A. Pendahuluan
Diantara kitab-kitab suci yang harus
diyakini, ternyata al-Quran yang berada dalam pengawasan Allah SWT dan yang
terpelihara dari segala bentuk distortif, memiliki spektrum yang unik tentang
ilmu (science). Ketinggian nilai pandang al-Quran terhadap ilmu pengetahuan
begitu banyak disinggung di dalamnya, tidaklah cukup pembuktiannya hanya dengan
kitab-kitab samawi saja, tetapi ternyata turunnya al-Quran merupakan respons
konkrit terhadap dunia ilmu pengetahuan di saat itu[1]
Lahirnya ilmu pengetahuan menempati
posisi yang sangat penting dalam Islam, sejarah telah mengungkapkan ilmu hadir bersamaan
dengan munculnya Islam itu sendiri. Tepatnya dalam peristiwa ketika Rasulullah SAW menerima wahyu pertama,
yang mula-mula diperintahkan kepadanya
adalah “membaca”.[2] Jibril
memerintahkan Muhammad: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang
menciptakan” QS. al-’Alaq (96:1).[3]
Perintah ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai
Nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata iqra inilah kemudian lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks baik yang
tertulis maupun tidak.[4]
Sebuah asumsi menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan
yang sekuler, oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu
pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara Islami.
Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya yang merupakan hasil dari pembacaan terhadap
ayat-ayat Allah SWT telah kehilangan
dimensi spiritualitasnya, maka berkembanglah ilmu atau sains yang tidak punya
kaitan sama sekali dengan agama. Tidak mengherankan jika kemudian ilmu dan
teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi
kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk
kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang
merugikan manusia.[5]
Mencermati makna wahyu yang pertama
di atas, sesungguhnya mengehendaki ummat Islam mengkaji ilmu dengan بسم ربك
dengan tujuan hasil bacaan dan kajian itu
nantinya bermanfaat bagi manusia. Begitupun dalam pandangan aksiologis, ilmu pengetahuan
harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu pengetahuan
menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan
haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan
sebaliknya.[6]
Integrasi keilmuan sangat diperlukan
dalam membangun dunia Islam. Ilmu pengetahuan yang telah masuk kerana bipolar-dikotomis tidak akan sanggup
mencapai kesejahteraan manusia. Untuk itu mempelajari filsafat ilmu, dengan
memahami konsep-konsep Islam dan tradisi keilmuan dengan baik, akan meluruskan persepsi
manusia yang salah, akan meluaskan pandangan yang sempit, dan akan mengembalikan
kejayaan Islam dimata dunia. Saat ini bukan masanya lagi disiplin ilmu agama
(Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan
ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula ilmu-ilmu sosial dan kealaman tidak boleh
seteril dari keilmuan Islam.[7]
B. Pembahasan
1. Paradigma keilmuan dalam Islam
a. Makna paradigma keilmuan secara umum
Berbicara
tentang paradigma, atau gugus fikir atau
konsep keilmuan secara umum tentu tidak terlepas dari aspek epistemologi, dalam
filsafat ilmu yang disebut juga dengan istilah teori pengetahuan. Epistemologi
memiliki obyek telaah yang bersifat penjelas atas proses terbentuknya ilmu
pengetahuan yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan utama seperti; bagaimana
sesuatu itu datang?, bagaimana kita mengetahuinya?, bagaimana membedakannya
dengan yang lain? Dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah
bentuk penegasan tentang hubungan sesuatu dengan situasi dan kondisi, ruang
serta waktu.[8] ketika
berbicara tentang epistemologi ilmu, tentu dibicarakan pula tentang ontologi
dan aksiologinya. Karena ketiga cabang ini merupakan cara terbaik dalam memecahkan
suatu permasalahan.
Berdasarkan
landasan ontologi dan aksiologi seperti itu, maka dibutuhkan bangunan landasan
epistemologi yang sesuai, sebab pada dasarnya persoalan utama yang sering
dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan adalah bagaimana mendapatkan
pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi
masing-masing.[9]
Jadi dalam pandangan
ini kekokohan epistemik dalam bangunan ilmu pengetahuan terletak pada kebenaran
konsep atau paradigma tanpa memisahkannya dengan ontologi dan aksiologi dari
sautu bangunan ilmu, sebagaimana yang dapat diilustrasikan secara hirarki
sebagai berikut:
Hirarki illustrasi bangunan ilmu pengetahuan di atas menunjukkan bahwa ontologi
ilmu ditempatkan sebelum epistemologi dengan cara mengasumsikan “ada” realitas
kemudian ditambahkan epistemologi untuk menjelaskan bagaimana kita mengetahui
realitas tersebut. Hirarki dari bangunan ilmu pengetahuan tersebut yang dalam
istilah Keith Lethrer – adalah konsep atau teori dogmatic epistemologi.[10]
Konsepsi dari teori ini adalah dengan menempatkan ontologi sebelum epistemologi.
Selain dari teori dogmatic epistemologi terdapat pula teori critical
epistemologi dimana teori ini merupakan bentuk revolusi dari teori dogmatic
epistemologi yang dalam prosesnya adalah menanyakan apa yang telah
diketahui sebelum menjelaskannya, artinya bahwa teori ini berada pada wilayah
mempertanyakan suatu pengetahuan awal secara kritis kemudian diyakini,
meragukan sesutu yang telah “ada” terlebih dahulu sebelum kemudian
menjelaskannya setelah terbukti keber”ada”annya, dan berpikir dahulu sebelum
meyakini dan atau tidak meyakini kebenarannya.[11]
Konsepsi dari teori ini menempatkan wilayah epistemic sebelum ontal atau ontologi
sebagaimana yang dapat dillustrasikan secara hirarki sebagai berikut:
Subyektifitas dan obyetifitas kebenaran ilmu merupakan hasil dari suatu
bangunan ilmu yang memiliki ketergantungan pada kebenaran teori, metode dan
cara memperolehnya. teori ilmu yang diterapkan oleh Para filusuf kuno tergolong
masih sangat premature dimana mereka mencari unsur-unsur atau
entitas-entitas yang dikandung oleh semua benda dengan menggunakan
pertimbagan-pertimbangan empiris atau hasil-hasil pengamatan yang mendalam
terhadap entitas-entitas tersebut yang dapat mendukung penjelasan yang satu
atau yang lainnya. Mereka mendasarkan jawaban mereka pada landasan-landasan
epistemic dengan mempertimbangkan jenis-jenis apa yang dapat dimengerti secara
sungguh-sungguh, sebagaimana halnya yang berdasar pada empiris dengan
mempertimbangkan jenis-jenis entitas abadi yang mungkin dapat diperoleh dari
dan atau dalam pengalaman.[12]
Secara umum dapat dinyatakan bahwa prematurisme konsep atau paradigma teori
ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh para filusuf klasik kuno didasarkan pada
lima kemampuan yaitu; (1) Pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman, (2)
pengetahuan dari hasil pengalaman tersebut diterima sebagai suatu fakta dengan
sikap receptive mind, dan jika terdapat keterangan-keterangan epistemic
tentang fakta-fakta tersebut, maka keterangan-keterangan tersebut adalah
mitologi (mistis, magis dan religious), (3) kemampuan menemukan abjad dan
bilangan alam yang menunjukkan terjadinya tingkat abstraksi pemikiran, (4)
kemampuan menulis, menghitung dan menyusun kalender merupakan bentuk sintesis
dari hasil abstraksi, (5) kemampuan meramalkan peristiwa-peristiwa fisis atas
dasar a priori seperti hujan, gerhana dan sebagainya.[13]
Perbedaan-perbedaan para filusuf klasik Yunani pra-Sokratik tentang
konsepsi teori ilmu pengetahuan terletak pada pendalaman pengamatan empirisme
mereka terhadap entitas-entitas dari benda-benda yang ada tidak dapat dihindari,
dalam pandangan Parmenidas misalanya bahwa “segala bentuk perubahan
merupakan penampakan sementara yang berada dibalik hubungan timbal-balik dari
realitas-realitas yang lebih dalam dan tidak berubah”, semantara Hiraklitus
berada pada kutub yang lebih ekstrim yang menyatakan bahwa “sejauh
pengetahuan manusia semua bersifat mitologi sebab secara empiris pengetahuan
itu berubah terus menerus[14],
dan apa pun yang berada dalam waktu selalu fana dan keabadian bukanlah
sesuatu yang tidak berubah disepanjang waktu yang terbatas, akan tetapi dia
adalah eksistensi yang berada diluar seluruh proses temporal”.[15]
Para filususf pra-Sokratik memfokuskan diri pada pencarian secara empirik
tentang arche (unsur induk)[16]
yang dianggap sebagai asal kejadian segala sesuatu dengan melakukan pengamatan
empiris secara medalam terhadap fenomena-fenomena alam sehingga menghasilkan
beberapa konsep tentang asal-usul alam dalam segala bentuk jenis, entitas dan
geraknya. Konsep-konsep yang mereka hasilkan dari hasil pengamatan empiris
tersebut pun berbeda anatara satu dengan lainnya dimana dalam pandangan Thales
sebagaimana yang diungkapan oleh Aristotales bahwa “air adalah substansi
dasar yang membetuk segala sesuatu dan ia mengatakan bahwa bumi terapung di
atas air, dan bahwa magnet memiliki nyawa karena dapat menggerakan besi”.[17]
Russell memandang bahwa pendapat ini – tentang air sebagai asal dari
segala sesuatu – dapat dianggap sebagai bentuk hipotesis ilmiah
yang tidak dapat dianggap sebagai pendapat tolol sebab dua pulu tahun yang lalu[18]
telah ditemuan bahwa segala sesuatu terbuat dari hydrogen dimana dua
pertiganya adalah air.[19]
Pada bagian lain Anaximanders berpendapat bahwa “arch itu adalah Substansi
yang tidak terbatas, abadi, dan tak mengenal usia, substansi asali itu dibentuk
menjadi pelbagai subtansi yang kita kenal dan kemudian substansi-substansi
tersebut ditransformasikan antara satu dengan lainnya menjadi substansi lain”,
sehingga dalam kesimpulannya bahwa “dunia kita ini adalah salah satu
diantara dunia-dunia yang ada dan dunia tidak diciptakan namun lahir dari
evolusi yang merupakan bentuk transformasi dari pelbagai substansi dari
substansi tak terbatas tersebut”.[20]
Sementara itu Phytagoras memandang bahwa “substansi asal dari segala sesuatu
adalah bilangan”, pandangan Phytagoras ini disandarkan pada musik dan
hubungan yang dibangun anatara musik dan matematika.[21]
Teori ilmu pengetahuan dan metode memperolehnya dalam perkembangan
berikutnya tidak begitu signifikan dari periode sebelumnya dimana
pertimbangan-pertimbangan ontologis, epistemologis dan empiris masih sangat
mendominasi. Sekalipun konstruksi mengenai teori-teori fundamental ilmu di
seputar konsep, dan pola yang dilakukan oleh Plato dengan meminjam teori
geometri begitu tampak pada periode ini dan bahkan memberikan pengaruh pada
teori ilmu pengetahuan modern, pada logika dan metematik jerman dan sesudahnya,
[22]
artinya bahwa paradigma, konsep atau pandangan yang berwujud tiori ilmu pengetahuan dari masa
filusuf klasik hingga modern memiliki bangunan kesinambungan yang saling
memeberi pengaruh antara satu dengan yang lain, dan atau saling menghapus
antara satu dengan yang lain, dan atau saling menyempurnakan anatara satu
dengan yang lain, sekalipun dalam kesempurnaannya masih terdapat
pertentangan-pertentangan yang sangat mencolok antara kelompok empirisme,
rasionalisme, skeptisisme, kritisisme, analitisme, strukturalisme dan
lain-lain.
Dalam pengembangan pengetahuan, terutama yang harus dilakukan adalah
menegaskan tujuan pengetahuan, sebab pengetahauan tidak akan mengalami
perkembangan dan perubahan apabila tujuan dari pengetahuan tersebut tidak
diketahui dan dipahami. Karena pada prinsipnya ilmu adalah usaha untuk
menginterpretasikan gejala-gejala dengan mencoba mencari penjelasan tentang
berbagai kejadian,[23] artinya
fenomena ini baik berupa pengamatan empirik maupun penalaran rasio memerlukan
teori sebagai landasan keterpahaman sesuatu yang dapat disebut sebagai paradigma
ilmu pengetahuan.
Istilah
paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962). Paradigma dapat
didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang
ilmuwan bekerja (a conceptual framework or model within which a scientist
works). [24] Ia adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar
yang menggariskan semesta partikular dari penemuan ilmiah, menspesifikasi beragam
konsep-konsep yang dapat dianggap absah maupun metode-metode yang dipergunakan
untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan data. Tegasnya setiap keputusan
tentang apa yang menyusun data atau observasi ilmiah dibuat dalam bangun suatu
paradigma.[25]
Robert
Friedrichs, yang mempopulerkan istilah paradigma (1970), berpendapat, paradigma
sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.[26] Pengertian lain dikemukakan oleh
George Ritzer (1980), dengan menyatukan paradigma sebagai pandangan yang
mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.[27]
Kuntowijoya
mengutip pendapat beberapa tokoh dengan gaya bahasanya sendiri tentang
paradigma; Yang dimaksud dengan paradigma di sini, seperti yang difahami oleh
Thomas Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikontruksi oleh Mode of
Thought atau mode of inquiry tertentu yang pada gilirannya akan
menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Immanuel kant, misalnya
menganggap “cara mengetahui” itu sebagai apa yang disebut skema
konseptual; Marx menamakannya sebagai ideologi; dan Wittgenstein
melihatnya sebagai cagar bahasa.[28]
Norman K. Denzin
membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistimologi, ontologi, dan
metodologi. Epistimologi mempertanyakan tentang bagaimana cara kita mengetahui
sesuatu, dan apa hubungan anatara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi
berkaitan dengan pertanyaan mendasar tentang hakikat realitas. Metodologi
memfokuskan pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan. [29]
Mencermati
beberapa makna paradigma di atas, dapat disimpulkan dengan berdasarkan yang
dikemukakan oleh Thomas Samuel Kuhn bahwa paradigma menyangkut hal-hal sebagai
berikut:
1.Model yang
berdasarkanya muncul sejumlah tradisi penelitian ilmiah tertentu yang terpadu
(koheren). 2. Pencapaian (hasil-hasil) ilmiah yang diakui secara universal yang
untuk suatu masa tertentu menawarkan model, masalah dan solusi kepada komunitas
pemraktek. 3. Hampir merupakan pandangan dunia, yakni cara memandang dunia
melalui kacamata yang disediakan oleh cabang ilmu tertentu. 4.Terdiri atas
sejumlah teori dan teknik khusus yang sesuai bagi pemecahan masalah-masalah
penelitian. 5.Perpaduan teori dan metode yang bersama-sama mewujudkan sesuatu
yang mendekati suatu pandangan dunia.6. Matriks disipliner, yakni keseluruhan
konstelasi sejumalah keyakinan, generalisasi simbolik, model, nilai, komitmen,
teknik, dan eksemplar yang dianut dan mempersatukan para anggota komunitas
ilmiah tertentu. 7.Eksemplar, yakni penyelesian (solusi) teka-teki atau masalah
ilmiah yang dugunakan sebagai model atau contoh, dan yang dapat menggantikan
aturan eksplisit sebagai landasan untuk solusi teka-teki lainnya dari ilmu
normal; eksemplar ini dihasilkan oleh penelitian yang sukses yang kemudian
digunakan oleh para pemraktek sebagai model.[30]
Dari definisi dan muatan paradigma di
atas, Zamroni[31] mengungkapkan tentang posisi
paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang
berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: 1) Apa yang harus dipelajari. 2)
Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab. 3) Bagaimana metode untuk
menjawabnya. 4) Aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan
informasi yang diperoleh.
b. Bagaimana paradigma keilmuan menurut Islam.
Alquran diturunkan oleh Allah swt.
kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi pemisah antara yang hak dan
yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam Al-Quran (al-Baqarah [2]:185). Alquran
juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di
dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Alquran menempatkan ilmu dan ilmuwan
dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS:
al-Mujadilah: 11). Banyak nash Alquran yang menganjurkan manusia untuk menuntut
ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun, adalah ayat yang berkenaan dengan
ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam surat al-‘Alaq
ayat 1-5. Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan
manusia tentang apa yang tidak diketahuinya.[32]
Disamping itu, Alquran menghargai
panca indera dan menetapkan bahwasanya indera tersebut adalah menjadi pintu
ilmu pengetahuan. (QS.Al-Nahl: 78) Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid mengatakan
bahwa ayat ini mendahulukan pendengaran dan penglihatan dari pada hati
disebabkan karena keduanya itu sebagai sumber petunjuk berbagai macam pemikiran
dan merupakan kunci pembuka pengetahuan yang rasional.[33]
Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip
oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang
terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua
bersumber dari al-Qur’an al-Karim.[34]
Dr. M. Quraish Shihab mengatakan,
membahas hubungan Alquran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya
cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan
menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan
pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Alquran dan
sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Tidak perlu melihat
apakah di dalam Alquran terdapat ilmu matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu
komputer dan ilmu lainnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa
ayat–ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta
adakah satu ayat Alquran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang
telah mapan?[35]
Kuntowijoyo mengatakan bahwa Alquran
sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai
cara berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan paradigma Alquran, paradigma
Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan
pada paradigma Al-Quran jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
Kegiatan itu mungkin menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan
alternatif. Jelas bahwa premis-premis normatif Alquran dapat dirumuskan menjadi
teori-teori empiris dan rasional. Struktur transendental Al-Quran adalah sebuah
ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia
akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional
yang orisinil, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia
sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori ilmu
pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Manusia.[36]
Dua pemikir
Muslim yang secara intens menggagas dan mengembangkan paradigma atau gugus
pikir keilmuan Islam, dia adalah Alparsalan Acikgenc, Guru Besar Filsafat pada
Fatih University Istambul Turki. Ia mengembangkan empat paradigma atau pandangan
dunia Islam sebagai kerangka komprehensif keilmuan Islam, yaitu: (1) iman
sebagai dasar struktur dunia (worldstructure, iman); (2) ilmu
sebagai struktur pengetahuan (knowledge structure, al-'ilm); (3)
fikih sebagai struktur nilai (value structure, al-fiqh); dan (4)
kekhalifahan sebagai struktur manusia (human structure, khalîfah).
[37]
Dalam
menjelaskan pandangan dunia Islam yang di dalamnya terdapat struktur keilmuan yang
menjadi gugus fikir atau paradigma
keilmuan Islam ia menyatakan:
As it is seen all structures are
dominated by a doctrinal concept around which a network of integrated concepts
and notions are formed. The world structure is the framework from which our
conception of the universe and humankind in it arises. A person having such a
mental framework in mind gives meaning to existence according to this
structure. It is, as such, the most fundamental framework on which all other
structures are built. It is clear from the Qur'an that this structure has three
fundamental elements: God, prophethood and the idea of a final judgment, all of
which lead to an understanding of man, religion and knowledge, as suchit constitutes
the fundamental metaphysics of Islam. These fundamental concepts are integrally
woven into the Islamic vision of reality and truth, which, as an architectonic
mental unity, acts as the foundation of all human conduct, and as the general
framework out of which follow all other frameworks. Thus comes next the
knowledge structure as a fundamental element of the Islamic worldview. Since
the activity at hand is science we need to examine only the frameworks
established thus far. Therefore, I shall not discuss the value and human structures
in this context.[38]
Pandangan Alparslan
Acikgenc tentang pandangan dunia Islam itu, didasarkan pada epistemologi ilmu
pada umumnya, yaitu:
(1)
kerangka yang paling umum atau pandangan dunia (the most general framework
or worldview); (2) di dalam pandangan dunia itu kerangka pemikiran
mendukung keseluruhan aktivitas epistemologi yang disebut dengan struktur
pengetahuan (within the worldview another mental framework supporting all
our epistemological activities, called "knowledge structure");
(3) rencana konseptual keilmuan secara umum (the general scientific
conceptual scheme); dan (4) rencana konseptual keilmuan secara spesifik (the
specific scientific conceptual scheme).[39]
Mencermati
beberapa konsep keilmuan di atas dapat dijadikan sebuah dasar bahwa pola
keilmuan dalam Islam senantiasa tidak terlepas dari sunnatullah, Tetapi
pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan
kemurnian dan kesucian Al-Quran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan
itu sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam Al-Quran terdapat ilmu
matematika, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dan ilmu umum lainnya, tetapi
yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi kemajuan
ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat saja dalam Al-Quran
yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah ada.
2. Sumber pengetahuan
a. Dari mana ilmu pengetahuan diperoleh dalam telaah
umum
Pada
pembahasan ini dikhususkan untuk mengetahui bagaimana sebuah ilmu pengetahuan
itu dapat diperoleh. Secara umum ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui
proses sebagai berikut:
1)
Metode
Empirik
Yang dimaksud dengan metode empirik yaitu pengetahuan yang didapatkan
melalui pengalaman inderawi dan akal mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari
pengalaman dengan cara induksi.[40]
Dalam metode ini terdapat beberapa unusur yaitu subyek, obyek dan hubungan
antara subyek dan obyek.[41]
Subyek adalah yang menegatahui atau manusi itu sendiri sebab manusia sejatinya
adalah knower dimana dalam diri setiap manusia terdapat kemampuan untuk
dapat mengetahui (dalam arti luas), kemampuan-kemampuan tersebut adalah; (a)
Kemampuan kognitif, yaitu; kemampuan untuk menegtahui dalam artinya secara luas
dan lebih mendalam seperti; mengerti, memahami dan menghayati – dan mengingat
apa yang diketahui. Landasan kognitifitas manusia adalah rasio atau akal.
Kemampuan kognitif manusia bersifat netral. (b) kemampuan afektif yaitu
kemampuan untuk merasakan tentang apa yang diketahuinya seperti rasa cinta,
indah dan sebagainya. kemampuan afektif berlandas pada rasa atau qalbu dan
disebut pula dengan hati nurani, kemampuan ini bersifat tidak netral. (c)
kemampuan konatif yaitu kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan, kemampuan
ini menjadi daya dorong untuk mencapai (atau menjauhi) segala apa yang didiktekan
oleh rasa.[42] Adapun obyek adalah yang diketahui baik
bersifat a priori maupun a posteriori dan terakhir adalah proses
terjadinya hubungan anatara subyek dan obyek.[43]
Metode ini memberikan arti bahwa seluruh konsep dan idea yang kita anggap
benar sesungguhnya bersumber dari pengalaman dengan obyek yang ditangkap oleh
panca indera khususnya yang bersifat spontan dan langsung, sehingga dengan
metode ini panca indera memiliki peranan penting dalam tiga hal; (a) bahwa
seluruh preposisi yang kita ucapkan merupakan bentu manifestasi laporan dari
pengalaman atau yang disimpulan pengalaman. (b) bahwa konsep atau idea tentang
sesuatu tidak dapat diperoleh kecuali didasarkan pada apa yang diperoleh dari
pengalaman. (c) akal budi atau rasio hanya dapat berfungsi jika memiliki acuan
realitas.[44] Artinya
dengan metode ini dapat dinyatakan bahwa credential (keterpercayaan)
konsep ilmiah atau teori apapun bergantung pada suatu tingkat substansi
berbasis empiris.[45]
2)
Metode
Rasional
Metode Rasional adalah metode yang menjelaskan hubungan-hubungan rasional
yang memberi penjelasan ilmiah ciri-khas keterpahaman (intelegibility)
yang khas,[46] penggunaan
rasio dalam menperoleh pengetahuan menjadi sandaran metode ini dimana akal atau
rasio yang memenuhi sayarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu
mutlak, yaitu syarat yang digunakan dalam seluruh metode ilmiah.[47]
Metode ini menjadikan matematika dan ilmu ukur sebagai model bagi
pengetahuan manusia, metode ini menunjukkan sebuah penjelasan bahwa dalam diri
manusia terdapat idea-idea bawaan tertentu yang telah ada sejak awal yang
diperoleh bukan dari pengalaman, artinya bahwa manusia berpikir dalam rangka
prinsip-prinsip pertama yang terbukti dengan sendirinya,[48]
sebab panca indera dan pengalaman hanya dapat memberi informasi tentang obyek
khusus yang terbatas dan tidak tetap sehingga tidak dapat memberi pengetahuan
yang bersifat universal.[49]
Jadi, pengetahuan hanya dapat ditemukan dalam dan dengan bantuan akal budi
(rasio). Dengan cara ini, maka proses pengetahuan manusia adalah dengan
mendeduksikan, menurunkan, pengetahuan-pengetahuan particular dari
prinsip-prinsip umum, atau dengan kata lain bahwa pengetahuan manusia harus
mulai dari aksioma-aksioma yang telah terbukti dengan sendirinya, dan dari situ
ditarik teorema-teorema sedemikian rupa sehingga kebenaran aksioma menjadi
kebenaran teorema.[50]
Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa kemampuan akal budi (rasio)
manusialah yang dapat digunakan untuk dapat menarik kesimpulan dari
prinsip-prinsip umum tertentu dalam benaknya. Oleh karenanya logika silogisme
menjadi sangat penting dalam menggunakan metode ini.
Fungsi dari kemampuan rasio manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan dapat
dibagi kedalam dua bagian yaitu; higher reason (rasio tertinggi) dan lower
reason (rasio terendah), hasil ilmu pengetahuan yang dapat diperoleh dari
keduanya berbeda dimana higher reason menghasilkan ilmu pengetahuan akan
suatu kebenaran yang berkaitan dengan kekekalan yang disebut juga dengan sapientia
atau wisdom, sementara lower reason menghasilkan ilmu pengetahuan
akan suatu kebenaran yang bersifat temporal yang disebut juga dengan scientia
atau knowledge. [51]
3)
Metode
Kontemplatif
Metode ini memandang bahwa metode empiris dan rasional memiliki
keterbatasan, sehingga pengetahuan yang dihasilkan pun berbeda dan
masing-masing bersifat temporal, maka untuk menajamkan hasil dari kedua metode
tersebut dibutuhkan penajaman kemampuan akal yang disebut intuisi, pengetahuan
yang diperoleh lewat intuisi dapat diperoleh secara kontemplatif.[52]
Metode kontemplatif dalam memperoleh pengetahuan bersifat sangat
indivdualistik sebab pengetahuan yang dihasilkannya tersebut adalah pengetahuan
yang tercerahkan dari percikan sinar pengetahuan Tuhan (al-hikmah al-Ila-hiyyah).[53]
Hariri Shrazi menerangkan bahwa intusi (fitrah) bukan semata-mata kolam atau
waduk yang menerima penegtahuan, akan tetapi pengetahuan ini murni muncul dari
dalam diri manusia itu sendiri dan bukan dari luar, maka mata fitrahlah yang
melihat pengetahuan itu dan kemudian lidahnya mengucapkan atau menjelaskan
pengetahuan tersebut.[54]
Metode ini tidak hanya dipahami bahwa ilmu pengetahuan yang dihasilkannya
bersifat mitologi-spekulatif , tetapi dalam arti yang lebih luas dimana
metode kontemplatif menuju kebenaran pengetahuan secara epistemic dapat melalui
beberapa tahapan yang didalmnya menjadikan kesadaran empirik-rality dan cognitive-reasion
sebagai tahapan awal dengan cara kerjanya yang khas yaitu; (a) empiris
inderawi adalah sebagai jalan masuknya sensation dengan merasakan setiap
bentuk realitas yang dirasakan dan diamatinya, selanjutnya (b) sensation yang
masuk melalui pengamatan dan pengalaman tersebut dikumpulkan, digabungkan,
dipilah, dinalar dengan menggunakan kemampuan rasio melalui proses penilaian
terhadap obyek fisis yng diketahui melalui penginderaan dan atau pengalaman,
tahapan ini selanjutnya disebut dengan tahapan cognition, selanjutnya (c)
tahapan yang diberlakukan atas realitas yang telah dikognisikan dalam rasio
tersebut kemudian dikontemplasikan dengan eternal truth pada tahapan ini
kemudian apa yang dilihat, dirasa dan dipikirkan menjadi sebuah ilmu
pengetahuan yang disebut dengan intellection.[55]
Pada tahapan yang terakhir ini the truth information (al-Khabar al-Sadiq)
dan otoritative information (informasi otoritas) memiliki peranan
penting untuk kemudian dilakukan dialektika baik itu persifat tekstual,
intertekstual, kontektual maupun interkontekstual yang dapat membatu
menghasilkan kesimpulan pada ranah truth knowledge.
4)
Metode
Ilmiah
Metode ilmiah merupakan salah satu cara atau prosedur dalam mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu, dimana ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh
lewat metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan ekspresi tentang cara bekerja
pikiran yang diharapkan mempunyai karakteristik tertentu berupa sifat rasional
dan teruji sehingga ilmu yang dihasilkan bisa diandalkan. Dalam hal ini metode
ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif (rasional) dan induktif
(empiris) dalam membangun pengetahuan. Teori ilmu merupakan suatu penjelasan
rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya, dengan didukung oleh
fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. Metode rasional yang digabungkan
dengan metode empiris dalam langkah menuju dan dapat menghasilkan pengetahuan
inilah yang disebut metode ilmiah. Jadi, metode ilmiah dianggap sebagai metode
terbaik untuk mendapatkan pengetahuan karena metode ini menggunakan pendekatan
yang sistematis, obyetif, terkontrol, dan dapat diuji, yang dilakukan melalui
metode empiris maupun rasional atau dengan kata lain dilakukan berdasarkan
prinsip-prinsip induktif dan dedutif.
Penggabungan anatara metode rasional dan empiris dilakukan dengan
menggunkan langkah-langkah oprasional, yang disebut metode ilmiah dimana dalam
metode ini rasionalitas menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif,
sementara empiris memisahkan anatara fakta yang sesuai dengan yang tidak.
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa seluruh bentuk teori yang dapat
diterima secara ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yaitu; (a) memiliki
konsistensi a prioriative yang memungkinkan tidak terjadinya
kontaradiksi dalam teori keilmuan secara umum, (b) harus sesuai dan sejalan
dengan fakta-fakta empiris,[56]
artinya bahwa teori dalam scientific knowledge (ilmu pengetahuan ilmiah)
merupakan sekumpulan preposisi yang saling berkaitan secara logis untuk
memberikan penjelasan tentang sejumlah fakta dan fenomena [57]
dimana hubungan-hubungan antar preposisi tersebut dapat diperiksa kebenarannya
diantara fenomena agar dapat diberlakukan secara universal pada fenomena lain
yang sejenis dengan proses yang demikian dapat menghasilkan sebuah prinsip
ilmiah dimana sebuah preposisi yang mengandung kebenaran umum didasarkan pada
fakta dan fenomena yang telah diamati.[58]
Dalam pandangan Ahmad Tafsir bahwa metode ilmiah tidak datang dengan
sesuatu yang baru, tetapi hanya mengulangi ajaran positivisme secara lebih
oprasional, dimana dalam ajaran positivisme menyatakan bahwa kebenaran sesuatu
harus bersifat logis, terbukti secara empiris, dan terukur secara oprasional,
kuantitatif dan tidak mengundang perbedaan pendapat. Dengan demikian metode
ilmiah harus melalui langkah yang disebut logico-hypothetico-verivicartive dengan
mula-mula membuktikan bahwa hal tersebut logis, kemudian mengajukan hipotesis
terhadap logika tersebut, kemudian melakukan pembuktian hipotesis tersebut
secara empiris.[59]
Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa metode dalam telaah umum
dalam memperoleh ilmu pengetahuan, melalui prosedur-prosedur khusus. Adapun
kata kunci dari prosedur-prosedur tersebut adalah; (a) Logis, (b) Empirik, (c)
kejelasan teori atau epistemik, (d) oprasional dan spesifik, (e) hypotethik,
(e) verivikative, (f) sistematis, (g) memperhatikan validitas dan realibilitas,
(h) obyektif, (i) skeptik, (j) kritis, (k) analitik, (l) kontemplatif.
b. Darimana ilmu pengetahuan diperoleh menurut Islam
Setelah kita mengetahui betapa tinggi perhatian Islam terhadap ilmu
pengetahuan dan betapa Allah SWT mewajibkan kaum muslimin menuntut ilmu, maka
Islampun telah mengatur dan menggariskan kepada ummatnya agar mereka menjadi
ummat yang terbaik (dalam ilmu pengetahuan dan dalam segala hal) dan agar
mereka tidak salah dan tersesat, dengan memberikan bingkai sumber-sumber pengetahuan berdasarkan urutan kebenarannya
sebagai berikut:
1)
Al-Qur’an
dan as-Sunnah
Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya untuk menjadikan al-Qur’an dan
as-Sunnah sebagai sumber pertama ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan keduanya
adalah langsung dari sisi Allah SWT dan dalam pengawasannya, sehingga terjaga
dari kesalahan, dan terbebas dari segala vested interest apapun, karena ia
diturunkan dari Yang Maha Berilmu dan Yang Maha Adil. Sehingga tentang
kewajiban mengambil ilmu dari keduanya, disampaikan Allah SWT melalui berbagai
perintah untuk memikirkan ayat-ayat NYA (QS. Yusuf. [12]:1-3):
!9# 4 y7ù=Ï? àM»t#uä É=»tGÅ3ø9$# ÈûüÎ7ßJø9$# ÇÊÈ !$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wÎ/ttã öNä3¯=yè©9 cqè=É)÷ès? ÇËÈ ß`øtwU Èà)tR y7øn=tã z`|¡ômr& ÄÈ|Ás)ø9$# !$yJÎ/ !$uZøym÷rr& y7øs9Î) #x»yd tb#uäöà)ø9$# bÎ)ur |MYà2 `ÏB ¾Ï&Î#ö7s% z`ÏJs9 úüÎ=Ïÿ»tóø9$# ÇÌÈ
Artinya: Alif, laam, raa[60] Ini adalah ayat-ayat
Kitab (Al Quran) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya kami menurunkannya
berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Kami menceritakan
kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran Ini kepadamu, dan
Sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang
yang belum Mengetahui[61].
dan
menjadikan Nabi SAW sebagai pemimpin dalam segala hal (QS 33/21).
2)
Alam semesta
Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk memikirkan alam semesta (QS:3/190-192)
dan mengambil berbagai hukum serta manfaat darinya, diantara ayat-ayat yang
telah dibuktikan oleh pengetahuan modern seperti, Ayat tentang asal mula alam
semesta dari kabut/nebula (QS 41/11).
§NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$uK¡¡9$# }Édur ×b%s{ß tA$s)sù $olm; ÇÚöF|Ï9ur $uÏKø$# %·æöqsÛ ÷rr& $\döx. !$tGs9$s% $oY÷s?r& tûüÏèͬ!$sÛ ÇÊÊÈ
Artinya: Kemudian dia menuju
kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu dia Berkata
kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku
dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang
dengan suka hati".[62]
Ayat tentang
urutan penciptaan (QS 79/28-30):
yìsùu $ygs3ôJy $yg1§q|¡sù ÇËÑÈ |·sÜøîr&ur $ygn=øs9 ylt÷zr&ur $yg9ptéÏ ÇËÒÈ uÚöF{$#ur y÷èt/ y7Ï9ºs !$yg8ymy ÇÌÉÈ
Artinya: Dia meninggikan
bangunannya lalu menyempurnakannya, Dan dia menjadikan malamnya gelap gulita,
dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.[63]
Kegelapan (nebula dari kumpulan H dan He yang bergerak pelan),? adanya
sumber cahaya akibat medan magnetik yang menghasilkan panas radiasi termonuklir
(bintang dan matahari) ? pembakaran atom H menjadi He lalu menjadi C lalu
menjadi O baru terbentuknya benda padat dan logam seperti planet (bumi) ? panas
turun menimbulkan kondensasi baru membentuk air ? baru mengakibatkan adanya kehidupan
(tumbuhan).
Ayat yang menjelaskan bahwa bintang-bintang merupakan sumber panas yang
tinggi (QS: 86/3) ayatnya berbunyi:
ãNôf¨Y9$# Ü=Ï%$¨W9$# ÇÌÈ
Artinya:
(yaitu) bintang yang cahayanya menembus[64]
matahari
sebagai contoh tingkat panasnya mencapai 6000 derajat C. Ayat tentang teori
ekspansi kosmos (QS 51/47).[65] Ayat bahwa
planet berada pada sistem tata surya terdekat (sama’ad-dunya) (QS 37/6)[66].
Ayat yang membedakan antara planet sebagai pemantul cahaya (nur/kaukab) dengan
matahari sebagai sumber cahaya (siraj) (QS 71/16).[67] Ayat tentang
gaya tarik antar planet (QS 55/7).[68]
Ayat tentang revolusi bumi mengedari matahari (QS 27/88)[69]. Ayat bahwa
matahari dan bulan memiliki waktu orbit yang berbeda2 (QS 55/5)[70]
dan garis edar sendiri-sendiri yang tetap (QS 36/40)[71]. Ayat bahwa
bumi ini bulat (kawwara-yukawwiru) dan melakukan rotasi (QS 39/5)[72]. Ayat tentang
tekanan udara rendah di angkasa (QS 6/125)[73]. Ayat tentang
akan sampainya manusia (astronaut) ke ruang angkasa (in bedakan dengan lau)
dengan ilmu pengetahuan (sulthan) (QS 55/33)[74]. Ayat tentang
jenis-jenis awan, proses penciptaan hujan es dan salju (QS 24/43)[75]. Ayat tentang
bahwa awal kehidupan dari air (QS 21/30).[76] Ayat bahwa
angin sebagai mediasi dalam proses penyerbukan (pollen)
tumbuhan (QS 15/22).[77] Ayat bahwa pada tumbuhan terdapat pasangan bunga jantan (etamine) dan bunga betina (ovules) yang menghasilkan perkawinan (QS 13/3).[78]
tumbuhan (QS 15/22).[77] Ayat bahwa pada tumbuhan terdapat pasangan bunga jantan (etamine) dan bunga betina (ovules) yang menghasilkan perkawinan (QS 13/3).[78]
Ayat tentang proses terjadinya air susu yang bermula dari makanan
(farts) lalu diserap oleh darah (dam) lalu ke kelenjar air susu (QS 16/66)[79], perlu dicatat bahwa peredaran darah baru ditemukan oleh Harvey 10 abad setelah wafatnya nabi Muhammad SAW. Ayat tentang penciptaan manusia dari air mani yang merupakan campuran (QS 76/2)[80], mani merupakan campuran dari 4 kelenjar, testicules (membuat spermatozoid), vesicules seminates (membuat cairan yang bersama mani), prostrate (pemberi warna dan bau), Cooper & Mary (pemberi cairan yang melekat dan lendir). Ayat bahwa zyangote dikokohkan tempatnya dalam rahim (QS 22/5)[81], dengan tumbuhnya villis yang seperti akar yang menempel dpada rahim. Ayat tentang proses penciptaan manusia melalui mani (nuthfah), zygote yang melekat (‘alaqah), segumpal daging/embryo (mudhghah), dibungkus oleh tulang dalam misenhyme (‘idhama)? tulang tersebut dibalut oleh otot dan daging (lahma) (QS 23/14).[82]
(farts) lalu diserap oleh darah (dam) lalu ke kelenjar air susu (QS 16/66)[79], perlu dicatat bahwa peredaran darah baru ditemukan oleh Harvey 10 abad setelah wafatnya nabi Muhammad SAW. Ayat tentang penciptaan manusia dari air mani yang merupakan campuran (QS 76/2)[80], mani merupakan campuran dari 4 kelenjar, testicules (membuat spermatozoid), vesicules seminates (membuat cairan yang bersama mani), prostrate (pemberi warna dan bau), Cooper & Mary (pemberi cairan yang melekat dan lendir). Ayat bahwa zyangote dikokohkan tempatnya dalam rahim (QS 22/5)[81], dengan tumbuhnya villis yang seperti akar yang menempel dpada rahim. Ayat tentang proses penciptaan manusia melalui mani (nuthfah), zygote yang melekat (‘alaqah), segumpal daging/embryo (mudhghah), dibungkus oleh tulang dalam misenhyme (‘idhama)? tulang tersebut dibalut oleh otot dan daging (lahma) (QS 23/14).[82]
3)
Diri manusia
Allah SWT memerintahkan agar manusia memperhatikan tentang proses
penciptaannya, baik secara fisiologis/fisik, sebagaimana firman Allah berbunyi:
ÌÝàYuù=sù ß`»|¡RM}$# §NÏB t,Î=äz ÇÎÈ
Artinya: Maka hendaklah
manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? (QS:86/5)[83] maupun
psikologis/jiwa manusia tersebut, sebagaimana firmannya:
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢y ÇÊÉÈ
Artinya: Dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.(QS 91/7-10)[84].
4)
Sejarah
Allah SWT
memerintahkan manusia agar melihat kebenaran wahyu-Nya melalui
lembar-lembar sejarah, sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
lembar-lembar sejarah, sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
ôs)s9 c%x.
Îû
öNÎhÅÁ|Ás% ×ouö9Ïã Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$#
3
$tB
tb%x.
$ZVÏtn 2utIøÿã `Å6»s9ur t,ÏóÁs?
Ï%©!$#
tû÷üt/ Ïm÷yt @ÅÁøÿs?ur
Èe@à2
&äóÓx« Yèdur
ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9
tbqãZÏB÷sã
ÇÊÊÊÈ
Artinya: Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu
terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah
cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya
dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.[85]
(QS. Yusuf [12):111).
Jika manusia masih ragu akan ilmu Allah tentang kebenaran wahyu-Nya dan
akan datangnya hari pembalasan, maka perhatikanlah kaum Nuh, Hud, Shalih,
Fir’aun, dan sebagainya, yang kesemuanya keberadaannya dibenarkan dalam sejarah
hingga saat ini.
- Perbandingan antara Ilmu-ilmu Agama dengan Ilmu-ilmu umum.
Setelah diuraikan mengenai keilmuan umum dan Islam di atas, baik penjelasan
tentang paradigma keilmuan dan sumber pengetahuan dalam Islam, maka dapat
ditinjau berbagai perbedaaan-perbedaan dari kedua pembahasan tersebut.
a.
Ilmu Pengetahuan
Agama.
Pada ilmu pengetahuan keagamaan, menurut pandangan Al-Ghazali disebut
dengan al-ulum al-syari’ah merupakan ilmu-ilmu yang diperoleh dari
nabi-nabi dan tidak hadir melalui akal, seperti aritmatika; atau melalui riset,
seperti ilmu kedokteran atau melalui pendengaran, seperti ilmu bahasa.
Sedangkan ilmu-ilmu umum atau yang disebut dengan ilmu intlektual (al-ulum
al-aqliyah) adalah berbagai ilmu yang dicapai atau diperoleh melalui intelek
manusia semata.[86]
Menurut Al-Syirazi, ilmu-ilmu agama itu dikategorikan ilmu-ilmu nonfilsafat
(al-ulum ghairu hykmy). Ilmu-ilmu relegius diklasifikasikan menurut cara yang
berbeda: (1) klasifikasi dalam ilmu-ilmu naqly dan ilmu-ilmu intelektual
(aqly); (2) klasifikasi dalam ilmu tentang pokok-pokok (usul) dan ilmu tentang
cabang-cabang (furu’).[87]
Sedangkan Al-Farabi memasukkan ilmu-ilmu relegius pada kategori ilmu
yurisprudensi dan teologisdialektis, meski ia tetap memasukkannya pada
klasifikasi ilmu-ilmu filosofis. “Yurisprudensi”[88]
berhubungan dengan rukun iman dan ritus-ritus relegius dan perintah moral
legal. Sedangkan teologis dialektis ini berkaitan dengan (1) rukun iman; (2)
aturan-aturan relegius.[89]
Ditinjau dari berbagai sudut pandang para cendikiawan Islam pada abad
pertenganhan itu dapat dibedakan bahwa keilmuan Islam dengan berbagai
penyebutannya: ilmu relegius, ilmu fardu ‘ain, ilmu non filsafat, ilmu
yurisprudensi (fiqh) teologis dialektis dan sebagainya, berasas pada
prinsif-prinsif ketuhanan (wahyu) dan kenabian (sunnah) tanpa harus
mempertimbangkan potensi ‘aqal dalam implementasinya.
b.
Ilmu Pengetahuan
Umum.
Ilmu-ilmu pengetahuan umum (al-ulum al-aqliyah) adalah ilmu yang dicapai
atau diperoleh melalui pemikiran manusia semata. Al-Ghazali membagi kategori
ilmu-ilmu umum ke dalam beberapa ilmu, Yaitu: (1) matematika (aritmatika,
geometri, astronomi dan astrologi serta musik (2) Logika (3) Fisika atau ilmu
alam (kedokteran, meteorologi, minerologi dan kimia. (4) Ilmu-ilmu tentang
wujud di luar alam atau metafisika (ontologi, pengetahuan tentang esensi, sifat
dan aktifitas ilahi, pengetahuan tentang substansi sederhana yaitu interligensi
dan substansi malakut, pengetahuan tentang dunia halus, ilmu tentang kenabian
dan fenomena kewalian, ilmu tentang mimpi, dan teurgi yakni ilmu menggunakan
keuatan-kekuatan bumiuntuk menghasilkan efek tampak seperti supernatural.[90]
Dari paradigma ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama di atas, menunjukkan
semacam dikotomi di atara keduannya. Al-Ghazali misalnya mendikotomikan ilmu
pengetahuan ke dalam ilmu relegius (agama) dan ilmu intelektual (umum)
dilakukan dengan maksud untuk mempermudah untuk mengetahui klasifikasinya
tentang ilmu pengetahuan ke dalam kategori ilmu fardlu ‘ain dan fardlu kifayah.
Meski demikian Al-Ghazali tidak memandang ilmu pengetahuan umum dan agama
bertentangan. Karena keduanya saling melengkapi. Keterbatasan akal sebagai sumber
pengetahuan umum, mengharuskan padanya bimbingan wahyu yang sumber pengetahuan
Islam. Demikian juga dalam memahami ilmu-ilmu agama sumbernya adalah wahyu
memerlukan interpretasi akal (rasional).[91]
Menurut Naquib Al-Attas, kebanyakan ilmu dan disiplin ilmu, khususnya yang
mendapat pengaruh filsafat Yunani (Aristoteles dan Meoplatonisme) pada kemajuan
Islam telah di Islamkan oleh pelbagai cendikiawan dan cerdik pandai yang
memiliki otoritas di bidangnya dan mendapatkan pendidikan yang mengintegrasikan
dua kategori fardu ‘ain dan fardlu kifayah serta menguasai ilmu-ilmu yang
relevan. Diantaranya seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sunah, yang telah
berusaha keras mengintegrasikan asfek-asfek tertentu dari elemen-elemen
filsafat Yunani ke dalam pandangan dunia Islam.[92]
Kemudian kenyataan yang dapat di lihat seperti sebuah prestasi yang tidak
tertandingi adalah kemampuan ummat Islam dalam mengembangkan ilmu-ilmu baru
yang diilhami Islam, seperti ilmu tafsir al-Quran dan ilmu hukum (fiqh) oleh
Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’i, teologi (kalam) oleh Asy-Ari dan Al-Maturidi,
Psikologi spiritual-kognitif dan behavioral oleh sufi, perbandingan agama oleh
Bairuni, Al-Syahrastani, Ibnu Hizm dan lain-lain.[93]
C.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan umum yang bersumber
dari ‘aqal (rasional) dan ilmu pengetahuan agama yang bersumber dari wahyu,
merupakan disiplin ilmu yang saling
membutuhkan, adapun dikotomi diantara keduanya, sebagian ilmuwan Islam memandangnya hanya
untuk memudahkan bagi manusia agar dapat membedakan mana ilmu yang sifatnya
fardu ‘ain dan mana sifatnya fardu kifayah. Tentunya pandangan ini berbeda
dengan perkembangan ilmu pengetahuan di era kontemporer yang benar-benar
menunjukkan eksistensi ilmu pengetahuan umum terpisa secara permanen dari ilmu
agama. “Sehingga dengan ekstrem Tradisi keilmuan positivisme logis yang
memperkuat anggapan dalam masyarakat bahwa ‘agama’ dan ‘ilmu’ adalah merupakan
dua entitas yang terpisah dan tidak dapat dipertemukan”.[94]
Daftar Pustaka.
Abdullah, M.
Amin, at. al. Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi,
Yogyakarta: Penerbit Suka Press, 2007
Acikgenc, Alparslan, Holisitic Approach to Scientific Traditions,
Islam & Science: Journal of Islamic Perspective on Science, Volume 1, Juni
2003.
Adib, Muhammad,
Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.
Andre
Winoto, Augistine’s Theory of Knowledge , www.buletinpillar.org,
18-02-2013)
Al-Gazali, al-Munqiz
min al-Dalal, diterj. Masyhur Abadi, Setitik Cahaya dalam Kegelapan, Surabaya:
Progressif, 2002.
Bahtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta :
Rajawali Press, 2010.
Bakar,
Usman, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, (Bandung:
Mizan, 1998.
Departernen
Agama R1, Al- Hikmah Al-Quran dan Terjemahannya (Bandung: Diponegoro
Departemen
Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Madinah Almunawwarah: Mujamma’
al-Malik Fahd Li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H.
Elmubarok, Zaim, Membumikan Pendidikan nilai, Bandung:
Alfabeta 2009.
Gie, The
Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 2010.
Hairi
Shirazi, Muhyiddin, Mans Dual Inclination; An Islamic Approach. Diterj.
Eti Triana dan Ali Yahya, Tikai Ego dan Fitrah, Jakarata: Al-Huda, 2010.
Halim Uweis, Abdul, Koreksi Terhadap
Ummat Islam, Jakarta: Darul Ulum, 1989
Ihsan, A.
Fuad, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Inu Kencana
Syafiie, Pengantar Filsafat (Bandung : Rafika Aditama, 2007.
Jerome R
Ravertz, The Philosophy of Science (Oxford University Press, 1982)
diterj. Saut Pasaribu, 2009, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingup
Bahasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Keraf, A.
Soni dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta:
Kanisus, 2001.
Kementerian
Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya,Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia,
2012
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk
aksi, Bandung, Mizan, 1991.
Kuntowijoyo,
Islam Sebagai Ilmu, Jakarta: Penerbit: Teraju, 2005.
Mahmud Abdul
Wahab Fayid, Syeikh, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, diterjemahkan oleh Judi Al.Falasany, “Pendidikan Dalam Alquran”
Semarang: Penerbit CV.Wicaksana, 1989.
Nata,
Abuddin, at.al. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2005.
Paradigma devirahman.wordpress.com/2009/pengertian-paradigma/akses,
17-02-2013
K.Denzin, Norman dan Yuonna
S.Lincoln, Handbook of qualitative Research, Thousand OAKS: SAGE
publications, 1994.
Russell, Bernard,
History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social
Circumstances From the Earliest Time to Present Day, London: George Allen
and UNWIN, 1946. Diterj. Sigit Jatmiko dkk., Sejarah Filsafat Barat; dan
Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007.
Said, Nurman,
at. al, Sinergi Agama dan Sains, (ed) (Makassar: Alauddin Press, 2005
Saut
Pasaribu, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingup Bahasan,Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Alquran, Bandung: Penerbit
Mizan, 1992.
Shihab, M.Quraish,
Wawasan AI-Quran: Tairsir Maudu’I atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung:
Mizan, 2001
Sidharta, Arif,.Apakah Filsafat Dan Filsafat Ilmu Itu,
Bandung: Pustaka Sutra, 2008.
Soetriono
dan Rita Hanafi, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian,Yogyakarta:
ANDI, 2007.
Suhartono,
Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu
Pengetahuan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Surajiyo, Filsafat
Ilmu; Suatu Pengantar, Jakarta: Bumi Aksara, 2008 Lihat. A. Soni Keraf dan
Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta:
Kanisus, 2001.
S
Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Sinar Harapan, 2001.
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Ilmu; Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Pengetahuan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Winoto, Andre,
Augistine’s Theory of Knowledge (www.buletinpillar.org,
19-02-2013).
Zamroni, Pengantar
Pengembangan Teori sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana,1992.
[1] Abdul Halim Uweis, Koreksi
Terhadap Ummat Islam, (Jakarta: Darul Ulum, 1989), hlm. 52.
[4] M.Quraish Shihab, Wawasan
AI-Quran: Tairsir Maudu’I atas Berbagai Persoalan Umat, Cet. 12; Bandung: Mizan, 200 1, cet.xii. hlm. 433.
[5] Nurman Said, Wahyuddin Halim,
Muhammad Sabri, Sinergi Agama dan Sains, (ed), Makassar: Alauddin Press, 2005, cet.i. hlm. 36.
[7] M. Amin Abdullah, at.al, Islamic
Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta: Penerbit Suka
Press, 2007, cet. i. hlm. 33.
[9] Jujun S Suriasumantri, Filsafat
Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 2001, hlm.105-106.
[10] Muhammad Adib, Filsafat Ilmu;
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 76.
[12] Jerome R Ravertz, The Philosophy
of Science (Oxford University Press, 1982) diterj. Saut Pasaribu,
Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingup
Bahasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 92-93.
[15] Bernard Russell, History of
Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances From the Earliest Time to
Present Day, London: George Allen and UNWIN, 1946. Diterj. Sigit Jatmiko
dkk., Sejarah Filsafat Barat; dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial-Politik dari
Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 61.
berjudul History
of Western Philosophy…
[29] Norman K.Denzin dan Yuonna S.Lincoln,
Handbook of qualitative Research, Thousand OAKS: SAGE publications, 1994,
hlm. 99.
[30] Arif Sidharta,. Apakah Filsafat
Dan Filsafat Ilmu Itu, Bandung: Pustaka Sutra, 2008, hlm. 94-95
Fahd
Li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H, hlm. 1079.
Al.Falasany, “Pendidikan Dalam Alquran” , Semarang:
Penerbit CV.Wicaksana, 1989, hlm. 23-24.
Islamic Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003,
Number 1, hal. 102
[40] Surajiyo, Filsafat Ilmu; Suatu
Pengantar (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 66. Induksi atau induktif adalah
cara kerja ilmu-ilmu empiris yang mendasarkan diri pada pengamatan atau
eksperimen untuk sampai kepada pengetahuan yang umum tak terbantahkan,
pengetahuan semacam ini adalah pengetahuan a posteriori. Lihat. A. Soni
Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis Yogyakarta:
Kanisus, 2001, hlm. 55.
[41] Muhammad Adib, Filsafat Ilmu;
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 75.
[42] Soetriono dan Rita Hanafi, Filsafat
Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: ANDI, 2007, hlm.101-102.
[43] Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu
Pengetahuan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008, hlm. 61. Metode ini dapat berubah menjadi lebih
ekstrim apabila dipahami bahwa satu-satunya yang dapat disebut sebagai
ilmu pengetahuan jika kebenarannya dapat dilacak dan diklarifikasi secara empirik.
Pemahaman semacam ini dapat mengarah kepada bentuk Empirisme Radikal.
[44] A. Soni Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu
Pengetahuan; Sebuah Tinjauan Filosofis (Yogyakarta : Kanisus, 2001),
hlm.49-50.
[45] Jerome R Ravertz, The Philosophy of Science (Oxford University
Press, 1982) diterj. Saut Pasaribu, Filsafat Ilmu Sejarah & Ruang Lingup
Bahasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.135.
[53] Al-Gazali, al-Munqiz min al-Dalal,
diterj. Masyhur Abadi, Setitik Cahaya dalam Kegelapan (Surabaya:
Progressif, 2002), 32.
[54] Muhyiddin Hairi Shirazi, Mans
Dual Inclination; An Islamic Approach. Diterj. Eti Triana dan Ali Yahya, Tikai
Ego dan Fitrah (Jakarata: Al-Huda, 2010), 71.
[56] Jujun S Suriasumantri, Filsafat
Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 2001), 124.
[59] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu;
Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010), 32-33.
[60] : ialah huruf-huruf abjad yang
terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al Quran seperti: Alif laam
miim, Alif laam raa, Alif laam miim shaad dan sebagainya. diantara ahli-ahli
tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah Karena dipandang
termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya. golongan
yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang
berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para
Pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al
Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari
huruf-huruf abjad. kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari
Allah dan Hanya buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, Maka cobalah mereka buat
semacam Al Quran itu.
[61] Kementerian
Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka
Indonesia, 2012), hlm. 317.Penjelasan 741
[62] Kementerian Agama RI, al-Quran
dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), hlm. 685
[63] Ibid., hlm 862
[64] Ibid., hlm 885
[65] Ibid., hlm 755
[66] Ibid., hlm 634
[67] Ibid., hlm 840
[68] Ibid., hlm 773
[69] Ibid., hlm 542
[70] Ibid., hlm 773
[71] Ibid., hlm 629
[72] Ibid., hlm 658
[73] Ibid., hlm 193
[74] Ibid., hlm 775
[75] Ibid., hlm 496
[76] Ibid., hlm 451
[77] Ibid., hlm 356
[78] Ibid., hlm 336
[79] Ibid., hlm 373
[80] Ibid., hlm 856
[81] Ibid., hlm 462
[82] Ibid., hlm 476
[83] Ibid., hlm 885
[84] Ibid., hlm 896
[85] Ibid., hlm 334
[86] Usman Bakar, Hierarki Ilmu:
Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung: Mizan, 1998. Hlm.233.
[87] Ibid., hlm. 279.
[88] Yurisprudensi menurut Al-Farabi
adalah seni yang memungkinkan manusia menyimpulkan aturan dan ketetapan
dari apa yang tidak secara eksplisit
ditentukan oleh pemberi hukum berdasarkan hal-hal yang secara eksplisit
ditentukan dan ditetapkan olehnya. (seorang fuqoha harus menyimpulkan secara
benar dengan memperhatikan dan mempertimbangkan maksud Tuhan melalui aturan
yang di undangkan-Nya.
[89] Ibid., hlm. 148.
[90] Abuddin Nata, dkk, Integrasi
Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.158.
[91] Ibid., hlm.161
[92] Ibid., hlm.162
[93] Ibid
[94]
Kaelan, Op.Cit., hlm. 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar