadap kosa kata yang terdapat dalam struktur bahasa matan. Sejalan dengan
tujuan tersebut, maka yang dipentingkan hanyalah penyajian matan hadits untuk
obyek kupasan atas kata-kata gharib ( asing dalam pemakaian komunikasi
sehari-hari) dan kupasan atas susunan kalimatnya.
7. Identifikasi
Sahabat dengan Jumlah Hadits yang dihafal.
Beberapa para Sahabat yang mempunyai
urgensi dan dianggap banyak meriwayatkan hadits, yaitu:
a. Abu Hurairah
Dia
bernama Abdu Rahman bin Shahr biasanya dikenal dengan Abu Hurairah. Dia adalah
Sahabat yang paling banyak meriwatkan ha>dits dan Sahabat yang paling kuat
hafalannya. Sebagaimana Nabi pernah meng amini doa yang yang diminta
langsung oleh Abu Hurairah agar dia dijauhkan dari sifat lupa terhadap
ilmu-ilmu yang telah didapatnya dari Nabi. Bahkan ibn Umar menyaksikan pada
saat Abu Hurairah wafat bahwasanya Abu Hurairah adalah orang yang paling hafal Hadits
Nabi. Hadits yang diriyatkan oleh Abu Hurairah ada 5374 (Ensiklopedia Islam, 2002 : 197).
b. Ibnu Umar
Periwayatan
paling banyak berikutnya adalah Abdullah bin Umar, ia meriwayatkan 2.630 hadits.
Abdullah adalah putra khalifah kedua yaitu Umar bin Khatab dan saudara kandung
Sayyidah Hafshah ummul mukminin. Ia adalah salah seorang diantara orang-orang
yang bernama Abdullah (Al-Abdillah al-Arba’ah) yang terkenal dengan
pemberi fatwa. Ibnu Umar dilahirkan tidak lama sesudah Nabi diutus dan
meninggal pada tahun 73 H. Dia termasuk sahabat yang banyak mengikuti perang
seperti perang Uhud, Qadisiyah, Yamuk, Penaklukkan Afrika, Mesir dan Persia
serta penyerbuah Basrah. Ia meriwayatkan Hadits dari Abu Bakar, Uthman,
Sayyidah ‘Aisyah, Hafshah dan Abdullah bin Mas’ud. Yang meriwayatkan dari Ibnu
Umar diantaranya Said bin al-Musayyab, al-Hasan Basri, Ibnu Syihab az-Zuhri,
Ibnu Sirrin, Nafi’ dan lainnya
c. Anas bin Malik,
2.263 hadits.
Anas
bin Malik adalah urutan ketiga dari Sahabat yang banyak meriwayatkan Hadits.
Anas adalah Khadam (pelayan) Rasulullah yang terpercaya. Ketika ia
berusia sepuluh tahun, ibunya yaitu Ummu Salaiman, membawanya kepada Rasulullah
untuk berkhidmat. Anas wafat pada tahun 93 H
d. ‘Aisyah binti
Abu Bakar
Dia
bernama ‘Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq yaitu salah satu isteri Nabi. ‘Aisyah
menikah ketika berumur 9 tahun di bulan syawal 1 Hijiriyah. Dia adalah salah
satu orang yang mempunyai peran penting dalam Hadits, Hadits yang diriwayatkan
sejumlah 2210. Hal ini memungkinkan, karena ‘Aisyah adalah orang yang cerdas,
tidak mempunyai anak sehingga tidak disibukkan dengan mengasuh dan merawat dan
dia wafat kurang lebih 48 tahun setelah hijrah (Yuslem, 2003 : 138).
e. Abdullah bin
Abbas, 1.660 hadits
Abdullah
adalah sahabat kelima yang banyak meriwayatkan Hadits sesudah sayyidah ‘Aisyah.
Dia adalah putra paman Rasulullah yaitu Al-abbas bin Abdul Muthalib dan ibunya
yang bernama Ummul Fadl Lubabah binti al-Harits – saudara dari Ummul Mukminin
Maimunah. Abdullah lahir tiga tahun sebelum hijrah. Dia satu-satunya sahabat
yang mendapatkan doa Rasulullah agar menjadi pakar takwil (tafsir).
Selain itu Abdullah adalah seorang pakar fiqh yang terkenal. Ia wafat pada
tahun 68 H karena penyakit mata.
f. Jabir bin
‘Abddullah
Dia
bernama Jabir bin Abdullah bin ’Amr bin Harm al-Ansh>ari. Jabir adalah
Sahabat yang tekun dalam memperoleh Hadits dari Nabi dengan kekuatan hafalan
dan tulisannya. Hal ini dibuktikan dari jumlah Hadits yang diriwayatkanya yaitu
1540 Hadits
(Yuslem, 2003:135)
g. Abu Sa’id
al-Khudri, 1.170 hadits
Abu Sa’id al-Khudri adalah orang
ketujuh yang banyak meriwayatkan Hadits, ia meriwayatkan 1.170 Hadits. Abu
sa’id lebih dikenal dengan kuniah nya Abu Sa’id. Nama aslinya adalah
Sa’ad bin Malik bin Sinan. Ayahnya bernama Malik bin Sinan yang gugur pada
perang Uhud. Ia seorang Khudri yang sanadnya bersambung dengan Khudrah bin Auf
bin Harits. Abu Sa’id al-Khudri adalah salah satu Sahabat yang melakukan bai’at
kepada Rasulullah yang berikrarkan tidak akan tergoyah demi memperjuangkan
agama Allah. Ia wafat pada tahun 74 H.
Dalam Kitab Thabaqat Ibnu
Sa’ad sesuai yang dikutip oleh Subkhi Soleh hanya mengelompokkan dalam lima thabaqat (Soleh, 2009 : 323). Setelah diteliti,
jumlahnya meningkat menjadi 12 thabaqat Sahabat menurut urutan yang
lebih dahulu memeluk Islam, hijrah, dan mengikuti perang, diantaranya sebagai
berikut: (Soleh, 2009 : 328-330).
1)
Mereka yang lebih dulu masuk Islam, yaitu
orang-orang uang beriman di Makkah, seperti halnya sepuluh Sahabat yang
mendapat kabar gembira akan masuk surga.
2)
Anggota Dar an-Nadwah yang memeluk Islam
sesudah Umar masuk Islam.
3)
Para Sahabat yang hijrah ke Habsyah pada tahun
kelima sesudah Rasulullah diutus. Mereka terdiri dari 11 laki-laki dan 4
wanita. Diantara mereka adalah Uthman bin Affan, Zubair bin Al-‘Awwan, Ruqayyah
(isteri Uthman bin Affan dan putrid Nabi), Sahlah binti Sahl (isteri Abu
Hudzaifah). Sejajar dengan kelompok ini yaitu para Sahabat yang melakukan
hijrah kedua ke Habsyah. Jumlahnya sekitar 83 orang, diantaranya Ja’far bin Abi
Thalib dan isterinya Asma’ binti Umais, Abdullah bin Jahsy, Ummu Habibah (isteri
Ubaidullah), Abdullah (saudara Ubaidullah), Abu Musa dan Ibnu Mas’ud.
4)
Pengikut perjanjian ‘Aqabah pertama.
Meraka adalah 12 Sahabat Anshar. Diantaranya adalah Jabir bin Abdullah, Uqbah
bin Amir, As’ad bin Zurarah, dan Ubadah bin as-Shamit.
5)
Pengikut perjanjian ‘Aqabah kedua.
Mereka terdiri dari 70 Sahabat Anshar disertai dua orang wanita, diantaranya
termasuk Al-Barra’ bin Ma’rur, Sa’ad bin Ubadah, dan Ka’ab bin Malik.
6)
Para Sahabat Muhajirin yang sampai ke Madinah,
ketika Nabi saw masih berada di Quba, menjelang memasuki Madinah.
7)
Para pengikut perang Badar.
8)
Para Sahabat yang hijrah diantara peristiwa
Perang Badar dan Hudaibiyah.
9)
Para Sahabat yang menaklukkan bai’at di bawah
pohon Hudaibiyah.
10)
Para Sahabat yang berhijrah sebelum penaklukkan
Makkah dan sesudah peristiwa Hudaibiyah, diataranya termasuk Khalid bin
al-Walid.
11)
Para Sahabat yang memeluk Islam pada saat
penaklukkan Makkah. Jumlahnya lebih dari seribu orang, diantaranya termasuk
Mu’awiyyah bin Harb dan Hakim bin Hizam.
12)
Anak-anak yang melihat Nabi saw pada hari
penaklukkan Makkah dan Haji Wada’. Diantaranya dua putra Ali yaitu Hasan dan
Husain, As-Sa’ib bin Yazid al-Kalabi, dan Abdullah bin az-Zubair.
Dari data tersebut bisa dijelaskan
bahwa perbedaan jumlah Hadits yang diterima para Sahabat disebabkan:
1)
Sebagian para Sahabat yang
memiliki kesibukan dalam memimpin sebuah khilafah atau yang lebih
dikenal dengan pemerintahan seperti halnya Abu Bakr as-Siddiq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah dan Zubair. Sedangkan
yang paling banyak masih dipegang oleh Abu Hurairah, sayyidah ‘Aisyah, Ibn Umar
dan lainya dikarenakan mereka tekun, jeli dalam penulisan serta kuat hafalannya
dan tidak mempunyai kesibukan apapun selain belajar dan memperoleh hadits dari
Nabi. Bahkan ada dari
mereka menemani dalam keseharian Nabi, sehingga secara mudah dan terencana
apakah Hadits tersebut berupa perkataan, perbuatan maupun bentuk peragaan
praktis langsung dicernanya. Dari ini kita mendapatkan pelajaran bahwa sesuatu
yang dilakukan secara bersungguh-sungguh pasti akan membuahkan hasil yang
memuaskan.
2)
Dengan adanya pertanyaan dan permasalahan baru
dari manusia sehingga para Sahabat yang tekun termotivasi untuk mencari dan
mendapatkan hadits yang langsung disampaikan oleh Nabi.
3)
Sebagian dari Sahabat mempunyai kesibukan membuka link
keluar kota untuk memperluas daerah kekuasaan seperti halnya Abdullah bin Umar
yang mempunyai tugas tersebut.
4)
Perbedaan pencatatan pada masa Rasul disebabkan
karena sedikitnya sarana penulisan meskipun ini bukan penyebab perbedaan
penerimaan sahabat dalam menerima hadits, tetapi salah satu indikasi (Soleh, 2009 : 34)
5)
Sebagian sahabat mendengar hadits dari
Rasulullah saw dan mengamalkannya, akan tetapi tidak merasa perlu mencatatnya.
6) Sebagian
sahabat hanya sanggup mencatat sedikit, sementara sisanya disibukkan oleh
pencatatan al-Qur’an.
Dari beberapa uraian di atas mengenai perbedaan para sahabat dalam
penguasaan hadits antara lain disebabkan oleh kesibukan khalifah dalam memimpin, disebabkan
asfek ketekunan, sedikitnya sarana penulisan untuk mencatat hadits-hadits yang diterima
individu, mendengar hadits hanya untu mengamalkannya untuk diri mereka sendiri
sehingga mereka merasa perlu mencatatnya dan sebagian
sahabat hanya sanggup mencatat sedikit, sementara sisanya disibukkan oleh
pencatatan al-Qur’an.
C. Kesimpulan
Dari uraian di
atas dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa al-Hadits adalah terdapat dua
macam ta’rif, pertama ta’rif
Hadits yang sifatnya terbatas, yakni; mengandung 4 macam unsur yakni perkataan,
perbuatan, pernyataan sifat-sifat atau keadaan-keadaan Nabi Muhammad saw yang
lain, yang semuanya hanya disandarkan kepada Nabi saja. Kedua, Ta’rif Al-Hadits
secara luas mencakup sesuatu yang
tidak hanya dimarfu’kan kepada Nabi Muhammad saw saja, tetapi juga perkataan,
perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada sahabat dan Tabi’iy pun disebut
Al-Hadits.
Sahabat adalah orang-orang yang pernah bergaul dan hidup semasa
dengan Rasulullah saw, kendatipun mereka tidak pernah meriwayatkan sepotong
hadits dari Rasulullah atau pertemuan dengan Rasul dalam waktu yang
pendek, namun dititik beratkan pada
posisi keimanan mereka, dimana semasa kehidupannya itu dalam keadaan Islam dan
Iman sebaliknya ketika ia wafatpun dalam keadaan Islam dan Iman pula.
Selanjutnya Cara Rasul Menyampaikan Hadits Kepada Sahabat memiliki berbagai
kriteria (metode) diantaranya adalah dengan, Metode Ucapan (Lisan), Metode Tulisan dan Metode Peragaan praktis, kemudian cara hadits
sampai kepada para sahabat juga melalui beberapa cara, pertama, sahabat mendatangi
pengajian Rasulullah saw. Dengan
berbagai permasalahan yang dijelaskan oleh Rasulullah, kedua; Rasulullah
sendiri yang mengalami permasalahan kemudian permasalahan itu pelajarannya
disampaikan kepada para sahabat, ketiga Sahabat
bertanya melalui perentara sahabat lain dan keempat; sahabat yang melihat dan
menyaksikan secara langsung peristiwa dan kejadian yang terjadi pada
rasulullah.
Pada akhir
makalah menjelaskan tentang Strategi para Sahabat dalam menyebarkan Hadits,
pada masa ini hanya satu strateginya adalah motivasi dan dorongan Khalifah
kepada para sahabat untuk menyebar keseluruh pelosok untuk menyebarkan hadits
Nabi Muhammad saw, sehingga dari berbagai kota dapat diidentifikasi para
sahabat serta jumlah hadits yang mereka kuasai.
DAFTAR PUSTAKA
Safar Azmillah, 1984. Maqabisi an-naqd Mutuni as-sunnah, (Riyadh: Saudi Arabia,
Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, ttp.tth. Jilid II hal 7
_________ Ushul al-Hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu.
Muhammad Al-Nawawi Al-Jawi dalam Kasyifat Al-Saja,
Tth.Maktabah wamathba’ah, Pekalongan, Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail,
Tth. al-Jami’ al-Shahih
Fatchur Rahman, 1970. Ikhtisar Mushthalahul
Hadits. Bandung: PT. Al Ma’arif
Nawir Yuslem, 2001. Ulumul Haditst.Jakarta: PT. Mutiara
Sumber Widya
Muhammad Ajaj
Al-kharib, 1981. Assunnah Dablat-Tadwin. Beirut:
Dar al-Fikr
Muhammad Abu Zahwi Abu
Zahwu, , 1987. Al-Hadits wa Al-Muhadditsun, Mesir: Maktabah al-Misriyah
Al-Haytami, 1956. Majma’al-Z}awaid, Cairo: Qudsi
Al-Ajjaj Al-Khatib, 1981. As-sunnah qabla at-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr
Khudri
Bek, 1967. Tarikh Tasyri’ Al-Islam. Kairo: Dar Al-Fikr
DR. Mahmud At-Tahhan, 2007. Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid.Terj. Imam
Ghazali Sa’id. Surabaya: Diantama
MM Azamai, 1991. Studies in Early Hadits Literatre, Riyadh: Maktabah Ma’arif
Ahmad Bin Hanbal, al-Musnad, tp,
1313
Bukhari, 1991.al-Jami’ al-Shahih, Riyadh: Maktabah Ma’arif
Dewan
Redaksi, 2002.Enslikopedia
Islam, Jakarta:
PT.Ichtiar Baru Van Hoeve
Ibnu Sa’ad,
1940. Al - Thabaqat al-Kubra, ed.Schan, Leiden
Muslim, 2000.Shahih Muslim, dalam Mausu’ah al-Hadits, Riyadh:
Dar al-salam
Nawir Yuslem, 2003Ulumul Hadits, Jakarta: Mutiara sumber mulia
Said Imam Ghazali, 2005.Perjalanan Haji Rasul
Dr.Subhki Soleh, 2009.Membahas Ilmu Hadits, Jakarta: IKAPI