Pendahuluan
Membicarakan tentang lembaga-lembaga pendidikan era awal (klasik), berarti
mengenal lebih dekat tentang berbagai komponen dan sistem serta metode yang
digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam klasik. Pada level pembuktian,
mungkin akan mengalami kesulitan untuk menentukan secara pasti bagaimana
sesungguhnya perkembangan dan pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam di
era klasik tersebut. Mengapa lembaga
pendidikan Islam pada masa klasik sulit di identifikasi? Sebab teknologi yang
dapat dijadikan alat untuk mengabadikan pakta dan peristiwa pada waktu itu
sungguh sangat terbatas dan tradisional.
Penyebab lain adalah karena usaha pendidikan pada masa tersebut dilakukan
dalam waktu dan tempat yang tak terbatas, sehingga apabila kita melakukan
klasifikasi, sebagian akan tercecer-tidak termasuk dalam klasifikasi tersebut.
Walhasil, pandangan terhadap wacana pendidikan Islam klasik menjadi sempit dan
terbatas, bahkan mungkin terjebak dalam nuansa yang kaku. Namun... identifikasi
dan klasifikasi ... hanya sekedar “penyederhanaan” agar muda dipahami dalam
konteks keilmuan masa kini[1].
Dilihat dari aspek sejarah sesungguhnya pertumbuhan lembaga pendidikan
Islam sudah dimulai sejak penciptaan manusia pertama, dalam proses penciptaan Nabi
Adam (manusia pertama) itu, Allah SWT., telah
melakukan dialok dan perdebatan langsung dengan makhluknya, yaitu malaikat.
Kompetensi dasar yang diajarkan Allah kepada Nabi Adam adalah bermacam-macam
nama benda, dan ketika diadakan ujian komprehensif antara Adam dan Malaikat
ternyata Nabi Adam dinyatakan lebih menguasai tentang kompetensi dasar
ketimbang malaikat. Proses ini terus berlanjut samapai tahap penobatan dan
penyampaian wahyu kepada para Nabi dan Rasul-Nya dipermukaan bumi ini. Meskipun
pada waktu itu informasi data sejarah belum dapat mengungkapkan bahwa lembaga
seperti apa yang digunakan Allah SWT., namun lembaga yang digunakan sebagai
proses pembelajaran pertama tersebut telah berhasil memberikan change of knouledge dan change of value
kepada peserta didiknya, yaitu pada para Nabi.
Peristiwa yang terjadi di atas terus berlanjut dan terjadi pula kepada Nabi
Muhammad SAW., misalnya beliau yang terkenal dengan ke Ummiannya juga berhasil mencapai kompetensi yang digariskan Allah
sehingga mendapat prediket super komplout, yaitu khataman al-anbiya’ Rasul rahmatan lil ‘alamin. Dengan predikat
yang diperoleh tersebut beliau telah mampu mentransferkan dan menancapkan
sendi-sendi agama dalam jiwa para sahabat.
Membicarakan bentuk-bentuk lembaga pendidikan di era awal (klasik), banyak
sekali sumber yang dapat dipakai sebagai rujukan dalam mengungkapkan kebenaran
sejarahnya seperti dalam Musnur Heri[2],
Samsul Nizar[3], Muhammad
Yunus[4]
Ahmad Syalabi[5], Abuddin
Nata[6],
dan masih banyak lagi sumber-sumber lainnya. Melalui tulisan sederhana ini
penulis mencoba menguraikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga
pendidikan Islam pada masa awal (klasik).
Institusi Pendidikan Era Awal Pra Madrasah
Dalam sejarah Islam dikenal banyak sekali tempat dan
pusat pendidikan dengan jenis, tingkatan dan tafsirnya yang khas. Dalam buku at-Tarbiyah
al-Islamiyah, Nazumuha, Falsafatuha, Ahmad Shalabi menyebutkan tempat-tempat
pendidikan tersebut adalah Kuttab, al-Qushur, Hawamit al-Waroqiin, Mandzil
al-Ulama’, al-Badiyah, dan al-Madrasah.[7]
Ia membagi institusi-institusi pendidikan Islam tersebut menjadi dua kelompok,
yaitu kelompok sebelum madrasah dan sesuda madrasah, dengan demikian madrasah
dianggap tonggak baru dalam pendidikan Islam. Sementara Abuddin Nata
mengungkapkan lembaga pendidikan sebelum madrasah adalah Suffah, Kuttab/Maktab,
Halaqah, Majlis, Majlis al-Hadits, Majlis al-Tadris, Majlis al-Munazharah,
Majlis al-Muzakarah, Masjid, Khan, Ribath, Rumah-rumah Ulama’, Toko-toko Buku
dan Perpustakaan, Rumah Sakit, Badiah (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal
Badwi).[8]
Para penulis lain menyebut
tempat-tempat pendidikan seperti
al-Muntadiyah, al-Hawanit, al-Zawaya, al-Ribat, Halaqat al-Dzikir. Hasan
Muhammad Hasan dan Nadiyat Jamaludin menyebutkan institusi-institusi itu dan
dikaitkan dengan pendidikan-pendidikan yang ada dalam Islam.[9] Musnur Heri
mengungkapkan lembaga-lembaga pendidikan Islam pra madrasah adalah Masjid,
Kuttab, Zawiyah, Masjid Khan[10],
lembaga-lembaga inilah yang dipakai para guru dalam memberikan pembelajaran
kepada murid-muridnya. Selanjutnya menurut Musnur Heri lembaga-lembaga itulah
secara sederhana mewakili organisasi pendidikan Islam pada waktu itu. Memang
munculnya lembaga-lembaga tersebut tidak secara simultan karena lembaga itu
lahir sebagai jawaban dari perkembagan zaman. Contoh yang dikemukakan oleh
Ahmad Salabi (1973) dalam Musnur Heri bahwa munculnya Madrasah merupakan solusi
bagi kebutuhan anak-anak tatkala kehadiran mereka di masjid dinilai mengganggu
aktivitas ibadah.[11]
Disisi lain Hasan As’ari (1994) dalam Musnur Heri juga mengungkapkan bahwa
faktor lain adalah karena kontrol pemerintah terhadap kegiatan masjid sungguh
ketat, sehingga untuk menghindari bentrokan antara kepentingan para pewakaf
disatu sisi dan kebijakan pemerintah atas masjid, maka madrasah sebagai lembaga
independen merupakan solusi yang paling tepat.[12]
Sementara Syamsul Nizar mengemukakan lembaga-lembaga pendidikan era klasik pra
madrasah itu adalah Rumah, Kuttab, Masjid, dan Salon.[13]
Dari berbagai sumber di atas penulis menyederhanakan tentang lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang pada era awal atau pada era klasik
adalah sebagai berikut; Rumah, Kuttab/Maktab, Lembaga Kesufian (Zawiyah, Ribath,
dan Kanangah), Masjid, Khan, Rumah Ulama’, Tokoh Buku, Perpustakaan, Rumah
Sakit, dan Salunat
Al-Adabiyah (Majlis Sastra), Badiah (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badwi).
Rumah
Nabi Muhammad
SAW., tinggal di Makkah sejak beliau mulai menjadi Nabi sampai hijrah ke
Madinah, lamanya 12 tahun 5 bulan dan 21 hari. Pengajaran yang diberikan Nabi
selama itu ialah menyampaikan wahyu Allah, Al-Qur’an terdiri dari 93 surat yang
diturunkan di Makkah sebelum hijrah,[14]
hingga pada waktunya Rasulullah hijrah ke Madinah, setelah Nabi serta
sahabat-sahabatnya (Muhajirin) hijrah ke
Madinah, usaha Nabi yang pertama ialah mendirikan masjid. Nabi sendiri bekerja
membangun masjid itu bersama-sama sahabatnya. Di samping masjid didirikan rumah
tempat tinggal orang-orang miskin yang tiada mempunyai rumah. Di masjid itulah Nabi
mendirikan sembahyang berjamaah. Bahkan di masjid itulah Nabi membacakan al-Qur’an
dan memberikan pendidikan dan pengajaran Islam.[15]
Hasan Langgulung dalam bukunya
Asas-asas Pendidikan Islam (1988) dalam Syamsul Nizar mengemukakan bahwa
lahirnya pendidikan Islam di tandai dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan
Islam. Ketika wahyu Allah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., maka untuk
menjelaskan dan mengajarkan kepada para sahabat, Nabi mengambil rumah Al Arqam
bin Ibn Arqam sebagai tempatnya, disamping menyampaikan ceramah pada berbagai
tempat.[16]
Tumbuh kembang lembaga ini berjalan selama 13 tahun. Berdasarkan keterangan
inilah bahwa rumah dikategorikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang pertama.
Sistem pendidikan di lembaga ini berbentuk halaqoh[17]
dan belum memiliki kurikulum dan silabus seperti dikenal sekarang ini, sistem
dan materi yang akan disampaikan diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad
SAW.[18]
Sebelum masjid didirikan, Rasulullah SAW., menyampaikan wahyu yang
diturunkan Allah selain menggunakan rumah Al-Arqam bin Abi Arqam sebagai tempat
utama, Rasulullah juga menggunakan rumahnya sebagai tempat pembelajaran.
Kondisi seperti ini berlangsung hingga turun Ayat Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat
35.[19]
Ayat ini diturunkan di Madinah sesudah masjid dibangun. Dengan turunnya ayat
itu Allah telah meringankan kesibukan Nabi disebabkan mengalirnya manusia
kerumah beliau tanpa ada hentinya. Dengan demikian semakin banyak para sahabat
beliau menguasai materi pembelajaran yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad
SAW., karena itulah dakwah Islam semakin meluas dari sahabat ke sahabat bahkan
tanpa memperhatikan bentuk lembaga pembelajarannya, terbukti dakwah Islam telah
sanggup melewati berbagai siklus zaman hingga sekarang.
Dari proses pembelajaran rumah ini penulis dapat mengambil hikmah, adalah
sangat ideal pembinaan anak-anak untuk menjadi shalih dan shalihah adalah
dimulai dari lingkungan rumah. Artinya orang tua berperan utama dalam
pembentukan karakter, baik pengetahuan, sikap dan keterampilan mereka. Untuk
itu tidak bisa kalau kemudian orang tua melepaskan anak keturunan mereka untuk
dididik dan dibinah melalui lembaga
masyarakat dan sekolah tanpa diawali pendidikan keluarga, anak-anak
bersangkutan diharapkan menjadi sempurnah. Karena apapun alasannya pendidikan
rumah tetap menjadi lembaga utama dan ideal dalam tumbuh kembang kepribadian
anak-anak.
Kuttab dan Maktab
Menurut catatan sejarah, sebelum
kedatangan Islam, masyarakat Arab,
khususnya Makkah telah mengenal adanya pendidikan rendah, yaitu kuttab. Kuttab/maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan
kuttab/maktab berarti tempat menulis, atau tempat dimana dilangsungkan kegiatan
untuk tulis menulis.[20]
Kebanyakan para ahli sejarah pendidikan Islam sepakat bahwa pendidikan Islam
tingkat[21]dasar
yang mengajarkan membaca dan menulis kemudian meningkat pada pengajaran al-Qur’an
dan pengetahuan agama dasar. Namun Abdullah Fajar membedakannya, dia mengatakan
bahwa maktab adalah istilah untuk
zaman klasik, sedangkan kuttab adalah untuk zaman modern.[22]
Lembaga
pendidiksn Islam pada fase Makkah ini sebenarnya mengenal dua macam /tempat
pendidikan, yaitu; Rumah Arqam bin Ibn Arqam dan Kuttab. Dimasa Nabi Muhammad SAW., oleh karena peminat untuk
belajar agama Islam semakin banyak, termasuklah golongan anak-anak yang gemar
mendatangi masjid, maka dikhawatirkan anak-anak itu akan mengotori masjid, maka
timbullah lembaga pendidikan di samping masjid yang bernama kuttab. Lembaga ini berfungsi sebagai
media utama dalam pelaksasnaan pembelajaran membaca dan menulis al-Qur’an
sampai kepada era Khulafaurrasyidin. Sedangkan materi-materi dan metode pembelajarannya diserahkan kepada para guru
yang mengajar.[23]
Sebenarnya kuttab ini sudah ada dan dikenal oleh bangsa Arab pra Islam, namun
tidak begitu populer.
Setelah Islam
datang bentuk dan fungsi kuttab tidak mengalami perubahan. Pada masa awal Islam
sampai kepada era Khulafaurrasyidin, secara umum dilakukan tanpa ada bayaran.
Karena mengingat kondisi pada waktu itu belum stabil. Akan tetapi pada masa
Bani Umayyah ada diantara penguasa-penguasa yang sengaja menggaji guru untuk
mengajar anak-anaknya dan menyediakan tempat khusus di lingkungan istananya. Di
tempat-tempat lain masih ada yang tetap mempertahankan budaya lama, dimana
tetap melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran diperkarangan disekitar
masjid terutama untuk siswa-siswa yang kurang mampu. Untuk kuttab jenis ini
guru tidak menerima bayaran apapun, kecuali penghargaan dari masyarakat.[24]
Ahmad Syalabi
mengemukakan bahwa sebagai lembaga pendidikan kuttab mempunyai dua fungsi, Pertama Kuttab
berfungsi mengajar baca tulis dengan teks dasar
puisi-puisi Arab dan sebagian besar gurunya adalah non muslim. Kuttab jenis
pertama ini hanya merupakan lembaga pendidikan dasar yang mengajarkan baca
tulis. Pada mulannya pendidikan Kuttab berlangsung di rumah-rumah para guru atau
dipekarangan sekitar masjid. Materi yang diajarkan dalam baca tulis ini adalah
puisi atau pepatah-pepatah Arab yang mengandung nilai-nilai tradisi yang baik.
Adapun penggunaan Al-Qur’an sebagai teks dalam kuttab baru terjadi kemudian,
ketika jumlah kaum muslimin yang menguasai al-Qur’an telah banyak, terutama
setelah kegiatan kodifikasi[25]
pada masa kekhalifaan Ustman bin Affan.[26] Kebanyakan guru kuttab pada masa awal Islam adalah nonmuslim, sebab muslim
yang dapat membaca dan menulis jumlahnya masih sangat sedikit disamping itu
mereka sibuk dengan pencatatan wahyu. Oleh karena itu kebanyakan guru baca
tulis adalah kaum zimmi dan para tawanan perang, seperti tawanan badar.[27]
Kedua sebagai tempat pendidikan yang
mengajarkan al-Qur’an dasar-dasar keagaman. Pengajaran teks Al-Qur’an pada
jenis kuttab yang kedua ini setelah ahli bacaan dan penghafal al-Qur’an telah
banyak. Guru yang mengajarkannya dari ummat Islam sendiri.[28]
Pada tingkat kedua ini siswa diajarkan pemahaman tentang bahasa Arab dan
Aritmatika, sedangkan Kuttab yang
didirikan oleh orang-orang yang lebih mapan kehidupannya maka materi
tambahannya adalah menunggang kuda dan renang.[29]
Modifikasi
kurikulum kuttab terjadi ketika jumlah qurra’ dan huffaz yang pandai tulis baca
sudah cukup banyak, dan ummat Islam telah mengenal warisan Helenis[30]
dari daerah-daerah taklukan mereka, sehingga menurut Stanton, kurikulum kuttab
mencakupi; puisi, al-Qur’an, gramatika bahasa Arab dan erithmetik di samping
baca tulis.[31] Begitupun
Philip K. Hitti mengatakan bahwa, kurikulum pendidikan di Kuttab ini berorientasi kepada al-Qura’an sebagai text book. Hal ini mencakup pengajaran
membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa Arab, sejarah Nabi, Hadits.
Khususnya yang berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW. Mengenai kurikulum ini Ahmad
Amin juga menyepakatinya.[32]
Namun dalam hal penetapan materi, diutamakan dan disesuaikan dengan kebutuhan
daerah dimana Kuttab dilaksanakan.
Ibnu Khaldun
(dalam) Musnur Heri mencatat variasi tersebut pada empat daerah yang berbeda
sebagai berikut:
1.
Ummat Islam
Maghribi (Maroko) sangat menekankan pengajaran al-Qur’an. Anak-anak daerah ini
tidak akan belajar sesuatu yang lain sebelum menguasai al-Qur’an secara baik.
Pendekatan mereka adalah pendekatan ontografi (mengenali suatu bentuk kata dalam
hubungannya dengan bunyi bacaan). Karena itu anak-anak Maroko menuru Ibnu
Khaldun lebih mampu menghafal al-Qur’an dari pada kaum Muslimin manapun.
2.
Ummat Islam
Spanyol menekankan kemampuan menulis dan membaca. Al-Qur’an tidak diutamakan
dibandingkan dengan puisi dan bahasa Arab, sehingga daerah ini melahirkan kaligrafer-kaligrafer yang baik.
3.
Ummat Islam
Afrika Utara, menitik beratkan pada variasi bacaan (qira’at al-Qura’an) lalu
diikuti dengan seni kaligrafi dan al-Haditas.
4.
Ummat Islam
daerah Masyriq (Timur Tengah, Iran, Asia Tengah dan Semenanjung India) yang
menurut pengakuannya tidak ia ketahui secara jelas dibandingkan dengan tiga
daerah pertama,[33]
Sejak abad ke 8
H, Kuttab mulai mengajarkan pengatahuan umum di samping ilmu agama Islam hal
ini disebabkan[34]
karena adanya persentuhan Islam dengan warisan budaya Helenisme sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang kurikulum
pendidikan Islam. Dalam perkembagan selanjutnya Kuttab dibedakan menjadi dua,
yaitu Kuttab yang mengajarkan pengetahuan nonagama (secular learning) dan Kuttab yang mengajarkan ilmu agama (relegious learning). Karena adanya
perubahan kurikulum tersebut maka Kuttab pada awalnya merupakan lembaga
pendidikan yang tertutup, namun setelah terjadi pergesekan dengan warisan
budaya helenisme ini, maka Kuttab
menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum termasuklah
filsafat.[35]
Selanjutnya lama belajar pada Kuttab tidaklah sama antara anak yang satu dengan
anak yang lain, karena sistem yang berlaku pada waktu itu belum sistem klaksikal
seperti sekarang. Jadi lama belajar ditentukan oleh tarap kecerdasan
masing-masing anak.
Jika dikaji
dengan benar sesungguhnya sistem pembelajaran Kuttab lebih efektif bila
debanding dengan sistem pembelajaran sekarang. Waktu belajar mereka dari pagi
hingga asyar, sedangkan waktu belajar sekarang hanya dari pagi sampai dengan
zuhur (kelas 3 sampai dengan kelas 6), untuk anak kelas 1 dan 2 samapi jam 10.
Jumlah hari mereka dalam belajar digunakan dalam seminggu mulai hari Sabtu
sampai hari Kamis, sedangkan hari Jum’at mereka libur, nampak waktu belajar
mereka cukup padat dan efesien. Tetapi pada umumnya anak-anak menyelesaikan
pendidikan dasar ini selama kurang lebih 5 tahun.[36]
Sistem
pendidikan Kuttab ini memang sangat luar biasa kelebihannya, jika pembelajarannya
benar-benar merujuk pada sistem Kuttab klasik maka akan dijamin pendidikan
pasti berhasil, karena nilai yang ditanamkan keterampilan, tanpa ada unsur lain
yang mempengaruhi proses pembelajaran. Bagi yang tidak bisa terampil maka ia
tertinggal.
Lembaga Kesufian
Asma Hasan Fahmi menambahkan lembaga-lembaga kesufian
sebagai lembaga pendidikan Islam pra Madrasah, yaitu: (1) Ribath. al-Ribath secara harfiah berarti
ikatan yang mudah dibuka. Sedangkan dalam arti yang umum, al-Ribath adalah
tempat untuk melakukan latihan, bimbingan dan pengajaran bagi calon sufi. Ribath adalah
tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan
mengonsentrasikan diri untuk semata-mata beribadah.[37]
(2) Az-
Zawiyah. Az-Zawiyah secara harfiyah berarti
sayap atau samping. sedangkan dalam arti yang umum, az-zawiyah adalah tempat
yang berada dibagian pinggir masjid yang digunakan untuk melakukan bimbingan
wirid, dan dzikir untuk mendapatkan kupasan spiritual. Dengan demikian,
az-zawiyah dan al-ribath fungsinya sama, namun dari segi organisasinya
al-ribath lebih khusus dari pada az-zawiyah.[38] (3) Khananqah. Khanangah merupakan suatu lembaga pengajaran
berasrama bagi kaum sufi yang muncul pertama kali di Iran (Persia) pada akhir
abad ke-10 bersamaan dengan adanya formalisasi aktivitas sufistik.[39]
Az-Zawiyah secara harfiah berasal
dari kata inzawa, yanzawi yang berarti mengambil tempat tertentu dari sudut
masjid yang digunakan untuk i’tikaf dan beribadah. Dengan demikian Zawiyah
merupakan tempat berlangsungnya pengajian-pengajian yang mempelajari dan
membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaitan dengan aspek agama
serta digunakan para kaum sufi sebagai tempat untuk halaqah dzikir dan tafakur
untuk mengingat dan merenungkan keagungan Allah SWT. Adapun Zawiyah menyerupai khanaqah
dari segi tujuan, Akan tetapi zawiyah ini lebih kecil dari pada khanaqah, dan
dibangun untuk orang-orang tasawuf yang faqir supaya mereka dapat belajar dan
beribadat. contohnya salah seorang raja dari al-Mamalik membangun sebuah
Zawiyah al-Jumairah di abad ke XIII M. Dan ditempatkan didalamnya beberapa
orang sufi yang fakir. Dan kadang-kadang pula Zawiyah itu didirikan untuk
seorang syaikh yang termasyhur yang bertugas untuk menyiarkan ilmu pengetahuan
dan mengasingkan diri untuk beribadat. Pada umumnya Zawiyah itu dikenal dengan
nama seorang Syaikh yang terkenal dengan banyak ilmunya dan taqwanya.[40]
Di zawiyah ini, fiqh seperti
halnya ilmu-lmu yang lain, sesuai dengan bidang syaikhnya, merupakan bagian
dari kegiatan pewarisan ilmu pengetahuan. Belakangan, terutama setelah
munculnya tarekat-tarekat sufi, zawiyah dibangun sebagai institusi
yang berdiri sendiri. Aboebakar Atjeh menekankan fungsi pendidikan yang
berlangsung di zawiyah dengan mengatakan: Zawiyah itu merupakan satu ruang tempat
mendidik calon-calon sufi, tempat mereka melakukan latihan-latihan
tarekatnya, diperlengkapi dengan mihrab untuk mengerjakan sembahyang
berjamaah, tempat mereka membaca al-Qur’an dan mempelajari ilmu-ilmu yang
lain, sehingga zawiyah itu merupakan
sebuah arama dan madrasah.[41]
Kemegahan fisik dari zawiyah tentunya bervariasi sesuai
dengan besarnya dana yang tersedia, serta popularitas syaikh yang menjadi pemimpinnya.
Syaikh zawiyah yang telah wafat biasanya dimakamkan di zawiyahnya yang akan
menjadi tempat ziarah bagi pengikut tarekat yang bersangkutan. Popularitas
seorang syaikh akan menentukan jumlah peziarah yang datang mengharap
berkahnya. Aktivitas ini memberi beban yang lebih besar pada zawiyah yang
bersangkutan untuk menyediakan akomodasi bagi peziarah. Pada sisi lain,
kegiatan ini juga merupakan sumber dana zawiyah. Sedekah yang berasal dari
pada peziarah dapat membantu operasinya.
Suatu penelitian yang
mencakup Mesir menjelang penaklukan Turki Utsmani menunjukkan adanya dua
jenis zawiyah: 1) zawiyah tradisional yang mempunyai hubungan erat
dengan penguasa (Mamluk); dan 2) zawiyah yang lebih independen. Jenis kedua
ini biasanya sekaligus menjalankan fungsi masjid dan ribâth: menyediakan
fasilitas beribadah, sekaligus perlindungan dan makanan bagi orang-orang
miskin. Independensi ini dapat dilihat dalam contoh Syaikh Ibn Qiwam yang
selalu menolak tawaran wakaf untuk zawiyah-nya yang dia bangun dengan biayai
sendiri.[42]
Sementara di Kairo misalnya,
sebelum dan pada masa Mamluk sekurang-kurangnya terjadi lima madrasah yang
didirikan perempuan. Madrasah tersebut bisa berbentuk pondokan Zawiyah, yaitu: pertama,
Madrasah Asyuriyyah, istri seorang Amir, yang berada dilingkungan
Zuwayla, Kairo. Kedua, Madrasah
al-Qutbiyyah yang didirikan oleh Ismet al-Din, putri Sultan Ayubiyyah, al-Malik
al-Adil, dan saudara perempuan al-Malik al-Afdhal Qutb al-Din Ahmad. Oleh
karena itu madrasah yang didirikan pada akhir abad 13 M ini juga dikenal
sebagai Madrasah Ismad al-Din. Ketiga, Madarasah
Hijaziyyah didirikan dan diwakafkan oleh putri Sultan al-Nasir Muhammad, yang
menikah dengan Amir Mamluk bernama Bahtimur al-Hijazi, dan nama yang terakhir
disebut kemudian diabadikan sebagai nama madrasah tersebut. Selain madrasah,
sang putri ini juga membangun kubah yang pada gilirannya menjadi tempat
peristirahatan akhirnya ketika wafat. Madrasah ini terkenal dengan spesialisasi
dalam bidang fikih Syafi’i dan Maliki. Keempat, Madrasah
yang didirikan Barakat, ibu Sultan Asyraf Saban (1369-1370), yang terkenal
khususnya dalam bidang fikih madzhab Syafi’i dan Hanafi. Kelima, Madrasah
Ummu Khawan Yang didirikan Fatimah binti Qanibay al-Umari al-Nasiri, Istri
tentara Mamluk bernama Taghri Birdi al-Muadzdzi.[43]
Masjid dan
Jami’
Kata masjid berasal dari bahasa
arab “ sajada” artinya tempat sujud. Dalam pengertian lebih luas masjid
berarti tempat shalat dan bermunajat kepada Allah dan tempat berenung dan
menatap masa depan. Dari perenungan terhadap penciptaan Allah tersebut masjid
berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan. Proses yang mengantar masjid sebagai
pusat pengetahuan adalah karena di masjid tempat awal pertama mempelajari ilmu
agama yang baru lahir dan mengenal dasar-dasar ,hukum-hukun dan
tujuan-tujuannya.
Masjid dan
Jamik adalah dua tipe lembaga pendidikan Islam yang sangat dekat dengan
aktivitas pengajaran agama Islam. Kedua terma ini pada dasarnya memiliki fungsi
yang sama yaitu sebagai tempat ibadah dan pengajaran agama Islam. Kemunculan
masjid sebagai lembaga pendidikan dalam Islam telah dimulai sejak masa Rasulullah
SAW., dan masa Khulafaurrasyidin. Sedangkan Jamik muncul kemudian dan banyak
didirikan oleh para penguasa dinasti khususnya dinasti Abbasiyah. Diantara
masjid-masjid Jami’ yang terkenal sebagai pusat kegiatan belajar mengajar pada
waktu itu adalah: (a) Jami’ Amr bin Ash. Jami’ ini digunakan sebagai tempat
belajar mulai tahun 36 Hijriyah dan pada tahun ini pula para ulama’ dan puqaha
mulai mengajar, kemudian pendidikan disitu terus berkembang, sehingga
melengkapi pelajaran Fiqh, Hadits, dan ilmu Kedokteran. (b) Jami’ Ahmad bin Thulun. Masjid
ini sempurna didirikan pada tahun 256 Hijriyah. (c) Masjid Jami’ Al-Azhar.
Masjid ini dianggap sebagai lembaga ilmu pengetahuan Islam yang termasyhur, dan
kemasyhurannya ini masih tetap sampai pada masa kita sekarang. Pada waktu
sekarang ini Universitas Al-Azhar bukan lagi merupaka lembaga pendidikan tinggi
agama, akan tetapi pada lembaga ini telah terdapat berbagai fakultas untuk
ilmu-ilmu pengetahuan umum.[44]
Ketika Rasulullah dan para sahabat hijrah ke Madinah, salah satu program
pertama yang beliau lakukan adalah pembangunan sebuah masjid. Masjid yang
pertama kali dibangun Nabi adalah Masjid At- Taqwa di Quba. Menurut
al-baladzuri dan ibn hasyim, sebenarnya mesjid Quba didirikan oleh sahabat Nabi
yang dahulu hijrah ke madina,[45] kemudian
setelah Nabi memasuki kota madina, beliau mendidrikan mesjid al-mirbad. Diwaktu
mendirikan masjid al-Mirbad beliau sendiri turut bekerja, guna memotivasi kaum
muhajirin dan anshar dan mengigiatkan mereka untuk bekerja agar masjid itu
segera selesai.
Pembanguna Masjid tersebut bertujuan untuk memajukan dan mensejahterakan
kehidupan umat Islam. Di samping itu, masjid juga memiliki multifungsi,
diantaranya:
(a) sebagai tempat beribadah, (b) tempat kaum muslimin beri’tikaf, menempah bathin
sehingga selalu terpelihara. (c) sebagai pusat kegiatan dan informasi
berbagai masalah kehidupan kaum muslimin, (d) sebagai tempat kegiatan sosial politik, (e) sebagai tempat bermusyawarah, (f) tempat mengadili perkara, (g) tempat
pembinaan dan pengembangan kader-kader pimpinan umat (h) tempat menghimpun
dana, menyimpan dan membagikannya (i) tempat menyampaikan penerangan agama dan
informasi-informasi lainnya dan (j) masjid
dijadikan sebagai pusat dan lembaga pendidikan islam.[46]
Masjid sejak masa Nabi Muhammad selalu
digunakan selain untuk ibadah juga sebagai institusi pendidikan umat Islam.
Praktek ini pun terus dilaksanakan pada masa para sahabat namun disinyalir di
masa Umar bin Khattab-lah intensifitas mesjid selain sebagai tempat ibadat juga
difungsikan sebagai sekolah betul-betul terlaksana. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
sampel seperti pada mesjid di Kufah, Basrah dan Damaskus yang telah digunakan
untuk pengajaran alquran dan hadis, bahkan selanjutnya pelajaran nahwu (grammar
bahasa Arab) dan sastra digabungkan pula ke dalam institusi pendidikan ini.[47]
Masjid Khan
Perkembangan lebih lanjut dari mesjid sebagai lembaga pendidikan Islam
adalah munculnya mesjid-mesjid yang dilengkapi dengan sarana akomodasi bagi
pelajar, dan mesjid ini lazimnya disebut dengan Mesjid Khan. Masjid khan ini secara finansial didukung
oleh badan wakaf dan penghasilannya dimanfaatkan untuk kepentingan sosial. Perkembangan khan ini sangat berkaitan erat
dengan kepedulian umat Islam masa itu terhadap para penuntut ilmu, khususnya
mereka yang berasal dan luar daerah.
Dengan demikian, pendidikan Islam
dan masjid merupakan suatu kesatuan yang integral,
dimana masjid menjadi pusat dan urat nadi
kegiatan keislaman yang meliputi kegiatan
keagamaan, politik, kebudayaan, ekonomi, dan
yudikatif. Mulai sejak masa Rasulullah SAW., dengan masjid
Quba dan Nabawi hingga masjid Baghdad pada masa
dinasti Abbasiyah, masjid selalu menjadi alternatif utama dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam.[48] Dari Masjid, kemudian
berkembang menjadi Masjid Khan sebagai Transformasi Tradisi. Khan
adalah sebagai tempat
pemondokan bagi pencari ilmu di lingkungan halaqah masjid dari
berbagai wilayah Islam.
George Makdisi mengungkapkan bahwa masjid
khan berbeda dengan masjid pada umumnya, karena masjid khan dibangun
sebagai lembaga pendidikan. Penambahan khan pada bangunan masjid merupakan
solusi terhadap kesulitan mahasiswa yang datang dari luar kota, dimana mereka
sebelumnya dihadapi oleh masalah penginapan. Namun masih kurang jelas apakah
khan menyediakan akomodasi gratis bagi mahasiswa-mahasiswa tersebut.[49]
Masjid dapat
dianggap sebagai lembaga ilmu pengetahuan tertua dalam Islam, pembangunnaya
dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan ia tersebar di seluruh negeri Arab.
Di samping tugasnya yang utama sebagai tempat menunaikan shalat dan beribadah,
di dalam masjid ini pula mulai mengajarkan al-Qur’an dan ajaran-ajaran agama
Islam. Pada masa Rasulullah masjid dan Jami’ berfungsi sebagai sekolah menengah
dan Perguruan Tinggi dalam waktu yang sama. Sebelumnya masjid pada pertama
kalinya merupakan tempat untuk pendidikan dasar, akan tetapi orang-orang Islam
berpendapat lebih baik memisahkan pendidikan anak-anak pada tempat yang tertentu
demi menjaga kehormatan masjid dari keributan anak-anak dan arena mereka belum
mampu menjaga kebersihan.
Shuffah
Pada masa Rasulullah SAW shuffah adalah suatu tempat yang telah dipakai
untuk aktifitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi
pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin. Rasulullah membangun ruangan
di sebelah utara masjid Madinah dan masjid Al-Haram yang disebut “Al-Suffah”
untuk tempat tinggal orang fakir miskin yang telah mempelajari ilmu. Disini
para siswa diajarkan membaca dan menghafal Al-qur’an secara benar dan hukum
Islam di bawah bimbingan dari Nabi SAW. Pada masa itu , setidajnya telah ada 9
shuffah,[50] yang tersebar di kota Madina. Salah satu diantaranya berlokasi di samping
mesjid Nabawi. Rasulullah mengangkat Ubaid ibn Al-Samit sebagai guru pada
sekolah suffah di Madinah. Dalam perkembangan berikutnya, shuffah juga
menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi
dan ilmu fonetik
Rumah Kediaman Ulama’
Tipe lembaga pendidikan ini termasuk
kategori yang paling tua, bahkan yang lebih dahulu keberadaannya sebelum
halaqah di masjid Rasulullah SAW.,[51] dan para sahabat menjadikan rumahnya sebagai markas gerakan pendidikan
yang terfokus pada aktivitas pengajaran aqidah dan pesan-pesan Allah SWT.,
dalam al-Quran untuk disampaikan kepada masyarakat. Ketika wahyu pertama diturunkan
Allah kepada Nabi Muhammad SAW, maka untuk menjelaskan dan mengajarkan kepada
para sahabat, Nabi SAW mengambil rumah Al-Arqam bin Abi Arqam sebagai
tempatnya, disamping menyampaikan ceramah pada berbagai tempat.
Pada masa awal
Islam, proses pendidikan Islam dilaksanakan secara infornal, maksudnya proses
pendidikan itu berlangsung di rumah-rumah. Dan di rumah itulah Nabi
Muhammad Saw menyampaikan dan menanamkan dasar-dasar agama serta
mengajarkan Al-qur’an kepada mereka. Hal ini berlangsung kurang lebih 3 tahun.
Namun sistem pendidikan pada lembaga ini masih berbentuk halaqah belum memiliki
kurikulum. Sedangkan sistem dan materi- materi pendidikan yang akan disampaikan
diserahkan sepenuhnya kepada Nabi SAW. Pada hakikatnya lembaga pendidikan di
rumah ini telah diterapkan sebelum Kuttab dan makktab dan pada waktu itu rumah
yang pertama dijadikan tempat pertemuan untuk menyampaikan ajaran agama adalah
rumah Al-Arqam bin Abi Arqam.
Pada
perkembangan selanjutnya rumah para ulama’ terkenal yang menjadi tempat
kegiatan belajar dan mengajar adalah rumah Ibnu Sinah, Al-Ghazali, rumah Ali
Ibnu Muhammad, rumah Al-Fashihih, rumah Ya’kub Ibnu Killis, rumah Wazir
Khalifah Al-Aziz billah Al-Fatimi, Rumah Abu Muhammad Ibnu Hattim Al Razi Al
Hafiz dan rumah Abi Sulaiman Al Sajastani.[52]
Rumah-rumah
para ulama’ di atas dijadikan sebagai tempat pusat pembelajaran pada waktu itu
dengan pertimbangan bahwa (a) rumah sebenarnya dapat digunakan untuk
membicarakan hal-hal yang bersifat khusus (b) Situasi guru yang mengajar agak
terbatas, misalnya terlalu sibuk, lelah, umur suda tua dan lain-lain (c)
Anggapan bahwa mendatangi guru untuk belajar lebih baik dari pada guru
mendatang muridnya untuk mengajar.[53] Selanjutnya
Ahmad Syalabi, mengemukakan bahwa dipergunakannya rumah-rumah ulama dan para
ahli tersebut adalah karena terpaksa dalam keadaan darurat.
Toko-toko Buku
Pada
awal pemerintahan dinasti Abbasiyah di Baghdad, lembaga pendidikan Islam dalam
bentuk toko-toko buku telah bermunculan di pusat-pusat kota, selain
sebagai agen komersialisasi berbagai buku ilmiah, juga menjadi
pusat pembelajaran umat Islam melalui metode
diskusi mengenai isi buku yang dicari atau
ditawarkan. Kemudian lembaga-lembaga pendidikan ini menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah kekuasaan Islam saat itu. Mengutip pendapat al-Yaqubi, Hitty menjelaskan bahwa pada
masa itu, sekitar tahun 891 M terdapat pusat pertokoan yang berjejer lebih dari
seratus toko buku dalam satu jalan. Beberapa toko buku itu merupakan stan
(kamar) yang lebih kecil ukurannya dari surau, tetapi terdapat juga
kamar yang lebih besar yang berfungsi sebagai
pusat penelitian hasil karya seni dan
menjadi taman wacana bagi pengembara ilmu yang
datang dari berbagai wilayah Islam.[54] Toko buku selain
sebagai tempat menjual buku juga digunakan
sebagai pusat diskusi tentang berbagai karya sastra oleh para cendekiawan dan pujangga.[55]
Selama masa kejayaan Dinasti Abbasiyah
, toko-toko buku berkembang dengan pesat seiring dengan pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan. Pada mulanya toko-toko kitab tersebut berfungsi sebagai
tempat berjual beli kitab-kitab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu
pemgetahuan yang berkembang pada masa itu. mereka membeli dari para penulisnya
kemudian menjualnya kepada siapa yang berminat untuk mempelajarinya.
Saudagar-saudagar buku tersebut bukan
lah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan dan laba, akan tetapi
kebanyakan mereka adalah sastrawan-sastrawan cerdas, yang telah memilih usaha
sebagai pedagang kitab tersebut, agar mereka mendapat kesempatan yang baik
untuk membaca dan menelaah, serta bergaul dengan para ulama dan
pujangga-pujangga. Mereka juga menyalin kitab-kitab yang penting dan
menyodorkan kepada mereka yang memerlukan dengan mrndapat imbalan.
Dengan demikian toko-toko kitab
tersebut telah berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat berjual beli
kitab saja, tetapi juga merupakan tempat berkumpulnya para ulama, pujangga dan
para ahli ilmu lainnya, untuk berdiskusi, berdebat tukar fikiran dalam berbagai
masalah ilmiah.[56] Jadi sekaligus
berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan macam ilmu
pengetahuan dan kebudayaan islam. Pemilik buku biasanya berfungsi sebagai tuan
rumah dan kadang-kadang berfungsi sebagai pemimpin studi tersebut. Ini semua
menunjukkan bahwa betapa antusias umat Islam masa itu dalam menuntut ilmu.
Perpustakaan
Salah satu ciri penting pada masa Dinasti Abbasiyah
adalah tumbuh dan berkembangnya dengan pesat perpustakaan-perpustakaan baik
perpustakaan yang sifatnya umum didirikan oleh pemerintah, maupun perpustakaan
yang sifatnya khusus didirikan oleh para ulama atau para sarjana. Bait
Al Hikmah adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid dan
berkembang pesat pada masa Al-Ma’mun, merupakan salah satu contoh dari
perpustakaan dunia Islam yang lengkap, yang berisi ilmu agama dan bahasa arab.
Di dalamnya terdapat bermacam-macam buku ilmu pengetahuan yang berkembang pada
masa itu serta berbagai buku terjemahan dari bahasa yunani, Persia, India,
Qibti dan Aramy.[57] Perpustakaan dikatakan sebagai lembaga
pendidikan karena sebagaimana diketahui, bahwa pada masa itu, buku-buku sangat
mahal harganya, ditulis dengan tangan, sehingga hanya orang-orang kaya saja
yang bisa memiliki secara pribadi. Oleh karena itu, bagi masyarakat umum
pencinta ilmu, tentu memanfaatkan perpustakaan ini sebagai sarana memperoleh
ilmu pengetahuan, dan untuk selanjunya di kembangkan.
Majlis
Lembaga
pendidikan Islam dalam bentuk majlis sastra mulai
populer berkembang secara formal sejak masa
dinasti Umayyah dan Abbasiyah, tetapi keberadaannya telah dimulai
sejak masa Khulafaur Rasyidin. Di lembaga ini,
umat Islam belajar tentang berbagai syair, baik
dalam bahasa Arab maupun bahasa Persia yang
berhubungan dengan agama Islam dan kondisi kehidupan sosial-budaya masyarakat
secara menyeluruh. Pada masa Abbasiyah, selalu
diadakan perdebatan dan diskusi tentang keahlian
bersyair diantara sastrawan dari berbagai
disiplin ilmu, termasuk juga perlombaan di antara para seniman dan pujangga,
khususnya dalam bidang kaligrafi Alquran dan
arsitektur. Lembaga pendidikan ini menjadi salah
satu corong pemerintah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
dalam bidang seni dan budaya umat Islam
sehingga mampu menghasilkan karya seni dan budaya
yang menakjubkan saat itu.[58]
Majlis
yang dimaksud adalah suatu majlis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk
mermbahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majlis ini bermula sejak zaman
Khulafa Ar-rasyid, yang biasanya memberikan fatwa dan musyawarah serta diskusi
dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa
itu. tempat pertemuan padamasa itu adalah mesjid. Setelah pada masa khalifah
Bani Umaiyah tempat majlis tersebut dipindahkan ke istana. dan hanya
dihadiri oleh orang orang tertentu saja. Bahkan pada
masa khalifah Abbasiyah, majlis sastra ini sangat menjadi kebanggaan,[59] khalifah yang memang pada umumnya khalifah-khalifah Bani Abbas ini sangat
menarik perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan.
Saloon sastra yang berkembang di
sekitar para khalifah yang berwawasan ilmu dan para cendekiawan sahabatnya,
menjadi tempat pertemuan untuk bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu
pengetahuan.
Pada masa Harun Ar-Rasyid majelis
sastra ini mengalami kemajuan yang luar bisa, karena khalifah sendiri adalah
ahli ilmu pengetahuan yang cerdas, sehingga khalifah aktif didalamnya. Di
samping itu pada masa tersebut dunia islam memang diwarnai oleh perkembangan
ilmu pengetahuan sedangkan Negara dalam keadaan aman. Pada masa beliau juga
sering diadakan perlombaan antara ahli-ahli syair, perdebatan antara fuqaha dan
juga sayembara antara ahli kesenian dan pujangga.[60]
Pada masa perkembangan ilmu
pengetahuan, pendidikan Islam mengalami zaman keemasan majelis berarti sesi
dimana aktifitas pengajaran atau diskusi berlangsung seiring dengan
perkembangan pengetahuan dalam Islam. Majelis digunakan untuk kegiatan transfer
keilmuan dari berbagai ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Setidaknya ada 7
macam majelis yang dapat diketahui yaitu :
1.
Majelis al-Hadits
Majelis ini
biasanya diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli dalam bidang hadits.
Ulama tersebut membentuk majlis untuk mengajarkan ilmunya kepada murid-murid.
2.
Majelis At-Tadris
Majelis ini
biasanya menunjukkan kepada majelis selain dari pada hadits, seperti majelis
fiqih. Majelis nahwu, atau majelis kalam.
3.
Majelis al-Munazharoh
Majelis ini
dipergunakan sebagai sarana untuk membahas perbedaan mengenai suatu masalah
oleh para ulama’. Menurut Ahmad Syalabi khalifah Muawiyah sering mengundang
para ulama’ untuk berdiskusi di istananya, demikian juga dengan khalifah
al-Ma’mun dan dinasti Abbasiah. Di luar istana majlis ini ada yang dilaksanakan
secara kontinu dan spontanitas, bahkan ada yang berupa kontes terbuka
dikalangan ulama’. Untuk model ini biasanya hanya dipakai untuk mencari
populeritas ulama’ saja.[61]
4.
Majelis al Muzakaroh
Majelis ini merupakan inovasi dari murid-murid yang belajar hadis. Majelis ini
diselenggarakan sebagai sarana untuk berkumpul dan saling mengingat dan
mengulangi pelajaran yang sudah diberikan sambil menunggu kehadiran guru.
5.
Majelis al-Adab
Majelis ini
adalah tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi puisi, silsilah dan
laporan sejarah bagi orang orang terkenal.
6.
Majelis al-Fatwa dan Majlis al-Nazar
Majelis ini
merupakan sarana pertemuan untuk mencari keputusan suatu masalah di
bidang hukum kemudian difatwakan. Disebut pula majelis al-Nazar karena
karakteristik Majelis ini adalah majlis tempat perdebatan diantara ulama
fiqih/hukum islam.
Kesimpulan
Pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam
klasik banyak sekali pendapat dan ungkapan yang berbeda diantara para ilmuwan,
dan ini membuktikan bahwa untuk mengidentifikasi sejarah pertumbuhan dan
perkembangan pendidikan Islam sangat sulit, karena teknologi untuk mengabadikan
perjalan sejarah pada waktu itu belum ada dan sangat tradisional. Untuk itu
perbedaan ini merupakan bagian data dan fakta yang mendukung kebenaran statemen
di atas. Dari berbagai ungkapan para ahli sebenarnya banyak sekali lembaga
pendidikan pra madrasa ini, seperti; rumah, kuttab/maktab, zawiyah, ribath,
khanangah, masjid, khan, majlis, pendidikan rendah di istinah (al-Qusur), toko
atau kedai kitab (hawanit al-waraqin), manzil al-ulama’, al-Shalunat
al-Adabiyah (sanggar sastra), Badiah (padang pasir tempat tinggal baduwi),
al-Maristan (rumah sakit), al-Maktabat (perpustakaan), masjid atau suffah, dan lain-lain.
Namun menurut penulis dalam tindakan
penyederhanaan konsep agar mudah dipahami dan dimengerti tentang pertumbuhan
dan perkembangan lembaga pendidikan era klasik pra madrasah ini adalah dibagi
menjadi dua bentuk, (1) lembaga formal seperti (a) kuttab, (b) masjid, (c) masjid
khan, dan (d) madrasah, Lembaga-lembaga inilah yang lebih spesifik dapat
dilihat proses pembelajarannya secara formal dalam melakukan perubahan dalam
aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan kaum Muslimin yang berdasarkan
kurikulum dan metode yang memiliki kesamaan. Sedangkan yang ke (2) lembaga non
formal, dimana lembaga ini tujuan utamanya adalah tidak murni merupakan sebuah
lembaga pendidikan melainkan berperan ganda dalam proses layanannya. Seperti suffah,
rumah para ulama’, zawiyah, ribath, khanangah, toko-toko buku, perpustakaan
rumah sakit dan lain sebagainya.
Daftar Pustaka
Abuddin Nata 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Abdullah Fajar 1996. Peradaban dan Pendidikan Islam.
Jakarta: Rajawali Pers
Aboe Bakar Atjeh, 1992. Pengantar Ilmu Tarekat. Solo;
Ramadhani,
Ahmad Syalabi,
1954. History of Muslim Education. Beirut: Dar al-Kassyaf
Ahmad Shalabi,
al-Tharbiyah
al-Islamiyah Nuzumuha, Faalsafatuha, Tarikhuha.
Asma Hasan Fahmi 1979. Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, edisi Indonesia. Jakarta:
Bulan Bintang
Asma Hasan Fahmi 1979. Mabaadiut Tarbiyatul Islamiyah. Jakarta: Bulan Bintang
Azyumardi Azra, 1999. Membongkar Peranan Perempuan dalam Bidang Keilmuan. Jakarta: JPPR,
Hanun Asroha 1999. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: Logos
Hasan, Ali, 1992. Sejarah dan Metodologi
Tafsir,(terj)Arkom. Jakarta: Rajawali.
Hasan Asari 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Bandung:
Mizan
Khalifah Rasyidin, Bani Umayyah dan
Abbasiyah sampai zaman mamluks dan umayyah turki, Jakarta: Mutiara Cetakan Pertama
Muhammad Yunus 1992. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: Hidakarya Agung
Mahmud Yunus,
1996. Sejarah Pendidikan Islam, dari Zaman Nabi
Muhammad SAW., Khalifah Rasyidin, Bani Umayyah dan Abbasiyah sampai zaman
mamluks dan umayyah turki, Jakarta: Mutiara
Musnur Heri 2009. Sejarah
Pendidikan Islam. IAIN Raden Fatah Press
Nakosten, Mahdi. 1989. History of Islamic Origins of Western Education
A.D. 800-1350. Colorado: Colorado
University
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Napaktilas
Perubahan Konsep, Filsafat dan Metodologi Pendidikan Islam dari Era Nabi SAW
sampai Ulama Nusantara
Rahmawati Rakhim 2005. Kurikulum Dasar Lembaga Kuttab, dalam Concencia Jurnal Pendidikan
Islam N0. 1 Volume V. Palembang: PPs IAIN Raden Fatah
Samsul Nizar, Napaktilas
Perubahan Konsep,Fiflsafat, dan Metodologi Pendidikan Islam dari Era Nabi SAW
sampai Ulama Nusantara
Samsul Nizar 2008, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Stanton, Chalaarles Michael.1994. Pendidikan Tinggi Dalam Islam. Ter. Afandi dan Hasan Asyari. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu
Zuhairini 1997. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
[6] Abuddin Nata
2004. Sejarah Pendidikan Islam pada periode klasik dan pertengahan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. Hlm. 29-43.
[7] Mahmud Yunus, 1996. Sejarah Pendidikan Islam, dari Zaman Nabi Muhammad
SAW., Khalifah Rasyidin, Bani Umayyah dan Abbasiyah sampai zaman mamluks dan
umayyah turki, Jakarta: Mutiara Cetakan Pertama, hal. 6
[15]
Ibid.
[17] Halaqah al-dars (biasa disebut halaqah saja)
atau "lingkaran belajar", termasuk lembaga pendidikan Islam yang
cukup dikenal sebelum lahirnya madrasah. Sebagian
ahli bahkan mengatakan; bahwa halaqah masih ada dan dilangsungkan meskipun Madrasah telah bermunculan di dunia Islam. Malah ada yang mengatakan bahwa Halaqah
al-dars juga sering dilangsungkan di Madrasah. Halaqah
al-dars ini sebagai lembaga pendidikan. Dia
beralasan bahwa pendidikan Islam sebenarnya merupakan sesuatu yang bersifat
mudah dan fleksibel. Artinya, ia tidak harus (Asma
Hasan Fahmi, 1979. Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, edisi Indonesia .Jakarta: Bulan Bintang. 40)
[18] Samsul Nizar
2005. Reformasi Pendidikan Islam Menghadapi Pasar Bebas. Jakarta: The
Minangkabau Foundation. Hlm. 6-7
[19]
Samsul Nizar. Op.Cit., hlm. 111
[23]
Samsul Nizar 2008, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hlm. 113
[24]
Ibid
[25]Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf al-Qur’an ini
terjadi pada tahun 25 H, Ustman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam
pelafalan agar mengacu pada logat bahasa suku Quraisy karena al-Qur’an
diturunkan dengan gaya bahasa mereka. Lihat: Hasan,
Ali, 1992. Sejarah
dan Metodologi Tafsir,(terj)Arkom. Jakarta: Rajawali.
[26]Samsul
Nizar, Sejarah
Pendidikan
Islam,
Napaktilas Perubahan Konsep, Fiflsafat, dan Metodologi Pendidikan Islam dari
Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, halm. 7
[28]
Samsul Nizar, Op.Cit., hlm. 8
[30] Istilah Helenistik (berasal dari kata Ἕλλην Héllēn, istilah
yang dipakai secara tradisional oleh orang Yunani sendiri untuk menyebutkan
nama etnik mereka) mula-mula dipakai oleh ahli sejarah Jerman, Johann Gustav
Droysen merujuk pada penyebaran peradaban Yunani pada bangsa bukan Yunani yang
ditaklukkan oleh Aleksander Agung. Menurut Droysen, peradaban Helenistik adalah
fusi/gabungan dari peradaban Yunani dengan peradaban Timur Dekat. Pusat
kebudayaan utama berkembang dari daratan Yunani ke Pergamon, Rhodes, Antioch
dan Aleksandria/Iskandariyah. Helenis jika diartikan sebagai “kebudayaan Yunani” yang
membaur dengan kebudayaan lain atau dengan sengaja ditanamkan ke dalam sebuah
kebudayaan daerah taklukan maka dapat dikatakan Helenis sudah berkembang lebih
dari empat abad sebelum Aleksander atau sekitar abd 8SM, namun jika
diterjemahkan secara khas maka Helenisme dapat dipersempit cakupannya terbatas
hanya pada masa Aleksander dan kebijakan-kebijakan pemerintahannya dan segala
yang berkaitan dengan kebudayaan dan filsafat dimasanya.
(http://kuninghijau.wordpress.com/2011/07/26/helenisme/)
[32]
Samsul Nizar Op.Cit., hlm. 114
[36] Rahmawati
Rakhim 2005. Kurikulum Dasar Lembaga Kuttab, dalam Concencia Jurnal Pendidikan
Islam N0. 1 Volume V. Palembang: PPs IAIN Raden Fatah. Hlm. 80
[37]
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Napaktilas Perubahan Konsep,
Filsafat dan Metodologi Pendidikan Islam dari Era Nabi SAW sampai Ulama
Nusantara, hlm 82
[39]
Asma Hasan Fahmi 1979. Mabaadiut
Tarbiyatul Islamiyah. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 46
[43]
Azyumardi Azra, Membongkar
Peranan Perempuan dalam Bidang Keilmuan, (Jakarta: JPPR, 1999), hlm. 80
[44]
Ahmad Syalabi. 1960. Tarikh
al-Tarbiyah al-Islamiyah. Cairo: Maktabah al-Anjal al-Misriyyah. Hal. 87-88
[45] Samsul Nizar, Napaktilas Perubahan Konsep,Fiflsafat,
dan Metodologi Pendidikan Islam dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, hlm.116
[48] Stanton,
Chalaarles Michael.1994. Pendidikan
Tinggi Dalam Islam. Ter. Afandi dan Hasan Asyari. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hal. 23
[50] Ramayulis,
Sejarah Pendidikan Islam, Napaktilas Perubahan Konsep,Fiflsafat, dan Metodologi
Pendidikan Islam dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, hlm 46
[53] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, napaktilas
Perubahan Konsep, Filsafat dan Metodologi Pendidikan Islam dari Era Nabi SAW
sampai Ulama Nusantara, hlm 81
[58]
Nakosten, Mahdi. 1989. History of Islamic
Origins of Western Education
A.D. 800-1350. (Colorado: Colorado
University. Hal. 51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar