I.
PENDAHULUAN
Perkembangan
pemikiran dalam Islam mencatat bahwa munculnya
beberapa golongan dan aliran dalam persoalan kalam pada dasarnya berawal dari menyikapi permasalahan politik yang terjadi
diantara umat Islam, yang akhirnya merebak pada persoalan Teologi dalam Islam.
Tegasnya adalah persoalan ini bermula dari permasalahan Khilafah, yakni tentang
siapa orang yang berhak menjadi Khalifah dan bagaimana mekanisme yang akan
digunakan dalam pemilihan seorang Khalifah.
Ketika
Rasulullah pinda ke Madinah pada tahun 622 M. Nabi Muhammad tidak saja sebagai
pemimpin agama, melainkan beliau juga sebagai pemimpin negara. Rasulullah
sebagai pemegang kekuasaan secara politik. Nabi Muhammad orang pertama
mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini, sebelumnya di Madinah
belum pernah ada kekuasaan politik (Fauzi Abbas, 2012:1)
Wafatnya
Nabi Muhammad SAW membuat ummat Islam kehilangan pemimpin yang dapat
menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi mereka. Nabi sendiri semasa hidup
tidak menunjuk seorang pun kelak yang akan menggantikannya. Hal ini menyebabkan
timbulnya dua tetka teki besar yang akan mengantarkan Islam ke dalam rentangan
sejarah yang dibicarakan seakan tak berujung, yaitu pertama, golongan mana yang
akan menggantikan kepemimpinan nabi, Kedua, bagaimana cara pemilihan pimpinan
itu dilangsungkan? Alquranpun secara tegas tidak mencantumkan siapa yang akan
memimpin (Fauzi Abbas, 2012:11).
Dihari
mangkatnya Rasulullah saw tanggal, 2 Rabiu’ul Awwal tahun 11 Hijrah, bertepatan
dengan 8 Juni 632 M itu, sempat terjadi musyawarah yang alot sehingga membuat jenazah
beliau sempat tertahan beberapa hari diakibatkan oleh persoalan politik. Karena
masyarakat pada waktu itu menganggap bahwa Rasulullah sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan maka perhatian masyarakat terpusat pada siapa yang pantas
menggantikan beliau sebagai khalifah, setelah persoalan politik ini selesai
barulah jenazah beliau dapat dimakamkan.
Sebenarnya
dari sinilah dimulai timbulnya permasalahan kepemimpinan dikalangan ummat
Islam, dalam menentukan pengganti Nabi sebagai kepala negara atau pemerintahan,
yang dalam perkembangannya dari masa kemasa yang juga melahirkan bermacam-macam
pandangan dikalangan tokoh pemikir politik di dunia Islam (Sirajuddin Abbas,
1992:2)
Begitu
rumitnya persoalan yang dipicu oleh ego dan
fanatisme kesukuan, hingga akhirnya
memuncak pada masa kekhalifahan Usman Bin Affan, yakni pada tahun ke 7
kekhalifahan Usman sampai masa Ali Bin Abi Thalib yang mereka anggap sudah
menyeleweng dari ajaran Islam, sehingga terjadilah saling bermusuhan bahkan pembunuhan sesama umat Islam.
Masalah pembunuhan adalah dosa besar dalam Islam, dalam menyikapi masalah
inilah persoalan politik merebak ke ranah teologi dalam Islam, Sehingga bermunculanlah berbagai pendapat dan faham yang
diyakini oleh beberapa kaum, yang akhirnya
muncul dalam bentuk kelompok dan golongan yang menyebabkan umat Islam terdiri
dari beberapa firqoh dan aliran dari
beberapa kaum yang berselisih i’itiqod atau keyakinan, seperti misalnya kaum
Syi’ah, kaum Khawarij, kaum Mu’tazila, Murjia’ah, Kaum Najariah, kaum Jabariyah
dan kaum Musyabihah.
Dari beberapa
kaum dan aliran yang telah disebutkan di atas akan dibahas dalam makalah ini tentang
Khawarij dan Murjiah dengan inti pembahasannya adalah Pemikiran Teologi Khawarij dan
Murji’ah.
Agar pembahasan
terarah dengan baik maka dibatasi pada permasalahan sebagai berikut:
1.
Dari mana asal usul kaum Khawarij
dan Murji’ah?
2.
Apa saja sekte-sekte yang ada dalam
kaum Khawarij dan Murji’ah?
3.
Bagaimana konsep Iman dan
Kepemimpinan yang diyakini oleh Khawarij dan Murji’ah?
II.
PEMBAHASAN
A. Kaum Khawarij
Sebagaimana diketahui, bahwa konflik
politik yang terjadi pada masa pemerintahan Usman ibn ‘Affan yang berujung pada
pembunuhan, menimbulkan persoalan baru dalam sejarah politik umat Islam. Sebab
setelah itu, muncul kelompok pendukung ‘Usman yang disebut ‘Usmaniyah berusaha menentang kekuatan pemerintahan ‘Ali ibn Abi
Talib. Kelompok ‘Usmaniyah yang dipelopori Mu’awiyah ibn Abi Sufyan mengancam
tidak akan tunduk kepada pemerintahan ‘Ali apabila ‘Ali tidak mampu mengusut
tuntas tragedi pembunuhan khalifah ‘Usman (Murodi, 2011:196).
Sebagai seorang khalifah ‘Ali telah
mengambil tindakan yang tegas kepada kelompok ‘Usmaniyah ini karena mereka
dianggap sebagai pembangkang terhadap kalifah, selanjutnya tindakan ‘Ali ini
semakin membuat ricuh permasalahan dan membuat semakin keras perlawanan kaum
‘Usmaniyah terhadap pemerintah ‘Ali ibn Abi Talib, konflik kedua kelompok ini
telah berujung pada suatu peperangan yang disebut dengan perang Siffin. Perang
ini dalam sejarah dipandang sebagai akar sejarah bagi timbulnya aliran-aliran
yang memiliki visi politik.
Peristiwa perang Siffin antara
pengikut ‘Ali dengan kelompok oposisi Muawiyah telah menggeser persoalan
politik menjadi persoalan teologis. Ketika pertahanan Muawiyah mulai terdesak
akibat gempuran pasukan ‘Ali, pihak Muawiyah secara sepihak meminta gencatan
senjata (cease fire) dengan cara mengangkat Alquran dan menawarkan tahkim
(arbitrase). Permintaan ini membuat kubu pasukan ‘Ali retak antara kelompok
yang setuju dan kelompok yang tidak setuju. Namun dengan segala keikhlasan dan
kejujurannya menyetujui arbitrase, yang merupakan siasat licik pihak lawannya
untuk menjatuhkannya. Sikap ini membuat kelompok yang tidak setuju keluar dari
barisan ‘Ali dan kemudian disebut dngan kelompok al-Khawarij (Fauzi Abbas,
2012:12-13).
Hal penting perlu ditegaskan disini
adalah bahwa kelompok sempalan pada masa itu hanyalah sekelompok kecil
masyarakat muslim dan kebanyakan berasal dari penduduk yang baru ditaklukkan
Islam, sehingga pemahaman agamanya masih relatif minim, dan loyalitas mereka
terhadap pemimpin belum teruji. Karenanya ketika pasukan Muawiyah mengusung
mushaf diujung tombak tanda perdamaian, langsung mereka berhenti berperang dan
meminta ‘Ali agar persoalan diselesaikan lewat jalan damai. Usaha penyelesaian
lewat jalan tahkim ternyata tidak disetujui’Ali. Proses penyelesaian konflik
lewat tahkim ternyata juga tidak menuntaskan masalah, malah menimbulkan
persoalan baru, yaitu menyempalnya barisan pendukung ‘Ali yang kecewa atas
hasil yang dicapai di Dum’at al-Jandal
itu. Kelompok sempalan itu kemudian hari dikenal dengan kelompok
al-Khawarij (Murodi, 2011:197).
Mengenai sebutan siapa ‘mereka’ yang
keluar dari barisan ‘Ali, banyak penulis menyebutkan bahwa mereka berasal dari
mayoritas kelompok suku Tamim dan pendapat ini tampaknya lebih kuat. Pendapat
lain mengatakan justru mereka yang keluar itulah yang menekan ‘Ali untuk
menerima tawaran tahkim. Kemudian ‘Ali pun menerima karena terpaksa. Persoalan
inipun menjadi teka teki mengenai kebenaran siapa sebenarnya yang keluar. Boleh
jadi kelompok yang menekan ‘Ali berasal dari kelompok Qurro’ (pembaca Alquran)
yang termakan semboyan al-Khawarij kemudian menyesal, berbalik menyalakan ‘Ali
atau jenuh dan lelah akibat berperang terus menerus (Fauzi Abbas, 2012:14).
Nama khawarij berasal dari kata Kharaja
yang brarti keluar. Nama ini dilekatkan pihak lain kepada mereka karena mereka keluar dari
pasukan Ali. Nama lain Huraryiah dari
kata Harura, sebuah tempat dekat
kuffah, Irak. Disini berkumpul sebanyak 12.000 orang, yang memisahkan diri dari
Ali dan menganngkat Abdullah bin Wahab ar-Rasyidi sebagai pemimpin mereka. (Fauzi
Abbas, 2012:14).
Menurut Ahmad Amin, nama Khawarij mereka sendiri yang menamakannya yang
diambil dari penggalan kata dari Alquran surah Annisa’ ayat 100 yang berbunyi:
١٠٠: (٤) ﺄ ﺴ ﻧ ﻠ
ﺍ ).........
وَرَسُولِهِ اللّهُ إِلَى مُهَاجِراً بَيْتِهِ مِن يَخْرُجْ وَمَن.......
Artinya:
...Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,..... (QS. An-Nisa’ (4) : 100)
Pada ayat ini disebutkan barangsiapa keluar dari
rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maksudnya mereka keluar demi mengabdikan dari kepada Tuhan
dan Rasulnya. “Berdasarkan
pendapat ini kaum Khawarij memandang kelompok mereka sebagai orang yang
meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah
dan Rasulnya” (Harun Nasution, 1986:11).
Berdasarkan
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari kata Khawarij adalah keluar, mereka menyatakan keluar dari barisan
Ali disebabkan tidak setuju dengan arbitrase atau tahkim, karena mereka menganggap golongan mereka sebagai orang-orang yang
bersikukuh dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka harus
meninggalkan barisan yang berada dibawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib. Hal
ini disebabkan oleh karena mereka tidak sependapat dengan Ali bin Abi
Thalib untuk menghentikan peperangan yang sudah diambang
kemenangan dan memilih arbitrase.
Meskipun awalnya Ali bin Abi
Thalib meragukan untuk menerima tawaran arbitrase atau
tahkim yang ditawarkan oleh Mu’awiyah dan pengikutnya, karena Ali tahu persis
dengan kelicikan dari Mu’awiyah sekalipun Mu’awiyah dan Amru Bin Ash mengangkat
Mushaf sebagai dasar bertahkim untuk mempengaruhi Ali Bin Abi Thalib dan
pengikutnya. Akan tetapi dengan pertimbangan sebagian pengikut setia Ali Bin
Abi Thalib yang setuju dengan tahkim, maka akhirnya Ali Bin Abi Thalib menerima
dengan lapang dada demi menjaga keutuhan kelompoknya.
Selanjutnya mereka yang tidak setuju dengan
menyatakan mundur dan keluar dari barisan Ali bin Abi
Thalib. Mereka pergi menuju Harura, sebuah desa di dekat
kota Kuffah di Irak. Dan mereka mengangkat Abdullah Bin Wahb Al Rasyidi menjadi
Imam mereka. Inilah kelompok yang dikenal dengan sebutan Khawarij yang pertama
yang beranggotakan sekitar 12 ribu orang (Amir An-Najjar, 1992:66).
Perkembangan kaum al-Khawarij selanjutnya menjadi
suatu kelompok yang ekstrem dan eksklusif sebagai reaksi mempertahankan
nilai-nilai Badawi yang semakin teralinasi akibat tekanan politik. Hal ini
terlihat dari legitimasi doktrin-doktrin teologis yang bersumber dari ayat
Alquran, yang diambil secara lahiriah sebagai pencerminan sikap Badawi. Mereka
mengakui kekhalifahan yang pertama dan kedua, dan menolak tahun ke tujuh
kekhalifahan Usman dan kekhalifahan Ali setelah arbitrase karena dianggap
menyeleweng dari ajaran Islam. Termasuk mereka yang terlibat dalam arbitrase,
mereka dicap kafir dan mereka harus dibunuh. Hanya Ali yang terbunuh ditangan Abdurrahman
bin Muljam, pengikut al-Khawarij dan suami wanita yang keluarganya menjadi
korban dalam perang Nahrawan, 17 Juli 658. Lebih lanjut perkembangan term kafir
menjadi term musyrik sesuai dengan perkembangan kelompok al-Khawarij (Fauzi
Abbas, 2012:14).
Sebagai
golongan yang ekstrim Khawarij memang menanggapi setiap permasalahan yang
muncul pada waktu itu secara keras dan sempit, siapapun pemimpin Islam, apabila
tidak memerintah sesuai dangan Al-Quran dan Sunnah yang mereka fahami secara
lafziyah, mereka anggap telah menyeleweng dari ajaran Islam, dan mereka mesti
ditentang dan dijatuhkan, bahkan darah mereka menjadi halal atau harus dibunuh.
Namun sebagian kecil dari mereka ada yang berfaham sedikit moderat seperti
Sekte Ibadiyah, untuk lebih jelas akan dipaparkan berbagai profil
sekte-sekte yang ada dalam lingkup kaum khawarij.
B. Sekte dan Ajarannya
1.
Al-Muhakkimah
Sekte
Al-Muhakkimah adalah golongan Khawarij yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali
Bin Abi Thalib yang menyatakan dirinya telah keluar dari barisan Ali dalam
perang siffin. Mereka disebut dengan golongan Khawarij Asli. Menurut mereka Ali Bin Abi Thalib, Mu’awiyah Bin Abi
Syofyan dan kedua perantara Amru Bin
Ash dan Abu Musa Al-Assyari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Kemudian hukum kafir ini mereka perluas
pengertiannya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang melakukan dosa besar (Harun Nasution, 1986:13-14)
Menurut mereka berbuat zina adalah dosa besar, maka
bagi pelaku zina telah menjadi kafir dan keluar dari Islam. Dan begitu juga
dengan orang yang membunuh sesama manusia
tanpa alasan yang sah, menurut mereka juga dosa besar. Dengan demikian
pelaku pembunuhan telah keluar dari Islam dan menjadi kafir.
Sebagaimana
telah disebutkan diatas, bahwa galongan Khawarij telah menganggap orang-orang yang menerima Tahkim atau
arbitrase adalah kafir atau murtad. Orang-orang seperti ini menurut mereka
wajib dibunuh karena tidak menentukan hukum sesuai dengan Al-Quran. Selain itu
mereka juga membicarakan masalah siapa
yang tetap Mu’min yang menjadi ajaran pokok dan teologi Khawarij seperti pelaku dosa besar.
2.
Al-Azariqah
Golongan ini
adalah kelompok yang besar dan terkuat setelah hancurnya golongan
Al-Muhakkimah. Daerah kekuasaan Al-Azariqah adalah pada perbatasan Irak dengan
Iran. Nama Al-Azariqah terambil dari nama pemimpin mereka yaitu Nafi Ibn
Al-Azraq yang meninggal pada tahun 686 M di Irak. Sub Sekte ini memiliki
pandangan yang lebih radikal
dibanding sekte Al-Muhakkimah, karena mereka tidak lagi memakai istilah kafir
bagi pelaku tahkim dan dosa besar, tetapi menggunakan trem musyrik atau polytheisme yang dosanya lebih besar dari trem kafir. (Tasman Ya`kub, 2004: 21-22)
Menurut
Al-Azariqah, semua orang yang tidak sefaham dengan mereka adalah musyrik,
walaupun orang yang sefaham dengan Al-Zariqah tetapi tidak mau hijrah ke dalam
lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Menurut mereka, daerah Islam itu
hanyalah daerah kekuasaan mereka saja, sedangkan orang yang tinggal diluar
daerah kekuasaan Al-Zariqah adalah musyrik, mereka boleh ditawan dan dibunuh.
Bahkan istri dan anak-anak dari orang yang dipandang musyrik boleh dibunuh (Tasman Ya`kub, 2004: 15).
Keekstreman ajaran al-Azariqah terletak pada perluasan
term kafir menjadi musyrik. Syirik adalah dosa terbesar dalam ajaran Islam.
Prinsif ajaran mereka sebagai berikut; (a) orang Islam menjadi musyrik setelah
melakukan dosa besar, tidak sepaham dengan mereka atau setengah-setengah karena
tidak mau berhijrah dan berperang (b) orang musyrik halal dibunuh dan mereka
kekal di dalam neraka (c) wanita dan anak-anak yang tidak sekelompok juga halal
untuk dibunuh (d) pencuru dihukum potong tangan (e) prktik taqiyah
(menyembunyikan sikap) dilarang baik lisan dan perbuatan (f) hukum rajam tidak
diterapkan kepada penzina karena hukum tersebut tidak terdapat dalam Alquran (Fauzi
Abbas, 2012:16).
3.
Al-Najdad.
Sekte Khawarij
ini muncul disebabkan terjadinya perbedaan pendapat dengan kubu Al-Zariqah,
tentang faham bahwa orang yang tidak bergabung dengan Al-Zariqah adalah orang
musyrik. Maka untuk itu mereka mengangakat pimpinan sendiri yang bernama Najdah
Bin Amir Al-Hanafi dari Yamamah. Begitu juga dengan pendapat Al-Zariqah tentang boleh dan halalnya anak dan istri orang
Islam yang tidak bergabung dengan mereka untuk dibunuh. (Harun Nasution, 1986:16)
Najdah memiliki
pendapat yang sangat berbeda dengan
dua sekte Khawarij sebelumnya yakni bahwa
orang yang melakukan dosa besar, yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka
hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Sedangkan
pengikut-pengikut Najdah yang melakukan dosa besar, memang betul akan mendapat
siksaan, tetapi bukan didalam neraka dan kemudian akan masuk ke syurga.
Kemudian dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus akan menjadi dosa besar dan
orang yang mengerjakannya menjadi musyrik.
Sekte Najdah
atau Najdiyah kebanyakan mereka terdiri dari kaum Khawarij yang berasal dari
Arabia Tengah yang bernama Yamamah. Pemimpin mereka mulai dari tahun 686 – 692
M adalah Najdah Bin Amir Al-Hanafi. Kekuasaan sekte Najdah mencakup bentangan
luas Arabia bahkan Oman di pantai timur Yaman serta Hadramaut di selatan dan
barat daya. Pertikaian yang sering terjadi dalam masalah kepemimpinan
menjadikan sekte Najdah terpecah kepada beberapa sub sekte, dan kemudian Yamamah
ditindak oleh tentara Umayyah (W. Montgomery Watt, 1987:21).
Pokok-pokok ajaran mereka sebagai berikut; (a) Orang
yang berbuat dosa besar menjadi kafir dan kekal di dalam neraka bila tak
sepaham dengan golongannya. Sebaliknya, golongan yang berbuat dosa besar tetap
masuk surga meski melalui siksaan tetapi tidak masuk neraka (b) Dosa kecil bisa
menjadi dosa besar jika suda terbiasa dan ia termasuk musyrik (c) Diperbolehkan
taqiyah untuk menjaga keselamat diri (d) Ahlu Zimnah yang berdiam dengan musuh
kelompok al-Najdat halal dibunuh (e) Yang menolak ikut berhijrah dan berperang
tidak dicap kafir (f) Kewajiban setiap muslim (baca:al-Najdat) untuk mengetahui
Allah dan Rasulnya, mengetahui pengharaman pembunuhan terhadap muslim dan
percaya kepada wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Rasulnya. Orang yang tak
mengetahui takkan diampuni kesalahannya. Mengerjakan perbuatan yang haram tanpa
pengetahuan dapat dimaafkan (Fauzi Abbas, 2012:17-18).
4.
Al-Jaridah
Kelompok ini adalah
pengikut Abdul Karim Bin Ajrad teman Atiah al-Hanafi, tokok yang
mengasingkan diri dari al-Najdat. Kelompok ini dikafirkan oleh umat Islam
karena penolakan mereka atas Surah Yusuf dengan alasan berbau seks dan tak
pantas. Pokok ajaran mereka sebagai berikut (a) Harta boleh dijadikan rampasan
hanya dari orang yang terbunuh dan boleh membunuh musuh (b) Anak-anak orang
musyrik tidak otomatis menjadi musyrik (c) Hijrah bukanlah merupakan kewajiban
tetapi merupakan kebajikan (Fauzi Abbas, 2012:18).
Kelompok ini menurut penulis adalah kelompok yang
tidak begitu ekstrim dalam hal pokok dan ajarannya, seperti dalam hal
berhijrah, hijrah menurut mereka hanyalah kebajikan saja bukan merupakan kewajiban, anak-anak
tetap dapat diarahkan sesuai dengan fitrahnya, karena anak orang musyrik tidak
otomatis menjadi musyrik.
5.
Al-Sufriah
Pimpinan golongan
ini adalah Ziad Ibn Al-Asfar, dimana golongan ini terkenal dengan gerakan evolusi praktis dalam pemikiran
Khawarij. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahmud Abdurrazaq dalam bukunya
”Al-Khawarij fi biladil Magrib” bahwa keyakinan golongan Sufriyah atau
Syafariyah bahwa mereka tidak berlebihan dalam bersikap yang hanya justru
menyebabkan perpecahan dikalangan Khawarij seperti yang terjadi sebelumnya.
Mereka tetap melakukan hukum rajam bagi pezina, tidak membunuh anak-anak orang
musyrik serta tidak mengkafirkan seperti pendapat golongan Azariqah. Mereka juga
membolehkan Taqiah, tetapi hanya dalam perkataan, bukan perbuatan. (Amir An-
Najjar, 1992: 86).
Golongan Al-Sufriah tidak seekstrem kelompok
al-Azariqah bila dilihat dari pokok ajarannya sebagai berikut; (a) Yang tidak
berhijrah tidak dicap kafir (b) Mereka tidak berpendapat anak-anak kaum musyrik
boleh dibunuh (c) Tidak semua yang berbuat dosa besar menjadi musyrik. Dosa
besar ada dua dan masing-masing mempunyai sangsi dunia dan akhirat. Sangsi
dunia seperti berzina dianggap tidak kafir. Sedangkan sangsi akhirat, seperti
tidak shalat dianggap kafir (d) Daerah yang tidak sepaham bukan dianggap sebgai
dar-al-har tapi batas pada pertahanan pemerintah. Anak-anak dan wanita tidak
boleh dijadikan tawanan (e) Kafir terbagi dua, yaitu kafir mengingkari rahmat Tuhan
dan kafir mengingkari Tuhan. Term kafir disini berarti tidak selalu berarti
keluar dari Islam (f) Taqiyah diperbolehkan secara lisan bukan secara perbuatan
(g) Wanita Islam diperbolehkan kawin dengan pria kafir didaerah bukan Islam (Fauzi
Abbas, 2012:19).
6.
Al- Ibadiyah
Golongan
Al-Ibadah adalah pengikut Abdullah Bin Ibadh At-Tamimy. Ia hidup pada
pertengahan kedua abad I Hijriyah. Mereka lebih dekat kepada golongan Islam
dari pada golongan Khawarij. Pendapat-pendapat mereka lebih solider dari pada
kelompok Khawarij yang lain. Pada tahun 686 M, mereka memisahkan diri dari
golongan Al-Zariqah. Faham moderat mereka dapat dilihat di ajaran-ajarannya
sebagai berikut; (1) Orang Islam
yang tidak sefaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik tetapi
kafir. Maka orang Islam yand demikian boleh melakukan perkawinan dengan orang
Islam lain, dan hubungan warisan, shahadat mereka dapat diterima dan membunuh
mereka adalah haram (2) Daerah Orang
Islam yang tak sefaham dengan mereka adalah kafir (3) ”Dar Tawhid” yakni daerah yang meng Esakan Tuhan, kecuali camp pemerintah.
Mereka boleh diperangi karena menurut mereka camp pemerintah adalah daerah
orang kafir (4) Orang Islam yang melakukan dosa
besar adalah muwahid, orang yang meng Esakan Tuhan tetapi bukan mukmin, dan
kalaupun mereka kafir tetapi hanya kafir ni’mah dan bukan kafir rullah (5) Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata, harta
seperti emas dan perak harus dikembalikan kepada yang punya kecuali bila
dia sudah mati. (Harun Nasution, 1986: 20).
Kemudian
pendapat golongan Ibadiah yang terpenting adalah bahwa semua yang di wajibkan
Allah terhadap makhluknya merupakan gambaran dari iman. Pendapat
golongan ini jauh lebih moderat bila dibandingkan dengan golongan-golongan lain
dari beberapa sekte al-Khawarij. Sikap moderat ini membuatnya tetap bertahan
dan hidup sampai sekarang, terutama di Oman, Jazirah Arabiah, Afrika Utara dan
banyak ditempat lain. Sementara golongan radikal telah hilang dalam pelukan
sejarah. Namun demikian, pengaruh pemikiran mereka masih tetap ada sampai masa
kini.
C. Ajaran Pokok Khawarij
Diantara ajaran
pokok Khawarij berkisar tentang masalah kekhalifahan atau politik
ketatanegaraan, dosa besar, kafir dan amal perbuatan umat Islam antara lain; (1) Khalifah tidak mesti berasal dari suku Quraisy, siapa saja yang mapunyai
kapasitas untuk menjadi khalifah dan bisa berlaku adil dapat dipilih,
apabila tidak mampu wajib dijatuhkan. Dan khalifah tidak bersifat turun
temurun. Pendapat ini akhirnya dianut oleh Ahli Sunnah (2) Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir. Dosa besar yang
dimaksud kaum Khawarij adalah orang yang bertahkim tidak dengan Al-qur`an,
berzina dan memakan harta anak yatim serta tidak sefaham dengan mereka dinyatakan kafir, Untuk menentukan kafir atau tidaknya seorang muslim tergantung pada amal
perbuatannya. Sungguhpun seseorang telah bersahadat, tetapi melanggar ketentuan
agama maka dihukum kafir (Harun Nasution, 1979:96).
I’tiqad kaum Khawarij banyak sekali yang bertentangan
dengan I’itikad Ahlisunnah wal jamaah seperti persoalan khalifah, persoalan
ummul mu’minin Sitti
Aisyah Rda, persoalan cap kafir, masalah keimanan, masalah orang sakit dan
orang tua, dosa kecil dan dosa besar, masalah anak-anak orang kafir, dan
masalah orang-orang yang paling buruk.
D. Kaum Murji`ah
Kaum Murjia’ah
lahir pada permulaan abad ke 1 Hijriah setelah melihat persoalan-persoalan berikut:
1. Kaum syi’ah menyalahkan, bahkan mengkafirkan orang-orang yang merebut
pangkat Khalifah dari ’Ali Kw, 2. Kaum Khawarij menghukum kafir Khalifah
Mu’awiyah cs karena melawan Khalifah yang sah, yaitu Khalifah ’Ali Kw. Begitu
juga kaum Khawarij menghukum kafir Khalifah ’Ali cs karena menerima tahkim
dalam peperangan Siffin. 3. Kaum Mu’awiyah cs menyalahkan orang-orang pihak
’Ali karena memberontak melawan Utsman bin Affan. 4. Sebagian pengikut ’Ali
menyatakan salah sikap Ummulmu’minin Siti ’Aisyah rda, sikap Thalhah dan Zuber
yang menggerakkan perlawanan terhadap ’Ali sehingga terjadi apa yang dinamakan
perang Jamal (Sirajuddin Abbas, 1992). Pada ketika situasi yang gawat itu
lahirlah sekumpulan ummat Islam yang menjauhkan diri dari pertikaian, yang
tidak mau ikut menyalahkan orang lain dan term kafir mengkafirkan, merekalah
yang dikenal dengan kaum Murji’ah.
Munculnya kaum
murji’ah ditengah suasana pertentangan yang terjadi dikalangan umat Islam pada
dasarnya tidak berbeda jauh dengan munculnya kaum Khawarij. Kaum murji’ah
muncul juga disebabkan oleh persoalan politik dalam masalah khilafah. Namun
Murji’ah sebagai suatu aliran teologi dalam Islam, merupakan reaksi terhadap
paham-paham yang dilontarkan oleh aliran Khawarij, suatu paham dalam teologi
Islam yang dikembangkan oleh segolongan pengikut Ali bin Abi Thalib, yang tidak
setuju dengan gencatan senjata dalam perang Shifin (Sirajuddin Zar, 2003: 38).
Kaum murji’ah
adalah orang-orang yang tehimpun dalam sebuah kaum yang tampil beda dalam menyikapi persoalan-persoalan yang terjadi pada
masa mereka. Namun kaum murji’ah tidaklah terpengaruh dengan praktek kafir dan mengkafirkan sesama umat Islam. Mereka lebih netral dibanding Khawarij yang
begitu fanatik dan ekstrim dalam ajarannya.
Murji’ah lahir dengan membawa paham yang sama sekali
bertentangan dengan paham Khawarij. Orang
Islam yang berbuat dosa besar tetap mu’min,
tidak menjadi kafir. Soal dosa besar diserakan kepada keputusan
Tuhan kelak dihari perhitungan. Kata
al-Murji’ah adalah bentuk isim fa’il yang mendapat ta’marbutah
(murji’un-murjiatun). Fi’il madhi-nya (arja’a)-yurji’u-irja-al, artinya bisa
menunda (manangguhkan), memberi harapan dan bisa mengesampingkan (Fauzi Abbas,
2012:22-24).
Murji’ah lebih
tepat dikatakan sebagai suatu kecendrungan atau nazi’ah, yakni sebuah
kecendrungan untuk mencari keselamatan dengan tidak menenggelamkan diri ke
dalam urusan politik, baik sebagai penyokong maupun sebagai penentang.
Semua permasalahan kecil yang menyebabkan timbulnya masalah besar tampaknya
dihindari oleh kaum Murji’ah, baik ilmu pengetahuan teori maupun yang bersifat
perbuatan dan tindakan.
Pengertian lain
dari arjaa’ juga mengandung makna pemberian harapan bahwa orang Islam yang
melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan tidak akan kekal
didalam neraka, disini jelas masih adanya penghargaan yang diberikan kepada
pelaku dosa besar dengan harapan mendapat rahmat dari Allah (Hanafi, 1995:64).
Menurut penulis sebuah kesimpulan logis yang dapat diberikan terhadap sikap kaum
murji’ah adalah bahwa mereka memandang yang menentukan mukmin atau kafirnya
seseorang bukanlah soal perbuatan atau amalnya, tetapi terkait pada masalah
kepercayaan atau iman, artinya amal adalah sesudah duduknya masalah keyakinan
dalam diri orang mukmin. Inilah yang menjadi salah satu dasar pemberian nama
terhadap kaum murji’ah yang terambil dari kata arjaa’ yang berarti mengambil
tempat di belakang. Dalam artian memandang masalah perbuatan seseorang menjadi
kurang penting dalam menentukan posisi amal atau kafirnya seseorang. Kata
arjaa’ juga berarti penyelesaian persoalan siapa yang salah dan siapa yang
benar nanti diserahkan kepada pengadilan Tuhan.
E. Sekte dan Ajarannya
Beberapa sekte dan ajaran
Murji`ah yang terkenal adalah:
1.
Yunusiyah
Pemimpin mereka
adalah Yunus ibnu `Aun al Hamiri. Mereka berpendapat bahwa iman adalah mengenal
Allah, tunduk dan cinta serta tidak takabur
kepada Nya. Jika hal ini telah terdapat pada diri seseorang berarti telah layak
dikatakan sebagai mukmin, sedangkan amal perbuatan yang berbentuk ketaatan
bukanlah unsur dari iman artinya tidak akan berpengaruh pada iman apabila
ditinggalkan.
Bahkan menurut
mereka apabila di hati seseorang telah bersemi rasa tunduk dan cinta
kepada Allah, “bahwa melakukan perbuatan masksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidaklah
merusak iman seseorang” (Fauzi Abbas, 2012:29) perbuatan tunduk dan patuh itu yang akan
memasukkan seseorang ke syurga.
2.
Ubaidiyah
Golongan al-Ubaidiyah adalah pengikut Ubaid
al-Muktaib, berpendirian sebagaimana al-Yunusiyah dengan menambahkan jika
seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakannya
tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. Ditegaskan pila oleh Muqatil bin
Sulaiman bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak akan merusak iman
seseorang, dan sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan
seorang musyrik atau politeis (Harun Nasution, 1986:27).
3.
Ghassaniyah
Mereka adalah
pengikut Ghassan al- Kufi. Mereka berpendapat bahwa iman adalah mengenal Allah
dan RasulNya , serta mengakui
kebenaran segala ketentuan Allah dan RasulNya secara menyeluruh. Iman
bersifat tetap tidak bisa bertambah dan juga tidak bisa berkurang. Selanjutnya
Iman menurut mereka adalah pengakuan dan cinta kepada Allah, mengagungkannya
dan tidak takabur kepada Allah (Sirajuddin
Zar, 2003: 44)
4.
Saubaniyah
Sekte ini
dipimpin oleh Abu Sauban al- Murji`i. Iman menurut mereka adalah mengakui Allah
dan RasulNya , mengetahui apa yang diperintah dan apa yang dilarang secara
rasional menurut mereka bukanlah iman.
5.
Tumaniyah
Mereka adalah
pengikut Abu Mu`az al- Tumani. Menurut mereka
iman adalah apa yang terjaga serta terpelihara dari kekufuran. Di dalamnya
terkandung berberapa unsur iman yang bisa menyebabkan seseorang menjadi kufur
bila ditinggalkan. Unsur iman itu adalah ma`rifat, tashdiq, mahabbah, ikhlas
serta mengakui kebenaran yang dibawa oleh Rasul. seperti orang yang
meninggalkan shalat atau puasa karena menganggap halal dianggap kafir,
akan tetapi kalau meninggalkannya dengan niat mengqada maka tidaklah kafir.
Orang yang membunah Nabi dipandang kafir karena dipandang telah menghina dan
memusuhi nabi, bukan karena perbuatan pembunuhannya (Sirajuddin Zar, 2003: 44).
6.
Shalihiyah
Pimpinan mereka
adalah Shalih ibnu Umar al- Shalihi. Menurut mereka iman adalah mengenal Allah,
siapa yang tidak mengenal Allah berarti kafir. Ibadah menurut mereka bukan
dipandang amal, tetapi adalah iman itu sendiri yakni mengenal Allah, iman juga
tidak bertambah dan tidak berkurang begitu juga kafir. Shalat , puasa dan
ibadah lainnya menurut mereka bukanlah ibadah tetapi adalah ketaatan
melaksanakan iman (Sirajuddin
Zar, 2003: 45).
F. Ajaran Pokok Murji`ah
Kaum Murji`ah
yang timbul sebagai reaksi terhadap kaum Khawarij dalam faham mereka sangat
bertentangan dengan faham Khawarij. Dimana menurut mereka orang Islam yang
melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir tetapi tetap mukmin. Masalah dosa
besar yang dilakukannya diserahkan kepada keputusan Allah kelak di Akhirat.
Apabila dosa besarnya diampuni Allah ia akan masuk syurga, kalau tidak ia akan
masuk neraka sesuai dengan dosa yang dilakukan, kemudian dimasukkan ke syurga.
Adapun argumen yang dipakai oleh kaum Murji`ah adalah bahwa orang Islam yang
melakukan dosa besar masi mengucapkan dua kalimat syahadat, orang ini masih
tetap mukmin (Harun Nasution, 1979:34).
Pada umumnya
kaum Murji`ah berpendapat bahwa iman adalah mengenal Allah dengan hati.
Seseorang dikatakan mukmin jika dia telah beriman dengan hatinya, walaupun
lidahnya tidak mengucapkan dua kalimah syahadat atau secara lahirnya berprilaku
Yahudi atau Nasrani (Sirajuddin
Zar, 2003:40). Menurut mereka iman adalah tasdiq, amal seseorang lahir bukanlah
karena tasdiq, maka iman dengan amal tidak memiliki hubungan. Inilah golongan
Murjiah yang ekstrim dalam fahamnya.
Dengan demikian
menurut Murji’ah ekstrim, orang Islam yang melakukan dosa besar masih
tetap mukmin, karena menurut Abu Hanifah, iman itu ialah sebuah pengetahuan dan
pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari
Tuhan secara kaseluruhan. Iman menurutnya tidak bisa bertambah dan tidak bisa
pula berkurang serta tidak ada perbedaan antara manusia dalam masalah iman.
Pendapat ini mungkin muncul dikarenakan Abu Hanifah sebagai seorang imam mahzab
yang banyak berpegang pada logika. Karena menurutnya iman semua orang adalah
sama, walaupun dia orang baik atau orang jahat, sehingga terjadi pro kontra di
kalangan ulama dalam menilai pendapat Abu Hanifah ini sehingga ada yang
menggolongkan Abu Hanifah sebagai tokoh ekstrim Murji’ah.
Menurut mereka
sembahyang bukanlah merupakan ibadat kepada Allah, karena yang disebut ibadah
adalah iman kepada Allah, dalam arti Shalikiah sembahyang, zakat, puasa dan
haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadat kepada Allah.
Karena yang mereka sebut ibadah itu hanyalah iman kepada Allah.
Agaknya
pendapat golongan Murji’ah ini sangat ekstrim sekali karena menurut pendapat
golongan ini antara perbuatan dan amal tidaklah sepenting iman. Dan hanya
imanlah yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang. Sedangkan perbuatan
tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap iman. Iman itu letaknya dalam hati dan
apa yang ada dalam hati seseorang tidak dapat diketahui oleh orang lain.
Makanya ucapan dan perbuatan seseorang tidaklah mesti mengandung arti bahwa dia
tidak mempunyai iman, yang penting adalah iman di dalam hati.
Golongan
Murjiah kedua adalah golongan yang moderat, mereka berpendapat bahwa seseorang
mukmin selama dia mengakui tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai
RasulNya, dia adalah mukmin. Walaupun dia melakukan dosa besar, namun dosa
besar yang dilakukannya tidaklah membuat dia keluar dari Islam.Artinya di a tetap menjadi orang Islam dan tetap akan masuk surga. Karena
menurut mereka iman bukan hanya membenarkan dengan hati, tetapi juga harus
diikrarkan dengan lisan (Sirajuddin
Zar, 2003:41).
Begitu juga
pendapat ini dikuatkan oleh tokoh Murji’ah yang bernama Al-Bazdawi bahwa iman
adalah kepercayaan dalam hati, yang dinyatakan dengan lisan. Kepatuhan kepada
Tuhan merupakan akibat dari keimanan. Orang yang meninggalkan kepatuhan pada
Tuhan bukanlah orang kafir. Orang mukmin yang melakukan dosa besar tidak akan
dalam neraka sekalipun dia tidak sempat bertaubat, artinya nasib seseorang
diakhirat tergantung kepada kehendak Allah. Dengan demikian iman adalah kunci
untuk masuk syurga, sedang amal hanya berfungsi untuk membedakan tingkatan
seseorang dalam syurga.
III.
KESIMPILAN
Dari uraian di atas dapatlah diambil
kesimpulan bahwa Aliran Khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan politis yaitu
berawal dari sebuah peristiwa perang siffin antara A’li bin Abi Thalin dengan
pasukan oposisi yang dipimpin oleh Muawwiyah, dimana sebagian pasukan ‘Ali bin
Abi thalib yang keluar karena peristiwa arbitrase, yang kemudian beralih
menjadi gerakan teologis, sehingga Khawarij menjadi aliran dalam teologi Islam
yang pertama, kaum khawarij dikenal sebagai sekelompok orang yang melakukan
pemberontakan terhadap imam yang sah yang diakui oleh rakyat (ummat). Oleh
karena itu, istilah Khawarij bisa dikenakan kepada semua orang yang menentang
para imam, baik pada masa sahabat maupun pada masa-masa berikutnya. Golongan
utama yang terdapat dalam aliran Khawarij yakni Sekte Al-Azariqoh dan Sekte Al-Ibadiah,
di samping sekte-sekte lain seperti al-Muhakkimah, al-Najdat dan al-Sufriyah.
Diantara ajaran
pokok Khawarij berkisar tentang masalah kekhalifahan atau politik
ketatanegaraan, dosa besar, kafir dan amal perbuatan umat Islam antara lain; (1) Khalifah tidak mesti berasal dari suku Quraisy, siapa saja yang mapunyai
kapasitas untuk menjadi khalifah dan bisa berlaku adil dapat dipilih,
apabila tidak mampu wajib dijatuhkan. Dan khalifah tidak bersifat turun
temurun. Pendapat ini akhirnya dianut oleh Ahli Sunnah (2) Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir. Dosa besar yang
dimaksud kaum Khawarij adalah orang yang bertahkim tidak dengan Al-qur`an,
berzina dan memakan harta anak yatim serta tidak sefaham dengan mereka dinyatakan kafir, Untuk menentukan kafir atau tidaknya seorang muslim tergantung pada amal
perbuatannya. (3) yang paling senter bahwa kelompok al-Khawarij menganggap ’Ali
bin Abi Thalib, Abu Musa Al-Azhari, Amru bin Ash dan Mu’awwiyah adalah orang
yang telah berbuat dosa dalam peristiwa tahkim karena tidak menetapkan hukum
dengan hukum Allah maka dengan demikian mereka adalah kafir dan mereka halal
dibunuh.
Sedangkan Aliran Murji’ah muncul
sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya “kafir
mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana yang
dilakukan oleh aliran Khawarij. Dalam perkembangannya, golongan Murji’ah pecah
menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murji’ah terbagi
kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”. Apa
yang ada dalam pemikiran golongan ini adalah bahwa perbuatan bukan merupakan
bagian dari iman, sebab iman adanya dalam hati. Sekalipun melakukan dosa besar,
tidaklah akan menghapus iman seseorang, tetapi terserah Allah untuk menentukan
hukumnya di akhirat nanti.
Demikianlah makalah ini, ditulis untuk menambah pegetahuan dalam menganalisa perkembangan pemikiran dalam teologi Islam. Selanjutnya ditinjau dari etika penulisan, dirasa banyak sekali kekurangan,
oleh karena itu diharapkan saran dan
masukan dalam rangka
perbaikan dan penyempurnaan. Akhirnya penulis mengahturkan terima kasih kepada
semuanya.
Daftar Pustaka
Departemen Agama RI. 1990. Al-Quran
dan Terjemahannya. Jakarta
Fauzi Abbas, KH. Sirajuddin. 1991. I’itiqod
Ahlussunnah Wal-Jam’ah. Jakarta: Pustaka
Tarbiyah.
Murodi. 20011. Rekonsiliasi
Politik Ummat Islam. Jakarta: kencana
An-Najjar, Amir. 1992. Al-
Khawarij, Aqidatan , Fikratan, wa Falsafatan (diterjemahkan oleh Suhardi Khattur) CV.Pustaka Mantiq, Solo
Hanafi, Ahmad. 1995. Pengantar
Teologi Islam. Jakarta: Al- Husna Zikra
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam
Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: Universitas Indonesia Press
Watt, W.Montgomery. 1987. Islamic Theology and Fhilosofy (diterjemahkan oleh Umar Basalim) Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesanteren dan Masyarakat
Ya`kub, Tasman. 2004. Perkembangan
Pemikiran Islam. Padang: IAIN IB Press
Zar, Sirajuddin. 2003. Teologi
Islam Aliran dan Ajarannya. Padang: IAIN IB Press
Nasution, Harun. 1979. Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya. Jakarta: UI Press
Abbas, Sirajuddin. 1992. I’Tiqod Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Jakarta: Radar Jaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar