A.
Pendahuluan
Berbicara
tentang paradigma, tidak terlepas dari
aspek epistemologi, dalam filsafat ilmu yang disebut juga dengan istilah teori
pengetahuan. Epistemologi memiliki obyek telaah yang bersifat penjelas atas
proses terbentuknya ilmu pengetahuan yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan
utama seperti; Bagaimana sesuatu itu datang? Bagaimana kita mengetahuinya? Bagaimana
membedakannya dengan yang lain? Dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan semacam
ini adalah bentuk penegasan tentang hubungan sesuatu dengan situasi dan kondisi,
ruang serta waktu.[1]
Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi;
epistimologi, ontologi, dan metodologi. Epistimologi mempertanyakan tentang
bagaimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan anatara peneliti
dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan mendasar tentang
hakikat realitas. Metodologi memfokuskan pada bagaimana cara kita memperoleh
pengetahuan. [2]
Sistem pemikiran pendidikan yang melatarbelakangi lahir dan berkembangnya
keanekaan kurikulum. Asumsinya, tiada sesuatu yang hadir dari ruang hampa.
Demikian juga gagasan dan desain kurikulum. Tiada yang berkembang kecuali ada
sistem pemikiran yang melahirkannya. Sistem pemikiran ini biasanya disebut
dengan paradigma.[3]
Pengetahuan
merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut
memperkaya kehidupan kita. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai jawaban
dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Dari sebuah pertanyaan,
diharapkan mendapatkan jawaban yang benar. Maka dari itu muncullah masalah,
bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar?. Masalah inilah yang pada
ilmu filsafat di sebut dengan epistimologi.[4]
Persoalan efistemologi sangat berkaitan erat dengan suatu paradigma dan
visi pendidikan.[5] Paradigma
pendidikan adalah suatu cara pandang tertentu mengenai
arah, metode, dan bentuk pendidikan.[6]
Paradigma pendidikan akan sangat menentukan output yang
akan dihasilkan dari pendidikan. Perbedaan dalam paradigma akan
sangat menentukan perbedaan orientasi, metode, dan bentuk pendidikan,
dan tentu saja akan terjadi perbedaan yang sangat jelas dari
output yang dihasilkan dari pola-pola pendidikan yang memiliki paradigma
yang berbeda.
Namun dalam makalah ini tidak membahas berbagai
konsep pemikiran tentang paradigma pendidikan, seperti paradigma konservatif,
liberalis, kritis, fundamentalis dan lainnya, tetapi tulisan ini dimaksudkan
untuk mendeskripsikan secara jelas mengenai apa itu paradigma? Bagaimana
pergeseran paradigma bisa terjadi? Apa yang dimaksud dominasi paradigma, apa
itu anomali?. Kemudian pada faktor
efistemologi akan membicarakan sumber atau metode ilmu pengetahuan itu sendiri,
ada tiga metode pengetahuan yaitu metode empirisme, metode rasionalisme dan
metode intuisi.
B.
Pembahasan
1.
Paradigma
Paradigma dalam bahasa Inggris disebut paradigm
dan dalam bahasa Perancis disebut paradigme, istilah tersebut berasal
dari bahasa Latin, yakni para dan deigma. Secara etimologis para berarti (di samping, di sebelah)
dan deigma berarti (memperlihatkan, model, contoh, ideal). Sedangkan deigma
dalam bentuk kata kerja deiknynai berarti menunjukkan atau
mempertunjukkan sesuatu. Berdasarkan uraian tersebut, secara epistemologis
paradigma berarti di sisi model, di samping pola atau di sisi contoh. Paradigma
juga bisa berarti, sesuatu yang menampakkan pola, model atau contoh.[7]
Selanjutnya, secara sinonim, arti paradigma bisa
disejajarkan dengan guiding principle, basic point of view atau
dasar perspektif ilmu atau gugusan pikir, terkadang juga ada pula yang mensejajarkannya
dengan konteks.[8]
Istilah paradigma pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Samuel Kuhn pada tahun 1962. Paradigma dapat
didefinisikan sebagai “kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang
ilmuwan bekerja” (a conceptual framework or model within which a scientist
works).[9] Ia adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar
yang menggariskan semesta partikular dari penemuan ilmiah, menspesifikasi
beragam konsep-konsep yang dapat dianggap absah maupun metode-metode yang
dipergunakan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan data. Tegasnya setiap
keputusan tentang penyusunan data atau observasi ilmiah dibuat dalam bangun
suatu paradigma.[10]
Selanjutnya Robert Friedrichs,
yang mempopulerkan istilah paradigma (1970), berpendapat, paradigma sebagai
suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi
pokok persoalan yang semestinya dipelajari.[11] Pada tahun 1980 dikembangkan lagi
oleh George Ritzer dengan menyatukan paradigma sebagai pandangan
yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.[12]
Kuntowijoyo mengutip pendapat
beberapa tokoh dengan gaya bahasanya sendiri tentang paradigma; seperti yang
difahami oleh Thomas Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikontruksi
oleh Modus pemikiran (Mode of Thought) atau modus penyelidikan ( mode
of inquiry) tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan modus
mengetahui (mode of knowing). Immanuel kant, misalnya menganggap “cara
mengetahui” itu disebut skema konseptual; Marx menamakannya dengan ideologi;
dan Wittgenstein melihatnya sebagai cagar bahasa.[13]
Dari definisi dan muatan paradigma di atas, Zamroni[14] mengungkapkan tentang posisi
paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang
berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: 1) Apa yang harus dipelajari. 2)
Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab. 3) Bagaimana metode untuk
menjawabnya. 4) Aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan
informasi yang diperoleh.
Selanjutnya konsep lain mengungkapkan bahwa istilah paradigma berasal dari
bahasa Latin, paradeigma yang berarti
pola. Pada tahun 1960-an pengertian ini di introduksi kembali oleh Thomas Samuel
Kuhn[15]
yang digunakannya untuk merujuk kepada dua pengertian utama.
Pertama sebagai totalitas kontempelasi pemikiran, keyakinan,
nilai, persepsi dan tekhnik yang dianut oleh akademisi maupun praktisi disiplin
ilmu tertentu yang mempengaruhi cara pandang realitasnya. Kedua,
sebagai upaya manusia untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan yang mampu
meruntuhkan semua asumsi maupun aturan yang ada.[16]
Lebih jauh Thomas Samuel Kuhn
merumuskan paradigma sebagai berikut: P1-Ns-A-C-R-P2.
P1 (Paradigm 1)
adalah simbol dari suatu kebenaran atau pengetahuan yang telah ada dalam
masyarakat; Ns (Normal Science) merupakan simbol dari sains
normal, yakni periode dimana pengetahuan atau kepercayaan tentang kebenaran (P1)
dipegang teguh oleh masyarakat; A (Anomali) adalah simbol
pengertian, yakni periode pertentangan diantara mereka yang memegang teguh kebenaran
(P1) dengan kelompok atau individu yang menghendaki adanya perubahan
dan pengembangan komitmen-komitmen baru yang dapat digunakan untuk mrnjawab
tantangan-tantangan baru dari suatu gejala modernitas dan globalitas; C
(Crisis) yaitu merupakan sibol dari krisis, yaitu merupakan suatu
periode perkembangan yang merujuk kepada kondisi pertentangan antara penganut
paradigma lama (P1) dengan kelompok yang menghendaki
perubahan pada paradigma lama. Pada periode ini biasanya muncul gagasan baru
yang mengguncangkan eksistensi paradigma lama dan pada gilirannya akan menjadi
sebab memuncaknya pertentangan tersebut; R (Revolution) merupakan
simbol dari revolusi, yakni periode munculnya teori baru yang secara radikal
menggantikan teori lama. Revolusi ini dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh
dari masyarakat bahwa asumsi yang dulu adalah salah sehingga otomatis paradigma
yang lama tidak lagi berfusngsi. Akhirnya paradigma lama (P1)
harus digantikan oleh paradigma baru (P2); P2
(Paradigm 2) adalah simbol dari paradigma baru, yaitu paradigma hasil
revolusi yang menggantikan kedudukan paradigma lama.[17]
Rumusan paradigma menurut Thomas Samuel Kuhn di atas dapat diilustrasikan
sebagai berikut. Pada masyarakat Indonesia Saat ini yang terjadi adalah
dominasi paradigma Nahdatul Ulama dalam aspek politik dan paham keagamaan. Cara
melihatnya ada dua sudut pandang. Dari segi politik,
bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau
diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari
PPP. Sedangkan dari segi paham keagamaan bisa dilihat dari jumlah orang yang
mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Sebagaimana dapat dilihat hasil
penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 66 % santri Indonesia adalah 18%
pengikut Muhammadiyah, dan 48% dari Muslim santri Indonesia tersebut adalah
pengikut NU[18]. Diperkirakan
ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau
pengikut paham keagamaan NU. Dari keterangan di atas berarti Nahdatul Ulama
(NU) adalah sebuah partai politik dan paham keagamaan yang dominan diikuti oleh
masyarakat santri Indonesia. Inilah yang dimaksud dominasi paradima.
Pemahaman terhadap paradigma bukanlah pemahaman terhadap
benar atau salah tentang suatu konsep, melainkan orientasi kita terhadap totalitas kontempelasi pemikiran, keyakinan, nilai,
persepsi dan tekhnik yang dianut oleh akademisi maupun praktisi yang berhubungan
dengan
situasi dan kondisi, ruang serta waktu. Maka dari itu banyak akademisi dan praktisi
yang bisa berubah paradigma atau terjadi pergeseran paradigma (paradigm shift),
ketika individu itu merasakan pada siatuasi tertentu, pada kondisi tertentu,
atau pada ruang serta waktu tertentu, dimana kontempelasi pemikiran, keyakinan, nilai, persepsi dan tekhnik yang dianut
oleh akademisi maupun praktisi tersebut telah mengalami (Anomali) atau pertentangan
yang menghendaki adanya perubahan dan pengembangan komitmen-komitmen baru yang
dapat digunakan untuk menjawab tantangan-tantangan baru dari suatu gejala
modernitas dan globalitas saat inilah akan terjadi pergeseran paradigma (paradigm
shift).
Pada proses C (crisis)
periode perkembangan yang merujuk kepada kondisi pertentangan antara penganut
paradigma lama (P1) dengan kelompok yang menghendaki
perubahan pada paradigma tersebut, Pada periode ini biasanya muncul gagasan
baru yang mengguncangkan eksistensi paradigma lama, pada gilirannya akan
menjadi sebab memuncaknya pertentangan tersebut maka selanjutnya akan terjadi revolusi
yakni periode munculnya teori baru yang secara radikal menggantikan teori lama.
Revolusi ini dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh dari masyarakat bahwa
asumsi yang dulu adalah tidak mungkin lagi diikuti sehingga otomatis paradigma
yang lama tidak lagi berfusngsi. Akhirnya paradigma lama (P1)
harus digantikan oleh paradigma baru (P2).
Beberapa contoh pergeseran paradigma (paradigm
shift) diberikan di bawah ini.[19]
Pertama pergeseran paradigma awal perkembangan ilmu pengetahuan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada era kontemporer. Pada awal perkembangannya
ilmu pengetahuan memiliki ciri monodisipliner, artinya suatu disiplin ilmu
tertentu dengan menggunakan metode tertentu di samping ilmu-ilmu lainnya, baik
ilmu teoritis maupun ilmu praktis. Paradigma yang menyatukan semua kebenaran
menjadi satu baik kebenaran wahyu (alkitab) dengan kebenaran ilmiah. Selanjutnya
terjadi pergeseran atau perubahan paradigma (pradigm shift), seperti
keilmuan positivisme logis, dimana perkembangan ilmu pengetahuan pada era
kontemporer ini menunjukkan eksistensinya terpisah dari agama. Paradigma yang
memisahkan kebenaran yang diwahyukan dalam Alkitab dari kebenaran ilmiah. Isac Newton
dan tokoh ilmuwan sekuler lainnya menempatkan Tuhan sebagai penutup sementara
lubang kesulitan (to fill gaft) yang tidak terpecahkan dan terjawab oleh
teori keilmuan mereka, sampai pada waktunya diperoleh data yang lengkap atau
teori baru yang dapat menjawab kesulitan tersebut. Begitu kesulitan telah
terpecahkan, maka secara otomatis Tuhan tidak diperlukan lagi.[20]
Kedua
Pergeseran paradigma dari Geosentris ke heliosentris.[21]
Dalam ilmu Astronomi, teori Geosentris dipopulerkan
oleh seorang ilmuwan Yunani bernama Ptolemy.Teori inilah yang
dulu dipercayai oleh orang-orang Yunani kuno. Walau begitu, ada juga di antara
mereka yang tidak mempercayainya. Pada masa-masa kejayaan Islam, para
cendekiawan Muslim mulanya mengadopsi dan menggunakan konsep Geosentris-nya
Ptolemy. Di sinilah, cendekiawan-cendekiawan Muslim tersebut menemukan
ketidakcocokan teori Geosentris terhadap fakta empiris yang ada. Seorang ilmuwan
yang memberikan kritik terhadapnya adalah Ibnu al- Haitam. Kemudian berkembanglah berbagai
perhitungan astronomis yang didasarkan pada konsep Heliosentris. Konsep Heliosentris itu sendiri
dipopulerkan oleh Copernicus (ilmuwan Eropa). Namun tidak dapat
dipungkiri, dalam merumuskan konsep tersebut ia turut mengadopsi pemikiran dan
perhitungan para ilmuwan Muslim sebelumnya. Hingga saat ini konsep
Heliosentris-lah yang terbukti benar secara empiris dan tidak ada fakta yang
bertentangan dengannya.
Geosentris
memandang
Bumi sebagai pusat Jagat Raya, meyakini bahwa semua benda langit
mengelilingi bumi dan bumi merupakan pusat kekuatan alam semesta. Tokohnya: Anaximander (526 SM), Thales–Yunani (546
SM) Pada awalnya, manusia menganggap bahwa bumi mempunyai
kedudukan istimewa dialam semesta ini, karena melihat mereka matahari terbit
disebelah timur, pada tengah hari ada ditengah kepala kita dan terbenam
disebelah barat. Hal ini berarti matahari mengitari bumi anggapan ini pula yang
mendasari hipotesis “geosentris” dari ptolomeus.
Ptolomeus (70-147 SM) telah berusaha dijelaskan
gerak bulan,planet,dan matahari ini dengan menempatkan pada gerak planet,
matahari, dan bulan pada lapisan yang berotasi mengelilingi bumi. Pandangan
ptolomeus yang memandang bumi sebagai alam semesta dinamakan pandangan atau
“hipotasis geosentris”. Pandangan ini bertahan lama sekali sampai dengan abad
pertengahan.
Pemahaman manusia akan alam semesta semakin
bertambah seiring dengan perkembangan pemikiran manusia dan kemajuan ilmu dan
teknologi. Dulu manusia mengira posisi Bumi kita begitu istimewa, sebagai pusat
alam semesta, dan sebagai pusat perputaran seluruh benda-benda langit.
Paradigma ini bergeser setelah hadir ilmu pengetahuan baru yaitu pandangan
Heliosentris.
Pandangan Heliosentris adalah mengungkapkan bahwa gerak
benda-benda langit menjadi rumit untuk dijelaskan dalam kerangka geosentris.
Pandangan geosentris ini kemudian digusur oleh pandangan heliosentris
yang menyatakan bahwa pusat jagat raya adalah matahari, benda langit lainnya
beredar mengelilingi matahari.
Konsep
Geosetris Konsep
Heliosentris
Tokohnya: Nicolaus Copernicus (dalam bukunya “De
Revolusionibus Orbium Celestium”) Pandangan heliosetris
ini menempatkan Matahari sebagai pusat alam semesta dan pusat peredaran seluruh
benda-benda langit, menggantikan posisi yang dulu ditempati oleh Bumi dalam
pandangan geosentris. Konsep Heliosentris itu sendiri dikenal dipopulerkan oleh
Copernicus (ilmuwan Eropa). Namun tidak dapat dipungkiri, dalam merumuskan
konsep tersebut ia turut mengadopsi pemikiran dan perhitungan para ilmuwan
sebelumnya. Hingga saat ini konsep Heliosentris-lah yang terbukti benar secara
empiris dan tidak ada fakta yang bertentangan dengannya.
Ketiga Transisi dalam kosmologi
dari kosmologi Ptolemeus
ke Copernican
. Diawal difahami bahwa bumi berbentuk segi empat, lalu ditemukan bahwa jika
manusia berjalan dari suatu titik melewati lintasan lurus maka dia akan kembali
ke tempatnya semula, yang menyatakan bahwa bumi ini berbentuk bulat.
Kempat
Perubahan paradigma teori kehidupan: diawali
digunakannya teori Abiogenesis (generation spontanea), yang menyatakan bahwa
makhluk hidup bersal dari benda mati. Lalu digantikan oleh paradigma teori biogenesis
dimulai pada abad ke-17 dan tidak lengkap hingga abad ke-19 dengan Pasteur
, bahwa semua kehidupan berasal dari kehidupan
. kemudian Stanley Miller kembali menguatkan generation spontanea dengan
penelitiannya yang menyatakan asam amino yang merupakan bahan dasar kehidupan
terbentuk dari kumpulan materi-materi di angkasa yang direaksikan oleh petir.
Kelima
Penerimaan teori seleksi alam
Charles Darwin menggantikan teori Lamarck. Dimana teori Lamarck menjelaskan
bahwa leher Jerapah menjadi panjang karena mengalami perubahan disebabkan
jerapah berusaha mencapai makanan berupa dedaunan di tempat yang tinggi.
Sedangkan paradigma yang dikenalkan oleh Charles Darwin adalah Pada masanya ada
jerapah yang berleher panjang dan berleher pendek, karena makanan yang ada
harus diambil pada posisi yang tinggi, maka jerapah leher pendek tidak dapat
bertahan hidup, dan mengikuti seleksi alam (punah) sehingga yang mampu bertahan
hidup sampai saat ini adalah jerapah leher panjang.
Keenam ; Pergeseran Paradigma Etika
Pelayanan Publik Sejarah etika dalam pelayanan publik
dapat ditelusuri dalam tulisan Denhardt yang berjudul The Ethics of Public
Service (1988). Penulis ini menggambarkan sejarah etika pelayanan publik
mulai dari karya Wayne A.R.Leys tahun 1944, yang oleh penulis disebut sebagai
Model I – The 1940’s. Leys memberikan saran kepada pemerintah Amerika Serikat tentang
bagaimana menghasilkan suatu good public policy decisions (keputusan kebijakan publik yang baik). Ia berpendapat bahwa sudah waktunya
meninggalkan kebiasaan atau tradisi (custom) yang selama ini selalu
menjadi pegangan utama dalam menentukan suatu pembuatan keputusan karena
pemerintah terus berhadapan dengan berbagai masalah baru. Katanya, kebiasaan
dan tradisi tersebut harus “digoyang” dengan standard etika yang ada dimana
etika, katanya, harus dilihat sebagai source of doubt (sumber
keraguan). Pertanyaan-pertanyaan etika harus digunakan
dalam menilai apakah suatu keputusan sudah dianggap baik atau tidak.
Singkatnya, dalam model ini dikatakan bahwa agar menjadi etis, diperlukan
seorang administrator senantiasa menguji dan mempertanyakan standard yang
digunakan dalam pembuatan keputusan dari pada hanya sekedar menerima
atau tergantung pada kebiasaan dan tradisi yang ada.[22]
Dari berbagai contoh di
atas terlihat dengan jelas bahwa inti perubahan atau pergeseran paradigma (paradigm
shift) adalah setelah timbul teori baru untuk menggantikan teori lama (Revolution)
dalam rumus paradigma Kuhn di atas. Hal ini tentunya melalui proses
pengembangan ilmu pengetahuan, bisa dilakukan oleh kalangan akademisi, praktisi
atau ilmuwan lainnya.
2.
Efistemologi
The
term of epistemology was used firstly in 1854 by J.F. Feriere. Epistemology is
a branch of philosophy which tries to answer basic questions as Kant
says: “Was kann ich wissen?”
(“What can I know?”)[23]
(Istilah epistemologi digunakan pertama kali pada tahun 1854 oleh J.F Feriere.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mencoba untuk menjawab pertanyaan
dasar seperti Kant mengatakan: "? Apakah kann ich Wissen" ("Apa
yang bisa saya tahu") Because the answer is about the
central problem of human thinking, so epistemology has a central position, as
Ayn Rand mentions, epistemology is the basic of philosophical sciences.
Epistemology is one of the core areas of Philosophy. It is concerned with the
nature, sources and limit of knowledge[24]
(Karena jawabannya adalah tentang masalah utama pemikiran manusia, sehingga
epistemologi memiliki posisi sentral, sebagai Ayn Rand menyebutkan,
epistemologi adalah dasar ilmu filsafat. Epistemologi merupakan salah satu
bidang utama Filsafat. Hal ini berkaitan dengan sifat, sumber dan batas
pengetahuan).
The
term epistemology was derived from the Greek word: ‘Episteme’
and ‘Logos’. Episteme mean ‘knowledge’ or ‘the
truth’ and ‘logos’ means ‘think’ ‘word’, or ‘theory’. Runes says that
‘epistemology is the branch of Philosophy that explains sources, structure,
method and knowledge validity.[25] (Istilah
epistemologi berasal dari kata Yunani: 'Episteme' dan 'Logos'. Episteme berarti
'pengetahuan' atau 'kebenaran' dan 'logos' berarti 'berpikir' 'kata', atau
'teori'. Runes mengatakan bahwa 'epistemologi adalah cabang filsafat yang
menjelaskan sumber, struktur, metode dan pengetahuan validitas).
Epistemology
also can be defined as ‘The Theory of Knowledge’. Epistemology in it’s
explanation consists of two parts: ‘a general epistemology’ and ‘a special
epistemology’ or ‘theory of specific knowledge’, especially for scientific
knowledge; so it can mention as “Philosophy of Science”.[26] (Epistemologi
juga dapat didefinisikan sebagai 'The Theory of Knowledge'. Epistemologi dalam
penjelasan itu terdiri dari dua bagian: 'epistemologi umum' dan 'epistemologi
khusus' atau 'teori pengetahuan khusus', terutama untuk pengetahuan ilmiah,
sehingga dapat menyebutkan sebagai "Filsafat Ilmu)" The Philosophy
of Science (Knowledge) and Epistemology cannot be separated one from another.
Philosophy of Science based on epistemology, especially on problem of
scientific validity[27].(Filsafat.
Science (Pengetahuan) dan Epistemologi tidak dapat dipisahkan satu dari yang
lain. Filsafat Ilmu berdasarkan epistemologi, terutama pada masalah validitas
ilmiah).
Secara
umum epistemologi dapat dijelaskan sebagai cabang filsafat yang membahas ruang
lingkup dan batas-batas pengetahuan. Studi ini mencari jalan untuk memecahkan
pertanyaan-pertanyaan mendasar yang meliputi pengkajian sumber-sumber watak,
dan kebenaran pengetahuan, yaitu apa yang dapat diketahui oleh akal manusia?
Dari manakah kita memperoleh ilmu pengetahuan? Apakah kita memperoleh ilmu
pengetahuan yang dapat diandalkan atau kita harus puas hanya dengan
pendapat-pendapat dan sangkaan-sangkaan? Apakah kemampuan kita terbatas dalam
mengetahui fakta pengalaman indera, atau kita ini dapat mengetahui yang lebih
jauh daripada apa yang diungkapkan oleh indera?. Ada tiga persoalan dalam
bidang ini: Pertama Apakah sumber-sumber pengetahuan itu?
Darimana pengetahuan yang benar itu datang, dan bagaimana kita dapat
mengetahui? Ini semua problem asal (origin), unsur utama (arche). Kedua
Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang riil di luar akal dan kalau
ada, dapatkah kita mengetahuinya? Ini semua adalah problem penampilan (appearance)
terhadap realitas. Ketiga Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)?
Bagaimanakah kita membedakan kebenaran dan kekeliruan? Ini adalah problem
mencoba kebenaran (verification).[28]
Subyektifitas dan obyetifitas
kebenaran ilmu merupakan hasil dari suatu bangunan ilmu yang memiliki
ketergantungan pada kebenaran teori, metode dan cara memperolehnya. teori ilmu
yang diterapkan oleh Para filusuf kuno tergolong masih sangat premature
dimana mereka mencari unsur-unsur atau entitas-entitas yang dikandung oleh
semua benda dengan menggunakan pertimbagan-pertimbangan empiris atau
hasil-hasil pengamatan yang mendalam terhadap entitas-entitas tersebut yang
dapat mendukung penjelasan yang satu atau yang lainnya. Mereka mendasarkan
jawaban mereka pada landasan-landasan epistemic dengan mempertimbangkan
jenis-jenis apa yang dapat dimengerti secara sungguh-sungguh, sebagaimana
halnya yang berdasar pada empiris dengan mempertimbangkan jenis-jenis entitas
abadi yang mungkin dapat diperoleh dari dan atau dalam pengalaman.[29]
Secara umum dapat dinyatakan bahwa
prematurisme konsep atau paradigma teori ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh
para filusuf klasik kuno didasarkan pada lima kemampuan yaitu; (1) Pengetahuan
yang didasarkan pada pengalaman (empirical knowledge), (2) pengetahuan
dari hasil pengalaman tersebut diterima sebagai suatu fakta dengan sikap (pikiran
reseptif) receptive mind, dan jika terdapat keterangan-keterangan
tentang fakta-fakta tersebut, maka keterangan-keterangan tersebut bersifat
mistis, magis dan relegius, (3) kemampuan menemukan abjad dan sistem bilangan
alam sudah menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke tingkat abstraksi, (4)
kemampuan menulis, menghitung dan menyusun kalender yang didsarkan atas sintesis
terhadap hasil abstraksi yang dilakukan, (5) kemampuan meramalkan
peristiwa-peristiwa fisis atas dasar peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah
terjadi, misalnya gerhana bulan dan matahari.[30]
Perbedaan-perbedaan para filusuf
klasik Yunani pra-Sokratik tentang konsepsi teori ilmu pengetahuan
terletak pada pendalaman pengamatan empirisme mereka terhadap entitas-entitas
dari benda-benda yang ada tidak dapat dihindari, dalam pandangan Parmenidas
misalanya bahwa “segala bentuk perubahan merupakan penampakan sementara yang
berada dibalik hubungan timbal-balik dari realitas-realitas yang lebih dalam
dan tidak berubah”, semantara Hiraklitus berada pada kutub
yang lebih ekstrim yang menyatakan bahwa “sejauh mana pengetahuan manusia
semua itu bersifat mitologi sebab secara empiris pengetahuan itu berubah terus
menerus[31],
dan apa pun yang berada dalam waktu selalu fana dan keabadian bukanlah
sesuatu yang tidak berubah disepanjang waktu yang terbatas, akan tetapi dia
adalah eksistensi yang berada diluar seluruh proses temporal”.[32]
Para filususf pra-Sokratik
memfokuskan diri pada pencarian secara empirik tentang arche (unsur
induk)[33]
yang dianggap sebagai asal kejadian segala sesuatu dengan melakukan pengamatan
empiris secara medalam terhadap fenomena-fenomena alam sehingga menghasilkan
beberapa konsep tentang asal-usul alam dalam segala bentuk jenis, entitas dan
geraknya. Konsep-konsep yang mereka hasilkan dari hasil pengamatan empiris
tersebut pun berbeda anatara satu dengan lainnya dimana dalam pandangan Thales
sebagaimana yang diungkapan oleh Aristotales bahwa “air
adalah substansi dasar yang membetuk segala sesuatu dan ia mengatakan bahwa
bumi terapung di atas air, dan bahwa magnet memiliki nyawa karena dapat
menggerakan besi”.[34]
Russell memandang bahwa pendapat ini – tentang air sebagai asal dari
segala sesuatu – dapat dianggap sebagai bentuk hipotesis ilmiah
yang tidak dapat dianggap sebagai pendapat tolol sebab dua pulu tahun yang lalu[35]
telah ditemuan bahwa segala sesuatu terbuat dari hydrogen dimana dua
pertiganya adalah air.[36]
Pada bagian lain Anaximanders berpendapat bahwa “arche itu
adalah Substansi yang tidak terbatas, abadi, dan tak mengenal usia, substansi
asali itu dibentuk menjadi pelbagai subtansi yang kita kenal dan kemudian
substansi-substansi tersebut ditransformasikan antara satu dengan lainnya
menjadi substansi lain”, sehingga dalam kesimpulannya bahwa “dunia kita
ini adalah salah satu diantara dunia-dunia yang ada dan dunia tidak diciptakan
namun lahir dari evolusi yang merupakan bentuk transformasi dari pelbagai
substansi dari substansi tak terbatas tersebut”.[37]
Sementara itu Phytagoras memandang bahwa “substansi asal dari
segala sesuatu adalah bilangan”, pandangan Phytagoras ini disandarkan pada musik
dan hubungan yang dibangun anatara musik dan matematika.[38]
Teori ilmu pengetahuan dan metode
memperolehnya dalam perkembangan berikutnya tidak begitu signifikan
dari periode sebelumnya dimana pertimbangan-pertimbangan ontologis,
epistemologis dan empiris masih sangat mendominasi. Sekalipun konstruksi
mengenai teori-teori fundamental ilmu di seputar konsep, dan pola yang
dilakukan oleh Plato dengan meminjam teori geometri begitu tampak pada periode
ini dan bahkan memberikan pengaruh pada teori ilmu pengetahuan modern, pada
logika dan metematik jerman dan sesudahnya,[39]
artinya bahwa paradigma, konsep atau pandangan yang berwujud tiori ilmu pengetahuan dari masa
filusuf klasik hingga modern memiliki bangunan kesinambungan yang saling
memeberi pengaruh antara satu dengan yang lain, dan atau saling menghapus
antara satu dengan yang lain, dan atau saling menyempurnakan anatara satu
dengan yang lain, sekalipun dalam kesempurnaannya masih terdapat pertentangan-pertentangan
yang sangat mencolok antara kelompok empirisme, rasionalisme, skeptisisme,
kritisisme, analitisme, strukturalisme dan lain-lain.
3.
Metodelogi Pengetahuan
Metode, menurut Senn dalam Suriasumantri,
merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai
langkah-langkah yang sistematis. Sedangkan Metodologi merupakan pengkajian dari
peraturan-peraturan dalam metode tersebut.[40]
Jadi Metodologi Ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan dalam
metode tersebut, atau pengetahuan tenang berbagai metode yang dipergunakan
dalam penelitian, dengan kata lain, Metodologi merupakan sebuah kerangka
konseptual dari metode tersebut. Metodologi meletakkan prosedur yang harus
dipakai pada pembentukan atau pengetesan proposisi-proposisi oleh para ilmuwan
yang ingin mendapatkan pengetahuan yang valid.[41]
Dengan demikian, Metodologi juga menyentuh bahasan tantang aspek filosofis yang
menjadi pijakan penerapan suatu metode. Aspek filosofis yang menjadi pijakan
metode tersebut terdapat dalam wilayah Epistemologi. Metodologi secara
filsafati termasuk dalam Epistemologi.
Dalam pengembangan pengetahuan,
terutama yang harus dilakukan adalah menegaskan tujuan pengetahuan, sebab
pengetahauan tidak akan mengalami perkembangan dan perubahan apabila tujuan
dari pengetahuan tersebut tidak diketahui dan dipahami. Karena pada prinsipnya
ilmu adalah usaha untuk menginterpretasikan gejala-gejala dengan mencoba
mencari penjelasan tentang berbagai kejadian,[42] artinya
fenomena ini baik berupa pengamatan empirik maupun penalaran rasio memerlukan
teori atau metodologi sebagai landasan keterpahaman sesuatu yang dapat disebut
sebagai paradigma ilmu pengetahuan.
Pada pembahasan ini dikhususkan
untuk mengetahui bagaimana sebenarnya sebuah ilmu pengetahuan itu dapat
diperoleh. Secara umum ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui proses sebagai
berikut:
1)
Metode
Empiris
Yang dimaksud dengan metode empiris yaitu pengetahuan
yang didapatkan melalui pengalaman inderawi dan akal mengolah bahan-bahan yang
diperoleh dari pengalaman dengan cara induksi.[43]
Dalam metode ini terdapat beberapa
unusur yaitu subyek, obyek dan hubungan antara subyek dan obyek.[44]
Subyek adalah yang menegatahui atau manusi itu sendiri sebab manusia sejatinya
adalah knower dimana dalam diri setiap manusia terdapat kemampuan untuk
dapat mengetahui (dalam arti luas), kemampuan-kemampuan tersebut adalah; (a)
Kemampuan kognitif, yaitu; kemampuan untuk menegtahui dalam artinya secara luas
dan lebih mendalam seperti; mengerti, memahami dan menghayati – dan mengingat
apa yang diketahui. Landasan kognitifitas manusia adalah rasio atau akal.
Kemampuan kognitif manusia bersifat netral. (b) kemampuan afektif yaitu kemampuan
untuk merasakan tentang apa yang diketahuinya seperti rasa cinta, indah dan
sebagainya. kemampuan afektif berlandas pada rasa atau qalbu dan disebut
pula dengan hati nurani, kemampuan ini bersifat tidak netral. (c) kemampuan
konatif yaitu kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan, kemampuan ini
menjadi daya dorong untuk mencapai (atau menjauhi) segala apa yang didiktekan
oleh rasa.[45] Adapun obyek adalah yang diketahui baik
bersifat a priori maupun a posteriori dan terakhir adalah proses
terjadinya hubungan anatara subyek dan obyek.[46]
Metode ini memberikan arti bahwa
seluruh konsep dan idea yang kita anggap benar sesungguhnya bersumber dari
pengalaman dengan obyek yang ditangkap oleh panca indera khususnya yang
bersifat spontan dan langsung, sehingga dengan metode ini panca indera memiliki
peranan penting dalam tiga hal; (a) bahwa seluruh yang kita ucapkan merupakan
bentuk manifestasi laporan dari pengalaman atau yang disimpulan pengalaman. (b)
bahwa konsep atau idea tentang sesuatu tidak dapat diperoleh kecuali didasarkan
pada apa yang diperoleh dari pengalaman. (c) akal budi atau rasio hanya dapat
berfungsi jika memiliki acuan realitas.[47]
Artinya dengan metode ini dapat dinyatakan bahwa credential (keterpercayaan)
konsep ilmiah atau teori apapun bergantung pada suatu tingkat substansi
berbasis empiris.[48]
Secara psikologis, teori empirisme
ini sejalan dengan teori belajar yang dikemukakan aliran Behaviorisme. Dalam
teori behaviorisme ini ada tiga teori, yaitu Stimulus Responce (SR),
Conditioning, dan Reinforcement. Kelompok teori ini berangkat dari asumsi,
bahwa anak atau individu tidak memiliki pembawaan potensi apa-apa dari
kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari
lingkungan, termasuk faktor keluarga, sekolah, masyarakat, lingkungan manusia,
geografis, budaya, religi.[49]
Menurut konsep teori Stimulus Responce bahwa kehidupan ini tunduk
pada hukum aksi dan reaksi. Setangkai bunga misalnya dapat merupakan stimulus
dan direspon oleh mata dengan cara memandangnya. Kesan indah yang diterima oleh
individu dapat merupakan stimulus yang mengakibatkan respons memetik bunga
tersebut. Kemudian konsep Conditioning (pengkondisian), tokoh utamanya
adalah Watson. Konsep ini perna dicobanya pada seekor anjing, dengan sarana
makanan dan lonceng. Akhirnya anjing mengerti dan terlatih bahwa bila ia
mendengar suara bel waston itu berarti anjing akan mendapatkan makanan. Ketiga Reinforcement
(penguatan), Jika pada teori conditioning, kondisi diberikan pada stimulus
(aksi), maka pada reinforcemen kondisi diberikan pada responce
(reaksi). Karena anak-anak belajar sungguh-sungguh (stimulus), selama ia
menguasai apa yang dipelajarinya (respons) maka guru memberi angka tinggi,
pujian, ataupun hadiah. Angka tinggi, pujian, ataupun hadiah adalah bentuk
reinforcement (penguatan/motivasi) supaya pada kegiatan belajar selanjutnya
akan lebih giat dan sungguh-sungguh.
Intinya empirisme menurut John Locke
adalah aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan atau kebenaran yang sempurna
tidak diperoleh melalui akal, melainkan diperoleh atau bersumber dari panca
indera manusia. Dengan kata lain, bahwa kebenaran adalah sesuatu yang sesuai
dengan pengalaman manusia.[50]
2)
Metode
Rasional
Rasionalisme dapat didefinisikan
sebagai paham yang sangat menekankan akal sebagai sumber utama pengetahuan
manusia dan pemegang otoritas terakhir dalam penentuan kebenaran pengetahuan
manusia.[51] Aliran
ini biasa dinisbatkan kepada beberapa tokoh pemikir barat, diantaranya Rene
Descartes, Spionoza, Leibniz dan Christian Wolf. Meski sebenarnya akar-akar
pemikirannya sudah ditemukan dalam pemikiran para filosof klasik, yaitu Plato
dan Aristoteles.[52]
Bagi kelompok rasionalisme sumber
pengetahuan manusia didasarkan pada innate idea (ide bawaan) yang dibawa
oleh manusia sejak ia lahir. Ide bawaan tersebut menurut Descartes terbagi atas
tiga kategori, yaitu;
·
Cogitans atau
pemikiran, bahwa secara fitra manusia membawa ide bawaan yang sadar bahwa
dirinya adalah makhluk yang berpikir, dari sinilah keluar statement Descartes
yang sangat terkenal, yaitu cogito ergo sum yaitu aku berpikir maka aku
ada.
·
Allah Atau deus,
manusia secara fitra memiliki ide tentang suatu wujud yang sempurna, dan
wujud yang sempurna itu tak lain adalah Tuhan.
Ketiga ide bawaan diatas dijadikan
aksioma pengetahuan dalam filsafat rasionalisme yang tidak diragukan lagi
kebenarannya. Dalam metode pencapaian pengetahuan Descartes memperkenalkan
metode yang dikenal dengan metode keraguan (dibium
methodicum) yaitu meragukan segala sesuatu termasuk segala hal yang telah
dianggap pasti dalam kerangka pengetahuan manusia.[54]
Proses keraguan inilah yan kemudian akan mengantarkan manusia sampai pada
pengetahuan yang valid dan diterima kebenarannya secara pasti.
Sekalipun rasionalisme sangat
menekankan fungsi rasio dalam mencapai pengetahuan, bukan berarti rasionalisme
mengingkari peranan indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera
diperlukan untuk merangsang kerja akal dan memberikan bahan -bahan agar akal
dapat bekerja. Akan tetapi, untuk sampainya manusia pada kebenaran adalah
semata-mata dengan akal.[55]
Bagi rasionalisme data-data yang dibawa oleh indera masih belum jelas dan kacau
bahkan terkadang menipu. Akallah yang kemudian mengatur laporan indera tersebut
sehingga dapat terbentuk pengetahuan yang benar.
Selain akal bekerja mengolah
data-data inderawi akal manusia juga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
realitas yang tak terinderai atau realitas yang abstrak. Oleh karena itu
Rasionalisme membagi dua jenis pengetahuan tentang hak-hak yang kongkret yang
kemudian lebih dikenal dengan sains dan pengetahuan tentang hal-hal yang
abstrak yang kemudian lebih dikenal dengan filsafat.[56]
Rasionalisme, yang
menekankan pada metode clear and distinct (jelas dan berbeda) untuk kebenaran
yang diusungnya, pada akhirnya pasti akan menimbulkan korban. Mengapa? Saat
kebenaran yang diyakini jelas dan berbeda itu ditemukan, maka semua hal lain
akan dianggap salah. Sebagai contoh paradigma rasionalsime: perempuan dikatakan
cantik bila memenuhi kriteria-kriteria yang telah disepakati. Maka jika tidak
sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, menurut rasionalisme, jelas
dikatakan tidak cantik alias salah. Tidak ada kebenaran kedua bagi rasionalisme.
Hal ini jelas memarginalkan yang lain, dan menjadikannya korban.
3)
Metode
Intuisi (kontemplatif).
Salah satu diantara metode efistemologi pendidikan
adalah metode intuisi. Metode ini mampu memberikan kontribusi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk juga pengembangan ilmu pengetahuan
Islam. Metode intuitif ini merupakan metode yang khas bagi ilmuan yang menjadi
tradisi ilmiah Barat sebagai landasan berfikir, mengingat metode tersebut tidak
pernah diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya dikalangan
ilmuan Muslim seakan-akan ada kesepakatan untuk menyetujui intuisi sebagai
salah satu metode yang sah dalam pengembangan ilmu pengetahuan sehingga mereka
telah terbiasa menggunakan metode ini dalam menggagas pengembangan ilmu
pengetahuan.[57]
Dikalangan pemikir Islam intuisi
tidak hanya disederajatkan dengan akal maupun indera, bahkan lebih
diistimewakan dari pada keduannya. Pengetahuan yang dihadirkan (bersifat
intuitif) lebih unggul dari pada pengetahuan yang dicapai (bersifat rasional),
karena terbebas dari kesalahan dan keraguan. Pengetahuan kategori ini juga
memberikan kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran sipiritual.
Demikian juga bagi Al-Ghazali bahwa Al-Zawq (intuisi) lebih tinggi dan lebih
dipercaya untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini kebenarannya.
Sumber pengetahuan itu disebut juga An-Nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk
wahyu, dan pada manusia dinamakan ilham.[58]
Bila pemikiran filsafati Descartes
berujung pada kelahiran rasionalisme yang cenderung mengabaikan Tuhan dan
Agama, maka perjalanan pemikiran filsafat Al-Ghazali sama sekali berbeda dengan
Descartes. Al-Ghazali sampai pada keyakinan yang kuat akan adanya Tuhan dengan
melalui jalan tasawuf yang berpuncak pada ma’rifat, yakni pengetahuan intuitif.[59]
Metode ini memandang bahwa metode
empiris dan rasional memiliki keterbatasan, sehingga pengetahuan yang
dihasilkan pun berbeda dan masing-masing bersifat temporal, maka untuk
menajamkan hasil dari kedua metode tersebut dibutuhkan penajaman kemampuan akal
yang disebut intuisi, pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi dapat diperoleh
secara kontemplatif.[60]
Metode kontemplatif dalam memperoleh
pengetahuan bersifat sangat indivdualistik sebab pengetahuan yang dihasilkannya
tersebut adalah pengetahuan yang tercerahkan dari percikan sinar pengetahuan
Tuhan (al-hikmah al-Ila-hiyyah).[61]
Hariri Sahrazi menerangkan bahwa intusi (fitrah) bukan semata-mata kolam atau
waduk yang menerima pengetahuan, akan tetapi pengetahuan ini murni muncul dari
dalam diri manusia itu sendiri dan bukan dari luar, maka mata fitrahlah yang
melihat pengetahuan itu dan kemudian lidahnya mengucapkan atau menjelaskan
pengetahuan tersebut.[62]
Metode ini tidak hanya dipahami
bahwa ilmu pengetahuan yang dihasilkannya bersifat mitologi-spekulatif,
tetapi dalam arti yang lebih luas dimana metode kontemplatif menuju kebenaran
pengetahuan secara epistemic dapat melalui beberapa tahapan yang didalamnya
menjadikan kesadaran empirik-rality dan cognitive-reasion sebagai
tahapan awal dengan cara kerjanya yang khas
yaitu; (a) empiris inderawi adalah sebagai jalan masuknya sensation dengan
merasakan setiap bentuk realitas yang dirasakan dan diamatinya, selanjutnya (b)
sensation yang masuk melalui pengamatan dan pengalaman tersebut
dikumpulkan, digabungkan, dipilah, dinalar dengan menggunakan kemampuan rasio
melalui proses penilaian terhadap obyek fisis yng diketahui melalui
penginderaan dan atau pengalaman, tahapan ini selanjutnya disebut dengan
tahapan cognition (pengetahuan), selanjutnya (c) tahapan yang diberlakukan
atas realitas yang telah dikognisikan dalam rasio tersebut kemudian
dikontemplasikan dengan eternal truth (kebenaran abadi) pada
tahapan ini kemudian apa yang dilihat, dirasa dan dipikirkan menjadi sebuah
ilmu pengetahuan yang disebut dengan pemikiran (intellection).[63]
Pada tahapan yang terakhir ini informasi kebenaran
(the truth information) atau al-Khabar al-Sadiq, memiliki
peranan penting untuk kemudian dilakukan dialektika baik itu bersifat
tekstual, intertekstual, kontektual maupun interkontekstual yang dapat membatu
menghasilkan kesimpulan pada ranah truth knowledge (kebenaran ilmu
pengetahuan).
Dengan kata lain metode intuitif (Manhaj Zawqi) adalah metode untuk
mendapatkan kebenaran pengetahuan melalui ilham atau anugerah sebelum
pengalaman. Intuisi atau hikmah didapatkan tidak melalui indera dan akal
melainkan melalui pendekatan diri (taqarub) kepada Allah SWT yang
diwujudkan dalam hidayah dan firasat. Berikut petikan firman Allah dalam
beberapa surat yang terkait dengan penjelasan intuisi:
y7¨RÎ) w ÏöksE ô`tB |Mö6t7ômr& £`Å3»s9ur ©!$# Ïöku `tB âä!$t±o 4 uqèdur ãNn=÷ær& úïÏtFôgßJø9$$Î/ ÇÎÏÈ
”Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikendaki-Nya, dan Allah mengetahui
orang-orang yang menerima petunjuk.”
... dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu. (Al-Baqarah [2] : 282)[65]
Artinya: Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang
Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan
Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah). (Al-Baqarah [2] : 269)[66]
Artinya: Dan tatkala dia cukup dewasa (Nabi Yusuf
mencapai umur antara 30-40 tahun) Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu.
Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Wahyu di atas menunjukkan intuisi
termasuk metode untuk mencari kebenaran. Bila dirujuk pada kesadaran diri yang
selalu mengarah pada kesadaran universal tidak salah apabila diri manusia
selalu bertanya tentang eksistensi diri, sumber dan tujuan eksistensi akhir.
Instrumen otak yang kecil maupun fenomena fisik tidak mampu memberikan jawaban
atau petunjuk terhadap problematika manusia itu sendiri. Pengalaman psikologis dan rokhani merupakan salah satu contoh dari
keberadaan intuisi. Contoh dari hasil penggalian ilmu pengetahuan melalui
metode intuisi adalah beberapa bagian penjelasan tentang metafora amanah dalam
merekontruksi akuntansi syariah yang dicetuskan oleh Prof. Iwan triyuwono.
Hasil metode ini dapat berupa cahaya, puisi, simbol, dan lain-lain yang
memiliki arti atau kaitan dengan bidang ilmu yang dikaji. Intuisi sendiri
ditolak oleh khasanah pengetahuan Barat karena dianggap irasional. Sementara
Islam menawarkan metode yang komprehensif dengan tujuan untuk saling
melengkapi. Asumsi ilmuwan yang lahir dari dasar berfikir murni mungkin diakui
kebenarannya setelah dibuktikan secara empiris. Sebaliknya berangkat dari
empiris, ilmuwan mampu mengungkapkan kebenaran hasil pemikiran murni tanpa pengalaman
masa lalu. Qomar (2006).
C.
Kesimpulan
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa dengan mengetahui kebenaran yang mutlak tentang
kerangka konseptual, gugusan pikir, pola, model, konteks atau pandangan yang
mendasar baik dari sisi ilmuan maupun disiplin ilmu yang dilahirkan oleh akademisi maupun praktisi, dimana
kebenaran itu yang didapat melalui pengalaman, akal dan kebenaran yang bersifat
ilham dan anugerah. Maka pengetahuan itu akan menjelma ditengah masyarakat
menjadi kebenaran dan pengetahuan yang akan diikuti, sehingga pada akhirnya kebenaran
dan pengetahuan itu menjadi sebuah paradigma.
Daftar Pustaka.
Adib, Muhammad,
Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.
Adian, Donny
Gahrial, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Bandung: Teraju, 2002
Al-Gazali, al-Munqiz
min al-Dalal, diterj. Masyhur Abadi, Setitik Cahaya dalam Kegelapan, Surabaya:
Progressif, 2002.
A. Fuad
Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001
Asyari.
Suaidi, 2009, Nalar Politik NU & Muhammadiyah, Yokyakarta:
LkiS
Bahtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta :
Rajawali Press, 2010.
D.
Klein, Peter, Routledge Encyclopedia of Philosophy, Routledge: London
and New York, 1998
D. Runes, Dagobert, Dictionary of Philosophy, Totowa New Jersey: Adams
& Co., 1971.
Departemen
Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Madinah Almunawwarah: Mujamma’
al-Malik Fahd Li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H.
Denhardt,
Kathryn G. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut:
Greenwood Press. 1988.
Elmubarok, Zaim, Membumikan Pendidikan nilai, Bandung:
Alfabeta 2009.
Hairi
Shirazi, Muhyiddin, Mans Dual Inclination; An Islamic Approach. Diterj.
Eti Triana dan Ali Yahya, Tikai Ego dan Fitrah, Jakarata: Al-Huda, 2010.
Hasan Bakti, Nasution, Filsafat Umum, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Jerome R
Ravertz, The Philosophy of Science (Oxford University Press, 1982)
diterj. Saut Pasaribu, 2009, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingup
Bahasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Juhaya
S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2010
Keraf, A.
Soni dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta:
Kanisus, 2001.
Kementerian
Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya,Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia,
2012
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk
aksi, Bandung, Mizan, 1991.
Kaelan,
Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, Yokyakarta:
Paradigma, 2010.
Kosmic, Manual Training Filsafat. Jakarta:
Kosmic, 2002
Loren
Bagus, 2005, Kamus
Filsafat, Jakarta: Gramedia
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu , Yogyakarta:
Belukar, 2005
Muhammad Said al-Husein, Kritik Sistem Pendidikan, Pustaka
Kencana,1999.
Muhyiddin
Hairi Shirazi, Mans Dual Inclination; An Islamic Approach. Diterj. Eti
Triana dan Ali Yahya, Tikai Ego dan Fitrah, Jakarata: Al-Huda, 2010.
Mujamil
Qomar, tt, Efistemologi Pendidikan Islam dari Metodo Rasional hingga Metode
Kritik, Jakarta: Erlangga
Nata,
Abuddin, at.al. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2005.
Norman
K.Denzin dan Yuonna S.Lincoln, Handbook of qualitative Research,
Thousand OAKS: SAGE Publications, 1994
Paradigma devirahman.wordpress.com/2009/pengertian-paradigma/akses,
17-02-2013
Russell, Betrand,
History of Western Philosophy and its
Connection with Political and Social Circumstances From the Earliest Time to
Present Day, London: George Allen and UNWIN, 1946. Diterj. Sigit Jatmiko
dkk., Sejarah Filsafat Barat; dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik
dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Sjamsuar,
Zumri Bestado, 2003, Paradigma Manusia Surya, Pontianak: Yayasan Insan
Cinta
Sidi, Indra Djati, Menuju Masyarakat Belajar:
Menggagas Paradigma baru Pendidikan Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001
Soetriono
dan Rita Hanafi, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian,Yogyakarta:
ANDI, 2007.
Suhartono,
Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu
Pengetahuan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Surajiyo, Filsafat
Ilmu; Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2008 Lihat. A. Soni Keraf dan
Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta:
Kanisus, 2001.
S.
Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Sinar Harapan, 2001.
Syafiie, Inu
Kencana, Pengantar Filsafat (Bandung : Rafika Aditama, 2007.
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Pengetahuan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Triatmojo,
Suastiwi. Implikasi Terhadap Pluralitas Metodologi Penelitian. Magister
Penciptaan dan Pengkajian Seni ISI Yogyakarta
Winoto, Andre,
Augistine’s Theory of Knowledge (www.buletinpillar.org,
19-02-2013).
Zamroni, Pengantar
Pengembangan Teori sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana,1992.
Wibisono, Koento, Dasar-Dasar
Filsafat, Jakarta: Penerbit Karunika Universitas Terbuka, 1989
[2] Norman K.Denzin dan Yuonna S.Lincoln,
Handbook of qualitative Research, Thousand OAKS: SAGE publications, 1994,
hlm. 99.
[3]
Paradigma dari bahasa Inggris paradigm
berarti type of something, model, pattern (bentuk sesuatu, model, pola)
[Hornby, 1989:895]. Sedangkan secara terminologis berarti a total view of a
problem, a total outlook, not just a problem in isolation [Hills, 1982]
lihat: Abdurrahman Mas’ud dkk, 2001, Paradigma Pendidikan Islam, ed.
Ismail SM dkk., Pustaka Pelajar, Yogyakarta, halaman viii; Secara sederhana Ahmad
Tafsir mengartikan paradigma sebagai cara pandang atau cara
berpikir, Lihat: Ahmad Tafsir, 2001, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, halaman 6; Kuntowijoyo
dengan meminjam “pembacaan” paradigma dari Thomas S. Kuhn dalam bukunya, The
Structure of Scientific Revolutions (oleh penerbit Rosdakarya, Bandung
diterjemakan dengan judul Peran Paradigma dalam Revolusi Sains,
1989) juga berpandangan sama, ia menjelaskan bahwa pada dasarnya realitas
sosial itu dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry
tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing (cara
mengetahui) tertentu pula. Imanuel Kant menganggap “cara mengetahui”
ini sebagai apa yang disebutnya skema konseptual. Marx
menamakannya sebagai ideologi. Dan Wittgenstein melihatnya
sebagai cagar bahasa, tilik: Kuntowijoyo, 1994, Paradigma
Islam: Interpretasi untuk Aksi, Cetakan ke VI, Mizan, Bandung, halaman 327.
[5] Indra Djati
Sidi, Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma baru Pendidikan
(Cet. I ; Jakarta ; Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 21.
[6] Muhammad Said al-Husein, Kritik Sistem Pendidikan (Cet. I ; T. tp :
Pustaka Kencana,1999), h. 23.
[8]
Sjamsuar, Zumri Bestado, 2003, Paradigma
Manusia Surya, Pontianak: Yayasan Insan Cinta Kalimantan, hal. 28
[15] Khun adalah seorang sarjana
Fisika Teoritis yang mendalami filsafat
sain dan menyusun gagasan-gagasan sains dan kemudian oleh dunia sains dikenal
dengan sebutan konsep paradigma/ Lihat Lili Rasyidi dan I. B. Wyasa Putra, 1997,
Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal.66
[16] Rasyidi, Hukum Sebagai Suatu
Sistem, hal. 70
[17] Rasyidi, 1997, Hukum Sebagai
Suatu Sistem, hal. 66; Thomas S Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi
Sains, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 172.
[18]
Suaidi Asyari, 2009, Nalar Politik NU &
Muhammadiyah, Yokyakarta: LKiS
[20] H. Kaelan, 2010, Metode Penelitian
Agama Kualitatif Interdisipliner, Yokyakarta: Paradigma, hal. 21
[22] Denhardt,
Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut:
Greenwood Press. Hal.6
[23] Koento Wibisono, 1989,
Dasar-Dasar
Filsafat, Jakarta:
Penerbit Karunika Universitas T erbuka, hal. 517.
[24] Peter D. Klein, 1998, Routledge
Encyclopedia of Philosophy, Routledge: London and New York, version 1.0.
[27] Ibid., hal. 19.
[28] Juhaya S. Praja, 2010, Aliran-aliran
Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, hal. 87-88.
[29] Jerome R Ravertz, The Philosophy
of Science (Oxford University Press, 1982) diterj. Saut Pasaribu,
Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingup
Bahasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 92-93.
[32] Betrand Russell, History of
Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances From the Earliest Time to
Present Day, London: George Allen and UNWIN, 1946. Diterj. Sigit Jatmiko
dkk., Sejarah Filsafat Barat; dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik
dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 61.
berjudul History
of Western Philosophy…
[40] Jujun S. Suriasumantri, 1984.
Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
hal.119
[41] Triatmojo, Suastiwi. Impikasi
Terhadap Pluralitas Metodologi Penelitian. Magister Penciptaan dan
Pengkajian Seni ISI Yogyakarta
[43] Surajiyo, Filsafat Ilmu; Suatu
Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 66. Induksi atau induktif adalah
cara kerja ilmu-ilmu empiris yang mendasarkan diri pada pengamatan atau
eksperimen untuk sampai kepada pengetahuan yang umum tak terbantahkan,
pengetahuan semacam ini adalah pengetahuan a posteriori. Lihat. A. Soni
Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis Yogyakarta:
Kanisus, 2001, hlm. 55.
[44] Muhammad Adib, Filsafat Ilmu;
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 75.
[45] Soetriono dan Rita Hanafi, Filsafat
Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: ANDI, 2007, hlm.101-102.
[46] Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu
Pengetahuan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008, hlm. 61. Metode ini dapat berubah menjadi lebih
ekstrim apabila dipahami bahwa satu-satunya yang dapat disebut sebagai
ilmu pengetahuan jika kebenarannya dapat dilacak dan diklarifikasi secara
empirik. Pemahaman semacam ini dapat mengarah kepada bentuk Empirisme Radikal.
[47] A. Soni Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu
Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis (Yogyakarta : Kanisus, 2001),
hlm.49-50.
[48] Jerome R Ravertz, The Philosophy of Science (Oxford University
Press, 1982) diterj. Saut Pasaribu, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingup
Bahasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.135.
[49] Abuddin Nata, Pemikiran
Pendidikan Islam dan Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 244-245
[50] Hasan Bakti Nasution, 2001, Filsafat
Umum, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hal. 171
[57] Mujamil Qomar, Efistemologi
Pendidikan Islam dari Metodo Rasional hingga Metode Kritik, Jakarta:
Erlangga. Hal.296
[58] Mujamil Qomar, Op.Cit.,
hal. 308
[59] Juhaya S. Praja, 2010, Aliran-aliran
Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, hal. 98
[61] Al-Gazali, al-Munqiz min al-Dalal,
diterj. Masyhur Abadi, Setitik Cahaya dalam Kegelapan (Surabaya:
Progressif, 2002), 32.
[62] Muhyiddin Hairi Shirazi, Mans
Dual Inclination; An Islamic Approach. Diterj. Eti Triana dan Ali Yahya, Tikai
Ego dan Fitrah (Jakarata: Al-Huda, 2010), 71.
[64] Kementerian RI, 2012, Al-Quran
dan Terjemahnya, Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, hal. 552
[65] Ibid., hal. 59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar