A. Pendahuluan
Pada saat ini ummat Islam sedang menghadapi
tantangan dari kehidupan dunia dan budaya modern, karena itu studi Islam
menjadi sangat dibutuhkan (urgen). Studi Islam semakin diminta untuk membuka
diri terhadap masuknya dan digunakannya pendekatan-pendekatan yang bersifat
objektif dan rasional. Selanjutnya dengan perlahan dan bertahap dapat
meninggalkan pendekatan yang bersifat subjektif doktriner,[1]
dengan demikian di harapkan studi Islam akan berkembang dan mampu beradaptasi
dengan dunia modern serta mampu menjawab tantangan kehidupan dunia dan budaya
modern.[2]
Perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini semakin
kompleks dan tidak terbatas pada induk, cabang serta ranting ilmu pengetahuan.
Berbagai problema dan perkembangan peradaban manusia menuntut pengembangan
suatu ilmu tertentu agar kehidupan manusia semakin ber-adab.[3]
Usaha mempelajari agama Islam kenyataannya bukan saja hanya dilakukaan oleh
kalangan ummat Islam saja, melainkan dilaksanakan oleh orang-orang di luar
ummat Islam. Dari latar belakang tujuan kedua subyek yang mengkaji Islam baik
orang Islam maupun non-Islam, orientasinya berbeda, orang Islam mempelajari
Islam agar memiliki pengetahuan tentang Islam, sehingga dapat mengamalkan Islam
dengan benar. Sedangkan orang non-Islam mempelajari Islam hanya semata-mata
sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi).[4]
Dalam studi Islam kontek
agama sebagai wahyu, mencakup beberapa bidang kajian atau penelitian, seperti;
Penelitian tentang “orisinalitas wahyu, asbab al-nuzul, sejarah wahyu, bidang ‘eksegesi’[5]
dan teori eksegesi”[6]. Untuk
mengetahui keorisinalitasan wahyu tidak terlepas dari studi tentang sejarah dan
sebab-sebab wahyu diturunkan. Kemudian dilanjutkan kajian bidang eksegesi dan
teori eksegesinya. Makalah ini berjudul Pendekatan Studi Islam Agama Sebagai
Wahyu, bidang kajiannya dikhususkan pada eksegesi dalam hal ini tafsir
al-Quran.
Muhammad
Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: “Al-Quran
memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan
oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah
mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak
pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”.[7] Dengan kata lain al-Quran selalu terbuka dan senantiasa menerima semua
jenis pendekatan dalam pemahaman al-Quran sehingga hasil studi al-Quran dapat
menjawab berbagai tuntutan zaman.
B. Pembahasan
- Pengertian Tafsir
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “ taf’il”, berasal dari akar
kata al-fasr (f,s,r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan
menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Sedangkan tafsir secara
istilah ialah ilmu yang membahas cara mengucapkan lafaz-lafaz qur’an, tentang
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika
tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya hal-hal lain yang
melengkapinya[8]
Makna lain tafsir dari
segi bahasa menjelaskan, menyingkap, dan menerangkan makna-makna rasional. Kata
at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap.
dalam lisanul Arab dinyatakan: Kata “al-fasr” berarti menyingkap
sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkap lafadz
suatu yang musykil atau pelik.[9]
Muhammad Hin al-Dhabi dalam “tafsir wa al-mufassirun” menerangkan arti
etimologi tafsir dengan al-idhah (penjelasan) dan al-bayan (keterangan), makna
tersebut digambarkan dalam Al-Quran (QS. Al-Furqan ayat 33), sedangkan dalam kamus
yang berlaku, tafsir berarti al-ibahah wa kusyf mugtha (menjelaskan atau
membuka yang tertutuf.[10]
Sedangkan tafsir menurut Al-Kilby adalah mensyarahkan al-Qur’an,
menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya
atau dengan isyaratnya, ataupun dengan tujuannya. Begitu juga menurut
Al-Jurjani tafsir adalah membuka atau melahirkan, menjelaskan makna ayat,
urusannya, kisahnya dan sebab yang karenanya diturunkan ayat, dengan lafaz yang
menunjuk kepadanya secara terang.[11]
Adapun pengertian tafsir secara terminologi ditemukan bahwa para
ulama berbeda-beda secara redaksionalnya dalam mengemukakan definisinya
meskipun esensinya sama. Imam Al-Zarqani misalnya mengemukakan bahwa tafsir
adalah ilmu yang membahas kandungan Al-Qur’an dari segi kandungan makna atau
arti sesuai yang dikehendaki Allah menurut kadar yang kemampuan manusia.
Selanjutnya, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu untuk mengetahui
dan memahami kandungan Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung
didalamnya.[12]
Dari semua definisi diatas menggambarkan bahwa cakupan Ilmu Tafsir sangat
banyak, seperti definisi menurut Al-Qattan dari segi bahasa mengandung makna
menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak,
Sedangkan secara istilah ialah ilmu yang membahas cara mengucapkan lafaz-lafaz
qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya. Al-Jurjani dan Al-Kilby juga
mendefinisikan bahwa tafsir adalah melahirkan makna ayat, urusannya, kisahnya
dan sebab yang karenanya diturunkan ayat, dengan lafaz yang menunjuk kepadanya
secara terang, sedangkan menurut Fauzah mengandung makna menyingkap lafadz
suatu yang musykil atau pelik, dan menurut
Imam Al-Zarqani misalnya mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu
yang membahas kandungan Al-Qur’an dari segi kandungan makna atau arti sesuai
yang dikehendaki Allah menurut kadar yang kemampuan manusia. Selanjutnya,
Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu untuk mengetahui dan memahami
kandungan Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan cara
mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung didalamnya.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa Tafsir adalah sebuah ilmu yang
melingkupi berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran, misalnya Ilmu Qira’ah, Ilmu
Tashrif, Ilmu I’rob, Ilmu Bayan, Ilmu Badi’, Ilmu Ma’ani, Ilmu Ushul, Ilmu
Nahwu dan Sharaf dan masih banyak
lagi ilmu-ilmu lain yang harus dikuasai oleh mufassir dalam menafsirkan al-Quranulkarim. Hal ini
menunjukkan bahwa menafsirkan Al-Quran bukanlah suatu hal yang muda dilakukan dan
bukan pula suatu hal yang sulit ketika seorang mufasir menguasai semua ilmu
yang disyaratkan.
1.
Sejarah
Perkembangan Tafsir
Pada masa Dinasti Abbasiyah ilmu-ilmu keislaman memperoleh kemajuan yang
luar biasa, jauh melebihi kemajuan masa-masa sebelumnya. Lahirnya sejumlah
ahli-ahli di bidang ilmu-ilmu keislaman memperlihatkan ramainya percaturan dan
pembahasan ilmiah di bidang ini. Pada periode ini telah lahir dan muncul para
mujtahid besar yang mungkin tidak dapat ditandingi mujtahid pada periode
manapun.
Demikian pula peletakan dasar-dasar metodologi, hampir semua seluruh
disiplin ilmu agama dirumuskan di masa keemasan Islam (dinasty Abbasiah). Tiori
tentang penelitian hadits Nabi muncul dan berkembang sejalan dengan pelacakan
sabda-sabda Nabi yang berserakan diberbagai tempat oleh para peneliti yang
tekun menghimpun dan menganalisanya. Penetapan hukum Islam yang menuntut
ijtihad maksimal juga mendorong munculnya metodologi istimbath atau penetapan
hukum untuk kemaslahatan kaum Muslim. Begitupun metodologi menafsirkan al-Quran
menjadi suatu yang harus dan wajib dikuasai oleh orang yang akan menfsirkan
al-Quran.
Dari aspek pembahasan metodologi inilah muncul kemudian ilmu-ilmu bantu
yang menjadi pendoman bagi para peneliti ilmu-ilmu keislaman seperti ulumul
hadits, ulumul quran, ushul al-fiqh, dan lain-lain. Dari metodologi ini muncul
ilmu-ilmu yang menjadi produk penelitian dimaksud. Di dalam kelompok ilmu-ilmu
keislaman tersebut berkembang ilmu yang berhubungan dengan Al-Quran, Hadits,
Fiqh, Kalam, Tasawuf dan Tarikh. Perkembangan ilmu-ilmu keislaman tersebut
didukung oleh pembahasan dan penetapan metodologi yang sistimatis dan mapan.
Selanjutnya kemunculan ilmu tafsir
disebabkan desakan kebutuhan masyarakat akan petunjuk-petunjuk dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari.[13]Hal ini
sangat logis karena pada zaman Nabi, semua permasalahan yang menyangkut
penafsiran Al-Quran langsung dilakukan oleh Nabi Muhammad sendiri. Seluruh
problematika sosial masyarakat akan terjawab dengan menanyakan langsung kepada
Nabi tentang ayat-ayat Al-Quran yang kurang dipahami oleh masyarakat.
Dalam ilmu tafsir berkembang dua metode penafsiran yang terkenal yaitu
tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’y, yang dimaksud tafsir bi al-ma’tsur
adalah metode menafsirkan Al-Quran dengan dalil Al-Quran itu sendiri, dengan
hadits nabi, dengan pendapat sahabat dan dengan perkataan para tabi’in yang
menjelaskan maksud Allah ta’ala dari nash-nash Al-Quran Al-Karim.[14]
Tokoh ahli tafsir terkemuka yang menggunakan metode ini adalah Ibnu Jarir
Al-Tabary dengan karyanya berjudul Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran. Penulisan
tafsir ini dilakukan melalui pendekatan periwayatan hadits. Namun menurut Quraish
Shihab, At-Thabary memadukan antara metode periwayatan dan kebahasaan.[15] Nama
lengkap Al-Thabari adalah Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Al-Thabari. Ia lahir
pada tahun 839M/310 H di Tabaristan. Selain seorang Mufassir ia juga seorang
ahli sejarah, hadits, fiqh dan qiraat.[16]
Untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih spesifik mengenai sejarah perkembangan tafsir atau periode
periwayatan Tafsir ini maka penulis akan membaginya dalam tiga periode atau
masa perkemabngan tafsir yaitu masa Nabi dan masa Sahabat, Masa Tabi’in dan
pada masa pembukuan.
a.
Pada Masa
Nabi dan Sahabat
Al-qur’an diturunkan dalam bahasa
arab, menurut uslubnya, seluruh lafadz al-qur’an adalah bahasa arab. Rasulullah
SAW setiap menerima ayat al-qur’an lansung menyampaikan kepada para sahabat
serta menafsirkan makna yang perlu ditafsirkan, Karena mengetahui tafsir adalah
hal yang sangat penting, para sahabatpun bersungguh-sungguh mempelajari
al-qur’an, yakni memahami dan mentadab-buri maknanya. Apabila para sahabat
tidak mengetahui makna suatu lafadz dari al-qur’an atau maksud suatu ayat,
segeralah para sahabat menanyakan langsung kepada rasulullah. Para sahabat
dalam menafsirkan al-qur’an selalu berpegang kepada al-qur’an, Nabi dan
pemahaman serta ijtihad[17]
Pada periode ini tafsir belum
tertulis dan secara umum, periwayatannya masih secara lisan (musyafahah). Rasulullah
SAW menjadi mubayyin Al-Quran, baik secara global maupun secara terperinci.Pada
masa Rasululullah SAW tidak terdapat perbedaan dalam upaya memahami kandungan
al-Quran, karena refrensi utamanya sebagai mubayyin masih ada, sehingga para
sahabat dapat bertanya langsung kepada Rasulullah SAW dalam segala persoalan.“Keadaan
ini berlangsung sampai Rasulullah SAW wafat, meskipun penjelasan tersebut tidak
semua diketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena
memang Rasulullah sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran”.[18]
Begitu tinggi eksistensi Nabi
sebagai mufasir kala itu dalam menjelaskan makna yang terkandung dalam
Al-Quran, hal ini dibuktikan bahwa penjelasan yang pertama dan utama yang harus
dilihat ketika memahami Al-Quran adalah penjelasan Nabi Muhammad Rasulullah SWA
yang telah disitir dalam hadits-haditsnya. Persoalan saat ini adalah sejauh
mana Nabi telah menafsirkan ayat Al-Quran?Apakah secarah keseluruhan atau
sebagian saja?Jika jawabannya sebagian saja, berapa ayat yang perna ditafsirkan
oleh Nabi?pertanyaan ini harus dijawab dengan tuntas dalam rangka menelusuri
hadits-hadits nabi yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.Dalam hal ini, para
ulama terbagi dua kelompok.
Pertama dimotori oleh Ibnu Taimiyah
yang menyatakan bahwa Nabi telah menafsirkan seluruh ayat kepada para
sahabatnya.[19]
Dasar-dasar yang diajukan adalah sebagai berikut:
1.
Firman Allah SWT (QS. An-Nahal [16]: 44) berbunyi:
Artinya: dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka (Yakni: perintah-perintah,
larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran). dan
supaya mereka memikirkan.[20]
2. Abu Abdul
Rahman As-Sulami berkata :
Orang-orang yang telah mengajari
kami Al-Quran, seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, dan lainnya,
menceritakan bahwa apabila belajar sepuluh ayat dari Nabi SAW mereka tidak
beranjak keayat berikutnya sebelum memahami dan mengamalkan Al-Quran secara
berbarengan”. [21]
Kemudian kelompok kedua, yang
dimotori oleh Al-Khubi, berpendapat bahwa, Nabi hanya menafsirkan sebagian kecil[22]
saja ayat-ayat Al-Quran, pendapat seperti ini dikemukakan pula oleh Al-Suyuti. Adapun Argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok kedua ini adalah sebagai
berikut:
a.
Sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh
Al-Bazzaz dari ‘Aisyah, “Rasululullah SAW tidak menafsirkan sesuatu pun dari
Al-Quran, kecuali hanya sedikit ayat saja yang (penjelasannya) diajarkan oleh
Jibril.”
b.
Seandainya Nabi telah menafsirkan seluruh makna Al-Quran kepada para
sahabatnya, tentunya penghususan Nabi kepada Ibnu Abbas, (sebuah Do’a Nabi
kepada Ibnu Abbas “Ya Allah berilah Ibnu Abbas pemahaman yang mendalam tentang
ajaran agama dan ajarilah ia ta’wil) tentunya Ibnu Abbas sebagai ahli ta’wil
tidak berarti apa-apa, berarti kemampuan para sahabat dalam memahami Al-Quran
adalah sama.
c.
Pada kenyataannya memang tidak ditemukan riwayat-riwayat penafsiran Nabi
yang menafsirkan seluruh ayat Al-Quran.
Dari penjelasan di atas penulis
mencoba menganalisa dari keterangan kedua kelompok masing-masing ada yang
berpendapat bahwa Rasulullah telah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara
keseluruhan, di sisi lain ada yang berpendapat bahwa Rasulullah SAW hanya
menafsirkan ayat-ayat Al-Qura itu sebagian saja.
Menurut penulis ada dua bentuk ayat
Al-Quran yang menjadi objek dalam penafsiran, pertama ayat Al-Quran yang
sifatnya muhkamat (ayat-ayat yang sudah dinasakh, seperti
halal, haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman ) dan kedua ayat Al-Quran bersifat muthasyabihat
(Adapun ayat-ayat yang oleh para ahli di pandang secara
mutasyabihat antara lain tentang semayamnya Allah SWT(20:5), wajah Allah SWT
(28:88), (55:27), tentang mata Allah SWT (28:29), tangan Allah SWT(48:10),
tangan kanan Allah SWT(39;67). Dll), kedua bentuk inilah sebenarnya yang menyebabkan
perbedaan kedua persepsi di atas, dengan demikian penulis berpendapat bahwa
kedua persepsi itu adalah benar, karena Rasulullah ketika berhadapan dengan
ayat-ayat muhkamat maka Rasulullah memberikan penjelasan kepada para sahabat
dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya dan selengkap-lengkapnya, sebaliknya
ketika Rasulullah berhadapan dengan ayat-ayat Al-Quran yang bersifat
mutasyabihat maka Rasulullah hanya menjelaskan sepintas dan secara umum saja
tidak secara terperinci, bahkan seperti ayat-ayat pembuka surat (Yaa-siin,
Alif-Lam-Raa, Kaf-Ha-‘Ain-Shod dan lain-lain) terhadap ayat-ayat ini Rasulullah
melewatkan, karena ayat-ayat mutasyabihat ini hakikatnya adalah hanya Allah
yang mengetahui makna yang sebenarnya. Lebih parah lagi apabila ayat-ayat mutasyabihat ditafsirkan secara literal
maka penafsiran itu akan membawa seseorang kepada fitnah dan musyrik.
Maka menurut penulis terjadinya dua
pendapat tentang konsep Rasulullah dalam menafsirkan ayat Al-Quran tidak perlu
terlalu jauh dalam perbedaan, sebab Allah telah memberikan jaminan kepada
Rasulullah SAW bahwa Allah SWT akan memelihara Al-Quran dan akan
menjelaskannya, sebagaimana firman Allah:
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami
Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah penjelasannya (QS: Al-Qiyamah [75]: 17-19).[23]
Penafsiran Al-Quran pada masa Nabi dan Sahabat
sebenarnya tidak mengalami kesulitan sama sekali, sebab disamping Nabi ada sebagai mubayyin (sumber utama),
perlu juga dipahami bahwa “Al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa ‘Arab
dan tata bahasanya. Karenanya, bangsa Arab memahaminya dan mengetahui
pengertian yang terkandung dalam kosa kata dan susunan-susunan kalimatnya”[24] namun
demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya sehingga yang tidak diketahui
oleh seseorang diantara mereka boleh jadi diketahui oleh orang lain.
Diriwayatkan oleh Abu Ubaidah dalam al-Fada’il
dari Anas, Umar bin Khattab pernah membaca di atas mimbar ayat: (‘Abbasa
[80]:31)
Lalu
ia berkata: “arti kata fakihah
(buah) telah kita ketahui, tetapi apakah arti abb?” Kemudian ia menyesali
diri sendiri dan berkata: “ini suatu pemaksaan diri, wahai umar”. Kemudian Abu
Ubaidah meriwayatkan pula melalui Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Dulu
saya tidak tahu apa makna fatirus
samawati wal ard sampai datang dua orang dusun kepadaku yang bertengkar
tentang sumur. Salah seorang mereka berkata: “Ana Fatartuha”, maksudnya” Ana
Ibtada’tuha” (akulah yang membuatnya pertama kali), Atas dasar itu Ibnu
Qutaibah berkata: “Orang Arab itu tidak sama pengetahuannya tentang kata-kata garib dan mutasyabihdalam Al-Quran, tetapi sebagian mereka mempunyai
kelebihan atas yang lain.[25]
Dari riwayat diatas
telah jelas menunjukkan bahwa meskipun mereka mengetahui dan memahami bahsa
Al-Quran atau bahasa Arab, tetapi dalam penafsiran Al-Quran mereka juga memiliki
kemampuan yang berbeda antara satu dengan yang lain, dan dalam hal ini mereka
saling melengkapi atas kekurangan itu, seperti Umar yang tidak mengerti kata abb dan jika ia lanjutkan
penafsirannya maka itu dianggapnya sebagai pemaksaan diri, kemudian Abu Ubaidah
yang awalnya tidak tahu makna fatirus
samawati wal ard tetapi dengan kemampuan dasar dua orang dusun yang
memperebutkan sebuah sumur yang pada hakikatnya bagian dari kata fatirus samawati wal ard dimana yang
mereka perebutkan adalah sesungguhnya bagian dari bumi ciptaan Allah, dengan
peristiwa itu ia menjadi mengerti makna fatirus samawati wal ard yang
sesungguhnya.
Para sahabat dalam
menafsirkan Al-Quran pada masa ini berpegang pada:
1. Al-Quranul
karim, sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat dijelaskan
secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam
bentuk mutlaq (umum) namun kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi dan
mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan Tafsir Quran dengan Quran. Contoh Firman
Allah:
Artinya: …dihalalkan bagimu binatang ternak,
kecuali yang akan dibacakan kepadamu (al-Maidah [5]:1)[26]
ditafsirkan oleh ayat:
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai
(al-Maidah [5]:3).[27]
2.
Bertanya langsung kepada Nabi.
Contoh: Suatu ketika turun ayat Al-Quran
berbunyi:
Artinya: Orang-orang yang beriman tidak mencampuradukkan
iman mereka dengan kezaliman (al-An’am [6]:82)[28]
ayat ini sempat meresahkan hati para sahabat, karena para sahabat merasakan
tidak ada yang tidak berbuat zalim kepada diri mereka, sekecil apapus pasti ada
kezaliman itu pada diri mereka. Lalu sahabat pergi dan bertanya kepada Rasulullah
SAW. Dan beliau menjawab dengan ayat lain berbunyi:
Artinya: Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar"(Lukman [31]:13).[29]
Nabi menjelaskan dengan ayat ini bahwa arti kezaliman yang dimaksud adalah
seperti perbuatan syirik yang dijelaskan dalam ayat Lukman tersebut,
mendengarkan penjelasan Nabi itu barulah para sahabat merasa tenang.
3.
Berpegang pada Pemahaman dan Ijtihad. Apabila
para sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam Al-Quran dan tidak pula
mendapatkan sesuatupun yang berhubungan dengan itu dari Rasulullah, mereka
melakukan Ijtihad dengan menggerakkan segenap kemampuan nalar. Ini mengingat
bahwa mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab,
menguasainya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke balagah-an yang ada di
dalamnya.
b.
Tafsir
pada Masa Tabi’in
Periode Tabiin dimulai ketika
sahabat terakhir yang bernama Abu Tufail Al-Laisi meninggal dunia, yaitu pada
tahun 100 H di Mekah. Kira-kira dari tahun 100 H/732 M sampai dengan 181 H/812
M yang ditandai dengan wafatnya tabiin terakhir, yaitu Khalaf bin Khulaifat
yang wafat pada tahun 181 H.[30]
Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat yang dikenal dalam lapangan tafsir, maka sebagian
tokoh tabi’in yang menjadi murid dan belajar kepada mereka yang juga terkenal
dalam tafsir pada masa sahabat.[31]
Dalam hal sumber tafsir, para tabi’in berpegang pada sumber-sumber yang ada
pada masa pendahulunya disamping ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
Dalam memahami kitabullah, para
mufassir dari kalangan tabi’in berpegang pada apa yang ada di dalam al-qur’an
tiu sendiri, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal
dari rasulullah, penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa
penafsiran meraka sendiri, keterangan yang diterima dari ahli kitab yang
bersumber dari sisi kitab mereka. Dan ijtihad serta pertimbangan nalar terhadap
kitabullah sebagaimana yang telah dianugrahkan Allah kepada mereka.[32]
Ada beberapa tempat yang mengajarkan
tafsir kepada para tabi’in. di Mekah, dimana para tabi’in belajar kepada Ibn
Abbas, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid,
Ikrimah maula Ibn abbas, Tawus bin Kaisan al-Yamani dan ‘Ata’ bin Rabbah.
Begitu juga beberapa kota lain seperti di Madinah sahabat Ubai bin Ka’ab lebih
terkenal dibidang tafsir dari orang lain. Diantara muridnya dari kalangan
tabi’in adalah zaid bin aslam, Abu ‘Aliyah dan muhamad bin Ka’ab al-Qurazi. Di
kota Irak yang mengajarkan tafsir adalah Ibn Mas’ud yang dipandang oleh para
ulama sebagai cikal bakal mazhab al-ra’yu, diantara muridnya yang terkenal
adalah ‘Alqamah, amir as-Sya’bi, hasan al-Bashri dan Qatadah bin Di’amah
as-sadusi.[33]
Para Tabi’in dalam mempelajari
Al-Quran dan memahami maksud yang terkandung di dalam ayat-ayatnya serta
tafsirnya, berlandaskan pada ayat-ayat Al-Quran, Hadits-hadits yang
diriwayatkan Rasulullah SAW dan Tafsir yang diberikan oleh para sahabat Nabi
serta cerita-cerita dari para ahli kitab. Disamping itu mereka juga menggunakan
dari hasil ijtihad mereka sendiri, baik bersandarkan pada kaidah-kaidah bahasa
Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.Adapun sumber-sumber penafsiran
pada masa ini adalah Al-Quran, Hadits-hadits Nabi, Tafsir dari para sahabat,
cerita-cerita dari para ahli kitab (israiliyat dan Ijtihad.[34]
Pada masa ini, tafsir tetap
konsisten dengan cara khas, penerimaan dan periwayatan. Akan tetapi setelah
banyak ahli kitab masuk Islam, para tabi’in banyak menukil dari mereka
cerita-cerita isra’iliyat yang kemudian dimasukkan ke dalam tafsir, misalnya
yang diriwayatkan dari Abdullah bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb bin Munabbih, dan
Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Disamping itu pada masa ini mulai terdapat silang pendapat tentang status
tafsir yang diriwayatkan dari mereka, karena banyaknya pendapat-pendapat
mereka. Namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya berdekatan satu
dengan yang lain. Perbedaan pendapat hanya terletak pada redaksional, bukan perbedaan yang saling bertentangan dan kontradiktif.[35]
c.
Tafsir Pada
Masa Pembukuan
Masa pembukuan tafsir dimulai pada
akhir dinasti bani Umayah dan Awal dinasti Abbasiyah. Dalam hal ini hadis
menjadi perioritas utama dan pembukuannya meliputi berbagai bab. Pada masa ini
penulisan tafsir belum dipisahkan secara khusus yang hanya memuat tafsir
al-qur’an surah demi surah, ayat demi ayat, dari awal qur’an sampai akhir.
Banyak ulama yang berusaha
mengumpulkan hadist-hadist tafsir dengan melawat ke berbagai kota yang
dilakukan oleh Yazid bin harus al-Sulamy (w. 117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w.
160 H), Waki’ bin al-Jarah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin
Ubada al-Bishri (w. 205 H), Abdur Razzaq bin Hammam (w. 211 H), Adam bin Abi
Iyas (w. 220 H), dan Abdun bin Humaid yang wafat 249 H[36]
Sesudah golongan ini datanglah
generasi berikutnya yang menulis tafsir secara khusus dan independen serta
menjadikannya ilmu yang berdiri sendiri Dan terpisah dari hadist. Al-Qur’an
mereka tafsirkan secara sistematis sesuai dengan tertib mushaf. Diantara mereka
adalah Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H), Abu Bakar bin
al-Munzir an-Naisaburi (w. 318 H), Ibn Abi hatim (w.327 H), Abu Syaikh bin
Hibban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405), dan Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410).[37]
Tafsir pada masa pembukuan ini jika
ingin diruntut secara berurutan maka penafsiran pada masa pembukuan ini menurut
Rosihan Anwar dan Badruzzaman M. Yunus dalam bukunya pengantar studi Islam
terbagi ke dalam beberapa fase, diantaranya fase pertama, periode
pembukuan tafsir ini dimulai pada abad pertama Hijriyah atau pada akhir Dinasti
Umayyah dari Dinasti Abbasiyah. Bermula dari pengodifikasian hadits secara
resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (95-101 H), pada masa itu
tafsir yang umumnya tafsir bi al-Ma’tsr ditulis bergabung dengan penulisan
hadits, dan dihimpun dalam satu bab hadits. Mufasir yang mashur pada masa ini
adalah Yazid Ibnu Harun, Waki’ Ibnu Jarrah, Syufyan Ibnu Uyainah, Abdurrazaq
Ibnu Hamman, dan Adam Ibnu Humaid.
Fase kedua, pada akhir
abad kedua Hijriyah mulai tersusun kitab-kitab tafsir yang berdiri sendiri
terpisah dari kitab hadits dan sistematis sesuai dengan urutannya dalam mushaf
dan pada umumnya termasuk kategori tafsir bi al-Ma’tsur, yang menurut para ahli
diduga dimulai oleh al-Fara (w. 207) dengan kitabnya yang berjudul Ma’ani
Al-Quran, diantara tokohnya adalah Ibnu Majjah, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Abu
Bakar Mardawaih.
Fase Ketiga, pada fase
ini tafsir mengalami sedikit perubahan meskipun tetap berpedoman pada sumber
al-Ma’tsur, diantara cirinya adalah (1) terjadinya peringkasan dan penanggalan
sanad, seperti yang dilakukan oleh Muqatil bin Sulaiman (2) terjadinya
penukilan penafsiran mufasir sebelumnya tanpa menyebutkan sumbernya (3)
terjadinya pemalsuan (wadh’) dalam tafsir, terutama setelah ada perpecahan
dalam aliran kalam.Sejak fase inilah adanya percampuran tafsir yang sahih
dengan tafsir yang salah.
Fase Keempat, Pada fase
ini penyimpangan-penyimapangan tafsir semakin berkembang. Diawali dengan
penghilangan sanad riwayat dan penukilan penafsiran sebelumnya, kemudian
berkembang penafsiran yang berdasarkan nalar. Begitu pula dukung mendukung
pendapat dan aliran mazhab, baik kalam Maupin fiqh masuk dalam karya tafsir,
sehingga tidak jarang muncul karya tafsir yang pembahasannyamelebar dan
terkesan tidak terkait dengan tafsir itu sendiri.
Fase Kelima, pada fase
terakhir ini, lahir beragam corak tafsir sesuai keragaman kapasitas mufasir. Setelah
kekuasaan Islam mengembangkan sayapnya keberbagai wilayah, ummat Islam
mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu logika, filsafat, ilmu
eksakta, ilmu hokum, ilmu kebatinan, dan sebagainya. Hal ini telah mendorong
pengembangan peranan akal (nalar) atau ijtihad dalam menafsirkan Al-Quran,
sehingga sejak itu bermunculan karya tafsir yang beragam sesuai dengan
keragaman ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh ahli mufasirnya. Diantara corak penafsiran yang berkembang pada waktu itu antara lain adalah
corak tafsir dengan pendekatan gaya dan keindahan bahasa, dengan pendekatan
tata bahasa dan pengguna syair-syair Arab, corak tafsir dengan pendekatan para
riwayat meskipun riwayat itu bersumber dari ahli kitab atau kaum zindiq, corak
pendekatan hokum, corak pendekatan kalam dan filsafat, dan lain sebagainya.
Adanya upaya penafsiran Al-Quran sejak
zaman Rasulullah hingga dewasa ini, serta adanya sifat dan kandungan Al-Quran
yang terus menerus memancarkan cahaya kebenaran itulah yang mendorong timbulnya
dua kegiatan. Pertama kegiatan penelitian
disekitar produk-produk penafsiran yang dilakukan generasi terdahulu dan kedua
penafsiran Al-Quran itu sendiri.
d.
Bentuk
Tafsir
1)
Tafsir bi
al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah
penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran dengan hadist Nabi SAW, yang
menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat
atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat, atau penafsiran ayat
dengan hasil ijtihad para tabi’in. semakin jauh rentang zaman dari masa nabi
dan sahabatnya, maka pemahaman umat tentang makna-makna ayat al-Qur’an semakin
bervariasi dan berkembang.[38]
Kitab-kitab tafsir yang memuat
Tafsir bi al-Ma’tsur yaitu, Jami’al Bayan fi Tafsiri Al-Qur’an: Ibn Jarir
Ath-Thabari (w. 310 H), al-Kasyfu wa al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an: Ahmad Ibn
Ibrahim (427 H), Ma’alimu al-Tanzil : Imam al-Husain Ibn Mas’ud Al-Baghawi (516
H), al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an : Al-Qurthubi (671 H), Tafsir al-Qur’an
al-Adhim: Imam Abul Fida’ Ismail Ibn Katsir (774 H), Ad-Durru al-Mantsur fi
tafsir bi al-Ma’tsur: Jalaluddin as-Suyuti (911 H).[39]
2)
Tafsir bi
al-Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran
al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang penafsir itu betul-betul
mengetahui perihal bahasa arab, asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, dan hal-hal
lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir seperti mengenai syarat-syarat
penafsir.[40]
Tatkala ilmu-ilmu keislaman
berkembang pesat, disaat para ulama telah menguasai berbagai disiplin ilmu, dan
berbagai karya ilmu, maka karya tafsir juga ikut bermunculan dengan pesatnya
dan diwarnai oleh latar belakang pendidikan masing-masing pengarangnya.
Masing-masing pengarang mempunyai kecendrungan dan arah pembahasan tersendiri
berbeda dengan yang lain. Bermula dari gejala demikian, lahirlah bermacam-macam
tafsir.[41]
Banyak dalil-dalil al-Qur’an yang di
jadikan landasan dalam menafsiri al-Qur’an secara ra’yi seperti: Artinya “Ini
adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai fikiran. (QS.Al-Shaad: 69)
Corak tafsir bi Al-Ra’yi ini ada
yang diterima dan ada pula yang ditolak. Tafsir bi al-Ra’yi ini dapat diterima
sepanjang penafsirannya memenuhi syarat-syarat tafsir. Yang harus diperhatikan
adalah: (1)Menjauhi sikap terlalu berani menduga-duga kehendak allah di
dalamnya, tanpa memiliki persyaratan sebagai penafsir (2) Memaksa diri memahami
sesuatu yang hanya wewenang allah untuk mengetahuinya (3)Menghindari dorongan
dan kepentingan hawa nafsu (4)Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan
madhab semata, dimana ajaran madzhab dijadikan dasar utama sementara tafsir itu
sendiri di nomorduakan, sehingga terjadilah berbagai kekeliruan (5)Menghindari
penafsiran pasti (qath’i), dimana seorang mufassir tanpa alas an mengkalim
bahwa itulah satu-satunya maksud Allah SWT.[42]
Diantara kitab-kitab tafsir bi
al-Ra’yi adalah: Mafatihu al-Ghaib: Fahruddin ar-Razi (w. 606 H ), Anwaru
al-Tanzil wa israrut Ta’wil: Imam al-Baidhawi (692 H), Madariku al-Tanzil wa
Haqaiqut ta’wil: Abul Barakat an Nasafi (w. 710 H), Lubabu al-Ta’wil fi ma’ani
al-Tanzil: Imam al-Khazin (w.741H).[43]
3)
Tafsir bi
al-Isyari
Diantara kelompok sufi ada yang
mendakwakan bahwa riyadah rohani yang dilakukan seorang sufi bagi dirinya akan
menyampaikan pada suatu tingkatan dimana ia dapat menyingkap isyarat-isyarat
kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan qur’an, dan akan tercurah pula
ke dalam hatinya dari limpahan ghaib.
Setiap ayat mempunyai makna zahir
dan makna yang bathin. Yang zahir ialah apa yang segera mudah dipahami
akal pikiran sebelum yang lain, sedangkan yang bathin ialah isyarat-isyarat
tersembunyi dibalik itu yang hanya Nampak bagi ahli suluk.Contok tafsir isyari
apa yang diriwayatkan dari Ibn Abbas persoalan maksud ayat;
#sÎ) uä!$y_ ãóÁtR «!$# ßx÷Gxÿø9$#ur ÇÊÈ
Artinya:”Apabila Telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan,(Q.S. 110.1)[44] Para sahabat
mengatakan maksud dari ayat ini adalah” kami diperintahkan agar memuji kepada Allah
dan memohon ampunan kepada-Nya, ketika kita memperoleh pertolongan dan
kemenengan”. Sedangkan sebagain sahabat yang lain bungkam, tidak berkata
apa-apa. Kemudian sahabat umar bertanya kepadaku, begitukah pendapatmu wahai
Ibn Abbas? Kemudian Ibn Abbas menjawab” ayat itu menunjukkan tentang ajal
rasullah yang diberitahukan Allah kepadanya. Allah
berfirman: apabila telah datang pertolongan allah dan kemenangan. Dan itu
adalah tanda-tanda ajalmu (Muhamad), maka bertasbilah dengan memuji tuhanmu dan
mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Ia maha penerima taubat.
Kemudian sahabat Umar berkata:” Aku tidak mengetahui maksud ayat itu kecuali
apa yang kamu katakana itu”.[45]
- Contoh Kitab Tafsir Dan Metodologi Penulisannya
1)
Tafsir
Al-Thabari
Nama Kitab : جامع البيان في تفسير أي القران atau yang lebih dikenal dengan
tafsir al-Tabary. Pengarangnya : Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
At-Thobary (224-310 H) Jumlah jilid : 12 jilid besar. Keistimewaannya
: Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama penafsiran
binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum, penjabaran
berbagai pendapat dengan dan mengupasnya secara detail disertai analisa yang
tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan terbagus.
Metodologi Penulisannya: Penulis menafsirkan ayat al-Qur’an
dengan jelas dan ringkas dengan menukil pendapat para sahabat dan tabi’in
disertai sanadnya. Jikalau dalam ayat tersebut ada dua pendapat atau lebih, di
sebutkan satu persatu dengan dalil dan riwayat dari sahabat maupun tabi’in yang
mendukung dari tiap-tiap pendapat kemudian mentarjih (memilih) diantara
pendapat tersebut yang lebih kuat dari segi dalilnya. Beliau juga mengii’rob
(menyebut harakat akhir), mengistimbat hukum jikalau ayat tersebut
berkaitan dengan masalah hukum. Ad-Dawudy dalam bukunya “Thobaqah
al-Mufassirin“ mengomentari metode ini dengan ungkapannya:“ Ibnu jarir
telah menyempurnakan tafsirnya dengan menjabarkan tentang hukum-hukum, nasih
wal mansuh, menerangkan mufrodat (kata-kata) sekaligus maknanya, menyebutkan
perbedaaan ulama’ tafsir dalam masalah hukum dan tafsir kemudian memilih
diantara pendapat yang terkuat, mengi’rob kata-kata, mengkonter pendapat
orang-orang sesat, menulis kisah ,berita dan kejadian hari kiamat dan
lain-lainnya yang terkandung didalamnya penuh dengan hikmah dan keajaiban tak
terkira kata demi kata, ayat demi ayat dari isti’adzah sampai abi jad (akhir
ayat). Bahkan jikalau seorang ulama’ mengaku mengarang sepuluh kitab yang
diambil dari tafsir ini, dan setiap kitab mengandung satu disiplin keilmuan dengan
keajaiban yang mengagungkan akan diakuinya (karangan tersebut).
2)
Tafsir Ibnu
Katsir
Nama kitab : تفسير القران العظيم lebih
dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir. Jumlah jilid : 4 Jilid Nama
penulis : Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H) Keutamaanya
: Merupakan tafsir terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan metode bil
ma’tsur.
Metodologi penulisannya: Penulis sangat teliti dalam
mentafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menukil perkataan para salafus sholeh.
Ia menafsirkan ayat dengan ibarat yang jelas dan mudah dipahami. Menerangkan
ayat dengan ayat yang lainnya dan membandingkannya agar lebih jelas maknanya.
Beliau juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut
dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabi’in. Beliau juga sering
mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, juga mengomentari
riwayat yang shoheh atau yang dhoif(lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat.
Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha
(ulama’ fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara
panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan
berkomentar ;” Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode
seperti ini “.
3)
Tafsir
Al-Qurtuby
Nama kitab : الجامع لأحكام القران Jumlah jilid
: 11 jilid
dengan daftar isinya. Nama penulisnya : Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad
Al-Qurtuby (w 671 H). Keutamaanya : Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang
paling bagus dan paling banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah,
diganti dengan hukum dan istimbat dalil, serta menerangkan I’rob, qiroat,
nasikh dan mansukh”.
Metode penulisannya : Penulis terkenal dengan gaya penulisan ulama’ fiqih.,
dengan menukil tafsir dan hukum dari para ulama’ salaf dengan menyebutkan pendapatnya
masing-masing. Dan membahas suatu permasalahan fiqhiyah dengan mendetil.
Membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan istimbat dalil, juga
I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh. Beliau tidak ta’assub (panatik)
dengan mazhabnya yaitu mazhab Maliki.
4)
Tafsir
Syinqithy
Nama kitab : أضواء البيان في إيضاح القران بالقران
Jumlah jilid
: 9 jilid.
Nama penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy
Metodologi penulisannya: Menekankan penafsiran bil-ma’tsur
dengan dilengkafi qira’ah as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah)
untuk istisyhad (pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan
terperinci, dengan menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih
berdasarkan dalil yang kuat. Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau
wafat dan belum sempat menyelesaikan tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh
murid sekaligus menantunya yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.
- Pendekatan Dalam Kajian Tafsir
Al-Qur’an sebagai the way of life tidaklah cukup di pahami hanya dengan
penguasaan bahasa Arab dan mengetahui terjemahannya. Untuk memperoleh
penafsiran yang tepat dan meraih ruh dari maksud Al-Qur’an memerlukan rambu-rambu
dalam bingkai ilmu tafsir.
Pendekatan di sini adalah menyangkut pendekatan di dalam memahami ajaran
agama atau lebih popular dikenal dengan Pendekatan dalam Studi Islam. Pendekatan dimaksud adalah cara pandang atau paradigma yang
terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama. Jalaludin Rahmad mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan
menggunakan berbagai paradigma. Realitas
yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya, Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu adalah
penelitian ilmu sosial, penelitian legalistic, atau penelitian filosofis.[46] Dengan
demikian maka segala unsur ajaran agama dalam bidang apapun dapat digunakan
melalui berbagai pendekatan, termasuklah dalam bidang kajian tafsir.
Al-qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, menurut uslubnya, seluruh lafadz
al-qur’an adalah bahasa arab. Rasulullah SAW setiap menerima ayat al-qur’an
lansung menyampaikan kepada para sahabat serta menafsirkan makna yang perlu
ditafsirkan, Karena mengetahui tafsir adalah hal yang sangat penting, para
sahabatpun bersungguh-sungguh mempelajari al-qur’an, yakni memahami dan mentadab-buri
maknanya. Apabila para sahabat tidak mengetahui makna suatu lafadz dari
al-qur’an atau maksud suatu ayat, segeralah para sahabat menanyakan langsung
kepada rasulullah. Para sahabat dalam menafsirkan al-qur’an selalu berpegang
kepada al-qur’an, Nabi dan pemahaman serta ijtihad.[47]
Pada periode ini tafsir belum tertulis dan secara umum, periwayatannya masih
secara lisan (musyafahah), Rasulullah SAW menjadi mubayyin Al-Quran, baik
secara global maupun secara terperinci, pada masa Rasululullah SAW tidak
terdapat perbedaan dalam upaya memahami kandungan al-Quran, karena refrensi
utamanya sebagai mubayyin masih ada, sehingga para sahabat dapat bertanya
langsung kepada Rasulullah SAW dalam segala persoalan. “Keadaan ini berlangsung
sampai Rasulullah SAW wafat, meskipun penjelasan tersebut tidak semua diketahui
akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasulullah
sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran”.[48]
Dalam kajian tafsir, pola pikir (al-ittijah al-fikr) sangat dominan
digunakan oleh para mufasir. Untuk itu pendekatan dalam penafsiran Al-Qur’an banyak
terjadi perbedaan metode seiring dengan perubahan zaman. Pada zaman rasul pendekatan itu belum dipergunakan, sebab yang menguasai tasyri’(konstruksi Syari’at)
adalah Rasulullah SAW sendiri.
Terhadap Al-Qur’an Rasulullah SAW merupakan orang pertama yang berhak untuk
menafsirkan AL-Qur’an, karena pada
masa Nabi Muhammad SAW segala
persoalan yang berkaitan dengan persoalan umat bisa langsung ditanyakan kepada
Nabi SAW. Setelah itu Pada masa
sahabat barulah tercermin beberapa
pendekatan yang digunakan oleh para
mufasir yang antara
lain sebagai berikut:
1)
Dengan
pendekatan Al-Qur’an
Sebab
apa yang dikemukakan secara global di satu tempat, dijelaskan secara terperinci
di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq
(umum) namun kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi dan
mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan Tafsir Quran dengan Quran. Contoh
Firman Allah:
4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNä3øn=tæ ß ÇÊÈ
Artinya: …dihalalkan bagimu binatang ternak,
kecuali yang akan dibacakan kepadamu (al-Maidah [5]:1)[49] ditafsirkan oleh ayat:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ÇÌÈ
Artinya: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai
(al-Maidah [5]:3).[50]
2)
Pendekatan kepada Nabi
Contoh: Suatu ketika turun ayat Al-Quran
berbunyi:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=t OßguZ»yJÎ) AOù=ÝàÎ/ ÇÑËÈ
Artinya: Orang-orang yang beriman tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (al-An’am [6]:82)[51] ayat ini sempat meresahkan hati para sahabat, karena para sahabat
merasakan tidak ada yang tidak berbuat zalim kepada diri mereka, sekecil apapus
pasti ada kezaliman itu pada diri mereka. Lalu sahabat pergi dan bertanya kepada Rasulullah
SAW Dan beliau menjawab dengan ayat lain berbunyi:
( cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã ÇÊÌÈ
Artinya: Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Lukman [31]:13),[52] Nabi menjelaskan dengan ayat ini bahwa arti kezaliman yang dimaksud adalah
seperti perbuatan syirik yang dijelaskan dalam ayat Lukman tersebut,
mendengarkan penjelasan Nabi itu barulah para sahabat merasa tenang.
3)
Pendekatan Ijtihad Sahabat Nabi
Hal ini di
perlukan jika mereka tidak menemukan tafsiran suatu ayat dalam kitabAllah dan
juga tidak menemukannya dari penjelasan Nabi. Diantara para sahabat Nabi yang
mempunyai keistimewaan dalam menjelaskan nash adalah Khulafa’al-rosyidun, Zaid
bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, A’isyah, Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Musa al- Asy’ari, Mu’az bin Jabal,
Ubadah bin Shomad dan Abdullah bin Amru bin Ash .
Pengkajian Tafsiran Al-Quran,
pendekatannya dapat di bedakan menjadi beberapa
cabang. Sebagaimana dijelaskan oleh M. Alfatih Suryadilaga dkk, dalam bukunya
yang berjudul Metodologi Ilmu Tafsir. Pendekatan yang dipakai adalah:
1)
Pendekatan Objektif dan Pendekatan
Subjektif
a)
Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif adalah pendekatan empiris yang bertumpu pada
kepentingan ilmiah semata. Dalam pendekatan ini dibicarakan kaitan antara
ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan ilmu
pengetahuan-pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang. Sejauh mana
paradigma ilmiah dapat memberi dukungan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan
penggalian jenis ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan hal-hal yang ditemukan
lewat masa turunnya Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat lebih dari
delapan ratus ayat-ayat kauniyah.
b)
Pendekatan Subjektif
Pendekatan subjektif adalah pendekatan yang terkait dengan kepentingan
pribadi atau kelompok. Pendekatan
tersebut tergantung pada warna budaya dan aqidah ahli tafsirnya; apakah dia
politikus ataukah praktisi sebuah madzhab yang banyak mempengaruhinya. Seperti
pendekatan yang di lakukan oleh sufi di mana Al-Qur’an dikaji dengan sudut
pandang yang sesuai dengan teori-teori tasawuf dan mengabaikan aspek-aspek
lain.
2)
Pendekatan Langsung dan Tidak
Langsung
a)
Pendekatan Langsung
Pendekatan langsung adalah pendekatan yang menggunakan data primer. Data
primer dalam kajian tafsir adalah Al-Qur’an itu sendiri, hadist-hadist yang
diriwayatkan dari Rasulullah saw, dan pendapat-pendapat sahabat serta pendapat
tabi’in. Seperti ayat
Al-Qur’an yang mutlaq di tafsirkan dengan ayat muqayyad dan ayat yang mujmal di
tafsirkan oleh ayat lain yang mufassol.
b)
Pendekatan Tidak Langsung
Pendekatan ini adalah menggunakan data skunder, yaitu upaya yang di tempuh
setelah melalui pendekatan primer. Dengan kata lain ia merupakan pengembangan
dari pendekatan pertama, seperti pendapat-pendapat ulama, riwayat kenyataan
sejarah di masa turunnya Al-Qur’an, pengertian bahsa dan lafadl Al-Qur’an,
kaedah lafadl bahsa, kaedah-kaedah intinabat serta teori-teori ilmu pngetahuan.
Oleh karena data yang dikemukakan terdapat data historis seperti hadist,
riwayat sahabat, serta kenyataan sejarah di masa turunnya Al-Qur’an, maka
sebelum digunakan perlu proses pemeriksaan dengan kritik sejarah.
3)
Pendekatan Komprehensif dan
Pendekatan Sektoral
a)
Pendekatan Komprehensif
Pendekatan komprehensif adalah pendekatan yang membahas objek penelitian
tidak dari satu aspek tertentu saja, tetapi secara menyeluruh. Dalam hal ini,
kandungan ayat Al-Qur’an berusaha dijelaskan dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat AL-Qur’an sebagai yang tercantum di dalam
mushaf. Segala segi yang di anggap perlu di uraikan bermula dari arti kosakata,
asbab an-nuzul, munasabah al-ayat, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan
teks atau kandungan ayat.
b)
Pendekatan Sektoral
Pendekatan sektoral adalah pendekatan yang membahas objek dengan memandangnya
terlepas dari objek lainnya. Pendekatan ini berusaha mengkaji Al-Qur’an secara
singkat dan global tanpa uraian panjang lebar. Arti dan maksud ayat dijelaskan
dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan artinya tanpa menyinggung hal-hal
selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an,
ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutan dalam mushaf setelah
di kemukakan arti-arti itu dalam kerangka uraian yang mudah dengan bahasa dan
cara yang dapat dipahami oleh orang yang berilmu dan awam.
4)
Pendekatan Disipliner, Pendekatan
Multi disipliner, dan Pendekatan Interdisipliner
a.
Pendekatan
Disipliner (Monodisipliner).
Pada awal perkembangannya ilmu pengetahuan memiliki ciri monodisipliner,
artinya suatu disiplin ilmu tertentu dengan menggunakan metode tertentu
disamping ilmu-ilmu lainnya, misalnya; pada bidang ilmu ekonomi berkembang
menjadi ilmu ekonomi akuntansi, ekonomi perusahaan, ekonomi pembangunan, dan
bidang-bidang lainnya.[53] Begitipula
dalam bidang tafsir berkembang banyak ilmu yang berhubungan dengannya seperti
ilmu balgah (berisi teori-teori dan materi-materi yang berkaitan dengan
cara-cara penyampaian ungkapan), Ma’ani (pokok-pokok dan dasar-dasar untuk
mengetahui tata cara menyesuaikan kalimat kepada kontekstualnya (muqtadhal
halnya) sehingga cocok dengan tujuan yang dikehendaki, al-Bayan (Dasar-dasar
dan kaidah-kaidah untuk mengetahui cara menyampaikan satu makna dengan beberapa
cara yang sebagiannya berbeda dengan sebagian yang lain dalam menjelaskan segi penunjukan
terhadap keadaan makna tersebu) dan masi banyak lagi ilmu-ilmu lainnya.
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang mengkaji objek dari sebuah
disiplin ilmu atau berdasarkan ilmu yang terpisa dengan ilmu lainnya serta
berdasarkan metode dan corak dalam kajian ilmu tersebut. Macam-macam pendekatan
disipliner antara lain:
1)
Pendekatan Syar’i
Pendekatan ini berusaha mengkaji Al-Qur’an dengan mengeluarkan hukum-hukum
Islam produk istinbat yang diyakininya. Dalam
dimensi sejarah, hukum-hukum tersebut secara bertahap digali, hingga sampailah
era perhatian terhadap produk-produk istinbat. Dari sini timbullah mazhab yang
satu sama lain saling berbeda. Katika madzhab-madzhab telah ada di kalangan
umat Islam terjadi banyak kasus hukum. Pada akhirnya hal itu diselesaiakan
berdasarkan AL-Qur’an, sunah, qiyas, istihsan, dan lain-lain, maka keluarlah
hukum-hukum Islam produk istinbat yang diyakini benar. Hal yang demikian
terlihat dalam corak penafsiran ayat-ayat yang berbeda-beda, kerna pendekatan
kajian yang digunakan juga berbeda.
2)
Pendekatan Sosio-Historis
Pendekatan ini menekankan pentignya memahami kondisi-kondisi aktual ketika
Al-Qur’an diturunkan,. Atau dengan kata lain, memahami Al-Qur’an dalam konteks
kesejarahan dan harfiyah, lalu memproyeksikannya kepada situasi masa kini
kemudian membawa fenomena-fenomena sosial ke dalam naungan-naungan tujuan.
Pendekatan Historis yang dimaksud adalah meninjau suatu permasalahan dari
sudut tinjauan sejarah, dan menjawab permasalahan serta menganalisisnya dengan
menggunakan metode analisis sejarah. Sejarah atau
histori adalah studi yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa atau
kejadian-kejadian masa lalu yang menyangkut kejadian atau keadaan yang
sebenarnya.[54]
Pendekatan kesejarahan ini menekankan pentingya perbedaan antar tujuan
atau”ideal moral” Al-Qur’an dengan ketentuan legal spesifiknya. Ideal moral
yang dituju Al-Qur’an lebih pantas diterapkan ketimbang ketentuan legal
spesifiknya.Jadi dalam kasus seperti perbudakan yang di tuju Al-Qur’an adalah
emansipasi budak. Sementara penerimaan Al-Qur’an terhadap pranata tersebut
secara legal
dikarenakan kemustahiilan untuk dihapus seketika.
3)
Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis adalah upaya pemahaman Al-qur’an dengan cara
menggabungkan antara filsafat dan agama atas dasar penafsiran dan penakwilan teks –teks agama kepada
makna-makna yang sesuai dengan filsafat. Pendekatan filosofis yang dimaksudkan
adalah melihat permasalahan dari
sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan
itu dengan menggunakan metode analisis sfekulatif. Disamping
itu filsafat mempunyai bidang (objek yang difikirkan) sendiri, yaitu bidang
atau permasalahan yang bersifat filosofis, yakni bidang yang terletak diantara
dunia ketuhanan yang gaib dengan dunia ilmu pengetaguan yang nyata.[55]
4)
Pendekatan Linguistik (riwayat dan
Bahasa)
Pendekatan linguistik atau riwayat dan bahasa ini adalah suatu pendekatan
yang cenderung mengandalkan periwayatan dan kebahasaan. Dalam pendekatan ini,
ditekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an, memaparkan ketelitian
redaksi ayat, ketika menyampaikan pesan-pesannya, mengikat penafsirannya dalam
bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasi terjerumus dalam subjektifitas
berlebihan. Pendekatan ini berupaya menguraikan sebuah susunan kalimat dalam suatu
ayat, dengan
memakai kalimat-kalimat dan huruf-huruf yang ada didalam ayat tersebut tanpa
memakai kalimat dan huruf lain.
b.
Pendekatan
Multi disipliner
Pendekatan ini berupaya membahas dan mengkaji objek dari beberapa disiplin
ilmu, artinya ada upaya untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an atau suatu objek
dengan mengkaitkan disiplin-disiplin ilmu yang berbeda. Seperti dalam hal penafsiran Al-Quran ini, seorang mufasir akan menggunakan
ilmu-ilmu lain seperti ilmu nahu, sharaf, ilmu balghah, ilmu bayan dan lain-lain,
namun dalam prakteknya tetap memperhatikan dan mengutamakan metode
masing-masing dari berbagai disiplin ilmu tersebut.
c.
Pendekatan
Interdisipliner
Pendekatan interdisipliner adalah sutu pendekatan yang membahas dan
meneliti objek harus (tidak boleh tidak) menggunakan beberapa disiplin ilmu,
dan metode atau serta corak pengkajian dari beberapa ilmu dirangkum menjadi
satu dan nantinya lahirlah sebuah keterangan atau ilmu baru.
Berdasarkan pembahasan sebagaimana tersebut di atas, maka terdapat perbedaan yang spesifik antara ilmu-ilmu
mono disiliner, monodisipliner dan interdisipliner. Ilmu monodisipliner merupakan bidang satu ilmu tersendiri dengan objek
formal dan material tertentu serta metode ilmiah tersendiri misalnya; ilmu biologi,
kimia, fisika, kedokteran, giografi,
ilmu budaya, ilmu filsafat, ilmu social ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu lainnya. Kemusian ilmu multidisipliner merupakan suatu interkoneksi antara ilmu satu
atau dengan ilmu lainnya namun masing-masing bekerja berdasarkan disiplin dan
metodenya masing-masing. Selanjutnya
ilmu interdisipliner adalah kerjasama antara ilmu satu dengan lainnya sehingga
merupakan satu kesatuan dengan suatu metode tersendiri.
1)
Pendekatan Tekstual dan Pendekatan
Konstektual
Pada dasarnya pendekatan tekstual dan kontekstual adalah sama dengan
beberapa pendekatan di atas. Hanya saja istilah ini muncul dari sumber yang
berbeda
(a)
Pendekatan Tekstual
Secara sederhana tekhnik ini dapat diasosiasikan dengan tafsir bi
al-ma’tsur. Nash yang dihadapi ditafsirkan sendiri dengan nash baik AL-Qur’an
ataupun hadist.
(b)
Pendekatan Konstektual
Al-Qur’an adalah Kitab suci yang salih li kulli zaman wa makan. Selama
empat belas abad Al-Qur’an tetap bertahan sebagai penerang dalam memecahkan
berbagai masalah. Prof. Dr. Amin Abdullah memaparkan ada dua ranah keprihatinan
umat islam dewasa ini dalam memahami Al-Qur’an. Pertama, bagaimana dapat memahami ajaran Al-Qur’an yang bersifat universal (rahmatan
li al-alamin) secara tepat, setelah terjadi proses modernisasi, globalisasi,
dan informasi yang membawa perubahan sosial yang begitu cepat. Kedua, bagaimana sebenarnya konsepsi dasar AL-Qur’an dalam menaggulangi
ekses-ekses negatif dari deru roda perubahan sosial pada era modernisitas seperti
saat ini. Untuk itulah Al-Qur’an berusaha di dialogkan dengan realita zaman
sekarang, melalui studi
kontekstualitas Al-Qur’an (studi
tentang peradaban). Jadi pada
dasarnya sama juga dengan Pendekatan Sosio-Historis. Pendekatan sejarah
tersebut tidak bisa lepas dari asbab al-nuzul ayat Al-Qur’an yang biasanya-walau
tidak seluruhnya- bersumber dari sunah, atsar ataupun dari tabi’in. Jadi,
secara metodologis tekhnik ini termasuk kedalam metode tafsir bi al-ma’tsur. Hubungan
teks dan konteks bersifat dialektis, teks
menciptakan konteks, persis sebagaimana konteks menciptakan teks, sedangkan
makna timbul dari keduanya.Contoh: 1. Dalam
masalah wanita solat di rumah atau di masjid. 2. Dalam masalah laki-laki
pemimpin wanita 3. Dalam masalah Perusahaan yang semuanya laki-laki dihadapkan
pada kewajiban shalat jum’at. dll
Dari berbagai pendekatan di atas maka gambaran
bahwa masing-masing pendekatan memiliki
karakteristik sendiri, sehingga untuk menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur’an
tergantung pada latar belakang mufassir, kepentingan penafsiran, corak atau
warna, aliran, orientasi dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Seperti yang telah diuraikan, Pendekatan subjektif adalah pendekatan yang
terkait dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Pendekatan
objektif adalah pendekatan empiris yang bertumpu pada kepentingan ilmiah semata, pendekatan langsung (pendekatan menggunakan al-Quran, hadits dan ijtihad para sahabat),
pendekatan tidak langsung (penggunaan pendapat-pendapat ulama, riwayat kenyataan sejarah di
masa turunnya Al-Qur’an, pengertian bahasa dan
lafadl Al-Qur’an, kaedah lafadl bahsa, kaedah-kaedah intinabat serta
teori-teori ilmu pngetahuan), Pendekatan
Komprehensif (dalam hal
ini, kandungan ayat Al-Qur’an berusaha dijelaskan dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat AL-Qur’an sebagai yang tercantum di dalam mushaf, segala segi
yang di anggap perlu di uraikan bermula dari arti kosakata, asbab an-nuzul, dan
lain sebagainya yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat, Pendekatan
sektoral adalah pendekatan yang membahas objek dengan memandangnya terlepas
dari objek lainnya, Pendekatan Monodisipliner, Pendekatan Multi disipliner, dan
Pendekatan Interdisipliner (ketiga pendekatan yang orientasi pengkajian
Al-Quran sama-sama merujuk pada bidang
ilmu pengetahuan, hanya saja berbeda dalam prakteknya) kemudian Pendekatan
Tekstual dan Pendekatan Konstektual (Pendekatan yang mengutamakan makna-makna yang
sebenarnya di dalam al-quran yang kemudian akan dikolaborasi dengan
kejadian-kejadian atau fenomena-fenomena kekinian dan yang akan datang dari
fakta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Dari beberapa pendekatan di atas sangat mungkin dipergunakan oleh para
mufasir dalam menggali makna-makna Al-Quran yang terkandung dalam ayat-ayatnya,
dan tidak menutup kemungkinan dimasa-masa sekarang dan akan datang para mufasir
akan menemukan pendekatan-pendekatan baru dalam studi Islam khususnya dalam
menafsirkan Al-Quran yang bersifat universal.
A.
Kesimpulan
Dari
pendekatan-pendekatan yang digunakan mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Quran, seperti pendekatan
Objektif dan Subjektif, Pendekatan Langsung dan Tidak Langsung, Pendekatan
Komprehensif dan Sektoral, Pendekatan Disipliner, Multi disipliner, dan
Interdisipliner serta Pendekatan Tekstual dan Konstektual adalah sekian pendekatan yang orientasi, cara dan metode yang berbeda
namun tujuannya adalah satu yaitu untuk mengetahui makna sesungguhnya yang
dikehendaki oleh ayat-ayat yang ditafsir untuk kesejahteraan dan kemaslahatan
ummat.
Pendekatan kajian tafsir dalam tataran
sejarah ilmu tafsir bukan merupakan barang baru. Hal yang demikian dapat
ditelusuri dalam khazanah intelektual yang diwariskan pada mufasir. Keberadaan
pendekatan kajian tafsir sangat di perlukan guna memperoleh pemahaman yang
komprehensif tentang ajaran Islam, di samping sebagai upaya menuju kearah
pengembangan dan pemecahan problematika tafsir al-Qur’an dalam era golabalisasi
yang penuh dengan tantangan.
Daftar Pustaka
Al-Anshori,
Abu Yahya Zakaria.Ghoyatul Wusul. Al-Hidayah, Surabaya,tnp thn. hlm. 71.
Abdullah, Taufiq dan M. Rusli Karim (Ed), 1990, Metodologi Penelitian Agama adalah sebuah pengantar, Yokyakarta:
Tiara Wacana.
Al-Qattan, Manna Khalil, 2010, Studi
Ilmu-ilmu Quran, (diterjemahkan oleh
Muzakkir AS). Jakarta, Litera Antar Nusa dan Pustaka Islamiah
Al-farmawi, Abd. Al hay, 1977. Al bidayah Fi Al-tafsir Al-Maudhu’i,
Mesir: Al
Hadharat al arabiyah,
Ash-Shiddieqy,
Hasbi, 1980. Sejarah dan Pengantar
Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir. Bulan Bintang, Jakarta.
As-Suyuti, Jalal
al-Din, Al’itqan fi Ulum al-Qur’an, Maktabah Dar al-Turots, Kairo,
tanpa.tahun.juz 1.
As-Suyuti,
Jalal al-Din, lmu al-Tafsir Manqul Min Kitab Itmam al-Diroyah. Karya
Toha Putra, Semarang, tnp. thn.
Baidan,
Nashruddin. 1998. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Pelajar.
Fauzah,
Mahmud Basuni, 1987, al-Tafsir wa Munahijuh, (diterjemahkan oleh H.M.
Moctar Zoerni dan abdul Qadir Hamid), Tafsir-Tafsir al-Qur’an Perkenalan dengan metodologi Tafsir. Bandung,
Pustaka.
Kaelan, 2010, Metode Penelitian Agama
Kualitatif Interdisipliner,
Yokyakarta: Paradigma.
Khalaf,
Abdul wahab, Tarikh
al-Tasri’ al-Islami, Maktabah
Salim bin Nabhan, Surabaya, tnp.thn
Muhaimin, (et. al), 2013, Studi Islam dalam Ragam
Dimensi dan Pendekatan,
Jakarta: Kencana Pranada Media Group
Nata, Abuddin, 2013. Metodologi Studi Islam.
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Nata,
Abuddin, 1999. Metodologi
Studi Islam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Shihab, M. Quraish, 1992. Membumikan Al-Quran. Mizan, Bandung.
Suryadilaga,
M. Fatih (et.al), 2005. Metodologi
Ilmu Tafsir,Teras, Yogyakarta,
Syihab, M.
Quraisyi, 2005.Tafsir
al-Misbah. Lentera
Hati, Tangerang
Syafe’i, Rachmat, 2006. Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, Sahiron
Syamsudin, dkk,
2003.Hermeneurika Al-Qur’an Mazhab Yogya. Islamika. Yogya.
Thabathaba’i,
Muhammad Husain 2009. Al-Qur’an Fi Al- Islam, (ditermahkan oleh A. Malik Madaniy). PT
Mizan Pustaka, Bandung.
[1] Dalam lingkup studi ilmiah,
dimanapengembangan studi Islam harus memiliki kriteria rasional objektif, bukan
subyektif doktrinal. Tujuannya adalah agar hasil dari studi Islam dapat
diterima dan dipahami oleh semua pihak,
termasuk para orientalis. Namun sebagai bagian dari ajaran agama yang diterima
dan di jalankan secara doktriner oleh pemeluknya, pendekatan studi Islam boleh jadi
bersifat subyektif, sebab banyak hal-hal yang tidak dapat terkaver secara
objektif, seperti masalah-masalah sam iyyat yang berhubungan dengan eskatologi
(kehidupan setelah mati), hari kiamat dan segala problematikanya; serta
masalah-masalah pengalaman esoteris dan mistik yang dikembangkan oleh para
sufi, tentu itu semua tidak dapat dijabarkan secara objektif. (Ziauddin Sardar,
Rekayasa Masa Depan Peradapan Muslim, Bandung: Mizan, 1989, hlm 44.
[2] Muhaimin, at.al, Studi
Islam: Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, 2012, hlm. 3
[3] Kaelan, Metode
Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner:Metode Penelitian Ilmu Agama
Interkonektif Interdisipliner dengan ilmu lain, Yokyakarta: Paradigma,
2010. Hlm.18.
[4] Muhaimin, Op.Cit.,
hlm. 4
[5] Exegesis, an
alternative therapy programme, operated in the United Kingdom in the later
1970s and early 1980s. Exegesis was founded by Robert D'Aubigny, a former
actor, in 1976 as Infinity Training, offering "enlightenment and personal
transformation" through a course of paid seminars It existed as a human potential organization
until 1984.....(Tafsir, program terapi alternatif, dioperasikan di Inggris pada tahun 1970 dan awal 1980-an. Eksegese didirikan
oleh Robert D'Aubigny, seorang mantan aktor, pada
tahun 1976 sebagai Training Infinity,
menawarkan "pencerahan dan transformasi pribadi"
Ini ada
sebagai organisasi potensi manusia sampai 1984......George
D. Chryssides, Exploring
New Religions Contimuum (1999), p. 372. Lihat juga http://books.google.co.id/books?id=vyX1sL8-0gMC&pg=PA278&lpg
[6] Musnur Hery, Outline Pendekatan
Studi Islam, 2012.
[8] Manna Khalil Al-Qattan, Studi
Ilmu-ilmu al-Quran, (diterjemahkan oleh Muzakkir AS), Jakarta,
Litera Antar Nusa dan Pustaka Islamiah, 2010, hlm. 455-456.
[9]Mahmud Basuni Fauzah,. al-Tafsir
wa Munahijuh, (diterjemahkan oleh H.M. Moctar Zoerni dan abdul Qadir
Hamid), Tafsir-Tafsir al-Qur’an
Perkenalan dengan metodologi Tafsir. Bandung, Pustaka. 1987. Hlm.1
[10] Muhammad Husain Thabathaba’i, Al-Qur’an
Fi Al- Islam. (diterjemahkan oleh A. Malik Madaniy), Bandung: PT Mizan Pustaka, 2009, hlm. 106
[11] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir.
Jakarta: Bulan
Bintang, 1980. Hlm.192
[13] Didin Saefudin, Zaman Keemasan
Islam: Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, Jakarta: PT. Gramedia,
2002. Hlm. 157
[14]
Muhammad Husen Al-Zahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassirun, Kairo: Dar Al-Qutub
Al-Haditsah 1961, hlm. 35. Lihat juga Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Quran,
Bandung: Mizan, 1995, hlm. 71 dan 83.
[15]
Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1995, hlm. 84.
[16]
Ibnu Khalikan, Wafiyat, Jilid. IV. Hlm 191
[17] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir.
Jakarta: Bulan
Bintang, 1980, hlm.220.
[20] Kementerian Agama RI, Al-Quran
dan Terjemahannya, Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012. Hlm.370
[23] Kementerian Agama RI, Al-Quran
dan Terjemahannya, Op. Cit. Hlm. 825
[24] Ibnu Khaldun, Mukaddimah. (diterjemahkan oleh Masturi Ilham, at.al). Jakarta: Pustaka
Alkautsar. 2001. Hlm.811.
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudaili,1993. Pengantar
Ilmu Tafsir, Bandung:
Angkasa Bandung, 1998. Hlm. 470
[26] Kementerian Agama RI, Op.
Cit. Hlm. 141
[27] Ibid., Hlm. 143
[29] Ibid., Hlm. 581
[36] Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fudaili,. Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Angkasa, 1993, hlm.109
[38] Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada,1994, Hlm. 13
[39]Ridlwan Nasir, Memahami Al-Qur’an
persefektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin. Surabaya.CV.Indra Media, 2003.hlm.15
[40]M. Natsir Arsyad, Sari Buku
Pintar Islam Seputar Al-Qur’an, Hadist dan Ilmu. Bandung Al- Bayan, 1996.hlm. 60
[44]
Kementerian Agama RI, Op.Cit., hlm, 920
[46] Taufiq Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), Metodologi Penelitian Agama
adalah sebuah pengantar, Yokyakarta: Tiara Wacana. 1990. Hlm.92
[49]
Kementerian Agama RI. Op. Cit., hlm. 141
[50]
Ibid., hlm. 142
[51]
Ibid., hlm. 185
[52]
Ibid., hlm. 581
[53]
Kaelan, Op. Cit., hlm. 18
[54] Muhaimin, at.al, Studi
Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar