Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim, jadikan anak-anakku “Afifah Thahirah As Sundus, Muhammad Sayyid Al-Fattah, Muhammad Ayyasy Al Ghaniy, dan Aisyah Ghufairah Az Zahra” anak-anak yang bersifat Siddiq, Amanah, Fathonah, dan Tabligh. Ya Allah Ya Zaljalaliwal Ikroom, jadikan keempat amanah yang Engkau titipkan kepadaku ini para putra-putri yang sukses dan pemimpin pada masanya nanti amiin

PENDEKATAN STRUKTURALIS DALAM STUDI ISLAM



Pendahuluan

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya perkembangan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, yang begitu pesat secara relatif memperpendek jarak perbedaan antar budaya antar satu wilayah dengan wilayah yang lain. Hal demikian, pada gilirannya, juga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap tentang apa yang disebut fenomena agama. Agama untuk era sekarang tidak lagi dapat didekati dan dipahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata-mata (Amin Abdullah, 1996 : 9).
Dalam studi keagamaan kontemporer, telah terjadi revolusi pendekatan dan metode pemahaman keagamaan, dari pemahaman keagamaan yang semula hanya terbatas pada idealita menuju ke arah historisitas, dari yang hanya terbatas pada doktrin ke arah entitas sosiologi, dari diskursus esensi kearah eksistensi (Arfan Mu’ammar, dkk., 2012 : 103).
Perkembangan pendekatan dalam studi agama menunjukkan semakin beragamnya objek dan metode yang digunakan. Dilihat dari objeknya, pendekatan studi  agama dibagi dalam tiga bagian: ajaran, keberagamaan, struktur, dan dinamika masyarakat agama. Menurut Mariasusai Davamoni, objek penelitian agama adalah fakta agama dan pengungkapan. Fakta agama dan pengungkapannya dapat berupa kitab suci, pemikiran dan kesejarahan suatu agama, simbol-simbol, budaya, perilaku, pola keberagamaan, pranata sosial dan struktur sosial (organisasi agama) dan sebagainya (Mariasusai Davamoni (1995 : 21). Metode studi agama yang digunakan dalam mengkaji agama, sangat bergantung objeknya, sebab objeklah yang menetukan metode, bukan sebaliknya. Objek yang berkaitan dengan fakta ajaran (simbol-simbol agama) yang diyakini pemeluknya sebagai yang sakral (Imam Suprayogo, 2001 : 21).
Islam sebagai agama yang di amanahkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada manusia dan sekalian alam. Islam sebagai agama yang diturunkan tersebut sangat memperhatikan keseimbangan. Islam tidak hanya mengejar akhirat saja, akan tetapi Islam memandang kehidupan manusia ini sebagai suatu kesatuan yang utuh dengan berbagai aspeknya. Islam memandang baik zuhud yang tidak berlebihan sebagaimana ia menyuruh dan menganjurkan untuk mencari dunia. Islam menetapkan undang-undang untuk pribadi, keluarga, masyarakat, Negara dan dunia secara menyeluruh. Islam adalah agama yang konprehensif sempurna yang mengatur semua yang ada di alam agar semuanya berjalan sesuai dengan aturan-aturannya.
Secara substantif menurut Irwan Abdullah, Islam membawa pesan-pesan ilahi yang tidak berubah-ubah. Ketika Islam dipahami dan dihayati secara plural dalan suatu budaya dan bangsa, interpretasi bisa berubah akibat cara pandang yang berbeda. Perbedaan cara pandang dengan segala konsekwensinya itu belakangan membentuk peradaban Islam yang sangat heterogen dan dinamis yang memenuhi konteks historis kemanusiaan (Irwan Abdullah 2008 : 3).
Menurut Amin Abdullah (1996 hal. 1), dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagamaan dapat dilihat dari berbagai sudut keilmuan dan pendekatan. Keberagamaan manusia ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan inter disipliner.
Multiapproach atau multidisipliner serta multiperspektif dalam studi Islam menjadi suatu keharusan, karena Islam telah diturunkan dari langit ke bumi dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika budaya yang terus bergerak. Islam tidak saja mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, melainkan juga mengatur hubungan manusia dengan manusia sesamanya dengan kehidupan yang dinamis, serta mengatur hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Dinamika pendekatan dalam studi agama (Islam), tidak lepas dari intensitas relasi agama dalam belantara hidup manusia yang sangat luas, dari kawasan teologis, sampai sosio-antropologis, bahkan kawasan politik (Arfan Mu’ammar, dkk., 2012 : 7).
Pendekatan-pendekatan atau metodologi dalam studi Islam diantaranya adalah: pendekatan normatif-literal, pendekatan historis-kontekstual, pendekatan simbolis, pendekatan sosial, pendekatan antropologis, pendekatan historik-simbolik, pendekatan filologis, pendekatan filsafat, dan pendekatan strukturalis.
Mengapa kita memakai strukturalis dan bukan pendekatan yang lain, untuk memahami Islam sebagai agama? Karena tujuan kita bukanlah memahami Islam, tapi bagaimana menerapkan ajaran-ajaran social yang terkandung dalam teks-teks agama pada konteks social masa kini tanpa mengubah strukturnya. Strukturalisme rupanya cocok dengan keperluan kita, meskipun strukturalisme yang sudah sedemikian lanjut tidak banyak kita perlukan, tetapi kita tetap setia dengan gagasan dari strukturalisme tentang struktur.
Bagi Jean Peaget bahwa suatu struktur mempunyai tiga konsep, yaitu wholeness, transformation, dan pengaturan diri (self-regulation). Sedangkan bagi Claude Levis-strauss, yaitu inter-connectedness, innate structuring capacity, binary opposition.
Pada makalah ini akan diulas pendekatan studi Islam melalui pendekatan strukturalis Jean Peaget dan Claud Levi-Strauss dalam mengkaji perkembangan keberagamaan dalam masyarakat Muslim.

Pembahasan
1. Pengertian Metode Strukturalis
Sebelum membahas bagaimana studi agama dengan menggunakan pendekatan strukturalis, terlebih dahulu dikemukakan di sini pengertian strukturalis yang dimaksud dalam makalah ini.
Metode berasal dari bahasa Yunani. secara bahasa (etimologi), kata metode terdiri dari dua suku kata, yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos berarti “jalan” arau “cara “ (Dirjen Pendidikan Islam, 2002 : 62).
Secara terminologis para ahli memberikan defenisi yang beragam tentang metode, diantaranya Ramaliyus (2008 : 67) mendefenisikan bahwa metode adalah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan peserta didik pada saat berlangsungnya proses pembelajaran. Winarno Surakhmat (1998 :17) memberikan defenisi bahwa metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Sedangkan menurut Abudin Nata metode adalah Pendekatan, cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama (Abudin Nata, 2009 : 28).
Strukturalis dalam bahasa Inggris, strukturalism; Latin struere yang berarti membangun, structura berarti bentuk bangunan (Loren Bagus, 2000).
Adapun strukturalis secara etimologi, menurut kamus bahasa Indonesia, struktural adala cara sesuatu disusun atau dibangun, susunan atau bangunan. Secara terminologi, menurut kamus bahasa Indonesia, structural adalah sesuatu yang berkenaan dengan struktur (Kamus Bahasa Indonesia, 2008 : ). Purwadarminta  dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,  memberikan pengertian strukturil adalah sistem atau susunan bangunan, susunan organisasi (Purwadarminta, 1985 : 965).
Struktur adalah perhubungan yang kurang lebih tetap dan mendasar antara unsur-unsur, bagian-bagian atau pola dalam suatu keseluruhan yang terorganisir dan menyatu. Struktur adalah keterkaitan dengan satu sama lain yang tak teralami secara langsung, bahkan terpikirkan secara logis mapun secara kausal, suatu kesatuan dan keseluruhan organis yang tak dapat dianalisis kedalam unsur-unsurnya, tetapi dapat dipahami unsur pembentuknya.
Struktur adalah kenyataan yang disusun menurut maknanya, tetapi makna ini sekaligus merupakan bagian dari realaitas maupun subjek yang mencoba memahaminya. Oleh karena itu, struktur sekaligus merupakan inteligibilitas maupun pemahaman.(Mariasusai Dhavamoni 1995 : 30)
Berdasarkan pembahasan diatas tentang struktural, maka secara sederhana strukturalis menurut Levis-Strauss adalah sumber dari seluruh makna dan unsur-unsur struktur yang harus dipahami melalui hubungan timbal balik yang tidak terpisah satu dengan lainnya (Wahyu Murtiningsih, 2012 : 211).
Strukturalisme adalah aliran filsafat yang sangat berpengaruh di Prancis pada dasawarsa 1960-an kejayaan strukturalisme ini muncul sesudah era eksistensialisme mengalami kemunduran pasca perang dunia II. Strukturalisme melakukan beberapa kritik dan serangan terhadap filsafat eksistensialisme dan fenomenologi yang sebelumnya begitu berpengaruh yang pada masanya. Strukturalisme dikembangkan oleh beberapa tokoh di antaranya seperti Ferdinan de Saussure dan Claud Levis-Strauss (Solihin, 2007 : 293).
Filsafat eksistensialisme menekankan subjektivitas, tanggung-jawab manusia dan kegelisahan pilihan-pilihan manusia (Roger Garaudy, 1986 : 141). Dalam eksistensialisme, mencari agama adalah melalui kebingungan akal (Solihin 2007 : 256).
 Aliran filsafat fungsionalisme yang dikembangkan oleh Malinowski dalam teori fungsionalnya mengemukakan adanya hubungan dialektis antara agama dengan fungsinya. Fungsi ini bisa dilihat dalam pelaksanaan ritual-ritual keagamaan. Fungsi dasar agama ditempatkan dalam wilayah supranatural (Irwan Abdullah, 2008 : 3).
Sedangkan strukturalisme memandang ritual sebagai sebagian dari sebuah aturan logis dalam konstruksi kultural. Ia mengikuti struktur formal dari sebuah sistem tertutup (Irwan Abdullah 2008 : 4).
Istilah struktur sering sekali dikaitkan dengan sistem. Seringkali pula dikatakan bahwa struktur dan sistem seperti dua sisi mata uang. Hubungan sintagmatis adalah hubungan antarunsur yang tersusun dalam kombinasi (gabungan), contohnya diambil dari arsitektur Indonesia. Misalnya, sebuah rumah beratap joglo model Jawa Tengah, pada bagian muka diberi tiang-tiang beton gaya Romawi. Antar unsur Jawa (atap) dan unsur Romawi (tiang) terdapat hubungan sintegmatis (Jean Piaget, 1995 : ix-x).
Lebih lanjut dijelaskan Jean Piaget, dalam memahami strukturalis, system/langue dan struktur/parole harus dipahami benar agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan analisis yang menggunakan teori strukturalis. Dengan memahami struktur dan system serta langue dan parole, maka kita dapat mengkaji dengan baik gejala adopsi unsur budaya asing (Jean Piaget : 1995 : xi).

2. Studi Agama Islam
Agama menurut Mahmud Syaltut dalam Quiraish Shihab (1995, 209) adalah ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.
Dalam kamus sosiologi antropologi agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan (kepada Dewa dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan (Dahlan Yacub Al-Barry, 2001 : 12).
Atas dasar anggapan di atas, tentu saja agama sebagai salah satu sumber nilai merupakan soal yang sangat pentin. Ia memiliki arti, peranan dan sumbangan yang sangat penting dan berharga dalam kehidupan manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa hamper semua – kalau tidak – kebudayaan besar dan bersejarah telah diilhami dan dilatorbelakangi oleh nilai-nilai dan ide-ide. Agamalah yang memberikan etos spiritual yang amat besar daya dan wilayah pengaruhnya bagi kehidupan dan budaya manusia (Mukti Ali, 1987 : 322).
Agama lebih-lebih teologi tidak lagi terbatas sekedar menerangkan hubungan anatara manusia dengan Tuhan-Nya tetapi secara tidak terelakkan juga melibatkan keadaan kelompok (sosiologis) kesadaran pencarian asal usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan dalam untuk membentuk ketengangan jiea yang kuat (psikologi) bahkan ajaran agama tertentu bisa diteliti sejauh mana keterkaitan ajaran etika dengan corak pandang hidup yang menberikan dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang optimal (Amin Abdullah, 1996 : 10).
Dijelaskan Atho Mudzar, ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau kita hendak mempelajari suatu agama. Pertama, scripture, naskah-naskah sumber ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin dan pemuka agama, yakni sikap, perilaku, dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat, seperti shalat, puasa, haji, perkawinan, dan waris. Keempat, alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan sebagainya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan (Atho Mudzhar 2011 : 12-13).
Studi islam atau studi keislaman (Islamic studies) merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya. Dimaklumi  bahwa Islam sebagai agama dan  sistem ajaran telah  menjalani proses akulturasi, transmisi dari generasi ke generasi dalam rentang waktu yang panjang dan dalam  ruang budaya yang beragam. Proses ini melibatkan tokoh-tokoh agama, mulai dari Rasulullah SAW., para sahabat, sampai ustadz dan para pemikir Islam sebagai pewaris dan perantara yang hidup. Secara kelembagaaan proses transmisi ini berlangsung di berbagai institusi mulai dari keluarga, masyarakat, mesjid, kuttab, madrasah, pesantren, sampai al-jamiah.  Dalam proses tersebut  para  pemeluk  agama ini telah  memberikan respon, baik dalam pemikiran ovensif maupun devensif terhadap ajaran, ideologi atau pemikiran dari luar agama yang diyakininya itu. Dengan demikian, studi keislaman, dilihat dari ruang lingkup kajiannya, berupaya mengkaji Islam dalam berbagai aspeknya dan dari berbagai perspektifnya.
Pada dasarnya, penggunaan metode struktural dalam studi ini adalah sebuah upaya untuk memahami Islam sebagai sebuah agama yang merupakan akumulasi dari sekian banyak unsur dan dimensi yang terjalin menjadi satu membentuk konstruksi atau bangunan Islam itu sendiri. Ini karena bagaimanapun Islam dalam dirinya merupakan sebuah bangunan yang masing-­masing bagiannya mempunyai peran serta posisi tertentu clan menemukan maknanya ketika tidak terlepas dari unsur atau bagiannya yang lain.

3. Konsep Strukturalis menurut Jean Peaget dalam studi Islam
Menurut Jean Piaget (1995 : viii) Pendekatan strukturalis dalam memahami agama mempunyai tiga sifat, yaitu keseluruhan (wholeness), perubahan bentuk (transpormation), dan pengaturan diri sendiri (self-regulation). Struktur adalah  seperti dua sisi mata uang atau sebuah bangunan yang terdiri dari berbagai unsur yang satu sama lain saling berkaitan kemudian lama-kelamaan secara tidak disadari diterima masuk kedalam system tempat struktur itu berada dalam suatu masyarakat maka terjadilah proses adopsi tersebut.

a.       Keseluruhan (Wholeness)
Keseluruhan ialah suatu koherensi (keterpaduan). Susunan struktur sudah lengkap, dan struktur bukan semata-mata terdiri dari kumpulan unsur-unsur yang lengkap (Kuntowijoyo, 2006 : 29).
Sebuah struktur tentu terbentuk dari serangkaian unsur, tetapi unsur-unsur ini tunduk kepada kaidah-kaidah yang mencirikan sistem itu sebagai sistem, dan kaidah-kaidah yang dikatakan sebagai kaidah komposisi ini tidak begitu saja menjadi asosiasi komulatif, tetapi membawa sifat-sifat himpunan berbeda dari sifat unsur-unsur (Jean Peaget, 1995 : 4).
Dijelaskan Kuntowijoyo, ada perbedaan antara kaidah atau keseluruhan dengan unsur-unsurnya. Yang pertama adalah keutuhannya, sedangkan yang kedua adalah elemen-elemen yang membentuk keseluruhan itu. Unsur-unsur dari suatu struktur tunduk kepada hukum yang mengatur keseluruhan sistem itu. Hukum yang mengatur suatu struktur tidak dapat disusutkan ke dalam penjumlahan dari hukum yang mengatur satu-demi-satu unsur-unsurnya. Unsur-unsur tidak berdiri sendiri secara terpisah, tetapi menjadi milik suatu struktur (Kuntowijoyo, 2006 : 29).
Kita tidak dapat mengenali dalam urutan sembarangan untuk mempersatukannya dalam sebuah keseluruhan. Bilangan-bilangan tidak akan Nampak dalam fungsi urutan angka itu sendiri dan urutan-urutan itu menyajikan sifat-sifat struktural “kelompok’, “badan”, “rantai “ dan sebagainya yang memang berbeda satu sama lain. Ada berupa bilangan ganjil, prima atau dapat dibagi.
Unsur dari keseluruhan unsur itu seperti listrik: dengan menekan tombol klik ke byar. Dari klik ke byar itu yang diperlukan ialah intuisi (pengetahuan langsung, paham). Maka kita berdo’a, “Robbi zidni ‘ilman warzuqni fahman” (Tuhanku, tambahlah aku ilmu dan berilah aku kepahaman [intuisi]). Dalam hal ini artinya ialah, tambahlah aku ilmu tentang unsure-unsur agama, dan berilah aku intuisi untuk dapat menagkap keseluruhannya. Ilmu itu bisa berkurang, sedangkan paham itu sekali saja.
Sebuah contoh dari konsep keseluruhan (wholeness). Islam (menyerah kepada Tuhan sebagai keseluruhan mempunyai unsur-unsur seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Masing-masing unsur mempunyai hukum tersendiri. Shalat, mempunyai syarat dan rukunnya. Demikian pula zakat dan puasa. Akan tetapi dalam Islam ada gagasan tentang Islam kaffah yang tidak dapat disusutkan pada satu per satu unsur-unsur Islam.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (Q.S. Al-Baqarah ; 208).
Orang yang shalat dengan rajin, membayar zakat dengan penuh, puasa dengan baik, berangkat haji bila ia mampu, belum tentu sempurna Islamya. Menurut Kuntowijoyo, pemenuhan satu per satu unsur-unsur Islam tidak menjamin bahwa orang berislam secara kaffah. Memang, orang yang sudah menjalankan unsur-unsur Islam dengan baik diharapkan dapat menangkap keseluruhan strukturnya. Akan tetapi, untuk sampai ke sana perlu adanya loncatan pengetahuan (Kuntowijoyo, 2006 : 30).
b.      Perubahan Bentuk (Transpormation).
Stuktur itu bukan sesuatu yang statis. Struktur merupakan suatu yang dinamis karena di dalamnya ada kaidah transpormasi. Struktur adalah sebuah bangunan yang terdiri dari berbagai unsur yang satu sama lain berkaitan (Jean Peaget, 1995 : vii).
Islam tumbuh dalam waktu rentang selama 23 tahun masa kerasulan Nabi. Karana transpormasi itu terjadi dalam masa pembentukannya secara temporal, yakni transpormasi dari Islam yang semata-mata sebagai gerakan keagamaan (monotheis menentang politheis) pada periode Mekkah menjadi gerakan social politik pada periode Madinah (Kuntowijoyo 2006 : 31).
Menjelang hijrah, kaum Muslimin berada pada posisi yang sangat lemah dan teraniaya. Menurut Ziahul Haq, hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad adalah suatu transpormasi untuk mencapai tujuan yang luhur. Nabi Muhammad meninggalkan Mekkah dan pindah ke Yastrib bersama para pengikutnya ketika oligarki Mekkah berkuasa. Sebagai gerakan social politik. Perpindahan ke Yastrib atau Madinah adalah demi membela keyakinan agama, kebenaran, harkat dan martabat serta keadilan (Ziaul Haq, 2000 : 7).
Islam juga mengalami transformasi secara spatial, historis, dan sosial. Secara spatial, historis, dan sosial Islam dapat berubah dari agama kota (Makkah, Madinah; abad ke-7; birokrat, pedagang) menjadi agama desa (Jawa; abad ke-16; petani). Sehingga agama yang menekankan pentingnya syariat itu dapat pula menjadi agama yang menekankan sufisme (Kuntowijoyo, 2006 : 31).
Di Indonesia, pada umumnya, Islam mengalami transformasi dengan berbagai variasinya. Bagi Jawa, transformasi itu masih ada kelanjutannya. Mula-mula Islam di Jawa adalah sufisme (petani, pedagan), kemudian menjadi Islam politik dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Ajaran hablun minallah wa hablun minannas juga merujuk kepada transformasi permanen, yaitu ibadah kepada Tuhan menjadi solidaritas social antar manusia, aspek vertical dapat menjadi aspek horizontal (Kuntowijoyo, 2006 : 31).
Transformasi Islam politik di Indonesia berkembang kepada gerakan yang berbentuk organisasi kemasyarakatan, seperti, Persatuan Islam (Persis) yang berdiri tahun 1887 oleh seorang tokoh bernama Ahmad Hasan. Muhammadiyah, organisasi ini berdiri tahun 1912  oleh K.H. Ahmad Dahlan. Nahdhatul Ulama (NU) berdiri pada 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’arie, serta organisasi-organisasi keagamaan yang lainnya (HB. Hooker, 2002 : 78-87).
Transpormasi dapat juga masuk dalam kaedah bahasa yang dimulai dengan peminjaman. Hal ini terjadi dalam masyarakat kita. Kata-kata asing seperti democratie (Bld) atau claring (Ing.) tadinya merupakan pinjaman (unsure dari system bahasa lain) kata-kata itu digunakan dalam kombinasi dengan kata-kata Indonesia setelah bertahun-tahun, kemudian kata-kata itu menjadi bagian dari bahasa Indonesia, yaitu demokrasi dan kliring. Begitu pula pakaian seperti jas (yang berasal dari system pakaian Barat) yang digunakan dalam struktur pakaian untuk sholat Idul Fitri dengan unsure sarung dan peci. Pada suatu waktu unsure dar system  asing itu sudah menjadi bagian dari system kita setelah sekian lama masuk dalam struktur pakaian kita (Jean Piaget, 1995 : xi).

c.       Mengatur Diri Sendiri (Self-regulation).
Ciri dasar ketiga dalam struktur adalah pengturan diri sendiri, yang membuat struktur dapat terlindungi dan tertutup. Kedua hasil itu membuktikan bahwa transpormasi yang terjadi pada sebuah struktur tidak menjalas keluar dari batasannya, tetapi tetap melahirkan unsure-unsur yang tetap menjadi milik struktur tessebut dan melestarikan kaidah-kaidahnya (Solihin, 2007 : 298).
Setiap zaman atau periode mempunyai ketentuan-ketentuan, syarat-syarat maupun cara sendiri dalam mengatur sebuah komunitasnya. Adanya sistem yang terdapat di daerah-daerah dan berbeda-beda, juga menjamin pada kemajuan negaranya (John Lechte, 2007 : 177)
Setiap setiap perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan hubungan antar unsur menjadi berubah pula. Hubungan antar unsur akan mengatur sendiri, bila ada unsur yang berubah atau hilang, inilah yang dimaksud dengan pengaturan diri sendiri (Jean Piaget, 1995 : ix).
  Penambahan unsur-unsur tidak pernah berada di luar struktur. Dengan demikian, suatu struktur itu melastarikan diri sendiri dan tertutup kemungkinan pengaruh luar.
Suatu contoh akan memperjelas maksud dari self-regulation dalam Islam. Tradisi ijma’ (konsensus Ulama), qiyas (analogi), fatwa, dan ijtihad selalu menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai rujukan, sehingga perubahan dan pembahasan unsure-unsur baru harus mempunyai kaitan yang jelas dengan Islam secara keseluruhan (Kuntowijoyo, 2007 : 31).
Dalam Islam, kajian tekstual menjadi penting dalam kajian normatif keislaman. Di pihak lain, pendekatan kontekstual terhadap teks suci juga mendapat tempat yang urgen dalam sejarah tradisi intelektual muslim. Pendekatan kontekstual teks mengandung makna bahwa teks-teks keislaman bisa di pahami dalm konteks historis yang berdimensi ruang dan waktu (Irwan Abdullah (edt) 2008, hal. 1). Dalam bahasa lain pendekatan kontekstual menjadikan teks-teks ini tidak lekang karena panas dan tidak lapuk karena hujan untuk terus dikaji dalam kehidupan manusia, sehingga teks dapat dapat dipahami secara kontekstual dan menyesuaikan diri bagi perkembangan zaman.
4. Strukturalis Claud Levi-Strauss dalam kajian Islam.
            Dalam studi Islam rumusan pertama dari strukturalis ialah bahwa unsur hanya bisa dimengerti melalui keterkaitan (inter-connecttedness) antar unsur. Kedua, strukturalisme tidak mencari struktur di permukaan, pada peringkat pertama, tetapi di bawah atau di balik realitas empiris. Apa yang ada di permukaan adalah cerminan dari struktur yang ada di bawah (deep struktur), lebih kebawah lagi ada kekuatan yang membentuk struktur (innate structuring capacity). Ketiga, dalam peringkat empiris keterkaitan antar unsure bisa berupa binary opposition (pertentangan antara dua hal).
a.       Inter-connectedness
Keterkaitan sangat ditekankan dalam Islam. Misalnya keterkaitan antara puasa dan zakat, hubungan vertical dengan Tuhan dengan hubungan horizontal antar manusia, dan antara sholat dengan solidaritas sosial. Keterkaitan itu kadang-kadang secara eksplisit di sebutkan di dalam ajaran (Kuntowijoyo, 2007 : 32). Seperti keterkaitan antara shalat dan solidaritas social. Dalam Q.S. Al-Ma’un disebutkan dengan jelas, adalah termasuk mendustakan agama bagi mereka yang shalat tetapi tidak memiliki kepedulian sosial.
Pelaksanaan ibadah harus disertai dengan penghayatan yang sedalam-dalamnya akan makna ibadat-iabadat tersebut, sehingga ibadat-ibadat tersebut tidak dikerjakan sebagai ritus formal belaka, melainkan dengan keinsafan mendalam akan fungsi shalat seperti yang diperingatkan dalam Q.S. Al-Ma’un terhadap solidaritas social terhadap kemiskinan dalam masyarakat. (Nucholis Madjid, 1997 : 128)
Demikian juga keterkaitan antara iman dan amal shaleh, dengan kata lain epistemology dalam Islam adalah epistemology relasional, satu unsure ada keterkaitan dengan unsure yang lain (Kuntowijoyo, 2007 : 33). Epistemology interconnected, unsure-unsur terhimpun dalam satu paket keilmuan yang utuh, sehingga membentuk bangunan keilmuan yang berkarakter dan bukannya bebas nilai dan tidak ada keterkaitan satu dengan yang lain (Amin Abdullah, 2006 : 390).
Keterkaitan juga bisa sebagai logical consequences dari satu unsure, seluruh rukun Islam lainnya (shalat, zakat, puasa, haji) adalah konsekwensi logis dari syahadah. Zakat adalah konsekwensi logis dari puasa, yaitu setelah orang merasakan sendiri penderitaan, lapar dan haus (Kuntowijoyo, 2007 : 33). 
Menurut HB. Hooker (2002 : 130), syahadah dalam perspektif dogma berarti menegaskan hanya ada satu Tuhan “Tidak ada Tuhan Kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah”. Syahadat selalu dikaitkan dengan “pengakuan keimanan” dan merupakan satu-satunya rukun Iman yang jelas ketentuan hukumnya dan tidak ada orang Islam yang memperdebatkan.
Islam datang membawa rahmat bagi sekalian alam dan tentunya lebih-lebih lagi bagi pemeluknya. Tetapi sangat disayangkan kerahmatan tersebut tidak dirasakan menyentuh segi-segi kehidupan nyata kaum muslim.
Hal di atas menurut Quraish Shihab, disebabkan antara lain karena baru menyentuh mereka dari ajaran agama selama ini baru segi-segi ritual (ibadah murni), sedangkan segi-segi lainnya kalaupun disentuh dan dilaksanakan hanya dalam bentuk individual dan tidak dalam bentuk kolektif (Quraish Shihab, 1995 : 244). Bagi Amin Abdullah, dikarenakan umat Islam terjebak pada logical fallacy “buta warna-warna” yang tidak memahami adanya warna-warna keagamaan yang hitam, putih, kuning, hijau, biru (Amin Abdullah, 2006 : 180).
b.      Innate Sctructuring Capacity
 Strukturalis tidak mencari struktur di permukaan, pada peringkat pengamatan, tetapi di bawah atau di balik realitas empiris. Apa yang ada di permukaan adalah cerminan dari struktur yang ada di bawah (deef structure), lebih kebawah lagi ada kekuatan yang membentuk struktur (innate sctructuring capacity). Dalam Islam, tauhid mempunyai kekuatan membentuk struktur yang paling dalam (Kuntowijoyo, 2006 : 32).
 
 Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.  Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.  dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (Q.S. 112: 1-4).

Bertauhid kepada Allah membawa konsekwnsi kepada tauhid dalam beribadah (Supan Kusumamihardja, 1985 : 149). Tauhid melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (rabbaniyyah), yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan (Nurcholis Madjid, 1995 : 1).
Bertauhid kepada Allah akan membentuk deep structure, yaitu aqidah, ibadah, akhlaq, syari’ah, dan mu’amalah. Dipermukaan dapat diamati, berturut-turut akan tampak keyakinan, shalat/puasa dan sebagainya, moral/etika, perilaku normative, dan perlaku sehari-hari (Kuntowijoyo, 2006 : 33).

               Tauhid                                                    Kekuatan Pembentuk

Akidah                 Ibadah    Akhlaq    Syariat      Muamalah              Struktur Dalam
 
      Keyakinan       Shalat/    Moral/      Perilaku       Perilaku             Struktur Permukaan
                              Puasa/     Etika        Normative   Sehari-hari        
                              Zakat/
                              Haji
Akidah, ibadah, akhlaq, dan syariat itu immutable (tidak berubah) dari waktu ke waktu, dan dari tempat ke tempat sedangkan muamalah itu dapat saja berubah. Transpormation sudah utuh, harus diartikan sebagai transpormasi dalam muamalah, tidak dalam bidang lain (Kuntowijoyo, 2006 : 34).
Untuk bisa menerapkan analisa struktural terhadap berbagai fenomena yang ada, maka perlu merumuskan terlebih dahulu metode analisanya sehingga aktifitas pelacakan struktural bisa lebih mengena untuk menemukan struktur yang ingin diidentifikasi. Namun sebelumnya harus diketahui bahwa secara umum struktur bisa dibedakan menjadi tiga macam yaitu struktur permukaan, struktur dalam (deep struktur), kekuatan pembentuk strtuktur. Struktur luar atau permukaan adalah struktur empiris yang bisa diamati dan ditandai dengan ciri perbedaan, perlawanan dan pertentangan. Sedangkan struktur dalam adalah struktur lapis kedua yang bersifat abstrak, tidak nampak dan di tandai oleh perbedaan tetapi tidak ada perlawanan. Sedangkan kekuatan pembentuk struktur adalah sumber atau kekuatan pengerak serta pengendali struktur secara keseluruhan dan di dalamnya tidak ada pluralitas, perbedaan ataupun perlawanan, akan tetapi yang ada adalah unitas atau kesatuan.
 Jadi orientasi dari analisa struktural adalah untuk menemukan struktur dalam dan pusat struktur yang keduanya dilacak melalui penampakan luar (deep struktur). Mekanisme yang digunakan adalah dengan pertama kali memetakan fenomena atau penampakan luar yang beragam. Lalu setelah itu dicarilah garis sintagmatik dan paradigmatik antara fenomena untuk menyusun atau merangkai antara fenomena dan penampakan luar untuk mendapatkan gambaran mengenai struktur dalamnya (Jean Peaget, 1995 : ix). Ini dengan mengadakan pengamatan pada fenomena luar yang mengalami pengulangan dan mempunyai kemiripan ciri dan bentuknya dalam waktu yang sama, terlepas dari perubahan dalam peroses sejarah, realitas alam, sosial, budaya, seni, ritual dan lain sebagainya bisa diandaikan mempunyai struktur dalam yang konstan, jika dalam satu gejala terdapat kemiripan dan pengulangan satu dengan yang lainnya. Dengan mengidentifikasi struktur luar pertama kali kemudian disusun struktur dalamnya berclasarkan ciri-ciri dan persamaan pada struktur luarnya.
c.       Binary Opposition
Dalam peringkat empiris strukturalis ada keterkaitan antar unsur pertentangan disebut juga binary opposition. Dua gejala saling bertentangan juga terdapat dalam Islam, yaitu pasangan (azwaj) dan musuh (‘aduwwun) yang masing-masing menghasilkan ekuiliberium (keseimbangan) dan konflik (Kuntowijoyo, 2007 : 34).
Pertentangan yang menghasilkan ekuileberium ini berupa, pertentangan kepentingan Tuhan dengan kepentingan manusia, badan dengan ruh, lahir dengan batin, dunia dengan akhirat, laki-laki dengan perempuan, muzakki dengan mustahik, orang kaya dengan fakir miskin, dan sebagainya ialah jenis pertentangan yang menghasilkan ekuiliberium.
Sementara itu, ada pertentangan antar struktur yang menghasilkan konflik, karenanya orang harus memilih salah satu. Pertentangan antara Tuhan versus setan, zhulumat versus nur, Mukmin versus musyrik, ma’ruf versus munkar, syukur versus kufur, saleh versus fasad, surga versus neraka, mutmainnah versus amarah, halal versus haram, puritan versus singkretis, ortodoks versus liberal, dan sebagainya, adalah jenis pertentangan yang menghasilkan konflik.

KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas tentang struktural, maka secara sederhana strukturalis adalah sumber dari seluruh makna dan unsur-unsur struktur yang harus dipahami melalui hubungan timbal balik yang tidak terpisah satu dengan lainnya.
Strukturalis dalam kaitan studi Islam, menurut Jean Peaget ada tiga cirri: pertama, keseluruhan (wholeness), Perubahan bentuk (transpormatif), dan penyesuaian diri (self-regulation). Sedangkan menurut Claud Levi-Strauss: inter-connectedness, innate structuring capacity, binary oppossion.
Kriteria utama dan letak keistimewaan metode struktural adalah kemampuannya mengubah perhatian secara bolak-balik. Di semua bagian dari realitas, banyak struktur atau sistem yang berada dalam struktur yang lebih besar, clan dengan menerapkan konsep-konsep yang sama kepada level-level sistem yang secara hirarkis berbeda maka indentifikasi strukturalnya akan bisa diketahui. Sebuah objek bisa saja dilihat dengan dua cara secara bolak-balik yaitu; pertama, melihatnya sebagai sebuah struktur dalam dirinya dan kedua dengan melihatnya sebagai bagian dari struktur yang lain dalam sekala yang lebih besar. Si A misalnya bisa dilihat sebagai satu kesatuan dari struktur dalam dirinya, jika kita melihatnya sebagai sebuah struktur yang terdiri dari tangan, kaki, kepala sebagai struktur fisiknya, clan jiwa, emosi, pikiran sebagai struktur dalarnnya. Disamping itu juga is bisa dilihat sebagai bagian atau unsur dari struktur yang lebih lugas yaitu struktur alam dan komunitasnya. Fleksibilitas inilah yang menyebabkan analisa struktural dapat diterapkan pada wilayah yang berbeda-beda. Sekalipun dernikian harus disadari bahwa level-level yang beragam dan bertempat dalam struktur yang lebih besar tetap memiliki kompleksitas yang berbeda pula. Pada masing-masing fenomena yang diamati terlihat sifat-sifat yang tidak terdapat pada level-level yang lain karena sifat­-sifat sistemik dari sebuah level khusus berifat "mendadak". Kepekaan yang secara kreatif menerapkan pendekatan struktural dalam memahami keragaman realitas ini harus diimbangi dengan tetap memperhitungkan perbedaan objek yang dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA
 
Abdullah, Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996

______________, Islamic Studies Pendekatan Integrative-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007

Abdullah, Irwan, Dialektika Teks Suci Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Ali, Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Press, 1987

Bagus, Loren, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000

Dahlan Yacub Al-Barry, M, Kamus Sosiologi Antropologi, Surabaya: Indah, 2001

Dhavamoni, Mariasusai, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995

Dirjen Pendidikan Islam, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Depag, 2002

Garaudy, Roger, Mencari Agama Abad XX, Jakarta: Bulan Bintang, 1986

Haque, Ziaul, Wahyu dan Revolusi, Jogjakarta: Lkis, 2000

Hooker, HB, Islam Mazhab Indonesia, Bandung: Teraju Mizan, 2002

Kuntowijoyo, Islam Sebagai ilmu, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006

Kusumamihardja, Supan, Studia Islamica, Bandung: Girimukti Pasaka, 1985

Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer, Yogjakarta: Kanisius, 2007

Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995

_______________, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997

Mudzhar, Atho, Pendekatan Studi Islam, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2011

Murtiningsih, Wahyu, Para Filsuf Dari Plato Hingga Ibnu Bajjah, Yogyakarta: Irchisod, 2012

Mu’ammar, Arfan, Wahid Hassan, Abdul (dkk), Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, Yogyakarta: Irchisod, 2012

Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2002

Piaget, Jean, Strukturalisme, Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 1995

Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1985

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, tth

Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1995

Solihin, M, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern, Bandung: Pustaka Setia, 2007

Suprayogo, Imam, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: Rosdakarya, 2001

Surakhmat, Winarno, Pengantar Interaksi Belajar Mengajar, Bandung: Pustaka Setia, 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar