Pendahuluan
Dalam proses pembelajaran, guru dan peserta didik sering dihadapkan pada
berbagai masalah, baik yang berkaitan dengan mata pelajaran maupun yang
menyangkut hubungan sosial. Pemecahan masalah pembelajaran dapat dilakukan
melalui berbagai cara, melalui diskusi kelas, tanya jawab antara guru dan
peserta didik, penemuan dan inkuiri. Konsep yang dipakai sebagai upaya
pemecahan permasalahan itulah yang dimaksud dengan model pembelajaran.
Model Pembelajaran
adalah an instructional model is a step-by-step procedure that
leads to specific learning outcomes.[1](model pembelajaran adalah prosedur langkah-demi-langkah yang
mengarah ke hasil belajar yang
spesifik). Joyce & Weil
(1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual
yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan
demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang
melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman
belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model pembelajaran cenderung preskriptif
(dalam mencapai tujuan), yang relatif sulit
dibedakan dengan strategi pembelajaran.[2]
Dan strategi pembelajaran adalah An instructional strategy is
a method for delivering instruction that is intended to help students achieve a
learning objective.[3](
Strategi pembelajaran adalah metode
untuk memberikan instruksi
yang dimaksudkan untuk membantu siswa
mencapai tujuan pembelajaran). Memahami
beberapa pernyataan di atas betapa perlu dan penting model pembelajaran
dihadirkan dalam proses pembelajaran agar situasi dan kondisi pemebelajaran
menjadi baik dan terarah.
Banyak model pembelajaran yang dapat dipakai oleh seorang guru
untuk menunjang kegiatan pembelajaran untuk menjadi lebih baik, dan jika
seorang guru dapat memanfaatkan media, sumber atau literatur tentang permodelan
dalam pembelajaran tersebut, maka guru akan menjadi profesional dalam
menjalankan tugasnya. Satu contoh model yang dapat digunakan adalah model
pembelajaran sosial. Mengapa dikatakan model pembelajaran sosial? “Karena
pendekatan pembelajaran yang termasuk dalam kategori model ini menekankan
hubungan individu dengan masyarakat atau orang lain. Model-model dalam kategori
ini difokuskan pada peningkatan kemampuan individu dalam berhubungan dengan
orang lain, terlibat dalam proses demokratis dan bekerja secara produktif dalam
masyarakat”.[4] Dengan demikian siswa dalam proses belajar akan memasuki nuansa sebenarnya
dimana problem sosial yang mungkin saja dihadapinya setiap hari. Dalam proses
pembelajaran itu siswa mencoba mengatasi sendiri permasalahan-permasalahannya
dengan baik.
Satu sisi dari eksistensi manusia itu adalah sebagai makhluk sosial, maka
menjadi sangat penting bila anak-anak itu diajarkan sedini mungkin pada pola
kehidupan sosial. Bahkan Elizabeth B. Hurlock mengungkapkan bahwa “
karena pola perilaku sosial atau perilaku yang tidak sosial dibina pada masa
kanak-kanak awal atau masa pembentukan, maka pengalaman sosial itu sangat
menentukan kepribadian setelah anak menjadi dewasa”[5].
Untuk itu model pembelajaran sosial ini menitik beratkan terhadap tingkah laku
anak pada peran, simulasi dan tanggap serta dapat mengatasi problem-problem
sosial yang dialami anak dengan baik.
Untuk lebih jelas tentang apa sajakah yang tergolong dalam model
pembelajaran sosial ini, penulis akan merujuk pada konsep Hamzah B. Uno dalam
bukunya model pembelajaran, beliau membaginya menjadi 3 model pembelajaran
sosial, yaitu (1) model pembelajaran bermain peran, (2) model pembelajaran
simulasi sosial dan (3) model pembelajaran telaah kajian yurisprudensi[6].
Ketiga model inilah yang akan di bahas dalam makalah ini.
Rumusan Masalah
Dari uraian pendahuluan di atas, maka makalah tentang model pembelajaran sosial
ini akan membahas tentang hal-hal sebagai berikut:
1. Apa dan bagaimana proses pelaksanaaan model pembelajaran bermain peran?
2. Apa dan bagaimana proses pelaksanaaan model pembelajaran simulasi sosial?
3. Apa dan bagaimana proses pelaksanaaan model pembelajaran telaah
yurisprudensi?
Pembahasan
Model Pembelajaran
Bermain Peran
Pengertian
Bermain peran adalah sebagai suatu model pembelajaran bertujuan untuk
membantu siswa menemukan makna diri (jati diri) di dunia sosial dan memecahkan
dilema dengan bantuan kelompok. Artinya, melalui bermain peran siswa belajar
menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran-peran yang berbeda dan
memikirkan prilaku dirinya dan prilaku orang lain.[7]
Model
pembelajaran bermain peran merupakan puncak (klimaks) pada model pembelajaran berbicara.
Artinya model pembelajaran ini sebagai tataran tertinggi dalam model
pembelajaran berbicara. Jika dalam model pembelajaran lainya masih terdapat campur
tangan guru, maka dalam bermain peran ini sudah hampir 100% murni dari
inisiatif, spontanitas dan pemikiran peserta didik. Dalam praktiknya bermain peran
ini menyerupai sandiwara atau drama, hanya saja dalam bentuk yang lebih kecil
atau sederhana. Maka peserta didik akan memperoleh peran dan teks dialog yang
harus dihafalkan untuk ditampilkan di depan kelas.[8]
Chasler (1966) mengatakan, these
parts people play are called roles. A role is "a patterned sequence of
feelings, words, and actions.... It is a unique and accustomed manner of
relating to others" [9] Bagian-bagian orang bermain disebut peran. Peran adalah "urutan
bermotif perasaan, kata-kata, dan tindakan .... Ini adalah cara yang unik
dan terbiasa berhubungan dengan orang lain. Jadi
dalam model pembelajaran ini sangat ditekankan anak-anak untuk menggunakan
perasaan dengan baik, kata-kata yang tegas dan yang lebih penting juga adalah
penghayatan karakter tokoh yang diperankan, dengan tujuan menimbulkan tingkah
laku yang sempurnah dalam action pemeran.
Terdapat
empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan
perilaku dan nilai-nilai social, yang kedudukannya sejajar dengan model-model
mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:
1. Secara implicit bermain peran
mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan
isi pelajaran pada situasi “di sini pada saat ini”. Model ini percaya
bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy[10]
mengenai situasi kehidupan nyata. Terhadap analogy yang diwujudkan dalam
bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil
belajar dari respons orang lain.
2.
Kedua, bermain peran memungkinkan
para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal
tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi
beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran
yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan
penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama.
Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah
pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari
pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional
pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot
emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain
peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
3. Model bermain peran berasumsi bahwa
emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan
melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu,
tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang
diperankan. Denagn demikian, para peserta didik dapat belajar dari
pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya
dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan
demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang
cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini
berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam
pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut
aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang
lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
4. Model bermain peran berasumsi bahwa
proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan system
keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara
spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya
yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu
dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik
sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.[11]
Dari empat
asumsi di atas terlihat dengan jelas dasar pembelajaran bermain peran itu
adalah untuk mengembangkan prilaku dan nilai-nilai sosial. Materi pembelajaran
yang diberikan disesuaikan dengan kehidupan kekinian para siswa, peserta didik dapat
mengungkapkan perasaannya drngan orientasi kebaikan dan kegagalan dari individu
lain, peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara
memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
dirinya secara optimal, dan para pserta
didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah
sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Dasar-dasar
ini yang membuat model bermain peran banyak disukai, baik oleh peserta didik
maupun para pendidik itu sendiri. Model ini disamping pelaksanaannya sangat
menyentuh sampai ke asfek keterampilan yang dimiliki siswa, model ini juga
sangat mudah dan praktis dalam pelaksaannya, lebih praktisnya model ini dapat
digunakan dimana saja terutama di alam terbuka adalah suatu tempat yang sangat
baik dalam pelaksanaan pembelajaran dengan model bermain peran ini.
Selanjutnya
dalam pelaksanaan proses model pembelajaran sosial ini keberhasilannya akan
bergantung kepada kualitas dan keefektifan siswa dalam memainkan peranya,
disamping itu perlu juga ditunjang oleh kualitas pemeranan, analisis dan
diskusi serta pandangan peserta didik terhadap peran yang ditampilkan
dibandingkan dengan situasi kehidupan yang nyata.
Shaftel (1967) mengungkapkan “In role playing, students explore
human relations problems by enacting problem situations and then discussing the
enactments.Together, students can explore feelings, attitudes, values, and
problem-solving strategies.[12]. Dalam bermain peran, siswa mengeksplorasi masalah hubungan manusia dengan memberlakukan situasi masalah, kemudian mendiskusikan enactments
(keadaan atau situasi atau hukum yang berlaku) secara bersama, siswa dapat mengeksplorasi
perasaan, sikap, nilai, dan
strategi dalam pemecahan masalah. We have also
incorporates ideas from the work of Mark Chesler and Robert Fox (Kami juga telah menggabungkan ide dari karya Mark
Chesler dan Robert Fox).
Role
playing as a model of teaching has roots in both the personal and social
dimensions of education. It attempts to help individuals find personal meaning
within their social worlds and to resolve personal dilemmas with the assistance
of the social group. In the social dimension, it allows individuals to work
together in analyzing social situations, especially interpersonal problems, and
in developing decent and democratic ways of coping with these situations. We
have placed role playing in the social family of models because the social
group plays such an indispensable partin human development and because of the
unique opportunity that role playing offers for resolving interpersonal and
social dilemmas. Bermain peran sebagai model pembelajaran memiliki akar di kedua pribadi
dan dimensi sosial pendidikan.
Ia mencoba untuk membantu individu
menemukan makna pribadi dalam dunia sosial mereka dan untuk mengatasi dilema pribadi dengan bantuan dari kelompok
sosial. Dalam dimensi sosial,
memungkinkan individu untuk bekerja sama dalam menganalisis situasi sosial, terutama antar masalah pribadi, dan dalam mengembangkan cara-cara yang layak dan demokratis untuk mengatasi situasi ini. Kami telah menempatkan model bermain peran dalam
keluarga sosial karena kelompok sosial memainkan peran seperti yang diperlukan, karena kesempatan pengembangan
pribadi manusia penting
dan unik yang menawarkan permainan
peran untuk menyelesaikan dilema
interpersonal dan sosial.[13]
Shaftel
mengungkapkan bahwa bermain peran ini sebagai model pembelajaran yang berpusat
pada dimensi pendidikan, model ini semaksimal mungkin membantu peserta didik
untuk menemui makna diri atau jati dirinya. Dalam dimensi sosial siswa dapat
berdiskusi dan menganalisa situasi sosial terutama antar masalah pribadi mereka,
dengan demikian model bermain peran ini sangat baik sekali diterapkan untuk
menggali lebih jauh potensi apa yang sebenarnya yang ada dalam diri peserta
didik itu, serta permasalahan apa yang sebenarnya dialami oleh siswa yang dapat
dijadikan dasar bagi seorang guru untuk mencapai tujuan pendidikan.
Bruce
Joyce Marsha Weil dalam
bukunya Models Of
Teaching mengungkapkan
bahwa esensi atau inti sari dari model pembelajaran bermain peran adalah:
The essence of role playing is the involvement of participants and
observers
in a real problem situation and the desire for resolution and
understanding
that this involvement engenders. The role-playing process provides a
live sample of human behavior that serves as a vehicle for students to: (1)
explore their feelings; (2) gain insight into their attitudes, values, and perceptions;
(3) develop their problem-solving skills and attitudes; and (4)
explore subject matter in varied ways. Inti
dari permainan peran adalah
keterlibatan peserta dan pengamat
dalam situasi masalah yang nyata dan keinginan untuk resolusi dan pemahaman yang menimbulkan keterlibatan ini. Proses
role-playing menyediakan contoh hidup dari
perilaku manusia yang berfungsi sebagai
wahana bagi siswa untuk: (1)
mengeksplorasi perasaan mereka,
(2) mendapatkan informasi tentang sikap,
nilai-nilai, dan persepsi,
mereka (3) mengembangkan keterampilan
dan sikap dalam pemecahan masalah
mereka, dan (4) mengeksplorasi
materi pelajaran dengan cara yang
bervariasi.[14]
Sebagai
sebuah kesimpulan, dimana hakikat atau intisari dari model bermain peran ini
adalah terletak pada keterlibatan peserta didik dan pengamat dalam situasi
permasalahan yang nyata, dan keterlibatan tersebut akan membuat personal
menjadi paham akan permasalahan yang akan diungkapkan. Seperti dengan bermain
peran yang menyediakan contoh hidup dari prilaku manusia (tampilan berbagai
ekspresi dari tokoh yang diperankan) dapat berfungsi sebagai sarana bagi siswa
untuk mewujudkan perasaan mereka, mendapatkan informasi tentang sikap,
nilai-nilai dan persepsi mereka, serta dapat mengembangkan keterampilan dalam
pemecahan masalah mereka, dan tidak kalah pentingnya adalah dapat
mengekplorasi (menyampaikan) materi
pelajaran dengan cara yang berpariasi.
Prosedur atau Hakikat Model Pembelajaran
Bermain Peran
The Shaftels suggest that the role-playing activity consist of nine steps: (1)
warm up the group, (2) select participants, (3) set the stage, (4) prepare observers,
(5) enact, (6) discuss and evaluate, (7) reenact, (8) discuss and evaluate, and
(9) share experiences and generalize Menurut Shaftel (1967), Shaftels menunjukkan
bahwa aktivitas bermain peran terdiri
dari sembilan langkah: (1)
pemanasan kelompok, (2) memilih peserta, (3)
mengatur panggung, (4) menyiapkan
pengamat, (5) memberlakukan,
(6) mendiskusikan dan mengevaluasi, (7) menghidupkan
kembali, (8) membahas dan mengevaluasi, dan (9) berbagi
pengalaman dan generalisasi.[15]
Hamzah Uno dalam bukunya Model Pembelajaran menjelaskan satu persatu
tentang 9 prosedur Model Pembelajaran Bermain Peran yang diungkapkan oleh Shaftel
di atas sebagai berikut:
Pertama, pemanasan. Guru berupaya memperkenalkan siswa pada permasalahan yang mereka
sadari sebagai suatu hal yang bagi semua orang perlu mempelajari dan
menguasainya. Selanjutnya menggambarkan permasalahan dengan jelas disertai
contoh. Hal ini bisa dari imajinasi siswa atau sengaja sudah dipersiapkan oleh
guru. Contoh, guru menyediakan suatu cerita untuk dibacakan di depan kelas.
Pembacaan cerita berhenti jika cerita sudah menjadi jelas. Kemudian dilanjutkan
dengan pengajuan pertanyaan oleh guru yang membuat siswa berfikir tentang hal
tersebut dan memprediksi akhir dari cerita.
Langkah kedua, memilih pemain (partisipan). Siswa dan guru membahas karakter dari setiap pemain
dan menentukan siapa yang akan memainkannya.Dalam pemilihan pemain ini bisa
dilakukan oleh guru atau siswa sendiri yang menetapkan siapa yang akan
memainkan peran siapa dalam ide cerita yang akan dimainkan. Menyerahkan kepada
siswa untuk menentukan peran masing-masing adalah lebih baik, namun jika siswa
fasif dan tidak mau memerankan sebagai siapa saja barulah guru yang
menetapkannya.Contoh seorang guru menunjuk siswa untuk berperan sebagai seorang
ayah yang galah dan berkumis tebal, guru menunjuk seorang anak untuk memerankan
seperti ilustrasi di atas.
Langkah ketiga menata panggung. Dalam hal ini guru mendiskusikan dengan siswa dimana dan bagaimana
peran itu akan dimainkan. Apa saja kebutuhan yang diperlukan. Penata panggung
ini dapat sederhana atau kompleks. Yang paling sederhana adalah hanya membahas
sekenario (tanpa dialok lengkap) yang menggambarkan urutan permainan peran.
Misalnya siapa dulu yang muncul, kemudian diikuti oleh siapa, dan seterusnya.
Sementara penataan panggung yang lebih kompleks meliputi aksesoris lain seperti
kostum dan lain-lain. Konsep sederhana memungkinkan untuk dilakukan karena
intinya bukan kemewahan panggung, tetapi proses bermain peran itu sendiri.
Langkah keempat, menyiapkan pengamat. Guru menunjuk beberapa siswa sebagai pengamat namun demikian,
penting untuk dicatat bahwa pengamatan disini harus juga terlibat aktif dalam
permainan peran. Untuk itu, walaupun mereka ditugaskan sebagai pengamat, guru
sebaiknya memberikan tugas peran terhadap mereka agar dapat terlibat aktif
dalam permainan peran tersebut.
Langkah kelima, memberlakukan ( Permainan peran dimulai). Permainan peran dilaksanakan secara sepontan. Pada awalnya akan
banyak siswa yang masih bingung memainkan atau bahkan tidak sesuai dengan peran
yang seharusnya ia lakukan. Bahkan, mingkin ada yang memaikan peran yang bukan
perannya. Jika permainan peran sudah terlalu jauh keluar jalur, guru dapat
menghentikannya untuk segera masuk kelangkah berikutnya.
Langkah keenam, diskusi dan evaluasi. Guru bersama siswa mendiskusikan permainan tadi dan melakukan
evaluasi terhadap peran-peran yang dilakukan. Usulan perbaikan akan muncul.
Mungkin ada siswa yang meminta untuk berganti peran. Atau bahkan alur ceritanya
akan sedikit berubah. Apapun hasil diskusi dan evaluasi tidak jadi masalah.
Setelah diskusi dan evaluasi selesai, dilanjutkan kelangkah ketujuh, yaitu permainan
peran ulang. Seharusnya, pada permainan peran kedua yang akan berjalan lebih
baik. Siswa dapat memainkan perannya lebih sesuai dengan sekenario. Dalam
diskusi dan evaluasi pada langkah kedelapan, pembahasan diskusi dan evaluasi
lebih diarahkan pada realitas. Mengapa demikian karena pada saat permainan
peran dilakukan, banyak peran yang melampaui batas kenyataan. Misalnya seorang
siswa memainkan peran sebagai pembeli. Dia membeli barang lain, seorang siswa
memerankan peran orang tua yang galak. Kegalakan yang dilakukan orang tua ini
dapat dijadikan bahan diskusi. Pada langkah kesembilan, siswa diajak untuk
berbagi pengalaman tentang tema permainan yang telah dilakukan dan dilanjutkan
dengan membuat kesimpulan. Misalnya siswa akan berbagi pengalaman tentang
bagaimana ia dimarahi habis-habisan oleh ayahnya. Kemudian guru membahas
bagaimana sebaiknya siswa menghadapi situasi tersebut. Seandainya jadi ayah
dari siswa tersebut, sikap yang seperti apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan
cara ini, siswa akan belajar tentang kehidupan.
Aplikasinya bahwa model bermain peran ini sangat fleksibel dan berlaku untuk beberapa hal penting berhubungan dengan tujuan pendidikan.
Melalui peran playihg,
siswa dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mengenali mereka sendiri dan perasaan orang lain,
mereka dapat memperoleh perilaku baru untuk menangani situasi yang sebelumnya sulit, dan mereka dapat meningkatkan keterampilan pemecahan
masalah mereka. Selain banyak
kegunaan, model role-playing ini juga
menyertakan serangkaian kegiatan yang menarik. Karena siswa menikmati tindakan akting,
lalu mudah untuk melupakan peran bermain sendiri dan
akting itu merupakan cara untuk mengembangkan isi
instruksi. Tahapan model tidak berakhir
dalam diri mereka, tetapi mereka
membantu mengekspos nilai siswa, tentang perasaan, sikap, dan
solusi masalah, yang guru kemudian harus dapat menanggapinya.[16]
Model Pembelajaran Simulasi Sosial
Pengertian
Model ini
dipelopori oleh Sarene Boocock dan Harold Guetzkow. Model
simulasi bukan berasal dari disiplin ilmu pendidikan, tetapi merupakan
penerapan dari prinsip sibernetik, suatu cabang dari psikologi sibernetik
yaitu suatu studi perbandingan antara mekanisme kontrol manusia dengan sistem
elektromekanik seperti komputer.
Jadi, ahli sibernetik menginterpretasikan manusia sebagai suatu sistem kontrol yang dapat mengarahkan tindakannya dan memperbaiki tindakannya dengan mendasarkan pada umpan balik. Dengan demikian, belajar dalam konteks sibernetik merupakan proses mengalami konsekuensi lingkungan secara sensorik dan melibatkan perilaku koreksi diri (self corrective behavior). Oleh karena itu, pembelajaran harus didesain sedemikian rupa sehingga tercipta suatu lingkungan yang dapat menghasilkan umpan balik yang optimal bagi siswa.[17] Smith mengungkapkan:
Jadi, ahli sibernetik menginterpretasikan manusia sebagai suatu sistem kontrol yang dapat mengarahkan tindakannya dan memperbaiki tindakannya dengan mendasarkan pada umpan balik. Dengan demikian, belajar dalam konteks sibernetik merupakan proses mengalami konsekuensi lingkungan secara sensorik dan melibatkan perilaku koreksi diri (self corrective behavior). Oleh karena itu, pembelajaran harus didesain sedemikian rupa sehingga tercipta suatu lingkungan yang dapat menghasilkan umpan balik yang optimal bagi siswa.[17] Smith mengungkapkan:
As a
discipline, cybernetics "has been described as the comparative study of
the human (or biological) control mechanism,and electromechanical systems such
as computers" The central focus is the apparent similarity between the
feedback control mechanisms of electromechanical systems and human systems: A
feedback control system incorporates three primary functions: it generates
movement of the system toward a target or defined path; it compares the effects
of this action with the true path and detects error; and it utilizes this error
signal to redirect the system Sebagai
suatu disiplin, cybernetics "telah
digambarkan sebagai studi perbandingan mekanisme
kontrol manusia (atau biologis), dan sistem elektromekanis seperti komputer". Fokus utama adalah kesamaan jelas
antara mekanisme kontrol
umpan balik dari sistem
elektromekanis dan sistem manusia: Sebuah sistem kontrol umpan balik menggabungkan tiga[18] fungsi utama: menghasilkan gerakan sistem menuju
target atau jalan yang ditetapkan,
itu membandingkan efek dari tindakan ini dengan jalan
yang benar dan mendeteksi kesalahan,
dan ini menggunakan sinyal error (kesalahan) untuk mengarahkan
sistem.[19]
Model
pembelajaran simulasi sosial merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip cybernetic
(cabang dari psikologi). Psikologi cybernetic menganalogikan manusia sebagai
suatu sistem kontrol yang menggerakkan jalannya tindakan dan membenarkan arah
atau mengoreksi tindakan tersebut dengan pengertian umpan balik. Menurut
psikologi cybernetic, tingkah laku manusia mencakup pola gerak yang dapat
diamati baik berupa tingkah laku tak tampak seperti pikiran maupun tingkah laku
tampak. Pada bermacam-macam situasi yang diberikan, individu memodifikasi
tingkah laku sesuai dengan umpan balik yang mereka terima dari lingkungannya.
Esensi
psikologi cybernetic adalah prinsip umpan balik yang berorientasi pada
pendirian individual yang dirasakan merupakan dampak yang ditimbulkan dari
keputusannya sendiri dan merupakan dasar untuk memperbaiki diri. Individu dapat
merasakan pengaruh dari ketetapan yang diambilnya akibat dari pemenuhan
kebutuhan lingkungan dari pada hanya mengatakan bahwa itu benar atau salah dan
coba lagi. Hal ini merupakan konsekuansi lingkungan dari pilihannya yang
dikembalikan kepadanya. Belajar dalam pengertian cybernetic adalah penginderaan
tingkah laku individu yang mempunyai akibat pada lingkungan serta perbaikan
diri. Pengajaran dalam pengertian sybernetic dirancang untuk menciptakan
lingkungan bagi siswa dengan sitem umpan balik.
Para ahli psikologi cybernetic menemukan bahwa
simulasi pendidikan memungkinkan siswa belajar untuk pertama kalinya dari
pengalaman yang disimulasikan dalam pembelajaran dari pada yang dijelaskan
guru. Bagaimanapun juga besarnya ketertiban keterlibatan siswa, mungkin siswa
masi belum siap mempelajari memahami apa yang mereka pelajari atau yang mereka
almi. Dengan demikian, guru memegang peranan penting dalam menumbuhnkan
kesadarab siswa tentang konsep dan prinsi-prinsip pendukung simulasi dan
reaksi-reaksinya. Selain itu guru berperan sebagai pelaku fungsi pengatur.
Dengan isu-isu dan permainan yang lebih komplek di dalam pembelajaran maka
kegiatan guru lebih kritis.
Dengan
demikian dalam menggunakan analogi sistem mekanik sebagai kerangka acuan untuk menganalisis
manusia, psikolog datang dengan ide sentral "bahwa kinerja dan
pembelajaran harus dianalisis dalam hal hubungan kontrol antara operator
manusia dan situasi instrumental. "Artinya, belajar dipahami akan
ditentukan oleh sifat individu, serta dengan desain situasi belajar.[20]
Jadi
simulator adalah suatu alat yang merepresentasikan realitas, dimana kerumitas
aktifitasnya dapat dikendalikan. Contoh simulator pilot pesawat terbang,
simulator pengendara mobil dan lain-lain.[21] Aplikasinya bahwa simulasi dapat merangsang suatu pembelajaran
tentang: (1) kompetisi, (2) kerjasama, (3) empati, (4) sistem sosial, (5) konsep, (6) keterampilan, (7)
efikasi, (8) membayar hukuman, (9) peran
kesempatan, dan (10) kemampuan untuk berpikir kritis
(memeriksa strategi alternatif dan mengantisipasi orang lain) dan membuat keputusan.[22] Setelah mengetahui dan memahami alur model pembelajaran ini
secara umum maka dirasa perlu membahas tentang prosedur atau hakikat model
pembelajaran simulasi dalam proses pembelajaran.
Prosedur atau Hakikat Model Pembelajaran
Simulasi Sosial
Sangat mudah
untuk mengasumsikan
bahwa karena kegiatan pembelajaran
telah dirancang dan dikemas oleh para ahli, guru memiliki
peran minimal untuk bermain dalam
situasi belajar. Orang cenderung percaya
bahwa permainan yang dirancang dengan
baik akan mengajarkan sendiri.
Tapi ini hanya sebagian benar. Psikolog Cybernetic menemukan
bahwa simulasi pendidikan memungkinkan siswa untuk belajar langsung
dari pengalaman simulasi dibangun ke dalam permainan dan bukan dari
penjelasan atau ceramah guru. Namun, karena keterlibatan
intens mereka, siswa mungkin tidak selalu menyadari apa yang mereka pelajari dan alami. Dengan demikian guru memiliki peran penting untuk bermain dalam meningkatkan kesadaran siswa tentang konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang mendasari simulasi dan reaksi mereka
sendiri. Selain itu, guru
memiliki fungsi manajerial yang
penting. Dengan permainan (game)
yang lebih kompleks dan isu-isu, bahkan
kegiatan guru adalah lebih
penting jika terjadi untuk belajar.
Bruce
Joyce Marsha Weil mengidentifikasi empat peran guru dalam
model simulasi yaitu: (1)
menjelaskan (explaining) (2) mewasiti (refereeing), (3) melatih (coaching),
dan (4) diskusi (Discussing).[23]
Menjelaskan (explaining). Untuk belajar
dari simulasi, para pemain
perlu memahami aturan-aturan yang cukup untuk melaksanakan sebagian besar kegiatan. Namun, tidak penting bahwa siswa
memiliki pemahaman yang lengkap dari
simulasi di awal. Seperti dalam
kehidupan nyata, banyak aturan menjadi relevan hanya sebagai kegiatan dilanjutkan.
Wasit (refereeing). Simulasi digunakan di dalam kelas yang dirancang untuk memberikan manfaat pendidikan.
Guru harus mengontrol partisipasi siswa dalam permainan untuk memastikan bahwa simulasi ada manfaatnya dilakukan. Sebelum
permainan ini dimainkan, guru harus
menetapkan siswa untuk tim (jika permainan melibatkan teamwork), sesuai kemampuan
individu dengan peran dalam simulasi untuk menjamin partisipasi aktif seluruh siswa. Siswa pemalu dan tegas,
misalnya, harus dicampur dalam satu tim. Salah satu hal yang harus dihindari guru adalah hanya mengutamakan siswa yang
aktif saja dan mengabaikan siswa yang fasif atau tidak memiliki pengetahuan
akademis. Guru harus menyadari terlebih
dahulu situasi simulasi pembelajaran aktif dan dengan demikian meminta kepada
siswa untuk bebas berekspresi dan bebas serta aktif bicara dibanding dari
kegiatan kelas lainnya. Guru harus
bertindak sebagai wasit yang melihat aturan-aturan permainan dan lebih baik guru tidak terlibat
dalam simulasi.
Melatih (coaching). Guru harus bertindak
sebagai pelatih bila perlu memberikan nasihat atau petunjuk pemainan
agar siswa bermain lebih baik. Sebagai
seorang pelatih hendaknya bertindak sebagai seorang supervisor yang sportif
bukan sebagai seorang yang otoriter. Dalam simulasi, pemain mungkin memiliki
kesalahan-kesalah dan mengandung beberapa resiko dan guru dalam hal ini harus
bersifat adil tidak memihak.
Mendiskusikan (Discussing). Setelah sesi simulasi selesai perlu
ada diskusi, membisarakan bagaimana permainan simulasi
dinyatakan dalam kehidupan sebenarnya, bagaimana tanggapan siswa, apa
kesulitan-kesulitan yang dijumpai, dan hubungan apa yang dapat diungkapkan
antara simulasi dan bahan yang dimaksudkan dalam simulasi yang dilaksanakan.
Mungkin juga kelas mempunyai cara-cara yang baik untuk menguji kebenaran
simulasi yang telah dilakukan.
Dalam pelaksanaannya model simulasi
sosial sebagaimana dikemukakan oleh Joyce dan Weil (1986) mempunyai empat
tahapan yaitu (1) orientasi), (2) partisipasi dalam latihan, (3) simulasi dan
(4) pemantapan. Berikut tabel tahapan pelaksanaan model pembelajaran simulasi
sosial.[24]
Tabel Tahapan Model
Pembelajaran Simulasi Sosial
NO
|
TAHAPAN
|
1
|
Orientasi:
1.
Menjelaskan
pokok-pokok dari tema simulasi dan konsep yang akan dituangkan dalam simulasi
yang akan ditangani
2.
Memberi
contoh dalam simulasi dan permainan.
3.
Memberikan
penjelasan awal.
|
2
|
Partisipasi dalam latihan:
1.
Penerapan
sekenario (peraturan-peraturan, prosedur, penilaian, tipe keputusan yang akan
diambil).
2.
Menunjuk
peranan.
3.
Meningkatkan
sesi yang praktis.
|
3.
|
Pelaksanaan Simulasi:
1.
Melaksanakan
kegiatan simulasi dan pengadministrasian pemain.
2.
Mendapatkan
umpan balik dan evaluasi dari penampilan efek-efek keputusan, serta
menjelaskan penyimpangan-penyimpangan konsep.
3.
Melanjutkan
simulasi.
|
4.
|
Pemantapan:
1.
Menyimpulkan
kejadian dan persepsi.
2.
Menyimpulkan
kesukaran dan pengamatan.
3.
Proses
analisa.
4.
Membandingkan
kegiatan simulasi dengan dunia nyata.
5.
Menghubungkan
kegiatan simulasi dengan isi pelajaran.
6.
Menilai dan
merencanakan kembali simulasi.
|
Dua hal yang dapat diperoleh siswa
dari penerapan model pembelajaran simulasi sosial. Pertama, pengalaman langsung
yang diperoleh dari permainan simulasi dan yang kedua pengalaman lanjutan yang diperoleh
dari kegiatan diskusi setelah sumulasi. Permulaan yang baik dalam berdiskusi
adalah meminta siswa untuk mengevaluasi bagaimana pengalaman mereka dalam permainan
serta membandingkannya dengan mereka yakni tentang kebenaran dalam dunia nyata.[25]
Model Pembelajaran Telaah
Yurisprudensi (Jurisprudential Inquiry)
Pengertian
Donald Oliver dan James P. Shaver (1966/1974) menciptakan
model penyelidikan yurisprudensi untuk
membantu siswa belajar untuk berpikir
secara sistematis tentang isu-isu
kontemporer. Hal ini membutuhkan mereka
untuk merumuskan masalah ini sebagai masalah
kebijakan publik dan menganalisis posisi
alternatif tentang mereka. Pada
dasarnya, itu adalah model
tingkat tinggi untuk pendidikan kewarganegaraan. Sebagai masyarakat
kita mengalami perubahan budaya
dan sosial, model penyelidikan yurisprudensi ini
sangat berguna dalam membantu orang memikirkan
kembali posisi mereka pada pertanyaan
hukum, etika, dan sosial yang penting. Warga perlu
memahami isu-isu kritis saat
ini dan berbagi dalam
perumusan kebijakan. Dengan memberi mereka alat untuk
menganalisis dan memperdebatkan isu-isu sosial, pendekatan yurisprudensi membantu siswa
dalam partisipasinya sebelum memberikan definisi atau rumusan yang tegas mengenai
nilai-nilai sosial (Shaver, 1995).[26]
Model pembelajaran yang dipelopori oleh Donal Oliver dan James
P. Shafer ini di dasarkan atas pemahaman masyarakat dimana setiap orang
berbeda pandangan dan prioritas satu sama lain, dan nilai-nilai
sosialnya saling berkonfrontasi satu sama lain. Memecahkan masalah kompleks dan
kontropersial di dalam konteks aturan sosial yang produktif membutuhkan warga
negara yang mampu berbicara satu sama lain dan bernegosiasi tentang keberadaan tersebut.
Oleh karena itu, pendidikan harus mampu menghasilkan individu calon warga
negara yang mampu membantu mengatasi konflik perbedaan dalam berbagai hal.
Model pembelajaran ini membantu siswa untuk belajar berfikir secara sistematis
tentang isu-isu kontemporer yang sedang terjadi dalam masyarakat. Dengan
memberikan mereka cara-cara menganalisis dan mendiskusikan isu-isu sosial,
model pembelajaran ini membantu untuk berpartisipasi dalam mendefinisikan ulang
nilai-nilai sosial.[27]
Jadi, model pembelajaran telaah jurisprudensial melatih siswa untuk
pekah terhadap permasalahan sosial, mengambil posisi (sikap) terhadap
permasalahan tersebut, serta mempertahankan sikap tersebut dengan argumentasi
yang relefan dan valid. Model ini juga dapat mengajarkan siswa untuk dapat
menerima atau menghargai sikap orang lain terhadap suatu masalah yang mungkin
bertentangan dengan sikap yang ada pada dirinya. Atau sebaliknya, ia bahkan
menerima dan mengakui kebenaran sikap yang diambil orang lain terhadap suatu
isu sosial tertentu. Sebagai contoh, seorang siswa mengambil sikap tidak setuju
atas kenaikan harga bahan bakar minyak dengan berbagai argumentasi yang
rasionalis dan logis. Tentunya yang mengambil sikap sebaliknya (setuju) juga
dengan berbagai argumentasi yang logis dan rasional. Akhirnya, keduanya
sama-sama dapat menganalisis kelebihan dan kelemahan dari masing-masing posisi
(sikap) yang diambilnya. Sebaliknya, bisa saja teman yang setuju kenaikan BBM
akan berubah sikapnya jadi tidak setuju setelah mendengar argumentasi dari
temannya yang lain yang menurutnya lebih baik, lebih rasional, dan yang lebih
mempunyai implikasi yang positif terhadap masyarakat.[28]
Prosedur
Pembelajaran Model Jurisprudensi
Meskipun perwujudan sikap siswa
melalui dialog konfrontatif adalah jantung dari model penyelidikan yurisprudensi, namun beberapa kegiatan lainnya sangat penting, seperti membantu siswa merumuskan sikap
(posisi) mereka, hal ini juga dapat membantu
merevisi posisi mereka setelah
mereka berargumentasi. Seperti yang dikemukakan oleh Bruce Joyce
Marsha Weil tentang model
dasarnya meliputi enam tahap:
The
basic model includes six phases: (1) orientation to the case; (2) identifying
the issues; (3) taking positions; (4) exploring the stances underlying the
positions taken; (5) refining and qualifying positions; and (6) testing
assumptions about facts, definitions, and consequences, model dasarnya meliputi enam tahap (1) orientasi kasus,
(2) mengidentifikasi masalah, (3)
mengambil posisi, (4) yang menjelajahi sikap yang
mendasari posisi yang diambil, (5) memperbaiki dan posisi kualifikasi, dan (6 ) pengujian
asumsi tentang fakta, definisi, dan konsekuensi.[29]
Pada tahap pertama, guru memperkenalkan kepada siswa materi-materi
kasus dengan cara membaca cerita, menonton film yang menggambarkan konflik
nilai, atau mendiskusikan kejadian-kejadian hangat dalam kehidupan sekitar,
kehidupan sekolah atau sesuatu kemunitas masyarakat. Langkah kedua yang
termasuk ke dalam tahap orientasi adalah mengkaji ulang fakta-fakta dengan
menggambarkan peristiwa dalam kasus, menganalisis siapa yang melakukan apa, dan
mengapa terjadi seperti demikian.
Pada tahap kedua, siswa mensistesis fakta, mengaikannya dengan
isu-isu umum dan mengidentifikasi nilai-nilai yang terlibat dalam kasus
tersebut (misalnya, isu tersebut berkaitan dengan kebebasan mengemukakan
pendapat, otonomi daerah, persamaan hak, dan lain-lain). Dalam tahap satu dan
dua ini siswa belum diminta untuk mengekpresikan pendapat atau sikapnya
terhadap kasus tersebut. Pada tahap ketiga, siswa diminta untuk mengambil
posisi (sikap atau pendapat) terhadap
isu tersebut dan menyatakan sikapnya. Misalnya dalam kasus bayaran uang
sekolah, siswa mennyatakan sikapnya bahwa seharusnya pemerintah tidak
menentukan besarnya biaya sekolah yang harus diberlakukan untuk setiap sekolah
karena hal itu melanggar hak otonomi sekolah.
Pada tahap keempat, sikap (posisi atau pendapat) siswa digali lebih
dalam. Guru sekarang memainkan peran ala sokrates. Memperdebatkan pendapat yang
diajukan siswa dengan pendapat-pendapat konprontatif. Dalam hal ini siswa diuji
konsistensi dalam mempertahankan sikap atau pendapat yang telah diambilnya.
Disini siswa dituntut untuk mengajukan argumentasi logis dan rasional yang
dapat mendukung pernyataan (posisi) yang telah dibuatbya.
Tahap kelima adalah tahap penentuan ulang akan posisi (sikap) yang
telah diambil siswa. Dalam tahap ini sikap (posisi) yang telah diambil siswa
mungkin konsisten (tetap bertahan) atau berubah (tidak konsisten), tergantung
dari hasil atau argumentasi yang terjadi pada tahap keempat. Jika argumen siswa
kuat, mungkin konsisten. Jika tidak, mungkin siswa mengubah sikapnya
(posisinya).
Tahap keenam adalah pengujian asumsi faktual yang mendasari sikap
yang diambil siswa. Dalam tahap ini guru mendiskusikan apakah argumentasi yang
digunakan untuk mendukung pernyataan sikap tersebut relevan dan syah (valid).[30]
Jadi model pembelajaran yurisprudensi ini menekankan pada
argumentasi yang dikemukakan oleh siswa terhadap pandangannya akan penomena
yang sedang terjadi dimasyarakat dengan mendahulukan pemikiran dan akal atau
rasionalitas yang benar, sesuai dengan disiplin ilmu atau hiukum-hukum yang
berlaku. Dengan demikian model pembelajaran ini sangat baik sekali melatih
pemikiran dan keberanian siswa dalam mengungkapkan pendapatnya untuk meyakini
lawan bicaranya. Dalam pemebelajar agama Islam guru bisa mencetak seorang da’i
yang baik.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut: Pertama, model bermain peran sebagai suatu model pembelajaran
bertujuan untuk membantu siswa menemui makna diri (jati diri) di dalam
lingkungan sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan kelompok. Artinya,
melalui permainan peran siswa dapat belajar menggunakan konsep peran, menyadari
adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan prilaku dirinya dan prilaku
orang lain. Kedua model permainan sismulasi dapat merangsang berbagai
bentuk belajar, seperti belajar tentang persaingan (kompetisi), kerjasama,
empati, sistem sosial, konsep, keterampilan, kemampuan berfikir kritis,
pengambilan keputusan, dan lain-lain. Ketiga model pembelajaran
yurisprudensi ditujukan untuk membantu siswa belajar berfikir secara sistematis
tentang isu-isu yang sedang terjadi di masyarakat.
Daftar Pustaka
Bruce Joyce Marsha Weil, 2003,
Models Of Teaching, Prentice.HaII of India New Private Limited.
Bruce Joyce Marsha Weil.
1980. Model of teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Burden,
P. R., & Byrd, D. M. 1996. Method for effective teaching, second
edition. Boston: Allyn and Bacon
Chesler, M., & Fox, R. (1966). Role-playing
methods in the classroom. Chicago: Science Research Associates.
Dahlan. M. D, 1984, Model-model dalam Mengajar, Bandung:
Diponegoro. .
Daryanto S.S, 1997, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap,
Surabaya: Apollo.
Elizabeth B Hurlock, 1978, Perkembangan Anak,
(terj.Med Meitasari Tjandrasa & Muslichah Zarkasi), Jakarta: Glora Aksara
Pratama.
Gunter,
M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. 1990. Instruction: A models
approach.
Boston: Allyn and Bacon
Hamza B. Uno, 2012, Model
Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif,
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004:
Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nesbitt, W. A. (1971). Simulation games for the social studies
classroom. New York: Foreign Policy Association. Hal. 35
Shaftel,
F. & Shaftel, G. (1967). Role playing of social values: Decision
making in the social studies. Englewood Cliffs, N.J.: Prentie-Hall.
Smith, K., & Smith, M. (1966). Cybernetic principles of
learning and educational design. New York: Holt, Rinehart, & Winston.
27-04-2012
[1]
Gunter, M. A., Estes, T. H., & Schwab, J. H. 1990. Instruction: A models
approach.
Boston: Allyn and Bacon. Hal. 67
[2] Joyce, B.,
& Weil, M. 1980. Model of teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
[3]
Burden, P. R., & Byrd, D. M. 1996. Method for effective teaching,
second edition. Boston: Allyn and Bacon. Hal. 85
[4] Hamza B. Uno,
2012, Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif
dan Efektif, Jakarta: PT. Bumi Aksara, hal 25
[5] Elizabeth B Hurlock,
1978, Perkembangan Anak, (terj.Med Meitasari Tjandrasa & Muslichah
Zarkasi), Jakarta: Glora Aksara Pratama, hal. 256.
[6] Ibid.
[7] Hamza B.
Uno, Ibid., hal. 26
[9] Chesler, M., & Fox, R.
(1966). Role-playing methods in the classroom. Chicago: Science Research
Associates. hlm 5, 8
[10] Analogi dalam ilmu bahasa adalah persamaan antar
bentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain. Analogi merupakan
salah satu proses morfologi dimana dalam
analogi, pembentukan kata baru dari kata yang telah ada. Contohnya pada kata
dewa-dewi, putra-putri, pemuda-pemudi, dan karyawan-karyawati. http://id.wikipedia.org/wiki/Analogi.
Persesuaian antara dua benda yang berlainan (Daryanto S.S, 1997, Kamus
Bahasa Indonesia Lengkap, Surabaya: Apollo, hal. 40.
[11] Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004:
Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 141.
[12] Shaftel, F. & Shaftel, G. (1967). Role playing of social
values:
Decision making in the social studies. Englewood Cliffs, N.J.:
Prentie-Hall, hal. 91
[13] Shaftel, F. & Shaftel, G. Ibid.,
hal. 91
[14] Bruce
Joyce Marsha Weil, 2003, Models Of Teaching, Prentice.HaII of India New
Private Limited, hal. 92
[15] Bruce Joyce
Marsha Weil, Ibid, hal. 94
[16] Bruce Joyce
Marsha Weil, Ibid, hal. 102
[17] Hamza
B. Uno, 2012, Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang
Kreatif dan Efektif, Jakarta: PT. Bumi Aksara, hal. 27
[18] 1) menghasilkan gerakan atau tindakan
sistem terhadap target yang diinginkan (untuk mencapai tujuan tertentu yang
diinginkan), (2) membandingkan dampak dari tindakannya tersebut apakah sesuai
atau tidak dengan jalur rencana yang seharusnya (mendeteksi kesalahan), dan (3)
memanfaatkan kesalahan (error) untuk mengarahkan kembali ke arah atau jalur
yang seharusnya.
[19]
Smith, K., & Smith, M. (1966). Cybernetic principles of learning and
educational design. New York: Holt, Rinehart, & Winston. Hal. 203
[20] Bruce Joyce
Marsha Weil, Op. Cit., hal. 356
[21] Hamza
B. Uno, Op. Cit., hal. 29
[22] Nesbitt, W. A.
(1971). Simulation games for the social studies classroom. New York: Foreign
Policy Association. Hal. 35
[23] Bruce Joyce
Marsha Weil, Op. Cit., hal. 359
[24] Bruce Joyce Marsha
Weil, Op. Cit., hal. 360
[25] Dahlan.
M. D, 1984, Model-model dalam Mengajar, Bandung: Diponegoro.
[26] Bruce Joyce
Marsha Weil, Op. Cit., hal. 110
[27] Hamza B. Uno, Op.
Cit., hal. 31-32
[28] Hamza
B. Uno, Ibid., hal. 31-32
[29] Bruce Joyce
Marsha Weil,Ibid., hal. 120
[30] Hamza B. Uno, Op.
Cit., hal. 31-32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar