INDRA GUNAWAN, M.Pd.I
PENDAHULUAN
Filsafat
merupakan pengetahuan tentang kebenaran. Filsosof Muslim, sebagai mana filosof Yunani,
percaya bahwa kebenaran jauh berada di atas pengalaman; bahwa pengalaman itu
abadi di alam adialami. Filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat tentang
segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof
dalam berteori ialah mencapai kebenaran, dan dalam berpraktek, ialah
menyesuaikan dengan kebenaran (M.M. Syarif (edt), 1996 : 15).
Melalui kontak
yang terjadi di pusat-pusat peradaban Yunani yang terdapat di Aleksanderia
(Mesir), Antokia ( Suriah), Jusdisyapur (Irak) dan Baktra (Persia), yang jatuh
kedalam kekuasaan Islam pada permulaan abad ketujuh Masehi, filsafat masuk ke
dalam pemikiran Islam. Timbullah filosof-filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Razi,
Al-Farabi, Ibn Maskawaih dan filosof lainnya.
Berlainan
dengan Yunani, pemikiran filsafat dalam Islam, telah terkait pada ajaran-ajaran
dalam Al-Qur’an dan Hadits. Disini pemikiran filsafat bukan lagi
sebebas-bebasnya, tapi telah dibatasi oleh wahyu yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw. Maka filosof-filosof Islam tidak lagi menjadi dasar segala dari
segala dasar, karena wahyu telah menentukan bahwa dasar dari segala dasar itu
adalah Allah Swt (Harun Nasution, 1994 : 356).
Makalah sederhana ini akan berusaha menguraikan secara singkat tentang
Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Filsafat Serta Pengaruhnya Dalam Islam, filsafat
Al-Kindi yang dikenal sebagai pencetus pertama pemikiran filsafat dalam Islam
dan juga membahas bagaimana pemikiran filsafat Al-Razi yang merupakan filosuf
Islam kedua setelah Al-Kindi, serta perbandingan pemikiran Al-Kindi dan Al-Razi.
PEMBAHASAN
Asal Usul dan Perkembangan Filsafat Serta Pengaruhnya Dalam Dunia
Islam
Yunani
berhak menyandang gelar kehormatan sebagai pencipta filsafat dalam arti yang
sesungguhnya. Pekembangan pemikiran Yunani telah mencapai puncaknya pada
sekitar tahun 500-300 SM, yakni sejak munculnya Socrates yang lahir di Athena
pada tahun 470 SM, dan meninggal pada usia 71 tahun di tahun 399 SM. Diteruskan
oleh Plato, yang hidup pada tahun 427-347 SM, salah seorang murid dari Socrates
adalah sekaligus murid dari Aristoteles lahir di Stangira Macedon tahun 384 SM,
meninggal tahun 322 SM, pada usia 17 tahun pergi belajar ke Athena menjadi
murid Plato di Akademi Athena, ketika ia berusia 40 tahun, Plato meninggal
dunia, dan ia mendirikan lembaga pendidikan yang baru di Lycium (Muhaimin
(edt), 2005 :188). Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya ternyata
filsafat Yunani semakin meredup. Akhirnya pada tahun 529 M. atas titah Raja
Justinianus, karena terdorong oleh kefanatikannya terhadap Kristen, menutup
semua akademi-akademi filsafat dan
mengusir seluruh filsof dari bumi Yunani (K.Bertens, 1976 : 17).
Mereka terpaksa evakuasi ke Timur, yang sebelumnya sudah ada
pusat-pusat kebudayaan Yunani atas jasa Raja Alexander Yang Agung pada tahun
331 SM, seperti Jundisyafur di Irak, Bachtra di Persia, Antokia di Syiria dan
Alexandria di Mesir (Harun Nasution 1983, hal. 54). Peristiwa ini dapat
diartikan bahwa peranan Yunani di bidang filsafat sudah berakhir. Sejarah
menuturkan bahwa daerah-daerah pusat kebudayaan Yunani ini dapat ditaklukkan
umat Islam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Bani Umaiyah (Sirajuddin
Zar, 2006 : 21).
Pada masa Umawiyah penaklukan-penaklukan militer terus berlangsung
dan daerah kekuasaan Islam bertambah luas hingga membentang dari perbatasan
Cina hingga perbatasan Marokko di sebelah barat dan Spanyol serta sebelah
selatan negeri Ghalia (Prancis) (Louis Gardet, 1997 : 71).
Penaklukan-penaklukan berlanjut pada masa Abasiyyah yang menerima
kekuasaan di Timur. Kekuasaan mereka berlangsung sejak tahun 750 M hingga 1258
M. selama kekuasaan mereka, terdapat hal-hal yang baik maupun yang buruk.
Periode antara tahun 750 M hingga akhir abad 11 M, dan barangkali hingga abad
ke-12, telah dipandang sebagai periode klasik yang menonjol dalam peradaban
Islam (Louis Gardet, 1997 : 73). Lewat daerah-daerah inilah terjadi
kontak antara umat Islam dengan filsafat Yunani yang memberikan kedudukan yang
tinggi pada akal.
W. Montgomery Watt menjelaskan, ketika Irak, Syria dan Mesir
diduduki oleh orang Islam pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat
Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal
di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian di pindahkan pertama sekali ke Syiria,
dan kemudian pada sekitar tahun 900 – Baghdad. Di sana, murid-murid sekolah
itu, meskipun beragama Kristen, sepenuhnya melibatkan diri dalam pembahasan
bertema filsafat. Di Harran, sebelah utara Mesopotamia, terdapat sebuah sekolah
milik suatu sekte semi-filosofis yang dikenal dengan sebutan kaum Sabi’an.
Murid-murid sekolah tersebut juga berorientasi ke Baghdad. Walaupun demikian,
pusat belajar yang paling penting adalah kolese Kristen Nestorian di
Gondeshapur. Kolese ini terutama terkenal karena pengajarannya dalam bidang
kedoktoran. Inilah kolese-kolese yang menelurkan doktor-doktor di istana Harun
al-Rasyid dan penggantinya sepanjang sekitar seratus tahun. Akibat kontak
semacam ini, para khalifah dan pemimpin kaum Muslim lainnya menyadari apa yang
harus dipelajari dari ilmu pengetahuan Yunani. Mereka juga mengatur agenda kerja,
agar sejumlah buku penting dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dari bahasa
Syiria (bahasa yang digunakan dalam proses belajar mengajar di Gondheshfur dan
pusat belajar lainnya saati itu). Beberapa terjemahan sudah mulai dikerjakan
pada abad kedelapan. Tetapi kerja penerjemah secara serius dimulai pada masa
pemerintahan al-Ma’mun (831-833). Kalifah ini mendirikan sebuah lembaga khusus
untuk kerja penerjemahan tersebut, yang dikenal dengan sebutan “Rumah
Kebijaksanaan” (Bayt al-Hikam) (W. Montgomery Watt, 1995 : 44-45)
Gelombang Hellenisme kalau kita memakai isltilah dari Nurcholis
Madjid dalam buku Khazanah Intelektual Islam, merupakan suatu pengalaman yang tercampur
antar manfaat dan mudlarat bagi kaum Muslimin, dan membuat mereka terbagi
anatara yang menyambut dan yang menolak. Respons mereka kepadanya bisa menjadi
ukuran kreativitas orang-orang Islam dalam menghadapi suatu bentuk tantangan
zaman. Sebagian besar umat, khususnya mereka yang berada di bawah naungan
ideoleogi Jama’ah dan Sunnah, semula cukup enggan, kalau tidak memusuhi,
Hellenisme itu. Tapi secara umum terdapat banyak kaum Muslimin yang mempelajari
pemikiran-pemikiran asing itu dengan tekun, disertai kemantapan beragama dan
kepercayaan kepada diri sendiri secukupnya. Mereka ini, dengan kebebasan
berfikir yang besar, mengembangkan filsafat itu dan memberikan watak keislaman
kepadanya. Maka lahirlah suatu disiplin ilmu dalam khazanah intelektual Islam
yang secara tekhnis disebut al-Falasafah. Dari kalangan mereka ini
tumbuh kelompok baru kaum terpelajar muslim, yaitu al-Falasifah (kaum
Failisuf), suatu penamaan khusus kepada kaum intelektual Muslim yang sangat
terpengaruh oleh filsafat Yunani (Nurcholis Madjid, 1994 : 25). Hal tersebut diatas, selaras dengan yang di gambarkan Muhammad Iqbal, bahwa falsafah Yunani merupakan satu
kekuatan budaya yang besar dalam sejarah Islam (Muhammad Iqbal, 1983 : 34).
Harun Nasution
menjelaskan, bahwa di dalam Islam, Al-Qur’an dan Hadits yang menjunjung tinggi
kedudukan akal dan kebebasan berpikir memungkinkan umat, khususnya para ulama
pada zaman klasik, mempelajari kebudayaan Yunani yang rasional itu. Maka
muncullah pemikiran filosofis dalam Islam. Pandangan yang luas serta terbuka
dan pemikiran rasio nal yang terikat hanya pada sedikit ajaran absolute membuat
filosof-filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Razi, Ibn Tufail, Al-Farabi dan
lain-lain, dapat menerima filsafat pytagoras, Plato, Aristoteles, dan
lain-lain, sungguhpun filosof-filosof Yunani itu bukan orang-orang beragama.
Filsafat mereka dengan mudah dapat disesuaikan filosof-filosof Islam itu dengan
ajaran dasar dalam al-Qur’an. Konsep ide tertinggi Plato, penggerak pertama
Aristoteles dan Yang Maha Satu Plotinus mereka indentikan dengan Allah swt (Harun
Nasution, 1994 : 93).
Pengahargaan tinggi pada akal itu menibulkan teologi atau filsafat
hidup bercorak liberal dalam Islam. Akal di anugrahkan Tuhan kepada manusia
itu, dapat mengetahui empat masalah pokok dalam agama. Masalah dasar dan pokok
bagi agama ialah adanya Tuhan Pencipta alam semesta dan asal kebaikan serta
kejahatan. Dalam falsafah hidup ini, akal manusia cukup kuat untuk mengetahui
adanya Tuhan Penciptan dan pemberi rezeki dan untuk membedakan antara perbuatan
baik dan perbuatan jahat. Serta dapat mengetahui Tuhan pencipta dan Pemberi
Rezeki, akal dapat pula mengetahui kewajiban manusia untuk berterima kasih
kepada-Nya. Dan setelah dapat mengetahui mana perbuatan baik dan mana perbuatan
jahat, akal dapat pula mengetahui bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk
menjauhi perbuatan jahat dan melakukan perbuatan baik. Wahyu turun untuk
memperkuat pendapat akal manusia ini dan untuk membuat norma-norma yang
ditentukan akal manusia ini bersifat absolut sehingga dapat ditentang lagi oleh
manusia yang suka membantah. Disamping itu wahyu turun untuk menolong akal
manusia dalam mengetahui hal-hal yang memang terletak diluar jangkauan akal,
yaitu hal-hal yang berhubungan dengan hidup manusia di akhirat sesudah
selesainya hidup duniawi sekarang (Harun Nasution, 1994 : 142).
Diantara para Failisuf itu yang mula pertama secara sistematis,
mempopulerkan filsafat Yunani di kalangan umat ialah Abu Ya’qub ibn Is’haq
al-Kindi (wafaf sekitar 257 H/870 M.) Al-Kindi secara khusus dikenal sebagai
failasuf bangsa arab, tidak saja dalam pengertian etnis (ia berasal dari
selatan Jazirah Arabia, suku Kindah, maka disebut Al-Kindi), tapi juga dalam
pengertian kultural. Ia menghidangkan filsafat Yunani kepada kaum Muslimin
setelah fikiran-fikiran asing dari arah Barat itu “diislamkan”, jika
tidak boleh disebut “diarabkan” (Nurcholis Madjid (edt), 1994 :
25-26).
Jadi, Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam
pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abas. Kelahiran filsafat Islam sebagai satu disiplin
ilmu dalam khazanah intelektua Islam berawal dari gerakan penterjemahan
khususnya karya-karya filsafat Yunani kedalam bahasa Arab yang secara resmi
dipelopori oleh Khalifah Al-Makmun (813-833 M) kaum intelektual Islam yang
mempelajari dan mengembangkan kebebasan berpikir dari Yunani tersebut dinamakan
filsof Islam.
Al-Kindi dan pemikiran filsafatnya
Biografi Al-Kindi
Al-Kindi mempunyai nama lengkap Abu Yusuf Ya’kub bin Ishak
al-Kindi. Orang-orang barat menyebutnya Al-Kindus. Ia berasal dari Arab Selatan
dan lahir sekitar 809 M di Kufah. Ia terlahir dari keluarga kaya dan terhormat (Wahyu
Murtiningsih, 2012 : 238-239). Ayahnya, Ishaq, adalah gubernur Kufah di masa
pemerintahan al-Mahdi (775-785) dan al-Rasyid (786-809), dan nenek-neneknya adalah raja di daerah Kindah dan sekitarnya
(Arabia Selatan) (Ahmad Hanafi, 1991 : 73).
Al-Kindi
adalah filosof Arab pertama yang memelopori penerjemahan sekaligus mengenalkan
tulisan atau karya-karya para filosof Yunani di dunia Islam, terutama pada abad
pertengahan di masa pemerintahan khalifah al-Ma`mun (813-833) yang
mengundangnya untuk mengajar di Baitul Hikmah. Al-Kindi hidup di masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mulai dari khalifah al-Amin (809-813),
al-Ma`mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842), al-Watsiq (842-847), dan
al-Mutawakkil (847-861). Al-Kindi hidup dalam atmosfer intelektualisme yang
dinamis saat itu, khususnya di Baghdad dan Kufah, yang berkembang beragam
disiplin ilmu pengetahuan: filsafat, geometri, astronomi, kedokteran,
matematika, dan sebagainya. Ahmad Hanafi, menjelaskan bahwa Al-kindi mengalami
kemajuan pikiran Islam dan penerjemahan buku-buku asing kedalam bahasa Arab,
bahkan ia termasuk pelopornya. Bermacam-macam ilmu telah dikajinya, terutama
filsafat, dalam suasana yang penuh pertentangan agama dan mazhab, dan yang
dibanjiri oleh paham golongan Mu’tazilah serta ajaran-ajaran Syiah. Al-Kindi
tidak hanya dikenal sebagai penerjemah, tetapi juga menguasai beragam disiplin
ilmu lainnya, seperti kedokteran, matematika, dan astronomi (Ahmad Hanafi, 1991
: 73).
Menurut
Sirajuddin Zar (2009 : 43) beberapa karya tulis Al-Kindi adalah:
1)
Fi
al-falsafah al-Ula
2)
Kitab
al-Hassi ‘ala Ta’allum al-Falsafat
3)
Risalah
ila al-Ma’mun fi al-‘illat wa Ma’lul
4)
Risalah
fi Ta’lif al-A’dad
5)
Kitab
al-Falsafat al-dakhilat wa al-Masa’il al-Manthiqiyyat wa al Mu’tashah wa ma
Fauqa al-Thabiyyat
6)
Kammiyat
kutub Aristoteles
7)
Fi
al-Nafs
Dari
urain karya tulis di atas dapat dijadikan bukti tentang luasnya wawasan
Al-Kindi. Bahkan, beberapa karya tulisnya telah diterjemahkan oleh Gerard
Cremona ke dalam bahasa Latin., yang sangat mempengaruhi pemikiran Eropa pada
abad pertengahan.
Pervez
Hoodbhoy, menggambarkan bahwa Al-Kindi di istana Al-Ma’mun bagaikan bintang
yang bersinar terang di pusat kebudayaan dunia yang terpenting. Aktivitas
intelektualnya mempertahankan semangat mereka dalam kekuasaan selanjutnya yang
dipegang oleh Khalifah Al-Mu’tashim yang bermazhab pemikiran rasional, dan lalu
pada zaman kekuasaan Al-Watsiq. Tetapi kemudian al-Mutawakkil yang Sunni
Ortodoks naik ke tampuk kekuasaan, dan bersamaan dengan itu berakhirlah masa
liberalisme yang berlangsung lama. Tidak sulit bagi ulama untuk menyakinkan
penguasa bahwa para filsofof mempunyai keyakinan yang berbahaya. Al-Mutawakkil
segera memerintahkan penyitaan perpustakaan pribadi sang pakar, yang dikenal
oleh seluruh warga Baghdad sebagai Al-Kindiyah. Tetapi tidak hanya itu, filosof
Muslim yang berusia enam puluh tahun ini juga menerima 50 cambukan di hadapan
kerumunan orang banyak. Para peneliti yang merekam peristiwa tersebut
mengatakan bahwa kerumunan tersebut menyoraki setiap cambukan (Pervez
Hoodbhoy, 1997 : 142).
Lebih
lanjut Pervez Hoodbhoy menjelaskan, jauh sebelum kematiannya pada tahun 873 M.
pada usia tujuh puluh dua tahun, Al-Kindi mengalami keterasingan dalam waktu
yang lama. Meskipun salah seorang sahabatnya berhasil mendapatkan kembali
perpustakaannya melalui semacam pemerasan terselubung, dia tak pernah
benar-benar sembuh dari trauma pencambukan atas dirinya di depan khalayak.
Al-Kindi adalah tokoh utama pertama yang menjadi kurban reaksi kaum ortodoks
terhadap rasionalisme (Pervez Hoodbhoy, 1997 : 142).
Umat
Muslim pada zaman dahulu sangat menentang untuk mempelajari filsafat, karena
dikhawatirkan akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat kepada Tuhan. Meskipun
demikian, jasa Al-Kindilah yang membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses
dan yang telah membangun fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang
jarang dan sulit, yang sebagian diantaranya kemudian dikembangkan dan
diteruskan oleh filsof-filsof selanjutnya.
Pemikiran filsafat Al-Kindi
Perpaduan Filsafat dan Agama
M.M. Syarif, dalam
buku Para Filosof Muslim (1996 : 14) menjelaskan bahwa di kalangan kaum
Muslimin, orang yang pertama-tama memberikan pengertian filsafat dan
lapangannya ialah Al-Kindi. Dia adalah satu-satunya orang yang berdarah Arab
murni yang terkenal dalam bidang filsafat.
Menurut
Al-Kindi, filsafat hendaknya diterima sebagai bagian dari tradisi dan kebudayaan Islam. Berdasarkan ini, para
sejarawan Arab awal menyebut Al-Kindi sebagai “Filsof Arab”. Memang,
gagasan-gagasannya itu berasal dari Aristoteliansime Neo-Platonis, namun juga
benar bahwa ia meletakkan gagasan-gagasan itu dalam konteks baru. Dengan
mendamaikan warisan-warisan Hellenistis dengan Islam, dia melatakkan asas-asas
sebuah filsafat baru. Sungguh, perdamaian ini, untuk jangka lama, menjadi ciri
utama filsafat ini. Al-Kindi juga mengkhususkan
diri dalam semua ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya saat itu, dengan tulisan-tulisannya
memberikan cukup bukti dan menjadikan filsafat sebagai suatu kajian menyeluruh yang mencakup seluruh ilmu (M.M.
Syarif (edt)., 1996 : 14).
Al-Kindi
sebagai filosof pertama dalam Islam, diantara filsafat yang ia majukan ialah
rekonsiliasi antara filsafat dan agama. Filsafat, menurutnya, membahas tentang
yang benar (al-haqq). Filsafat dalam membahas yang benar, terutama al-haqq
al-awwal (Tuhan) memakai akal, sedang agama dalam menjelaskan hal yang
sama, disamping wahyu, juga akal. Dengan demikian akal tidak hanya dipakai oleh
fisafat saja tetapi juga oleh agama. Atas dasar inilah antara keduanya tidak
bertentangan (Sirajuddin Zar, 2006 : 26).
Pada
asas pokok filsafatnya ini, Al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti,
bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya
adalah ilmu dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar
keduanya dapat dilihat dari penjelasan al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan
agama memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal;
a)
ilmu
agama merupakan bagian dari filsafat.
b)
wahyu
yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian.
c)
menurut
ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama,
d)
teologi
adalah bagian dari filsafat dan umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat (M.M.
Syarif (edt), 1996 : 17).
Para Nabi memperoleh pengetahuan
yang berasal dari wahyu tanpa upaya yang keras dan tanpa memerlukan wahyu untuk
memperolehnya. Pengetahuan yang demikian ini adalah pengetahuan yang paling
benar dan paling haqiqi. Pengetahuan tersebut terjadi atas kehendak Allah. Nabi
dapat menjawab suatu pertanyaan dengan tepat dan cepat yang tidak bisa
dilakukan oleh para filosof. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa kemungkinan
terdapat orang yang selain Nabi yang memperoleh pengetahuan isyraqi, namun
derajatnya di bawah Nabi dan hal itu terjadi pada orang-orang yang suci
jiwanya. Uraian tersebut memberikan kesan bahwa pengetahuan para Nabi yang
diperoleh dengan wahyu lebih meyakinkan kebenarannya daripada pengetahuan
filosof yang tidak berasal dari wahyu. Al-Kindi menyadari keadaan dan kemampuan
dirinya, dan menyatakan bahwa kebenaran wahyu tetaplah kebenaran yang paling
mutlak dan berada diatas akal dan lainnya.
Bagi Al-Kindī,
filsafat Islam didasarkan kepada al-Qur’Än. Al-Qur’Än memberikan
pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki, misalnya tentang teori
penciptaan, hari kebangkitan, kiamat dsb. Hal tersebut menurut Al-Kindī sangat
meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga al-Qur’Än telah mengungguli
dalih-dalih para filsuf (Dedi Supriyadi, 2009 : 63).
Al-Kindi adalah sebagai perintis filasafat murni dalam dunia Islam.
Al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia, yaitu ilmu
pengetahuan mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama dan merupakan sebab
dari semua realitas lainnya. Ia melukiskan filsafat sebagai ilmu dan kearifan
dari segala kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat kedudukan agama dan
merupakan bagian dari kebudayaan Islam (Ensiklopedi Islam, 1994 : 70).
Dalam risalahnya yang ditujukan kepada al-Mu’tasim ia menyatakan bahwa
filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa
ditinggalkan oleh setiap orang yang berfikir. Kata-katanya ini ditujukan kepada
mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai
ilmu-kafir dan menyiapkan jalan menuju kekafiran. Sikap mereka inilah yang
selalu menjadi rintangan bagi filosof-filosof Islam, terutama pada masa Ibn
Rusyd (Ahmad Hanafi, 1990 : 74).
Menurut Al-Kindi, kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari
mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada suatu yang
lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremehkan
dan merendahkan orang yang menerimanya (Abdus Salam, 1983 : 11).
Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaanNya, dan keutamaan serta
ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang
bermamfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudharat. Hal ini juga dibawa oleh
para rasul Allah, dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan
keutamaan yang diridhai-Nya (Sirajuddin Zar, 2009 : 44).
Al-Kindi juga menghadapkan argumennya kepada orang-orang agama yang
tidak senang dengan filsafar dan filosof, jika ada orang yang mengatakan bahwa
filsafat tidak perlu, mereka harus memberikan argument dan menjelaskannya.
Usaha pemberian argument tersebut merupakan bagian dari pencarian pengetahuan
tentang hakikat, untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika mereka harus
memiliki pengetahuan filsafat. Kesimpulannya bahwa filsafat harus dimiliki dan
dipelajari (Sirajuddin Zar, 2009 : 48).
Sesuai dengan pendirian Al-Kindi,
bahwa filsafat harus memilih, maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk mencarinya dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang yang sebelumnya
dan menguraikan sebaik-baiknya (Poerwantana
dkk, 1987 : 103-104)
Dari paparan di atas
dapat disimpulkan hahwa Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha
pemaduan antara filsafat dengan agama atau antara akal dan wahyu. Dalam hal ini
dapat dikatan bahwa al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting di
pentas filsafat Islam, sehinga ia melapangkan jalan bagi para filosof Islam yang
datang kemudian.
Kalau ada perbedaan antara filsafat
dengan agama, maka perbedaan itu hanya dalam cara, sumber, dan ciri-cirinya,
sebab ilmu nabi-nabi (agama) diterima oleh mereka sesudah jiwanya dibersihkan
oleh Tuhan dan disiapkan untuk menerima pengetahuan (ilmu) dengan cara luar
biasa diluar hukum alam.
Filsafat
Ketuhanan Al-Kindi
Tuhan menurut
Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali,
ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah
keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama
filasfatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah
menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan tentang
Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang Benar
Tunggal (al-Haqq al-WÄhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian
corak filsafat Al-Kindī adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori
kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai
kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika, dan konsep
Tuhan (Sayyed Hossein Nasr, 2003 :
210).
Menurut
Ahmad Hanafi, persoalan metafisika (ketuhanan) dibicarakan oleh Al-Kindi dalam
beberapa risalahnya, antara lain risalah yang berjudul “Tentang Filsafat
Pertama” dan “Tentang Keesaan Tuhan dan Berakhirnya Benda-benda Alam”.
Pembicaraan dalam soal ini meliputi hakikat Tuhan, wujud Tuhan dan sifat-sifat Tuhan
(Ahmad Hanafi, 1991 : 77).
Argumentasi
kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran Al-Kindī dalam menjelaskan
ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab
kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah
sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab
dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak.
Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep
sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi
filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus ada yang
Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari segala
sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini (Sayyed Hosein
Nasr (edt)., 2006 : 210).
Oleh
karena itu menurut Sayyed Hosein Nasr, sebagaimana yang dinyatakan Al-Kindi,
sebab pertama dapat diekspolarsi, dan akal pertamalah yang mentransmisikan ”pengetahuan
yang paling pasti“ tentangnya, hal tersebut merupakan “bukti tentang
Ketuhanan-Nya dan penjelasan tentang Keesaan-Nya”. Meskipun kepastian
intelektual tentang Tuhan dan Ketuhanan dapat dicapai, Al-Kindi mengakui pada
akhir risalahnya bahwa intelek hanya mampu menggambarkan Tuhan dalam
terma-terma negatif (Sayyed Hosein Nasr (edt)., 2006 : 213).
Terma-terma
negatif tentang Tuhan bagi Al-Kindi, gagasan Islam tentang Tuhan adalah
keesaan-Nya, penciptaan oleh-Nya dari ketakadaan, dan ketergantungan semua
ciptaan-Nya, ketunggalan-Nya, ketakterlihatan-Nya, ketakterbagian-Nya.
Sifat-sifat ini, dalam Al-Qur’an, dinyatakan tak filosofis atau dialektis.
Al-Kindi menyifati Tuhan dengan istilah-istilah baru. Tuhan adalah yang benar.
Ia tinggi, Ia bukan materi, tak berbentuk, tak berjumlah, Ia tak berjenis, tak
terbagi, tak berkejadian, dan Ia abadi, oleh karena itu, Ia Maha Esa (wahdah).
Selain-Nya berlipat (M. M. Syarif (edt,) 1996 : 21). Al-Kindi dalam mengesakan Allah amat menekankan ketidak samaan-Nya
dengan ciptaan-Nya.
Al-Kindi
membahas hakikat dasar itu. Ia melihat bahwa di alam ini banyak yang benar,
maka pemikirannya sampai kepada kesimpulan bahwa kalau ada yang benar mesti ada
Yang Benar Pertama (Al-Haqq Al-Awwal), mesti ada Yang Maha Benar. Yang
Benar Pertama inilah yang disebut Allah. Dan Ia Satu-satunya Yang Benar (Al-Haqq
Al-Awwal). Ia esa, Ia Unik, dan selain-Nya mengandung banyak arti (Harun
Nasution, 1994 : 356).
Menurut Al-Kindi Allah
adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada, Ia
mustahil tidak ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud yang sempurna dan
tidak didahului oleh wujud lain. Wujudnya tidak berakhir sedang wujud yang lain
disebabkan wujud-Nya. Ia adalah maha esa yang tidak ada dibagi-bagi dan tidak
ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek, Ia tidak melahirkan dan
tidak dilahirkan (Sirajuddin Zar, 2009 : 48).
Filsafatnya tentang
keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga pada proposisi filosofis.
Menurut Al-Kindi, Tuhan itu tidak mempunyai hakikat, baik hakikat secara “juziyyah”
atau “aniyah” (sebagian) maupun hakikat secara “kulliyah” atau
“mahiyah” (keseluruhan). Tuhan bukan benda yang mempunyai sifat fisik dan
tidak pula termasuk dalam benda-benda di alam ini. Tuhan tidak tersusun dari
materi (al-hayūla) dan bentuk (al-shūrat) tidak merupakan genus
atau spesies. Tuhan adalah Pencipta (Khaliq). Tuhan adalah Yang Maha Pertama (al-Haqq
al-Awwal) dan Yang Maha Tunggal (al-Haqq al-Wahid) (Ensiklopedi
Islam, 1994 : 70).
Al-Kindi juga menolak
pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah
merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada
obyek-obyek yang dapat ditangkap indera. Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki
sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi
sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dari Zat-Nya (Ensiklopedi,
1994 : 70).
Al-Kindi dalam
membuktikan adanya Tuhan, ia memajukan tiga argument yaitu:
1)
Baharunya alam. Dalam
hal ini al-Kindi mengemukkan pertanyaan secara filosofis; apakah mungkin
sesuatu menjadi penyebab bagi wujud dirinya? Dengan tegas al-Kindi menjawab;
tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan waktu, setiap yang mempunyai
permulaan akan ada sesudahnya, justru itu setiap benda atau alam pasti ada yang
mewujudkannya, mustahil benda itu sendiri yang menjadi penyebabnya. Maka yang
mewujudkannya itulah Tuhan.
2)
Keaneka ragaman dalam
wujud. Menurut al-Kindi dalam alam empiris ini tidak mungkin ada keanekaragaman
tanpa ada keseragaman atau sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman dan keragaman
ini bukan sekedar kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan dan yang merancangnya.
Sebagai penyebabnya mustahil alam itu sendiri.kalau penyebabnya alam itu sendiri,
maka akan terjadi rangkaian yang tidak akan habis-habisnya. Sementara sesuatu
yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Karena harus ada ‘illat atau
syarat yang berada di luar alam itu sendiri. Itulah Tuhan Allah SWT.
3)
Kerapian alam. menurut
al-Kindi bahwa alam empiris ini tidak mungkin terkendali dan teratur tanpa ada
yang mengatur. Pengendali dan pengatur tentu berada di luar alam. Zat itu tidak
terlihat pada ala mini. Itulah adanya Tuhan (Sirajuddin Zar, 2009 : 53-54).
Pertama-tama
Al-Kindi menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya
sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz’iyyÄt (particular).
Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyÄt yang jumlahnya tak
terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat
dalam partikular itu, yakni kulliyÄt (universal). Tiap-tiap benda
memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan
hakikat kulli yang disebut mÄhiyah yakni hakikat yang bersifat
universal dalam bentuk genus dan spesies (Dedi Supriyadi, 2009
: 56).
Bagi Al-Kindi Pencipta itu tidaklah banyak, melainkan Maha Esa, tidak
berbilang. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi sejauh-jauhnya dari gambaran para
penyeleweng agama (al-mulhidun). Dia tidak menyerupai alam ciptaan;
karena sifat banyak itu ada secara nyata pada setiap ciptaan (al-khalaq),
dan sifat itu samasekali tidak ada pada-Nya. Juga karena Dia itu Pengada,
sedangkan semua ciptaan itu diadakan. Dan karena Dia adalah yang langgeng,
sedang yang lain itu tidak langgeng; sebab yang mengalami perubahan adalah
berarti berubah berbagai keadaannya, dan yang berubah itu tidak langgeng (Nurcholis
Madjid (edt)., 1994 : 94).
Filsafat Jiwa (Al-Nafs)
dan Akal
Didalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, tidak menjelaskan secara tegas
tentang roh atau jiwa. Bahkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam
menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu
adalah urusan Allah bukan urusan manusia (Lihat Al-Isra (17): 18). Oleh karena
itu kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang
dikemukakan oleh filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam
(Sirajuddin Zar, 2009 : 59).
Jiwa atau roh adalah
salah satu pokok pembahasan Al-Kindi, bahkan Al-Kindi adalah filsuf Muslim
pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi berpendapat
bahwa roh mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dengan tubuh dan tidak
tergantung satu sama lainnya (Ensiklopedi Islam, 1994 : 70). Jiwa
bersifat rohani dan Ilahy. Sementara itu jisim mempunyai hawa nafsu dan marah.
Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith ( tunggal,
tidak tersusun, tidak panjang, dalam dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting,
sempurna, dan mulia. Substansi (jauhar)-nya berasal sari sustansi Allah.
Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari (Sirajuddin
Zar, 2009 : 59).
Argument tentang beda
jiwa dengan badan, menurut Al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu.
Apabila nafsu marah mendorong menusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa yang
menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang
tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang (Sirajuddin zar,
2009 : 59).
Dalam hal ini pendapat Al-Kindi
lebih dekat dengan pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa
dan badan adalah kesatuan accident, binasanya badan tidak membawa binasa
pada jiwa, namun ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa
berasal dari alam idea (Sirajuddin Zar, 2009 : 60).
Al-Kindi membagi jiwa
atau roh ke dalam tiga daya, yaitu daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwaniyah)
yang terdapat di perut, daya pemarah (al-quwwah al-gadabiyah) yang
terdapat di dada, dan daya berfikir (al-quwwah al-natiqah) yang berpusat
di kepala (Harun Nasution, 1985 : 9). Daya yang terpenting adalah daya
berfikir, karena daya itulah yang mengangkat eksistensi manusia kederajat yang
lebih tinggi (Ensiklopedi Islam, 1994 : 70).
Al-Kindi membandingkan
daya bernafsu pada manusia dengan babi, daya marah dengan anjing, dan daya
pikir dengan malaikat. Jadi, orang yang dikuasai oleh daya bernafsu, tujuan
hidupnya seperti yang dimiliki oleh babi, siapa yang dikuasai oleh nafsu marah,
ia bersifat seperti anjing, dan siapa yang dikuasai oleh daya pikir, ia akan
mengetahui hakikat-hakikat dan menjadi manusia utama yang hampir menyerupai
sifat Allah, seperti bijaksana, adil, pemurah, baik, mengutamakan kebenaran dan
keindahan (Sirajuddin Zar, 2009 : 61).
Menurut Al-Kindi, tidak
semua roh yang lanjut pergi ke alam kebenaran, hanya roh yang telah suci saja
yang bisa mencapainya. Al-Kindi tanpaknya tidak percaya dengan kekekalan
hukuman terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh
keselamatan dan naik ke alam akal yang berada di lingkungan cahaya Tuhan. Roh
yang telah memasuk wilayah tersebut telah dapat melihat Tuhan. Karena itu
senantiasa roh mendambakan penyatuan kembali dengan sumbernya. Roh yang
bersihlah dapat menyatu dengan sumbernya. Menurutnya roh yang kotor harus
dibersihkan dulu ke bulan, kemudian lanjut ke Mercurius dan seterusnya hingga
sampai ke alam akal yang berada dilingkuangan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan (Ensiklopedi
Islam, 1994 : 71).
Selanjutnya Al-Kindi
membagi akal pada empat macam. Ia membagi akal terbiasa menjadi dua: akal yang
memiliki pengetahuan tanpa memprakteknya, dan akal yang mempraktekkan
pengetahuan. Yang pertama, seperti penulis yang telah belajar menulis, dan
karenanya ia memiliki senin menulis ini: sedang yang kedua, seperti orang yang
mempraktekkan seni menulis itu. Pembagian akal itu adalah;
1) Akal yang selalu bertindak dalam aktualitas (al-‘aql al-lazi bi
al-fi’il Abadan).
2)
Akal yang secara
potensial berada di dalam ruh (al-aql bi al-quwwah).
3) Akal yang telah berubah, di dalam ruh, dari daya menjadi aktual (acquired
intellect).
4)
Akal yang kita sebut
akal yang kedua. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai
tingkat kedua dari aktualitas, sebagaimana dipaparkan di atas dalam membedakan
antara yang Cuma memiliki pengetahuan dan yang mempraktekkannya. Ia dapat
diibaratkan dengan proses penulisan kalau seseorang sunguh-sungguh melakukan
penulisan. (M.M. Syarif (edt)., 1996 : 27).
Al-Razi
dan Pemikiran Filsafatnya
Biografi Al-Razi
Abu Bakar Muhummad bin Zakariya Al-Razi dikenal di Barat dengan
nama Rhazes. Ia adalah seorang ilmuwan Iran yang hidup sekitar tahun 864-930 M.
Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang dulu bernama Rhoge, dekat Teheran,
Republik Islam iran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Pada awal kehidupannya, ia
sangat tertarik dengan seni musik. Namun demikian, ia juga tertarik dengan
ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, sehingga kebanyakan masa hidupnya dihabiskan
untuk mengkaji ilmu kimia, filsafat, logika, matematika, dan fisika. Meskipun
di Barat ia lebih dikenal sebagai ahli kedokteran, akan tetapi karya
filsafatnya sangat mengagumkan (Wahyu Murtiningsih, 2012 : 318).
Perlu pula diingatkan bahwa lingkungan Al-Razi tempat ia
berdomisili, telah dimaklumi bahwa Iran, yang sebelumnya dikenal dengan sebutan
Persia, sejak lama sudah dikenal dengan sejarah peradaban manusia. Kota ini
merupakan tempat pertemuan berbagai peradaban, terutama peradaban Yunani dan
Persia. Dalam bidang penyatuan kebudayaan Persia dan Yunani inilah terletaknya
salah satu jasa dari Alexander Yang Agung pada tahun 331 SM (Harun Nasution,
1993 : 8). Suasana lingkungan ini termasuk yang mendorong Al-Razi tampil
sebagai intelektual.
Al-Razi dikenal sebagai dokter yang dermawan, penyayang kepada
pasien-pasiennya, karena itu ia sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin. Karena reputasinya
dibidang kedokteran ini, Al-Razi pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit di
Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al-Mansur ibnu Ishaq. Kemudian ia pindah
ke Baghdad dan memimpin rumah sakit disana pada masa pemerintahan Khalifah
Al-Muktafi. Setelah Al-Muktafi meninggal, ia kembali ke kota lahirnya dan
meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 27 Oktober 925 M dalam usia 60
tahun (Sirajuddin Zar, 2009 : 115).
Al-Razi dalam autobiografinya pernah ia katakana, bahwa ia telah
menulis tidak kurang dari dua ratus buah karya tulis dengan berbagai bidang
ilmu pengetahuan. Karya tulisnya dalam bidang kimia yang terkenal ialah kitab Al-Asrar
yang diterjemahkan kedalam bahasa latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang
medis karyanya yang terbesar ialah Al-Hawi yang merupakan ensiklopedia
ilmu kedokteran, diterjemahkan kedalam bahasa latin dengan judul Continens yang
tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama di kalangan kedokteran Eropa
sampai abad ke-17 M (Sirajuddin Zar, 2009 : 116).
Bukunya dalam bidang kedokteran juga ialah Al-Mansuri Liber
Al-Mansoris 10 jilid disalin ke dalam berbagai bahasa barat sampai abad
ke-15 M. Kitab Al-Judar wa Al-Hasbah ditulisnya yang berisikan analisis
tentang penyakit cacar dan campak beserta pencegahannya, diterjemahkan orang ke
dalam berbagai bahasa barat dan terakhir ke dalam bahasa Inggris tahun 1847 M,
dan dianggap buku bacaan wajib ilmu kedokteran barat. Kemudian, buku yang
lainnya ialah Al-Thabib Al-Ruhani, Al-Sirah Al-Falsafah, dan lainnya.
Sebagian karya tulisnya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama Al-Rasa’il
Falsafiyyat (Sirajuddin Zar, 2009 : 116).
Lenn E. Goodman (2006 : 243) menjelaskan bahwa Al-Razi
seorang yang kaya raya. Pengarang kurang-lebih dua ratus karya ini diriwayatkan
telah mengajar filosof/penerjemah Kristen Yacobit, Yahya ibn ‘Adi (839-973 M)
dan disebut sebagai “dokter Islam yang tak tertandingi”. Akan tetapi, para
filosof terkemudian umumnya menolak dengan penuh kejijikan gagasan-gagasan
filsafatnya, walaupun mereka dipengaruhi olehnya dalam bentuk mengeluarkan
bantahan.
Pandangan-pandangan Al-Razi yang tidak konvensional benar-benar
menjadikan dirinya tidak disenangi oleh seluruh kaum Muslimin. Meskipun
mengagumi pengetahuan Al-Razi, penulis-penulis sesudahnya mengecamnya karena
dia berbicara secara terang-terangan tentang keunggulan akal atas wahyu, bahkan
Al-Biruni terang-terangan mengecam Al-Razi dan menyatakan kebutaannya sebagai
hukuman Tuhan. Dilaporkan bahwa kebutaan tersebut berasal dari hukuman yang
diberikan kepadanya oleh seorang emir yang adalah salah seorang anggota
keluarga Al-Mansyur yang bermukim di Bukhara. Emir yang marah ini memerintahkan
supaya kepala Al-Razi digampar dengan buku. Setelah kehilangan penglihatannya,
Al-Razi juga kehilangan semangat unutk hidup. Tidak lama sesudah itu dia
meninggal dunia (Pervez Hoodbhoy, 1997 : 143).
Pemikiran
Filsafat Al-Razi
Lima Kekal (Lima Kadim)
Al-Razi, di antara filsafat yang ia kemukakan ialah filsafat lima
Kadim, yakni Allah, Jiwa Universal, Materi Pertama, Ruang Absolut dan Zaman
Absolut. Kendatipun ada lima yang kadim, namun kadim Tuhan berbeda dengan kadim
yang lain. Tuhan kadim tidak berasal dari sesuatu dan tidak diciptakan. Ia ada
sendiri dan Maha Pencipta. Sedang kadim yang lain diciptakan oleh Tuhan. Materi
kadim dalam arti diciptakan sejak zaman tidak bermula, bukan dari tiada, tapi
dari sesuatu yang sudah ada (Sirajuddin Zar, 2006 : 27).
Harun Nasution menjelaskan, filsafat
Al-Razi terkenal dengan ajaran filsafat Lima Kekal (Kadim), yakni Al-Bary
Ta’ala (Allah Ta’ala), al-Nafs al-Kulliyyat (Jiwa Universal), al-Hayula
al-Ula (Materi Pertama), al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut),
dan al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut) (Harun Nasution, 1993 : 8).
Sistematika filsafat lima
kekal Ar-Razi dapat djelaskan sebagai berikut:
Al-Bary Ta’ala
Menurut Al-Razi, Allah Maha Pencipta dan Pengatur Seluruh alam
diciptakan Allah bukan dari tidak ada (creation ex nihilo), tetapi dari
bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak kadim,
baharu, meskipun materi asalnya kadim, sebab penciptaanya disini dalam arti
disusun dari bahan yang telah ada (Sirajuddin Zar, 2009 : 117).
Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi,
tidak dapat dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam
yang tersusun dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit berasal dari
materi pertama yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain, jika Allah
menciptakan alam dari tiada, tentu ia terikat pada penciptaan segala sesuatu
dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat.
Namun kenyataannya, penciptaan seperti itu suatu hal yang tidak mungkin (Sirajuddin
Zar, 2009 : 118).
Timbulnya doktrin adanya yang kekal
selain Allah, dalam filsafat Al-Razi ini, agaknya disebabkan filsafat adanya
Allah yang merupakan sumber Yang Esa yang tetap. Namun demikian, kekalnya yang
lain tidak sama dengan kekalnya Allah.
Al-Nafs Al-Kulliyyat (Jiwa Universal)
Jiwa Universal merupakan al-Mabda al-Qadim al-Sany (sumber
kekal yang kedua). Pada benda-benda alam tersebut terdapat daya hidup dan
gerak, sulit diketahui karena tanpa bentuk, yang berasal dari jiwa universal
yang juga bersifat kekal. Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, sulit
diketahui karena ia tanpa rupa, tetapi karena ia di kuasai naluri untuk bersatu
dengan al-hayula al-Ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa
yang dapat diterima fisik. Sementara itu, materi pertama tanpa fisik. Allah datang
menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia yang
ditempati roh (Sirajuddin Zar, 2009 : 118).
Begitu pula Allah menciptakan akal.
Ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa
yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang
sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan
kebahagiaan yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan
filsafat. Jiwa yang tidak dapat menyucikan dirinya dengan filsafat, ia akan
tetap tinggal atau berkelana di alam materi. Akan tetapi, apabila ia sudah
bersih, ia dapat kembali ke alam asalnya, saat itu alam hancur dan jiwa serta
materi kembali kepada keadaannya semula (Sirajuddin Zar, 2009 : 118).
Al-Hayula al-Ula (Materi Pertama)
Kemutlakan materi pertama terdiri atas atom-atom. Setiap atom
mempunyai volume (a’zham); kalau tidak, maka dengan pengumpulan
atom-atom itu, tidak dapat dibentuk. Bila dunia dihancurkan, maka ia juga
terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Dengan demikian, materi berasal dari
kekekalan, karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasal dari
ketiadaan. Apa yang lebih padat menjadi unsur bumi, apa yang lebih renggang dari
pada unsur bumi menjadi unsur air, apa yang lebih renggang lagi menjadi unsure
udara, dan yang lebih jarang lagi menjadi unsur api (M.M. Syarif (edt).,
1996 : 44).
Untuk memperkuat pendapatnya tentang
kekekalan materi pertama, Al-Razi memajukan dua argument. Pertama, adanya
penciptaan mengharuskan adanya pencipta. Materi yang diciptakan oleh pencipta
yang kekal tentu kekal pula. Kedua, ketidakmungkinan penciptaan dari creation
ex nihilo. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa alam diciptakan Allah
dari bahan-bahan yang sudah ada (Sirajuddin Zar, 2009 : 119).
Al-Makan al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut)
Ruang dipahami oleh Al-Razi sebagai konsep yang abstrak, yang
berbeda dengan Aristoteles yang mengatakan “tempat” (Totos) tidak bisa
dipisahkan secara logis dari tubuh yang menempati (Sirajuddin Zar, 2009 : 120).
Oleh sebab itu, ruang, menurut Al-Razi, dapat dibedakan menjadi dua macam ruang
; pertama, Ruang Particular (Al-Makan Al-Kully). Ruang yang pertama
terbatas dan terikat dengan suatu wujud yang menempatinya. Ruang tersebut tidak
akan ada tanpa adanya maujud sehingga ia tidak bisa dipahami secara terpisah
dengan maujud. Ruang particular ini akan terbatas dengan terbatasnya maujud,
berubah dan lenyap sesuai dengan keadaan maujud yang ada didalamnya. Sementara
yang kedua tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas. Ruang bagi Al-Razi,
bisa saja berisi wujud atau yang bukan wujud karena adanya kehampaan bisa saja
terjadi. Sebagai bukti ketidak terbatasan ruang, Al-Razi mengatakan bahwa wujud
(tubuh) memerlukan ruang dan ia tidak mungkin ada tanpa adanya ruang, tetapi
ruang bisa ada tanpa adanya wujud tersebut. Kedua, Ruang Universal atau sering
juga disebut al-Khala (kosong) dan ruang inilah yang dikatakan Al-Razi ruang
yang kekal (Sirajuddin Zar, 2009 : 157).
Al-Zaman al-Muthlaq (Masa Absolut)
Menurut Al-Razi, waktu itu kekal. Ia merupakan substansi yang
mengalir (jauhar yajri). Al-Razi menentang mereka (Aristoteles dan
pengikut-pengikutnya) yang berpendapat bahwa waktu adalah jumlah gerak benda,
karena jika demikian, maka tidak mungkin bagi dua benda yang bergerak untuk
bergerak dalam waktu yang sama dengan dua jumlah yang berbeda (M.M. Syarif
(Edt)., 1996 : 46).
Sebagaimana ruang, waktu atau zaman
juga dibedakan Al-Razi antara waktu mutlak (tak terbatas) dan waktu mahshur
(terbatas). Untuk yang pertama ia sebut dengan al-Dhar, bersifat kadim
dan substansi yang bergerak atau mengalir (jauhar yajri). Sementara itu,
waktu mahshur adalah waktu yang bertandaskan pada pergerakan planet-planet,
perjalanan bintang-bintang, dan mentari. Waktu terbatas itu tidak kekal, yang
ia sebut dengan al-Waqiy. Dengan demikian, waktu mutlak atau absolut,
menurut Al-Razi, sudah ada sebelum adanya waktu yang terbatas ini yang terikat
dengan gerakan bola bumi (Sirajuddin Zar, 2009 : 158).
Ada pertentang dalam Islam terhadap konsep lima kekal
(Kadim) Al-Razi. Dalam Islam konsep kekal atau konsep tauhid hanya satu yaitu
Allah, sedangkan Al-Razi menambahkan kekal dengan empat yang lainnya yaitu:
jiwa universal, materi pertama, ruanga absolute, dan masa absolute.
Dijelaskan oleh Prof. Dr. Ris’an Rusli, M.A., pada
perkuliahan tanggal 6 Februari 2013, bahwa kadim yang kadim ada dua, kadimuzzaman
(kadim zaman) dan kadimuzzati (kadim dalam zat/kekal dalam esensi).
Allah swt., masuk dalam kadimuzzaman dan kadimuzzati, yang kekal hanya Allah.
Sedangkan empat kadim yang lain hanya masuk dalam kadimuzzaman, dan ini tidak
bertentangan dengan konsep tauhid dalam Islam karena yang yang benar-benar
kadim hanya Allah swt.
Filsafat
lima yang kekal Al-Razi tersebut mengisyaratkan bahwa di balik dunia fana
terdapat jiwa tak terbatas yaitu Tuhan sebagai Pencipta kosmos, Jiwa Yang
Mutlak yakni ruh tersebut menjelma pada alam, di mana ruh mempunyai
inti yang disebut ide atau berpikir, berupa kekuatan akal yang dipandang
sebagai pancaran Jiwa Universal (an-Nafs al-Kulliyah) Ilahi. Karena itu
kekuatan akal memungkinkan manusia mencapai kebenaran Ilahiyah.
Doktrin
lima hal yang kekal yang menyajikan beberapa kajian tentang waktu, ruang
kehampaan, serta perpindahan jiwa memiliki implikasi luas guna dikembangkan
sebagai dasar pemahaman masalah kosmologi. Filsafat Al-Razi membantu memahami
konsep penciptaan berdasarkan pemahaman atas hakekat Tuhan, alam semesta dan
manusia. Ini menjadikan pandangan-pandangannya mencerminkan sebuah pandangan
teologis tersendiri. Dalam pandangan Al-Razi ruang semesta membentang sangat
luas dan tak terbatas, di mana Tuhan merupakan sentralnya. Tuhan adalah Dzat
Yang Maha Mutlak yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Kekuasaan Tuhan tidak
terbatasi oleh ruang waktu.
Kehendak
(iradah) Tuhan menyemarakkan kehampaan semesta dengan menciptakan alam
dari substansi sederhana menjadi substansi yang terbentuk, kemudian dengan
pancaran kehendak-Nya pula Tuhan membangkitkan gerak dinamika alam. Kehendak
Tuhan untuk mencipta telah memecah kegelapan dan kesunyian semesta dengan
dinamika gerak dan keteraturan hukum alam (sunnatullah).
Akal, Kenabian, dan Wahyu
Bagi al-Razi, akal menjadi kompas utama dalam
kehidupan setiap manusia. Akal diberikan oleh Tuhan kepada setiap insan dalam
kekuatan yang sama. Perbedaan timbul karena pengaruh pendidikan, lingkungan dan
suasana. Manusia bebas untuk menerima ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya.
Sebab, ilmu itulah yang akan menyucikan jiwanya, untuk dapat kembali kepada
Tuhannya.
Al-Razi dikenal
sebagai seorang rasionalis murni. Akal, menurutnya adalah karunia Allah yang
terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat
sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Allah. Oleh
sebab itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekangnya, tetapi harus
memberikan kebebasan padanya dan harus merujuknya dalam segala hal.
Al-Razi adalah
seorang yang bertuhan, tetapi ia tidak mempercayai wahyu dan kenabian. Al-Razi
membantah kenabian dengan alasan-alasan sebagai berikut.
a)
Akal sudah
memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang berguna dan yang
tak berguna. Dengan akal semata kita dapat mengetahui Tuhan dan mengatur
kehidupan sebaik-baiknya. Lalu kenapa dibutuhkan Nabi?
b)
Tiada pembenaran
bagi pengistimewahan beberapa orang yang membimbing semua orang, sebab semua
orang lahir dengan kecerdasan yang sama; perbedaannya bukanlah karena pembawaan
alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan.
c)
Para nabi
saling bertentangan. Bila mereka berbicara atas nama satu Tuhan yang sama,
mengapa terdapat pertentangan? (M.M. Syarif, 1996 : 47).
Sang Pencipta memberikan dan menganugrahkan
akal agar dengan demikian bisa beroleh
manfaat sebanyak-banyaknya yang ada di alam untuk kita raih dan capai, di dunia
ini dan di akhirat nanti. Akal adalah anugrah yang terbesar dari tuhan kepada
manusia, dan tidak ada sesuatupun yang melamlauinya dalam memberi manfaat dan
faedah bagi manusia. Dengan akal manusia dilebihkan dari hewan-hewan yang tak
berakal, agar bisa menguasai dan mengurus mereka. Dengan akal, manusia bisa
mencapai segala sesuatu yang meninggikan dan membuat manis dan indah hidup ini,
dan dengannya manusia dapat beroleh tujuan serta keinginannya.
Dengan akal manusia memahami pembuatan dan
penggunaan kapal, sehingga manusia dapat mencapai negeri-negeri terjauh yang
dipisahkan samudra dan lautan yang luas. Dengan akal manusia memanfaatkan
memanfaatkan ilmu kedokteran dengan berbagai faedah bagi tubuh manusia dan
segenap bentuk seni lainnya yang member manfaat bagi manusia (Muhammad Bin
Zakaria Al-Razi, 199 : 31).
Dengan akal, manusia memahami hal-hal yang
samar dan kabur, hal yang tersembunyi dan rahasia darinya. Dengan akal, mausia
memahami bentuk bumi dan langit, ukuran matahari, bintang-bintang, dan bulan.
Dengan akal, manusia bisa meraih bahkan pengetahuan tentang Tuhan Maha Agung.
Bagi Al-Razi, akal adalah sesuatu yang tanpanya
keadaan manusia seperti binatang buas, keadaan anak-anak dan orang gila. Akal
adalah dengannya manusia menggambarkan bebagai laku intelektual sebelum tampak
dan tercerap oleh panca indera sehingga manusia melihat persis seolah-olah ia
mencerapnya (Muhammad Bin Zakaria Al-Razi, 1994 : 32).
Meskipun Al-Razi seorang rasionalis murni ia
tetap bertuhan hanya ia tidak mengakui adanya wahyu dan kenabian. Al-Razi tidak percaya kepada nabi-nabi, sebab nabi itu hanyalah pembawa
kehancuran bagi manusia, ajaran nabi-nabi itu saling bertentangan, pertentangan itu akan membawa kehancuran manusia. Menurutnya para
nabi tidak berhak mengklaim bahwa dirinya mempunyai keistimewaan khusus, baik
pikiran maupun rohani, karena semua orang itu sama dan keadilan Tuhan serta
hikmahnya mengharuskannya untuk tidak membedakan antara seorang dengan yang
lainnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwasanya tidaklah masuk akal bahwa Tuhan
mengutus para nabi padahal mereka tidak luput dari pada kesalahan dan
kekeliruan. Setiap bangsa hanya percaya kepada nabinya dan tidak percaya kepada
nabi bangsa lain dan akibat dari inilah banyak terjadi konflik,
peperangan dan kebencian antara bangsa karena kefanatikan kepada agama yang
dianutnya.
Al-Razi menyanggah
anggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan, manusia memerlukan nabi. Adapun semua
mukjizat kenabian adalah bagian dari mitos keagamaan atau rayuan dan keahlian yang dimaksudkan untuk menipu dan menyesatkan. Ajaran agama saling
kontradiksi karena satu sama lain saling menghancurkan dan tidak sesuai dengan
pernyataan yang mengatakan bahwa realitas permanen. Itu dikarenakan setiap nabi
membatalkan risalah pendahuluannya tetapi menyerukan bahwa apa yang dibawanya
adalah kebenaran dan tidak ada kebenaran yang lain, dan manusia menjadi bingung
tentang pimpinan dan yang dipimpin, panutan dan yang patut.
Kemudian Al-Razi juga mengkritik agama
secara umum. Ia juga menjelaskan kontradiksi Yahudi, Kristen, Mani, dan Majusi
secara rinci. Bahkan lebih lanjut ia katakana tidaklah masuk akal Allah
mengutus para nabi sebab mereka menimbulkan kemudharatan. Setiap bangsa percaya
hanya kepada para nabinya, dan menolak keras yang lain, yang mengakibatkan
terjadinya banyak peperangan keagamaan dan kebencian antar bangsa yang memeluk
berbagai agama yang berbeda (M.M. Syarif (edt)., 1996 : 48).
Ia juga mengkritik secara sistematik
kitab-kitab wahyu Al-Qur’an dan Injil. Ia menolak kemukjizatan Al-Qur’an, baik
gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang
lebih baik dalam gaya yang lebih baik. Ia lebih suka membaca buku-buku ilmiah
daripada Alqur’an (Sirajuddin Zar, 2009 : 122).
Al-Razi juga mempertanyakan wahyu yang didakwahkan oleh para nabi, yang
menganggap kebenarannya tidaklah benar adanya. Al-Qur’an dengan gaya bahasanya
bukanlah mukjizat bagi Nabi Muhammad, ia hanya sebagai buku biasa.
Pertama ia menolak
mukjizatnya Al-Quran baik karena gayanya maupun isinya dan menegaskan adanya
kemungkinan menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik.
Nikmat akal lebihlah
konkrit dari wahyu oleh sebab itu membaca buku-buku filsafat dan ilmu
pengetahuan lainnya lebih berarti dari pada membaca buku-buku agama.
keberlangsungan agama hanyalah berasal dari tradisi, dari kepentingan para
ulama yang diperalat oleh negara, dan dari upacara-upacara yang bagi
kehidupan manusia dari pada kitab-kitab suci. Buku-buku kedokteran, geometri,
astronomi dan logika lebih berguna dari pada Injil dan Al-Qur’an.
Oleh karena itulah tidak masuk akal apabila
Tuhan mengutus para nabi, karena banyak melakukan kemadharatan. Adanya
peperangan yang terjadi diantara berbagai bangsa adalah sebagai akibat percaya
kepada mereka tanpa reserve dengan mempercayai ajaran-ajaran yang dibawa
mereka, kemudian saling bertentangan akhirnya timbul peperangan yang bersifat
keagamaan di dunia.
Bagi Al-Razi, penulis-penulis buku ilmiah ini
telah menemukan kenyataan dan kebenaran melalui kecerdasan mereka sendiri tanpa
bantuan para nabi. Ilmu pengetahuan berasal dari tiga sumber: pemikiran, yang
didasarkan pada logika, tradisi dari pendahulu kepada para pengganti yang
didasarkan pada bukti menyakinkan dan akurat seperti dalam sejarah dan naluri
yang menuntun manusia tanpa memerlukan banyak pemikiran (M.M. Syarif (edt).,
1996 : 47-48).
Banyak kalangan yang mengatakan bahwa Al-Razi
terlalu berani dalam mengembangkan pendapat-pendapatnya, bahkan Harun Nasution
mengatakan bahwa Al-Razi adalah filosof muslim yang berani mengeluarkan
pendapat-pendapatnya sungguhpun ia bertentangan dengan faham yang dianut umat
Islam (Harun Nasution, 1993 : 20-21).
Sirajudin Zar (2009 : 123) menyatakan,
Perlu ditegaskan bahwa tuduhan-tuduhan ini berasal dari lawan debatnya Abu
Hatim Al-Razi, tokoh Syi’ah Ismailyah. Oleh karena itu, beralasan dengan apa
yang dikemukakan oleh Abdul Latif Muhammad Al-‘Abd, bahwa tuduhan-tuduhan
tersebut ganjil, bahkan ia nilai mengandung sentiment. Hal ini lumrah terjadi
bahkan orang yang kalah berusaha untuk memojokkan lawannya agar benci pula pada
orang lain.
Dalam buku al-Thibb al-RÅ«hani tidak
ditemukan keterangan bahwa Al-Razi mengingkari kenabian atau agama, bahkan
sebaliknya ia mewajibkan untuk menghormati agama dan berpegang teguh kepadanya
agar mendapatkan kenikmatan di akhirat berupa surga dan mendapatkan
keuntungan berupa ridha Allah. Lebih jelasnya ia katakan sebagai berikut:
Manusia yang utama dan yang melaksanakan syariah secara sempurna tidak perlu
takut terhadap kematian. Hal ini disebabkan syariah telah menjanjikan
kemenangan dan kelapangan serta (menjanjikan) bisa mencapai kenikmatan abadi (Sirajuddin
Zar, 2009 : 123).
Berdasarkan uraian di atas sulit diterima bahwa
orang yang menghargai agama di cap penyeleweng agama (al-mulhidun).
Bahkan ia dalam buku-bukunya sering menulis shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.
sebagai penghormatannya kepada beliau, dan ia juga mewajibkan untuk memuliakan
para nabi sebab mereka adalah manusia pilihan yang memiliki pribadi mulia
(Sirajuddin Zar, 2009 : 124).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Al-Razi
adalah rasionalis-religius, bukan rasionalis-liberal karena Al-Razi masih
mengakui dan mendasarkan logika kepada agama dan kewahyuan.
KESIMPULAN
Dalam bagian akhir ini, ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Bahwa filsafat
Islam adalah hasil dari asimilasi dari filsafat Yunani, materi atau bahan yang
terdapat dalam sistem filsafat (Islam) ini diambil dari pemikiran Yunani atau
deduksi dari pemikiran tersebut. Oleh karena itu, dalam hal isu dan muatannya,
bisa dikatakan semuanya bersumber dari Yunani, tetapi dalam hal bentuk, sistem
ini jelas mendapat cap Islam. Di dalamnya terkandung orisinalitas yang brilian
pada satu pihak, dan nasibnya yang tragis dalam sejarah Islam pada pihak lain,
karena, gagal memenuhi keinginan kalangan ortodoks maka keberadaannya tidak
dijamin. Akan tetapi tetap merujuk dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi dalam
berpikir, dengan kata lain bahwa Filsafat Islam adalah hasil dialektika antara
wahyu dan akal untuk memahami realitas.
Sebagaimana telah diketahui,
Al-Kindi banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak
kelihatan unsur-unsur filsafat Yunani itu. Oleh karena pemikiran Al-Kindi
banyak mendapat pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat
bahwa Al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat Yunani. Al-Kindi adalah seorang
filosof Islam yang pertama. Namun yang jelas Al-Kindi telah berusaha
mempertemukan filsafat dan agama, atau akal dan wahyu, serta lebih jauh lagi
telah berupaya untuk mengislamkan ide-ide yang terdapat dapat dalam filsafat
Yunani. Ia telah merintis dan melapangkan jalan para filosof sesudahnya.
Tetapi bila pemikirannya
dipelajari dengan seksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi mendapat pengaruh
pikiran filsafat Yunani, tetapi akhirnya ia mempunyai posisi sendiri. Filsafat
Ketuhanan Al-Kindi berasas metafisika, sedangan filsafat Aristoteles di bangun
di atas teori fisika belaka. Ini berarti, konsep Tuhan Al-Kindi berdasarkan
wahyu sedangan pandangan Aristoteles yang anti-metafisik menelurkan
sekularisme.
Al-Razi
adalah seorang dari enam tokoh filsafat di dunia Islam bagian Timur. Rentang
kehidupannya berada di posisi kedua, karakter yang mendasar dari pemikiran
Al-Razi adalah rasionalitas. Ia mesti dipandang sebagai pemikir yang tegar dan
liberal dalam Islam. Al-Razi termasuk filosof yang sangat berani mengemukakan
gagasan-gagasannya tanpa tending aling-aling dalam bidang filsafat baik
mengenai lima kadim yang kekal maupun tentang kenabian dan peranan akal dalam
mencari kebenaran.
Daftar Pustaka
Al-Razi, Muhammad ibn Zakaria 1994, Pengobatan
Ruhani, Mizan, Jakarta
Arkoun, Muhammad dan Garded, Louis 1997. Islam
Kemarin dan Hari Esok. Pustaka, Jakarta.
Hanafi, Ahmad 1991. Pengantar Filsafat
Islam. Bulan Bintang, Jakarta.
Hossein Nasr, Sayyed dan Leaman, Oliver (ed)
2003. Ensiklopedi Filsafat Islam. Mizan, Jakarta.
Iqbal, Muhammad 1983. “The Recontruction of
Religious Thought in Islam” Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam. Bulan
Bintang, Jakarta.
K. Bertens 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat.
Kanisius, Yogyakarta.
Madjid, Nurcholis (edt) 1994. Khazanah
Intelektual Islam. Bulan Bintang, Jakarta.
Murtinngsih, Wahyu 2012, Para Filsof dari
Plato sampai Ibnu Bajjah, Ircisod, Jogjakarta
Nasution, Harun 1983. Akal dan Wahyu dalam
Islam. Universitas Indonesia, Jakarta.
_____________ 1993. Falsafah dan Misticisme
dalam Islam. Universitas Indonesia, Jakarta.
_____________ 1994. Islam Rasional, Gerakan dan
Pemikiran. Mizan, Bandung.
Poerwantana
dkk. 1987, Seluk-Beluk Filsafat Islam, 1987. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Salam Abdus 1983, Sains dan dunia Islam,
Terj. Ahmad Baiquni, Salman ITP, Bandung.
Supriyadi, Dedi 2009, Pengantar Filsafat
Islam; Konsep Filsuf dan Ajarannya. Pustaka Setia, Bandung.
Syarif, M. M. 1996. Para Filosof Muslim.
Mizan, Bandung
Van Hoeve 1994. Ensiklopedi Islam 1994
, Ichtiar Baru, Jakarta
Watt, W. montgotmery 1995. Islam dan
Peradaban Dunia: pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan. Gramedia,
Jakarta.
Zar, Sirajuddin 2006. “Filsafat Islam dalam
Perspektif Era Moderen” dalam Jurnal Keislaman dan Peradaban. IAIN Imam
Bonjol, Padang.
Zar, Sirajuddin 2009. “Filsafat Islam:Filsof
dan filsafatnya. Rajawali Pers, Jakarta.