Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim, jadikan anak-anakku “Afifah Thahirah As Sundus, Muhammad Sayyid Al-Fattah, Muhammad Ayyasy Al Ghaniy, dan Aisyah Ghufairah Az Zahra” anak-anak yang bersifat Siddiq, Amanah, Fathonah, dan Tabligh. Ya Allah Ya Zaljalaliwal Ikroom, jadikan keempat amanah yang Engkau titipkan kepadaku ini para putra-putri yang sukses dan pemimpin pada masanya nanti amiin

KASUS HAJI INDONESIA MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA TAHUN 1853-1902



Jawaban:
 
A.      Pendapat saya mengenai Kasus Haji Indonesia Masa Pemerintahan Hindia Belanda Tahun 1953-1902 adalah sebagai berikut:
            Dalam sistem otoritas dan administrasi Islam, Indonesia cukup menjadi perhatian yang sangat tinggi dari pemerintahan Hindia Belanda dalam hal jamah haji yang akan berangkat ke tanah suci Mekkah. Indonesia dan Mekkah suda sejak lama memiliki hubungan yang baik, jumlah jama’ah Indonesia hampir setiap tahun mencapai angka ribuan dalam melaksanakan ibadah haji. Data ini dapat di lihat dari laporan pemerintah Belanda dalam “Kolonial Verslag” [[1]] yang menyajikan tabel jama’ah haji Indonesia pertahun dengan secara teratur.
Sejarah telah mencatat, bahwa dalam pelaksanaannya, haji di Indonesia banyak sekali menerima peraturan-peraturan dari pemerintah Hindia Belanda. Seperti yang di instruksikan oleh Daendels, ia merupakan Gubernur Jenderal pertama yang memerintahkan agar jama’ah haji Indonesia memakai paspor atau pas jalan, dengan alasan agar jama’ah mendapatkan keamanan dan ketertiban dalam menjalankan ibadah haji. Meskipun masi ada alasan politik lain yang lebih diutamakan. Lebih jelas seperti yang dikemukakan oleh Tomas Stamford Raffles:

Ibadah haji ke mekkah sebagai salah satu bahaya politik, beliau beranggapan bahwa para haji itu setelah pulang dianggap oleh masyarakat sebagai orang suci dan mempunyai kekuatan gaib (supernatural power), karena itu dikhawatirkan mempengaruhi masyarakat dan menghimpun kekuatan untuk menentang orang Barat [[2]]

Jika mengingat perkembangan sejarah haji pada abad 16 tepatnya pada tahun 1664, pada waktu itu perna terjadi suatu peristiwa bahwa:

Belanda melarang tiga orang Bugis yang baru menunaikan ibadah Haji di Mekkah untuk mendarat, dan membuang mereka ke tanjung harapan, Belanda menggunakan dalih bahwa kedatangan mereka ketengah-tengah orang Islam yang sangat menghormati orang-orang yang sudah naik haji dihawatirkan akan menimbulkan kerusuhan, tahun 1716 10 orang yang baru pulang dari ibaada haji diperbolehkan mendarat, tapi selalu di bawah pengawasan yang ketat, dan tahun 1810 Gubenrnur Jenderal Daendels mengeluarkan dekrit yang memerintahkan agar para kiyai yang melakukan perjalanan dari satu tempat ketempat yang lain membawa paspor. Peraturan ini dimaksudkan untuk mengawasi mereka agar jangan melakukan kerusuhan-kerusuhan [[3]]


            Mencermati kilas sejarah tersebut, betapa predikat haji sangat ditakuti oleh pemerintah kolonial, aktivitas ini benar-benar mendapat perhatian besar dari pemerintah Belanda, karena seorang yang telah melaksanakan ibadah haji itu, dianggap memiliki karismatik atau memiliki jiwa kepemimpinan yang handal, dan dapat menggerakkan dan mengendalikan masyarakat dimana mereka berada.
Kembali kepada Daendels dan Raffles, semua Instruksi dan kebijakan yang dikeluarkan tersebut memiliki pengaruh yang besar dalam pengawasan dan pengaturan pelaksanaan jama’ah haji di Indonesia, maka tidak heran jika pada waktu itu sering keluar peraturan-peraturan baru yang dinilai kadang-kadang tidak sesuai dengan hati nurani masyarakat, peraturan-peraturan yang sering menyudutkan dan mempersulit ummat Islam dalam merealisasikan aktivitas keagamaan mereka, terumatama melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Mekkah.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang lebih dikenal dengan politik haji tersebut didasari atas kekhawatiran kepada:

Pertama, kedudukan haji dalam masyarakat sangat dihormati, oleh karena itu ia berpeluang menjadi pemimpin, sebagai seorang pemimpin ia dapat menggerakkan orang hususnya untuk menentang penjajah, keduah, kenyataan sejarah menunjukkan adanya pemberontakan yang dipelopori para haji, seperti kasus perang jihad Palembang, perang jihad Cilegon dan pemberontakan Mutiny di India, ketiga, haji itu sifatnya kosmopolitan, dimana para jama’ah haji bertemu dengan jama’ah haji dari seluruh dunia, dengan demikian wawasan mereka lebih luas, dan kemungkinan meluasnya pengaruh Pan Islamisme di tanah air [[4]].

Bagian dari penyebab pemerintah Belanda benar-benar memperhatikan perkembangan haji Indonesia adalah ketakutan mereka akan hubungan jama’ah dengan gerakan Pan Islamisme yang dipelopori oleh Jamal al-Din al-Afghani, sebab pada waktu itu gerakan ini telah mewarnai perjalanan politik dunia Islam. Pengertian Pan Islam secara klasik adalah penyatuan seluruh dunia Islam di bawah satu kekuasaan politik dan agama yang dikepalai oleh seorang khalifah[[5]]. Pemerintah Belanda sangat takut dan khawatir dengan gerakan ini, karena gerakan ini dianggap oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai gerakan politik yang membawa rakyat pada sikap panatisme, sehingga terhadap gerakan ini Snock Hurgronje membangun dasar-dasar pemikiran sebagai berikut:

a.     Musuh Kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik b. Snouck Hurgronje  membedakan Islam dalam arti “ibadah” dengan Islam dalam arti “kekuatan sosial politik”. Dengan membagi masalah Islam atas tiga katagori : 1. Bidang agama murni atau ibadah; 2. Bidang sosial kemasyarakatan dan 3. Bidang politik; dimana masing-masing bidang menuntut alternatif pemecahan masalah yang berbeda. Resep inilah yang kemudian dikenal sebagai Islam Politik, atau kebijaksanaan pemerintahan kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. c.Politik Islam yang menurut Snouck Hurgronje yaitu 1. Terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama, hendaknya pemerintah bersikap netral. 2. Masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam, menuntut penghormatan. 3. Tiada satupun bentuk Pan Islam boleh diterima oleh kekuasaan Eropa. d.Prinsip politik Islam Snouck Hurgronje di bidang kemasyarakatan adalah menggalakan pribumi agar menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda demi kelestarian penjajahannya. Ini dikenal dengan Asosiasi Kebudayaan (Istilah Asosiasi mengandung maksud mengikat daerah jajahan dengan negeri penjajah) . Snouck Hurgronje  adalah seorang yang mendambakan kesatuan antara Indonesia dan Belanda dalam satu ikatan Belanda Raya. e.Dalam rangka menerapkan politik asosiasi Snouck Hurgronje memprakarsai pendidikan anak-anak bangsawan. Pada tahun 1890 ia memperoleh murid pertama Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat (Hoesein Djajadiningrat) (lahir 1877), anak Bupati Serang yang dengan susah payah berhasil ditempatkan di sekolah Belanda (ELS dan HBS) setelah diubah namanya menjadi Williem van Banten f.Snouck Hurgronje  optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan Barat. Agama islam dinilai sebagai beku dan penghalang kemajuan, sehingga harus di imbangi dengan meningkatkan taraf kemajuan pribumi. Maka pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia [[6]]

Tentang Mukimin Haji dan Kota Makkah, Snouck Hurgronje  menyimpulkan, “di kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar ke seluruh tubuh penduduk muslimin di Indonesia”. Snouck Hurgronje  meyakinkan para pejabat bahwa mereka tidak perlu menhawatirkan pengaruh para haji, satu-satunya cara yang paling tepat adalah menghambatnya secara halus dan tidak langsung, yakni dengan cara mengalirkan semangat pribumi ke arah lain. “Setiap langkah pribumi menuju kebudayaan kita, berarti menjauhkan dari keinginan untuk naik haji”[[7]] sisi lain penyebab kekhawatiran Kolonial terhadap jama’ah haji adalah;
Pada zaman penjajahan Belanda, para jama’ah haji betul-betul mendapatkan pencerahan politik berkat ibadah hajinya di Mekkah, mereka yang pulang haji menjadi kian berani melawan pemerintah kafir Belanda. Inilah yang menyebabkan Belanda menghawatirkan dampak haji secara politis. Karena itu pada tahun 1908 Belanda perna melarang umat Islam Indonesia berhaji, ini lebih baik dari pada terpaksa harus menembak mati mereka [[8]]
            Sebenarnya makna politik ibadah haji itu masih banyak arti politis lainnya, seperti arti politik ibadah haji tercakup dalam apa yang disebut hikma haji, yaitu “Manfaat yang dapat dipersaksikan oleh jama’ah haji saat mereka menunaikan ibadah haji (QS.Al-Haj 28), Ayat ini menunjukkan saat menjalankan ibadah haji kaum muslimin akan mendapatkan berbagai manfaat yang sangat strategis dalam segala aspek kehidupan, termasuk aspek politik [[9]].

            Dwi Hardianto dalam (Sabili) mengungkapkan bahwa makna politik haji mengandung 4 (empat) unsur:

Pertama, membangkitkan kesadaran akan persatuan ummat, kedua, membangkitkan semangat perjuangan untuk menentang penjajahan, jama’ah haji dari berbagai negeri dunia Islam umumnya saling bertukar informasi dan akhirnya dapat saling memahami bahwa mereka sebenarnya hidup dalam penjajahan, ketiga, meningkatkan ketundukan kepada syari’ah yang kian kuat, baik dalam persoalan ibadah pribadi maupun aspek politik, sosial dan ekonomi, keempat, meningkatkan semangat pengorbanan [[10]]

            Sementara Alwi Sihab menjelaskan bahwa secara umum kebijakan Islam yang disarankan Snock Hurgronje didasarkan atas tiga prinsip utama [[11]] Pertama dalam semua masalah ritual keagamaan, atau aspek ibada dalam Islam, rakyat Indonesia harus diberikan kebebasan menjalankannya. Logika di balik kebijakan ini membiarkan munculnya keyakinan dalam fikiran banyak orang bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak ikut campur dalam masalah keimannan mereka. Ini merupakan wilayah yang paling pekah bagi kaum muslimin karena hal itu menyentuh nilai-nilai keagamaan. Dengan demikian pemerintah akan berhasil merebut hati kaum muslimin, dan sejalan dengan itu akan mengurangi pengaruh perlawanan kaum muslim panatik terhadap pemerintah kolonial.
            Prinsip kedua adalah sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial, atau aspek muamalat dalam Islam, seperti perkawinan, warisan, wakaf dan hubungan-hubungan sosial lain, pemerintah harus berusaha mempertahankan dan menghormati keberadaannya, meskipun demikian pemerintah harus berusaha menarik sebanyak mungkin perhatian orang-orang Indonesia terhadap berbagai keuntungan yang dapat diraih dari kebudayaan Barat. Hal itu dilakukan dengan harapan agar mereka bersedia menggantikan lembaga-lembaga sosial Islam di atas dengan lembaga-lembaga sosial Barat. Duharapkan pula bahwa perlahan-lahan sembari berasosiasi dengan orang Belanda, orang Indonesia akan menyadari keterbelakangan lembaga-lembaga sosial Islam milik mereka dan menuntut untuk digantikannya lembaga-lembaga itu dengan lembaga-lembaga sosial model Barat, dan akhirnya hubungan yang lebih erat antara penguasa Belanda dan rakyat Hindia Belanda berkembang dengan sendirinya.
            Perinsip yang ketiga dan paling penting, adalah bahwa dalam masalah-masalah politik, pemerintah dinasihati untuk tidak menoleransi kegiatan apapun yang dilakukan oleh kaum muslim yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan Islamisme atau menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah harus melakukan kontrol ketat terhadap penyebaran gagasan apapun yang dapat membangkitkan semangat kaum Muslim di Indonesia untuk menentang pemerintah kolonial, pemangkasan gagasan-gagasan seperti ini akan memencilkan pengaruh aspek-aspek Islam yang bersipat politis, yang menjadi ancaman terbesar terhadap pemerintah kolonial Belanda. Lagi-lagi, dalam hal ini Hurgronje menekankan pentingnya kebijakan asosiasi kaum Muslim dengan peradaban Barat. Dan agar asosiasi ini berjalan dengan baik dan tujuannya tercapai, pendidikan model Barat harus di buat terbuka bagi rakyat pribumi. Sebab hanya dengan penetrasi pendidikan model Baratlah pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan atau setidaknya dikurangi.
Visi Hurgronje mengenai Indonesia yang lebih baik, yakni yang berasosiasi dengan negara induk Belanda secara damai dan berjangka panjang, memperkuat visi mengenai perlunya meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang secara sosial dan kultural ditata menurut model peradaban Barat. Hurgronje tampak berkeyakinan bahwa peningkatan seperti ini pada akhirnya akan mempersempit jurang yang makin melebar antar masyarakat Indonesia yang terbelakang dan masyarakat Belanda yang modern. Agar kekuasaan Belanda dapat dipertahankan terus secara damai, setiap upaya harus diambil untuk menghilangkan jarak kultural ini.
Berikut Dr. Jan S. Aritonang memaknai maksud dari Islam sebagai iabadah murni dan Islam sebagai kekuasaan politik yang dikemukakan oleh Snock Hurgronje adalah:

Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah harus memebrikan kemerdekaan terhadap ummat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganngu kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Dalam bidang sosial kemasyarakatan, pemerintah harus memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan mendorong rakyat atau pemimpin adat untuk bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda. Dalam bidang politik, pemerintah harus mencegah dan menumpas secara keras setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada panatisme dan Pan Islamisme yang muncul dari Turki. [[12]]

Dari beberapa ungkapan tentang penjelasan mengenai dasar pemikiran Snouck Hurgronje  di atas yang terlahir akibat gerakan Pan Islamisme, dan analisanya tentang potensi pribumi dan teorinya tentang pemisahan Islam dari unsur politik, ternyata kemudian tidak sejalan dengan perkembangan situasi kondisi pribumi, terutama pada duapuluh tahun terakhir (setelah tahun 1913) perkembangan Islam semakin menunjukkan jati diri dan semangat perjuangan menentang kolonial diberbagai daerah terus bergulir. Sementara orang mengambinghitamkan Gubernur Jendral Idenburg, yang merestui berdirinya Sarekat Islam (SI) dengan istilah “Salah Idenburg” bagi pengertian Serikat Islam. Namun suatu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah, bahwa “gerakan kebangkitan di Indonesia mempunyai perkembangan tersendiri, meskipun kadang-kadang dipengaruhi oleh gerakan reformasi di negara lain.
Pengawasan dan pengaturan haji yang pada awalnya sangat diperketat, yang diperlihatkan melalui politik haji, kemudian perkembangan selanjutnya mengalami pelunakan sikap, hal ini dikarenakan pemahaman pemerintah kolonial terhadap ibadah haji makin tinggi dan tingkat penetrasi keuasaan Belanda makin kuat, perubahan sikap itu dapat kita perhatikan dari beberapa kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda, sebagaimana yang dikemukakan oleh Husni Rahim [[13]] sebagai berikut:
Melalui Beslit pemerintah Belanda tanggal 18 Oktober 1825 No 9 ditetapkan bahwa setiap jamah haji yang akan berangkat ke Mekkah harus membayar pas jalan (reispas) sebanyak 110 gulden, dan bagi yang tidak membeli pas jalan dikenakan denda (boete) 1000 gulden, Beslit ini tidak disiarkan secara umum dan disampaikan kepada residen secara rahasia, Hal itu dimaksudkan untuk tidak memancing gejolak, tujuan utama penerbitan Beslit itu adalah untuk mengurangi semangat naik haji dan membatasi jama’ah yang berabgkat.
Beslit No 9 tahun 1825 tersebut kemudian diubah dengan  beslit No. 24 tanggal 24 Maret 1831, peraturan ini berupa mengurangi denda bagi yang tidak membeli pas jalan dari 1000 gulden menjadi 220 gulden (dua kali lipat dari harga pas jalan), alasan yang dikemukakan bahwa tidak ada orang yang sanggup membayar denda sebanyak 1000 gulden, sikap in keterlaluan.
Kedua Beslit yang disampaikan secara rahasia itu jelas sekali menunjuukkan ketakutan pemerintah terhadap bahaya haji, salah satu cara mengatasinya adalah dengan mengatasi seketat mungkin calon jama’ah haji yang akan berangkat, usaha ini tampaknya kurang berhasil karena ternyata calon jama’ah haji tidak berkurang malahan bertambah, satu hal yang kurang dipahami oleh orang Belanda, bahwa ibadah haji dalam pandangan orang Islam adalah kewajiban bagi orang yang mampu, oleh karena itu halangan apapun yang datangnya dari factor luar, bukan dari kemampuan dari yang bersangkutan, maka akan diupayakan semaksimal mungkin mengatasinya.
Sikap keras terhadap calon jama’ah haji diperlunak sedikit, ketika Duymaer Van Twist menjadi Gubernur Jenderal (1851-1856) yaitu dengan ditetapkannya Beslit 3 Mei 1852 Nomor 9, beslit ini menggantikan Beslit tahun 1825 dan tahun 1831, dalam Beslit 1852 Nomor 9 ditentukan bahwa pas jalan masih tetap diwajibkan, tetapi gratis dalam pelaksanaannya dan denda juga dihapuskan, pendafataran calon jama’ah haji dilakukan oleh kepala daerah, demikian pula pemberian pas jalan.
Bersamaan dengan ditetapkannya Beslit No.9 tahun 1852, Gubernur Jendral membuat pula instruksi kepada kepala daerah di Jawa dan di luar pulau jawa, untuk tetap mengawasi tindakan para haji dan melaporkan daftar orang-orang yang berngkat dan yang kembali dari Mekkah, sikap ini menunjukkan keberhati-hatian dari Duymaer van Twist terhadap masalah haji, hususnya terhadap daerah-daerah yang termasuk rawan pemberontakan.
Indian Mutiny, yaitu pemberontakan masal di India pada tahun 1857 telah menyebabkan kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap para jama’ah haji menghangat kembali dan menjadi perdebatan di Parlemen Belanda, perdebatan tersebut telah melahirkan peraturan baru tentang haji yang ditetapkan pada tahun 1859[[14]] dan peraturan ini dimuat dalam Staatsblad tanggal 6 Juli 1859 Nomor 42.
Peraturan 1859 tersebut memuat tiga ketentuan utama dalam pelaksanaan haji yaitu: (1) Pas jalan tetap diwajibkan dan gratis; (2) Calon haji harus membuktikan kepada kepala daerah bahwa ia mempunyai uang yang cukup untuk perjalannanya pulang dan pergi dan untuk biaya keluarga yang ditinggalkan dan (3) setelah kembali dari mekkah para jama’ah haji diuji oleh Bupati/kepala daerah atau petugas yang ditunjuk dan hanya yang lulus diperkenankan memakai gelar dan pakaian haji.
Peraturan 1859 ini pernah dua kali diminta untuk ditinjau kembali yaitu pada tahun 1873 dan pada tahun 1890, tetapi oleh pemerintah tetap dipertahankan dan baru pada tahun 1902 peraturan tersebut diubah, dalam peraturan 1902 (Statsblad 1902 No.318), ketentuan tentang ujian dan pemakaian gelar dan pakaian haji dihapuskan, sedangkan ketentuan tentang memperlihatkan  uang jaminan, baru diruba dalam peraturan 1905 melalui Statsblad 1905 N0. 288.
Perubahan sikap pemerintah Belanda terhadap haji tersebut terutama atas nasehat Snouck Hurgronje yang tiba di Indonesia tahun 1889. Snouck Hurgronje mengkeritik secara tajam kebijaksanaan haji yang tercantum dalam peraturan 1859. Menurut Snouck Hurgronje kehadiran jama’ah haji yang banyak dari Indonesia ke Mekkah tidak perlu di takutkan, dari sisi ini tidak ada bahaya politik dan kecil sekali kemungkinannya untuk dipengaruhi oleh ide Pan Islam. Justru yang perlu ditakuti adalah para mukimin Indonesia di Mekkah yang telah berkenalan dengan lingkungan Islam Internasional dan dengan Pan Islam.
Para mukimin ini merupakan jantung kehidupan kepulauan Nusantara, yang setiap saat memompakan angin segar keseluruh penduduk Nusantara, melalui mereka ditiupkan kecenderungan menetang penjajah, terhadap mereka perlu diadakan pengawasan yang secara ketat saja, kebijakan lain seperti ujian bagi jama’ah haji agar dihapuskan dan gelar-gelar serta pakaian haji dibebaskan tidak perlu di ataur.
Snouck Hurgronje juga menasehatkan bahwa untuk mengatasi kemungkinan para jama’ah haji dipengaruhi oleh para mukimin adalah dengan mewajibkan mereka dengan memiliki tiket pulang pergi, sehingga kesempatan di Mekkah tidak berapa lama. Anjuran Snock Horgronje ini kemudian diterapkan dalam peraturan pada tahun 1922 (staatsblad 1922 No.698).
Dari penjelasan dan konsef-konsef di atas dapatlah kiranya diketahui berbagai penyebab dari kasus-kasus jama’ah haji sekitar tahun 1853 sampai dengan tahun 1909, ketika Indonesia di bawah pemerintahan kolonial Belanda, terutama kasus naik turunya jumlah jama’ah haji Indonesia yang berangkat ke Mekkah.
Turun naik jumlah jama’ah haji tersebut ditentukan oleh berbagai faktor seperti keamanaan diperjalanan di Tanah Suci serta kecocokan musim. Disamping itu disebabkan berbagai perubaha-perubahan kebijakan pemerintah kolonial dari pelaksanaan politik haji itu sendiri. Pengaruh tersebut tampak sekali dalam tabel 1 dan 2 berikut ini:
Tabel: 1
Jama’ah Haji Indonesia tahun 1853-1862

NO
TAHUN
JUMLAH JAMA’AH HAJI
1
1853
1113
2
1854
1448
3
1855
1668
4
1856
3057
5
1857
2381
6
1858
3862
7
1859
2052
8
1860
1417
9
1861
1989
10
1862
2415
JUMLAH
21402

Bagan : 1
Jama’ah Haji Indonesia tahun 1853-1862

           
Tabel 1 di atas menunjukkan naik turun jama’ah haji setelah ditetapkan peraturan Beslit 3 Mei 1852 no. 9 ketika Duymaer Van Twist menjadi Gubernur Jenderal (1851-1856). Dalam keputusan itu dimana terhadap jama’ah haji dibebaskan biaya pas jalan dan denda. Kemudian terbitnya peraturan baru tahun 1859 yang berisi tentang (1) pas jalan tetap diwajibkan tapi gratis dalam pelaksanaannya (2) calon haji harus membeuktikan kepada Kepala Daerah bahwa ia mempunyai uang yang cukup untuk perjalanannya pulang dan pergi dan untuk biaya keluarga yang ditinggalkan (3) setelah kembali dari mekkah para jama’ah haji diuji oleh Bupati/Kepala Daerah atau petugas yang ditunjuk dan hanya yang lulus diperkenankan memakai gelar dan pakaian haji.
Dalam tabel itu tampak perkembangan jama’ah haji Indonesia semenjak tahun 1853-1862. Tahun 1853 merupakan tahun dilonggarkannya ketentuan wajib membayar pas jalan dan denda bagi yang tidak membeli pas jalan. Kelonggaran ini nampaknya mempunyai pengaruh terhadap peningkatan jumlah jama’ah haji Indonesia yang berangkat ke Mekkah. Data tahun 1853 sampai tahun 1856 adalah masa berlakunya peraturan tahun 1852 menunjukkan grafik yang meningkat bagi jama’ah haji Indonesia dari jumlah jamah 1113 orang tahun 1853 menjadi 3057 tahun 1856.
Data tahun 1857 jumlah jama’ah haji menurun menjadi 2381 dari jumlah 3057 tahun 1856, hal ini disebabkan pada tahun 1857 terjadinya istila Indian Mutiny, yaitu pemberontakan massal di India. Dengan adanya pemeberontakan itu kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap jama’ah haji menghangat kembali dan menjadi perdebatan di Parlemen Belanda, akibat perdebatan itu telah melahirkan peraturan baru tentang haji seperti yang telah disebutkan di atas. Selanjutnya penurunan jumlah jama’ah haji itu terus menurun mulai dari tahun 1859 sampai dengan tahun 1861, meskipun pada tahun 1858 dan 1862 ada kenaikan jumlah jama’ah haji, namun penurun itu penyebabnya adalah peraturan tahun 1857 tersebut yang berisi 3 (tiga) item itu dilaksanakan secara penuh mulai pada tahun 1859, dan peraturan tersebut dirasa oleh jama’ah haji Indonesia sangat memberatkan, terutama dalam hal memperlihatkan uang jaminan  baik untuk biaya berangkat haji maupun biaya keluarga yang ditinggalkan, begitu juga keharusan mengikuti ujian setelah pulang dari tanah suci Mekkah, dan peraturan itu ditinjau kembali pada tahun 1873 dan 1890, namun peraturan itu baru dapat diubah pada tahun 1902.
Namun jika di bandingkan dari tahun 1853 jumlah jama’ah sebanyak 1113 dan pada tahun 1862 jumlah jama’ah haji Indonesia berjumlah 2415, meskipun di tengah perjalannanya dari tahun 1853 sampai tahun 1862 terdapat naik turun jumlah jama’ah, dapat disimpulkan bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak berhasil dalam membendung dan membatasi arus jama’ah haji yang berangkat ke Mekkah, walaupun ummat Islam Indonesia di bawah pemerintahan kolonial Belanda tersebut selalu mendapatkan peraturan-peraturan yang sangat ketat tentang pelaksanaan jama’ah haji.
Sedangkan pada tabel 2 berikut ini memuat data jama’ah haji setelah peraturan 1859 tersebut ditinjau kembali dan bertepatan dengan  Snock Hurgronje tibah di Indonesia pada tahun 1889.
Tabel: 2
Jama’ah Haji Indonesia tahun 1886-1902

NO
TAHUN
JUMLAH JAMA’AH HAJI
1
1886
5.000
2
1889
3.100
3
1890
7.000
4
1896
11.700
5
1899-1909
7.300
JUMLAH
34.100

Bagan : 2
Jama’ah Haji Indonesia tahun 1886-1902

Add caption

Tabel 2 ini menunjukkan perkembangan jama’ah haji Indonesia tahun 1886 sampai dengan tahun 1902. Dalam periode ini peraturan 1859 pernah dua kali diusulkan untuk ditinjau kembali, namun pemerintah Belanda tetap mempertahankan dan baru pada tahu 1902 peraturan itu diubah. Dalam peraturan ini ditetapkan bahwa ujian dan pemakaian gelar dan pakaian haji dihapuskan. Sedangkan ketentuan tentang memperlihatkan uang jaminan baru di ubah pada tahu 1905.
Pada tahun 1889 Christian Snock Hurgronje tiba di Indonesia dan dia berhasil meyakinkan pemerintah Belanda bahwa peraturan yang ketatpun tidak akan berhasil mengurangi atau membatasi jumlah jama’ah haji, bahkan dapat memancing perseteruan. Sedangkan bahaya yang sebenarnya adalah para mukimin di Mekkah, karena mereka inilah yang lebih banyak berhubungan dengan dunia Islam dan lebih dipastikan dapat menyerap misi yang diemban gerakan Pan Islamisme.
Pada tahun 1862 jumlah jama’ah berjumlah 2415, sampai ke tahun 1886 jumlah jam’ah terus meningkat, terbukti di tahun 1886 itu jumlah jama’ah haji Indonesia sebanyak 5000 orang, peningkatan ini terlebih sejak dibukahnya Terusan Suez pada tahun 1869 dimana kondisi transportasi laut untuk mengangkut jama’ah haji suda lebih baik. Kemudian pada tahun 1889 jumlah jamah menurun hampir 50 persen, dari jumlah 5000 orang menjadi 3100 orang, hal ini disebabkan karena pada tahun 1888 itu telah meletus pemberontakan diberbagai daerah, seperti pemberontakan Cilegon, pemberontakan Banten, dan pemberontakan ini merupakan titik puncak dari konflik elite relegius dengan pejabat pemerintah kolonial, sehingga pada tahun 1888 itu semua semangat tertuju pada misi perjuangan akibatnya jumlah jamah haji pada tahun 1889 itu menjadi menurun.
Selanjutnya pada tahun 1890 jama’ah haji Indonesia meningkat kembali menjadi 7000 jama’ah, jumlah ini meningkat sampai mencapai lebih kurang 120 % dari jumlah 3100 di tahun 1886, hal ini dikarenakan pada tahun 1890 adalah tahun usulan terhadap peninjauan kembali terhadap peraturan 1859, dan peraturan itu baru diubah dan diterapkan pada tahun 1902, dalam keputusan itu dijelaskan bahwa ketentuan-ketentuan ujian dan gelar haji dihapuskan, kemudian berlanjut pengahpusan terhadap sikap memperlihatkan uang jaminan pada tahun 1905. Oleh sebab peraturan haji dirasakan sangat tidak memberatkan dan tidak ada tekanan-tekanan yang berarti dari pihak pemerintah kolonial maka tepatnya pada tahun 1896 jumlah jama’ah haji sempat meningkat sampai berjumlah 11.700 orang, karena jama’ah-jama’ah yang sempat tertunda di tahun-tahun sebelumnya yang disebabkan faktor keamaan, faktor ketidak cocokan iklim semua diberangkatkan, dan selanjutanya di tahun 1896 juga tergolong awal pemerintahan Belanda menerapkan ”politik balas budi”[[15]] (politik etis), pada masa ini dalam menghadapi pemerintah kolonial diperhalus, tidak lagi dengan perlawanan fisik secara frontal melainkan membina organisasi-organisasi modern seperti perkumpulan persarikatan atau partai-partai politik. Dengan sikap ini pemerintah kolonialpun sudah tidak mempermasalahkan lagi akan hal aktivitas haji. Oleh sebab itu jumlah jama’ah haji sempat meningkat hampir 300%, dan selanjutnya dari tahun 1899-1909 jumlah jama’ah haji menjadi normal kembali, selama 10 tahun itu jumlah jama’ah haji berjalan dengan seimbang tidak ada penurunan dan kenaikan, terbukti kurva bagan telah menunjukkan garis mendatar, hal ini menunjukkan bahwa dari tahun 1899-1909 itu perjalanan haji sudah tertata dengan baik dan sudah terlepas dari segala peraturan dan tekanan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

 
B.       Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat dipahami mengenai kasus turun naik jumlah jama’ah haji di Indonesia dari tahun 1853 sampai dengan tahun 1902. Dilihat secara umum, di samping paktor keamanan dan kecocokan iklim penyebab penurunan adalah telah terjadi penekanan-penekanan pemerintah Belanda terhadap jama’ah yang akan berangkat ke Mekkah, yang dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan, seperti peraturan (Beslit) tahun 1825, 1831, 1852, 1859, 1902 dan 1905, yang pada intinya untuk menekan arus jumlah jama’ah haji Indonesia, dengan tujuan untuk membendung misi Pan Islamisme agar tidak menyebar di Indonesia, ternyata segala usaha yang dilakukan oleh pemerintah Belanda tersebut tidak membuahkan hasil, justru di sela-sela penurunan jumlah jama’ah tersebut masi ada peningkatan yang dapat dibanggakan, hal ini tidak terlepas dari semangat ibadah masyarakat yang telah meniadakan segalah aspek yang menjadi penyebab terhambatnya perjalanan haji tersebut.

Daftar Pustaka

Alwi Sihab, 1998, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Missi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan

Ali bin Nayif As-Syahud, tth, Al-Khulashah fi Ahkam Al Hajj wa al-Umroh

Darul Aqsho, tth, KH. Mas Mansur 1896-1946 perjuangan dan pemikiran, Jakarta: Erlangga,

H. Aqib Suminto, 1985, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES

Husni Rahim, 1998, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, Ciputat: Logos Wacana Ilmu


Jan S. Aritonang, 1998, Sejarah Perjumpaan Kristen Dan Islam di Indonesia, PT. BPK. Gunung Mulia

Kolonial Verslag mulai melaporkan jama’ah haji Indonesia secara teratur mulai tahun 1850, dan untuk kota-kota diluar pulau jawa, laporan dimulai pada tahun 1853

Masa Gubernur Jenderal Ch. F. Pahud (1856-1861).

Sabili, Meniti Jalan Menuju Mardhotillah. No.4 Tahun XIX 24 Nopember 2011/29 Dzulhijjah 1432

Zamakhsyari Dhofier, 2011, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES
           




[1] Kolonial Verslag mulai melaporkan jama’ah haji Indonesia secara teratur mulai tahun 1850, dan untuk kota-kota di luar pulau Jawa, laporannya dimulai tahun 1853.
[2] Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, (PT: Logos Wacana Ilmu: Ciputat, 1998) hal. 179.
[3] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, (LP3ES: Jakarta, 2011), hal. 18-19.
[4] Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, (PT: Logos Wacana Ilmu Ciputat: 1998) hal.180
[6] H.Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, ( Penerbit LP3ES, Tahun 1985), lihat juga http://serbasejarah.wordpress.com/2008/12/11/politik-islam-hindia-belanda/
[7] H Aqib Suminto,  H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, ( Penerbit LP3ES, Tahun 1985)hal. 96
[8] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Mizan: Bandung, 1996), hal.22
[9] Ali bin Nayif As-Syahud, Al-Khulasah fii Ahkam,  Al Hajjwa al-Umroh. hal. 2
[10] Sabili, Meniti Jalan Menuju Mardhotillah, (No.4 tahun XIX 24 Nopember 2011/29Dzulhijjah 1432.), Hal.39
[11] Alwi Sihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Misi Kristen di Indonesia, (Mizan: Bandung, 1998),hal. 85-87
[12] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen Dan Islam di Indonesia, (PT. BPK. Gunung Mulia, 1998) hal. 139-140
[13] Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, (PT: Logos Wacana Ilmu Ciputat: 1998) hal.180-183

[14] Masa Gubernur Jenderal Ch. F. Pahud (1856-1861).
[15] Darul Aqsho, KH. Mas Mansur 1896-1946 perjuangan dan pemikiran, (Erlangga: Jakarta, tth), hal. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar